Imam Ali bin Abi Thalib as
| Imam pertama Syiah | |
| Amir al-Mukminin | |
| kunyah | Abu al-Hasan • Abu al-Sibthian • Abu al-Raihanatain • Abu Thurab • Abu al-Aimmah |
|---|---|
| Lahir | 13 Rajab, 30 tahun setelah Tahun Gajah |
| Tempat lahir | Makkah |
| Imamah | 29 tahun 11 H/632 - 40 H/661 |
| Waktu syahid | 21 Ramadhan 40 H/28 Januari 661 di Kufah, Irak |
| penyebab kesyahidan | Ditebas pedang oleh Ibnu Muljam al-Muradi |
| Tempat dimakamkan | Najaf |
| Imam setelahnya | Imam Hasan as |
| Ayah | Abu Thalib |
| Ibu | Fatimah binti Asad |
| Pasangan | Sayidah Fatimah sa • Ummul Banin • Laila • Ummu Said • Khulah • Ummu Habib |
| Putra | Hasan • Husain • Muhsin • Muhammad Hanifah • Abbas • Umar • Ja'far • Utsman • Abdullah • Muhammad Asghar • 'Ubaidillah • Yahya |
Ali, al-Hasan, al-Husain, al-Sajjad, al-Baqir, al-Shadiq, al-Kazhim, al-Ridha, al-Jawad, al-Hadi, al-Askari, al-Mahdi | |
Ali bin Abi Thalib (bahasa Arab: علي بن أبي طالب) (lahir pada 23 tahun sebelum Hijrah – tahun 40 H/661) adalah imam pertama seluruh mazhab Syiah dan khalifah keempat dari empat Khulafa al-Rasyidin di kalangan Ahlusunah. Ia sepupu dan menantu Nabi Muhammad saw, suami Sayidah Fatimah sa dan ayah serta kakek dari sebelas imam Syiah. Ayahnya bernama Abu Thalib dan ibunya bernama Fatimah binti Asad. Sesuai dengan penuturan para sejarawan Syiah dan kebanyakan ulama Ahlusunah, ia terlahir di dalam Ka'bah. Ia adalah orang yang pertama beriman kepada Rasulullah saw.
Dalam pandangan Syiah, ia adalah khalifah langsung setelah Rasulullah saw wafat berdasarkan firman Allah swt dan penegasan Rasulullah saw.
Banyak keutamaan telah disebutkan terkait Imam Ali as. Pada Yaum al-Dar, Nabi saw memilihnya sebagai washi dan penggantinya. Tatkala suku Quraisy hendak membunuh Nabi Muhammad saw, ia rela tidur di pembaringan Rasulullah saw untuk mengelabui pihak musuh sehingga dengan demikian Rasulullah saw dapat secara diam-diam melakukan hijrah. Nabi saw pun mengikat akad persaudarannya dengan Imam Ali as. Berdasarkan sumber-sumber Syiah dan sebagian sumber Ahlusunah, terdapat kurang-lebih 300 ayat yang diturunkan berkenaan dengan keutamaannya, misalnya ayat Mubahalah, ayat Tathir, dan beberapa ayat lain menunjukkan tentang kemaksuman dan kesuciannya dari segala jenis kekotoran dan kenistaan.
Ali as ikut serta pada seluruh perang Nabi Muhammad saw kecuali perang Tabuk, itu pun atas perintah Rasulullah saw untuk tinggal di Madinah menggantikan posisinya. Pada perang Badar Imam Ali as mampu menewaskan sejumah besar orang-orang musyrik. Pada perang Uhud ia pun menjaga jiwa Nabi saw. Pada perang Khandaq ia dapat mengalahkan 'Amru bin Abdiwad dan mengakhiri peperangan, dan pada perang Khaibar dengan menjebol pintu benteng Khaibar ia pun menuntaskan peperangan.
Setelah Nabi saw menunaikan hajinya, setelah turun ayat Tabligh, beliau mengumpulkan jamaah haji di kawasan Ghadir Khum, kemudian menyampaikan khutbah Ghadirnya dan mengangkat tangan Imam Ali as seraya bersabda: "Barangsiapa yang aku pemimpimnya, maka Ali juga pemimpinnya. Ya Allah! cintailah orang yang mencintai Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya." Setelah itu, sebagian sahabat seperti Umar bin Khattab mengucapkan selamat kepada Imam Ali as dan memanggilnya dengan lakab "Amirul Mukminin" (pemimpin orang-orang mukmin). Menurut pandangan para mufasir Syiah dan sebagian Ahlusunah, ayat Ikmal turun paa hari itu. Berdasarkan keyakinan muslim Syiah, ungkapan "من کنت مولاه فعلیٌ مولاه" yang disampaikan oleh Nabi saw di hari Ghadir Khum bermakna menentukan penerus dan pengganti Nabi saw.
Paska wafatnya Rasulullah saw, sekelompok orang di Saqifah membaiat Abu Bakar sebagai khalifah. Persaingan diantara suku, kedengkian dan rasa hasud diyakini sebagai sebab utama penentangan dengan perintah Nabi saw terkait penunjukan Ali as setelahnya. Menurut catatan beberapa sumber, Imam Ali telah melakukan perdebatan-perdebatan yang serius dengan Abu Bakar dan oleh karenanya, Abu Bakar dikecam oleh Imam Ali as lantaran penyimpangannya terkait peristiwa Saqifah dan penyepelean hak Ahlulbait Nabi saw. Sesuai dengan sumber-sumber Syiah dan sebagian sumber Ahlusunah, para pendukung khalifah menyerang rumah Imam Ali as untuk mengambil baiat. Penyerangan ini menyebabkan Sayidah Fatimah sa mengalami cedera dan keguguran putranya. Dan tak lama kemudian Sayidah Fatimah sa mati syahid. Dalam berbagai peringatan dan pidato, Imam Ali as menyampaikan protesnya terkait peristiwa Saqifah dan mengingatkan kembali akan haknya berkenaan dengan kekhalifahan paska Nabi saw dimana khutbah Syiqsyiqiyah termasuk diantara pidato-pidatonya yang paling terkenal.
Pada periode 25 tahun kekhalifahan tiga orang khalifah, Imam Ali as jauh dari urusan politik dan pemerintahan dan hanya sibuk berkecimpung dalam masalah keilmuan dan sosial, misalnya mengumpulkan Alquran yang dikenal dengan Mushaf Imam Ali dan menggali sumur. Demikian juga para khalifah mengadakan konsultasi dengannya khsusus dalam pelbagai masalah pemerintahan seperti peradilan.
Setelah khalifah ketiga, Imam Ali as atas desakan kaum Muslimin menerima kursi khilafah dan pemerintahan. Pada masa pemerintahannya, ia menaruh perhatian khusus pada masalah keadilan dan memerangi metode para khalifah yang membagi baitul mal berdasarkan pegalaman dan masa lalu individu-individu. Ia memerintahkan supaya setiap orang dari Arab, non Arab dan setiap orang muslim dari keturunan dan golongan manapun untuk mendapatkan baitul mal secara sama, dan semua tanah yang diserahkan Usman kepada orang-orang untuk dikembalikan lagi ke baitul mal. Pada masa pemerintahannya yang begitu singkat, ia menghadapi tiga perang saudara; Jamal, Shiffin dan Nahrawan.
Imam Ali as pada akhirnya harus gugur di mihrab masjid Kufah, selagi ia menunaikan salat di tangan salah seorang Khawarij bernama Ibnu Muljam Muradi dan dikuburkan secara diam-diam di Najaf. Haram Imam Ali as di kota Kufah termasuk dari tempat-tempat suci dalam budaya Syiah dan selalu diziarahi.
Kebanyakan silsilah disiplin ilmu kaum Muslimin di antaranya Sastra Arab, Teologi, Fikih, Tafsir berujung padanya dan beragam firkah (kelompok) menyampaikan mata rantai sanadnya kepada Imam Ali as. Imam Ali as senantiasa mendapat kedudukan dan derajat khusus di kalangan muslim Syiah, dan setelah Nabi saw ia merupakan manusia yang paling utama, bertakwa dan pintar serta menjadi pengganti sahnya. Atas dasar ini, sekelompok sahabat sejak masa hidup Nabi saw mengikuti dan mencintai Ali as, mereka itu dikenal dengan sebutan Syiah. Kitab Nahj al-Balāghah merupakan pilihan dari kata-kata dan surat-surat Imam Ali as. Ada beberapa tulisan juga dinisbatkan kepada Imam Ali as yang mana tulisan-tulisan itu hasil diktean dari Rasulullah saw yang ditulis olehnya. Banyak karya dalam berbagai bahasa yang ditulis berkenaan dengannya.
Kedudukan
Imam Ali as senantiasa mendapat kedudukan dan posisi khusus di kalangan Muslim Syiah, dan setelah Nabi saw ia merupakan manusia yang paling utama, bertakwa dan pintar serta menjadi pengganti sahnya. Atas dasar ini, sekelompok sahabat sejak masa hidup Nabi saw mengikuti dan mencintai Ali as, mereka itu dikenal dengan Syiah.[1] Muslim Syiah ialah orang-orang yang meyakini bahwa Imam Ali as adalah pengganti langsung Nabi saw atas perintah Allah swt.[2] Sementara Ahlusunah meyakini bahwa pengganti Nabi saw merupakan hasil pilihan masyarakat.[3]
Heinz Halm, pengamat Islam kontemporer Jerman, berkata: "Menurut keyakinan Muslim Syiah, sampainya Imam Ali as kepada kursi kekhilafahan pada 19 Dzulhijjah tahun 35 H/18 Juni 656 merupakan implementasi akhir dari perjanjian yang dengannya Nabi saw telah memilihnya sebagai penggantinya dan pemimpin umat Islam dalam beberapa kesempatan, khususnya di Ghadir Khum. Syiah meyakini bahwa ungkapan من کنت مولاه فعلیٌ مولاه; "Barangsiapa yang aku pemimpinnya maka Ali pemimpinnya" yang disampaikan oleh Nabi saw pada hari Ghadir adalah penentuan pengganti Nabi saw, karena orang-orang yang hadir di Ghadir Khum mengucapkan selamat kepada Ali bin Abi Thalib as dan memanggilnya dengan lakab "Amirul Mukminin" (pemimpin orang-orang yang beriman)".[4] Berdasarkan keyakinin ini, Ali adalah satu satunya khalifah yang sah dan gelar "Amirul Mukminin" hanya layak untuknya dan pemerintahannya dalam masa yang singkat merupakan satu satunya pemerintahan yang legal yang dirasakan umat Islam sejak zaman Nabi saw.[5]
Nasab, Julukan dan Gelar
Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qusai bin Kilab[6] terkenal dengan Hasyimi dan Qurasyi. Ayah Imam Ali as, Abu Thalib adalah seorang yang sangat dermawan dan menjunjung tinggi keadilan. Ia mendapatkan penghormatan dari seluruh suku Arab. Ia adalah paman dan pelindung Rasulullah saw serta merupakan salah seorang pembesar Quraisy. [7]Ibunya bernama Fatimah binti Asad.[8] Saudara-saudaranya antara lain adalah, Thalib, Aqil dan Ja'far. Saudari-saudarinya di antaranya, Hindun atau Ummu Hani, Jumanah, Ritha atau Ummu Thalib dan Asma. [9]Para sejarawan mengatakan bahwa pernikahan Abu Thalib dengan Fatimah binti Asad adalah pernikahan pertama antara laki-laki dan perempuan dari bani Hasyim.[10]Oleh karena itu, Imam Ali as adalah orang pertama yang memiliki darah Hasyimi baik dari pihak ayah maupun ibu.[11]
Julukan, Gelar dan Sifat-sifatnya
Julukan
Diantara julukan-julukan Ali bin Abi Thalib adalah: Abu al-Hasan,[12] Abu al-Husain, Abu al-Sibthain, Abu Raihanatain, Abu Turab dan Abu al-Aimmah.[13]
Demikian juga di dalam sumber-sumber disebutkan banyak gelar dan sifat untuk beliau, antara lain adalah: Amir al-Mukminin, Ya'sub al-Din wa al-Muslimin, Mubir al-Syirk wa al-Musyrikin, Qatil al-Nakitsin wa al-Qasithin wa al-Mariqin, Maula al-Mu'minin, Syabih Harun, Haidar, Murtadha, Nafs al-Rasul, Akhu al-Rasul, Zauj al-Batul, Saifullah al-Maslul, Amir al-Barārah, Qātil al-Fajārah, Qasim al-Jannah wa al-Nar, Shahib al-Liwā, Sayid al-'Arab, Kassyāf al-Kurab, al-Shiddiq al-Akbār, Dzu al-Qarnain, Hādi, Fāruq, Dāi', Syahid, Bāb al-Madinah, Wali, Washi, Qādhi Din Rasulullah, Munjiz Wa'dah, al-Nabā al-'Azhim, al-Shirat al-Mustaqim, dan al-Anza' al-Bathin. [14]
Gelar
Menurut keyakinan Syiah, gelar 'Amirul Mukminin' yang bermakna pemimpin, panglima dan pemimpin kaum Muslimin hanya dimiliki dan dikhususkan kepada Imam Ali as. Berdasarkan beberapa riwayat, kaum Syiah meyakini bahwa gelar ini pada zaman Nabi Muhammad saw digunakan untuk Ali bin Abi Thalib dan khusus kepadanya. Bagi mereka, gelar ini bukan hanya tidak boleh digunakan untuk Khulafa al-Rasyidin dan selain Rasyidin, tetapi penggunaan gelar ini bahkan untuk imam-imam mereka yang lain pun tidak benar.[15]
Ciri-ciri Fisik
Imam Ali as adalah seorang dengan perawakan sedang. Matanya hitam dan lebar. Alis matanya melengkung dan menyatu, dan wajahnya tampan berwarna kecoklatan. Janggutnya tebal dan bahunya lebar.[16] Menurut beberapa sumber, Nabi Muhammad saw memberikan gelar 'Bathin' kepadanya dan atas dasar ini sebagian peneliti mengatakan dia gemuk. Namun demikian, beberapa peneliti meyakini bahwa maksud perkataan Nabi saw dari 'Bathin' adalah 'al-Bathin min al-Ilmi', yakni gemuk dari ilmu.[17] Dalam sebuah riwayat dari Nabi saw terkait Imam Ali as: Ia bersih dari syirik dan gemuk dari ilmu.[18] Dipujinya Imam Ali as dengan sifat 'Bathin' dalam beberapa teks ziarah juga membuktikan bahwa maksud perkataan Nabi saw adalah bukan sifat 'gemuk' (secara fisik).[19]
Mengenai kekuatan fisik Ali bin Ali Thalib as dikatakan bahwa ia tidak melawan siapa pun kecuali lawannya akan tersungkur ke bumi. [20] Ibnu al-Hadid di dalam Syarh Nahj al-Balaghah berkata, "Kemampuan fisik Imam Ali as telah menjadi perlambang kesatria. Ia-lah yang menaklukkan benteng Khaibar, sementara sekelompok orang lain ingin mengembalikannya (atau mengangkatnya), namun gagal. Ia juga yang menurunkan berhala hubal -berhala yang berukuran raksasa- dari atas Ka'bah dan melemparkannya ke bumi. Ia yang memindahkan batu raksasa dari tempat duduknya dengan tangannya pada hari kekhlalifahannya kemudian dari bawah batu itu mengalir air yang mendidih, sementara semua pasukan yang ada tidak mampu untuk melakukan hal itu. [21]

Biografi
Ali as adalah orang pertama yang beriman kepada Nabi Muhammad saw[22], imam pertama Syiah [23] dan khalifah ke 4 dari Khulafa al-Rasyidin menurut Ahlusunah.
Dari Lahir Hingga Hijrah
Imam Ali as lahir pada hari Jumat 13 Rajab pada tahun 30 tahun Gajah (tahun 23 sebelum Hijrah/28 September 600) di Mekah di dalam Ka'bah. [24] Riwayat tentang kelahirannya di dalam Ka'bah adalah riwayat yang mutawatir [25] dalam pandangan ulama Syiah seperti Sayid Radhi, Syekh Mufid, Quthb al-Rawandi, Ibnu Syahr Asyub dan banyak ulama Sunni semisal Hakim Naisyaburi, Hafiz Ganji Syafi'i, Ibnu Jauzi Hanafi, Ibnu Shabbagh Maliki, Halabi, Mas'udi.
Ketika Imam Ali as berusia 6 tahun (17 tahun sebelum Hijrah/606-607), terjadi kekeringan di Mekah . Abu Thalib, seorang lelaki paruh baya mengalami kesulitan ekonomi ketika harus menafkahi keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang banyak.[26] Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw, Hamzah dan Abbas, kedua paman Nabi, memutuskan untuk menolong Abu Thalib dalam menghadapi masalah ini. Karenanya, Abbas membawa Ja'far dan Hamzah membawa Thalib ke rumahnya. Adapun Nabi Muhammad membawa Ali as ke rumahnya. [27] Beginilah Imam Ali as mengenang masa itu, "Ketika aku masih kecil, (Nabi Muhammad saw) meletakkanku di sampingnya dan mendekapku ke dadanya dan ia menidurkanku di pembaringannya, menempelkanku ke badannya. Kadang-kadang Nabi Muhammad saw mengunyah makanan kemudian kunyahan itu diberikan kepadaku. Beliau tidak pernah mendengar bicara dusta dariku dan juga tidak pernah melihat kesalahan pada tingkah lakuku. [28]
Setelah bi'tsah Nabi (13 tahun sebelum hijrah/610), Ali adalah lelaki pertama dan Khadijah perempuan pertama yang beriman kepada Nabi saw.[29][30]Ali yang pada saat itu berusia 10 tahun bersama Nabi Muhammad saw melakukan salat secara sembunyi di gunung-gunung sekitar Mekah.[31][32]Setelah Nabi saw melakukan dakwah secara terang-terangan pada tahun ke 3 Bi'tsah, yang dikenal dengan 'peristiwa dakwah pada keluarga terdekat' (Indzar Asyirah) atau 'peristiwa Yaum al-Dar', Ali mendukung Nabi saw dan beliau pun mengapresiasinya dengan sebutan 'saudara, washi dan pengganti dirinya'.[33]Pada awal tahun ke-7 sebelum Hijrah/615, kaum muslimin diblokade dan dikepung oleh kaum musyrikin di Syi'ib Abi Thalib dan dilarang melakukan jual-beli dan berlalu-lalang. Pada periode ini, Abu Thalib demi menjaga keselamatan jiwa Nabi saw berkali-kali menidurkan Ali as di tempat tidur beliau.[34]Beberapa waktu paska pembukaan blokade, empat tahun sebelum hijrah/619, Ali as pada usia 19 tahun kehilangan ayahnya, Abu Thalib.[35]Setelah kematian Abu Thalib, kondisi kaum muslimin semakin sulit dan Nabi saw berencana untuk berhijrah ke Madinah. Pada malam hijrah, Ali as yang mengetahui konspirasi kaum Musyrikin untuk membunuh Nabi saw, ia pun tidur di kasur beliau. Pada saat itu Ali as berusia 23 tahun. Kejadian ini dikenal dengan Lailatul Mabit.[36] Beberapa hari setelah kejadian itu dan setelah Imam Ali as menunaikan hutang Nabi saw, bersama satu rombongan yang diantara mereka ada Sayidah Fatimah sa dan Fatimah binti Asad (ibu Imam Ali) pergi ke Madinah.[37]
Setelah Hijrah
Ketika Nabi saw dalam perjalanan hijrahnya ke Madinah sampai di Quba, sekitar 15 hari beliau menunggu di sana hingga Ali as bersama rombongannya tiba.[38]Setelah Nabi saw membangun Masjid Nabi di Madinah, beliau dalam pidato pertamanya mengadakan ikatan persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar dan memilih Ali as sebagai saudaranya.[39] Pada tahun ke-2 H/624 meletuslah perang Badar antara kaum Muslimin dan Musyrikin. Dalam perang ini sejumlah besar dari pasukan musuh termasuk beberapa orang dari pembesar Qurasiy terbunuh di tangan Ali as.[40]Paska perang Badar,[41] Imam Ali as pada usia 25 tahun menikah dengan Sayidah Fatimah as,[42] meskipun banyak orang yang telah melamarnya.[43] Nabi saw yang membaca khutbah pernikahan mereka.[44]
Pada tahun ke-3 H/625, untuk membalas kekalahan di perang Badar, kaum Musyrikin menyulut perang Uhud melawan kaum Muslimin.[45] Ali as termasuk di antara orang yang tidak meninggalkan medan perang dan membela jiwa Nabi saw[46] dan dikatakan bahwa dalam perang ini beliau mengalami 16 luka.[47] Kulaini dan Thabari mengatakan, uangkapan لا سَیفَ اِلّا ذوالفَقار، لا فَتی اِلّا عَلیّ disampaikan oleh Jibril pada perang ini guna memuji Ali as.[48]Pada tahun ini pula putra sulungnya, Imam Hasan Mujtaba as lahir.[49]
Pada tahun ke-4 H/625-6, saat Imam Ali berusia 27 tahun, ibunya, Fatimah binti Asad, meninggal dunia.[50] Imam Husain as putra kedua dari pasangan Ali as dan Fatimah as lahir pada tahun ini pula.[51]
Pada tahun ke-5 H/627, terjadilah perang Khandaq[52] dan dengan ketangkasan Ali as dalam membunuh Amr bin Abdiwadd berakhirlah perang.[53]Sayidah Zainab sa, anak ketiga dari pasangan Imam Ali as dan Sayidah Fatimah sa lahir pada tahun ini.[54]
Pada tahun ke-6 H/628 terjalinlah perjanjian Hudaibiyah antara Nabi saw dengan Quraisy. Penulis surat perjanjian ini adalah Imam Ali as.[55]Ummu Kultsum sa, anak keempat Imam Ali as lahir pada tahun ini. [56] Pada bulan Sya'ban di tahun yang sama, Nabi saw memilih Imam Ali as sebagai panglima sariyah Fadak untuk memerangi kaum Yahudi.[57]
Pada tahu ke-7 H/628 terjadilah perang Khaibar.[58]Dalam perang ini, Ali as termasuk dari para pemegang bendera pasukan.[59] dan berkat kepemimpinan beliau pasukan Islam berhasil menaklukkan Khaibar.[60]
Pada tahun ke-8 H/630, Ali as pada usia 31 tahun menjadi pemegang panji pasukan Nabi saw saat terjadi penaklukan Mekah[61]dan membantu Nabi saw dalam menghancurkan patung-patung di dalam Ka'bah.[62]
Perang Tabuk meletus pada tahun ke-9 H/630. Nabi saw untuk pertama kalinya mengangkat Imam Ali as sebagai pengganti dan penjaga keluarganya di Madinah. Perang ini adalah satu-satunya perang yang Imam Ali as tidak ikut serta di dalamnya.[63] Setelah kelompok Munafikin menyebarkan berbagai isu, Ali as bergabung dengan pasukan dan memberi tahu Nabi saw apa yang terjadi di Madinah. Menanggapi hal itu Nabi saw bersabda: "Apakah kamu tidak senang bahwa kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa as?"[64]Perkataan Nabi ini dikenal dengan Hadis Manzilah.[65]Pada tahun ini pula Ali as diperintahkan oleh Rasulullah saw untuk menyampaikan ayat-ayat Bara'ah saat orang-orang musyrik berkumpul di Mekah[66] dan ia menyampaikan ayat-ayat tersebut setelah Zuhur pada hari Raya Qurban.[67] Pada tanggal 24 Dzulhijjah tahun ke-9 H,[68] Nabi saw bersama Ali as, Fatimah sa, Imam Hasan as dan Imam Husain as mengadakan mubahalah dengan kaum Nasrani Najran.[69]
Pada tahun ke-10 H/631-2, Nabi saw mengutus Imam Ali as ke Yaman untuk menyeru penduduknya kepada agama Islam.[70]Pada tahun yang sama Nabi saw pergi haji.[71]Ali as dari Yaman menyusul Nabi saw dan bertemu beliau di Mekah.[72] Sepulang haji, di daerah Ghadir Khum Nabi saw mengangkat Ali as sebagai pengganti dan washinya.[73] Peristiwa ini terkenal dengan peristiwa Ghadir. Saat itu Ali as berusia 33 tahun.
Setelah Wafat Nabi saw
Nabi Muhammad saw wafat pada 28 Shafar tahun ke-11 H/25 Mei 632.[74]Menurut keyakinan Syiah, Ali as menjadi Imam paska wafatnya Nabi saw dan pada usia 33 tahun.[75] Saat Imam Ali as sibuk mengafani dan menguburkan Nabi saw, sekelompok orang di Saqifah memilih Abu Bakar sebagai khalifah. Setelah Abu Bakar menjadi khalifah, Imam Ali as pada awalnya tidak bersedia untuk berbaiat kepada Abu Bakar,[76] akan tetapi pada akhirnya beliau memberikan baiat kepadanya.[77]Kaum Syiah meyakini bahwa baiat tersebut dilakukan secara terpaksa[78] dan Syekh Mufid meyakini bahwa Imam Ali as sama sekali tidak berbaiat.[79][80]Menurut keyakinan Syiah, para pendukung khalifah untuk mengambil baiat menyerang rumah Ali as,[81] yang mengakibatkan cederanya Sayidah Fatimah sa dan gugurnya janin yang dikandungnya.[82]Pada masa ini pula Abu Bakar merampas tanah Fadak,[83]dan Imam Ali as bangkit menuntut hak Fatimah sa.[84]Setelah Fatimah sa mengalami penyerangan rumahnya, ia jatuh sakit dan dalam waktu singkat pada tahun ke-11 H mereguk cawan syahadah.[85]
Abu Bakar meninggal pada tahun ke-13 H/634.[86] Dan sesuai wasiatnya, Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah.[87] Pada bulan Muharram tahun 14 H/Februari-Maret 635, Umar keluar dari Madinah untuk berperang melawan Sassania dan berkemah di suatu tempat bernama Shirar. Umar menempatkan Imam Ali as di Madinah sebagai penggantinya supaya ia sendiri dapat memimpin pertempuran tersebut. Namun, setelah bermusyawarah dengan beberapa sahabat diantaranya Imam Ali as, ia mengundurkan diri dari niatnya dan mengirim Sa'ad bin Abi Waqqash ke medan tempur.[88] Ma'adikhah dengan bersandar pada penukilan Ibnu Atsir berkata, Ali as pada periode khalifah kedua, selain pada tahun-tahun pertama, bertugas dalam urusan peradilan.[89]
Pada tahun ke-16/637-8 (atau ke- 17/638-9) H[90]atas ide Imam Ali as dan penerimaan Umar, hijrah Nabi ke Madinah dijadikan sebagai permulaan kalender Islam.[91]
Pada tahun ke-17 H/638-9,[92] Umar untuk menaklukan Baitul Maqdis pergi ke Syam dan mengangkat Imam Ali as sebagai penggantinya di Madinah.[93] Pada tahun yang sama, setelah Umar memaksa dan mengancam, ia menikah dengan Ummu Kultsum putri Imam Ali as dan Fatimah sa.[94][95]
Pada tahun ke-18 H, sekali lagi Ali as menjadi pengganti Umar saat ia melakukan perjalanan ke Syam.[96]Setelah Umar diteror dan sebelum meninggal pada tahun 23 H/644,[97] dibentuklah dewan syura enam orang untuk menunjuk khalifah setelahnya,[98] dimana Imam Ali as menjadi salah satu anggotanya.[99]Umar menunjuk Abdurrahman bin 'Auf sebagai penentu dalam syura tersebut. Pertama-tama Abdurrahman meminta kepada Imam Ali as untuk menjabat sebagai khalifah dengan syarat berpegang taguh pada Alquran, sunah Nabi saw dan sirah Abu Bakar dan Umar, namun Imam Ali as menolak syarat berpegang pada sirah Abu Bakar dan Umar seraya berucap, "Saya berharap mampu beramal dengan kitab Allah dan sunan Rasulullah saw sesuai dengan kapasitas ilmu, kemampuan dan ijtihad yang saya miliki."[100] Abdurrahman setelah mengajukan dan merundingkan syarat-syarat tersebut kepada Utsman bin Affan dan dia menerimanya, ia pun menunjuk Ustman menjadi khalifah.[101]
Ma'adikhah dengan bersandar pada penukilan Ibnu Jauzi di dalam kitab al-Muntazham berkata bahwa Imam Ali as pada tahun 24 H/644-5 masih tetap bertugas dalam urusan peradilan.[102]
Pada tahun ke-25 H/645-6, [103] Ustman mengeluarkan perintah pengumpulan dan pembukuan Alquran[104]. Suyuti menukil sebuah riwayat dari Imam Ali as bahwa pembukuan dan pengumpulan Alquran dilakukan atas musyawarahnya. [105]
Pada tahun ke-26 H/647 lahirlah Abbas bin Ali as, anak laki-laki kelima Imam Ali as.[106]
Pada tahun ke-35 H/656, penduduk Madinah mengepung rumah Utsman karena tidak rela terhadap kinerjanya.[107] Ali as sebelumnya sudah keluar dari Madinah .[108] Ma'adikhah mengatakan, Ali as keluar ke Yanba' atas permintaan Utsman.[109] Menurut sumber-sumber Ahlusunah, Imam Ali as menugaskan Hasan as dan Husain as untuk menjaga khalifah,[110] namun para pemberontak pada akhirnya membunuh Utsman.[111] Setelah Utsman terbunuh, masyarakat berkumpul di sekitar Imam Ali as supaya beliau siap menjadi khalifah mereka.[112]
Periode Pemerintahan
Pada bulan Dzulhijjah tahun 35 H/Juni 656, paska terbunuhnya Ustman, Ali as menjadi khalifah pada usia 58 tahun.[113] Selain satu kelompok dari orang-orang terdekat Ustman dan sebagian sahabat Nabi yang disebut dengan Qā'idin (orang-orang yang duduk/ tidak ikut berperang),[114] semua sahabat di Madinah membaiat Imam Ali as. [115] Dua hari setelah Imam Ali as menjabat khalifah, pada pidato pertamanya beliau meminta supaya harat-harta yang digunakan secara tidak sah pada masa Ustman untuk dikembalikan lagi[116] dan beliau menegaskan supaya baitul mal dibagi secara adil. [117]
Pada tahun ke-36 H/656, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam memutus tali baiat mereka kepada Ali as dan di Mekah mereka bergabung dengan Aisyah yang menuntut darah Ustman yang tertumpah. [118] Kemudian mereka bergerak menuju Basrah. [119] Dengan demikian terjadilah perang Jamal (yang merupakan perang pertama Imam Ali as[120] dan perang saudara pertama diantara kaum muslimin[121]) antara Ali as dan kelompok Nakitsin di dekat Basrah.[122] Thalhah [123] dan Zubair[124] terbunuh dalam perang ini dan Aisyah dilarikan ke Madinah.[125] Pertama-tama Imam Ali as pergi ke Basrah dan mengeluarkan perintah pemaafan massal[126] dan pada bulan Rajab tahun ke-36 H/Januari 657 beliau memasuki kota Kufah serta menjadikannya sebagai pusat kekhilafahnnya.[127] Pada tahun yang sama, Imam Ali as meminta Muawiyah untuk berbaiat, dan setelah ia menolak, beliau memerintahkan supaya dia diturunkan dari kursi pemerintahan Syam.[128] Pada bulan Syawal tahun 36 H/Maret-April 657, Imam Ali as mengerahkan laskar ke Syam.[129] Dan terjadilah Perang Shiffin di suatu daerah bernama Shiffin pada akhir tahun 36 H dan permulaan tahun 37 H. [130] Berbeda dengan sejarah yang disebut oleh Thabari dan Ibnu Atsir yang mengatakan bahwa puncak kecamuk perang terjadi pada Shafar tahun 37 H/Juli-Agustus 657, Ma'adikhah berkeyakinan bahwa puncak memanasnya perang tersebut terjadi pada tahun 38/658-9 H. [131] Disaat pasukan Imam Ali as mau mencapai kemenangan,[132] bala tentara Muawiyah dengan tipu daya Amr bin Ash menancapkan Alquran di ujung tombak guna menjadi hakim diantara mereka. [133] Imam Ali as dengan terpaksa dan dalam tekanan para pemberontak dari pasukannya sendiri menerima hakamiyat dan mereka menjadikan Abu Musa Asy'ari sebagai perwakilan. [134]Namun dalam jeda waktu singkat dari penerimaan arbitrase tersebut muncul protesan-protesan baru diantara para pemberontak kepada Imam Ali as. [135] Sebagian mereka dengan bersandar pada dua ayat Alquran (surah Al-Maidah: 44 dan surah Al-Hujurat: 9) menghendaki supaya perang dengan Muawiyah dilanjutkan, dan mereka menganggap kafir penerimaan hakamiyat dan harus bertaubat darinya.[136] Anehnya, sebagian orang yang protes justru mereka yang beberapa waktu sebelumnya memaksakan hakamiyat kepada Imam Ali as. [137] Mereka meminta Imam as supaya bertaubat dari kekafiran ini dan melanggar syarat-syarat yang telah disepakati dengan Muawiyah.[138] Imam Ali as menolak untuk melanggar hakamiyat dan bila kedua belah pihak yang menerima hakamiyat tidak menghukumi sesuai Alquran, beliau akan menyatakan niatnya untuk melanjutkan perang dengan Syam.[139]
Ketika hakamiyat dilaksanakan, Abu Musa Asy'ari mengumumkan hasilnya dengan memecat kedua pemimpin, yaitu Muawiyah dan Ali as, dari kekhalifahan.[140] Kemudian Amr Ash menyerahkan khilafah kepada Muawiyah. [141] Setelah itu[142]sekelompok orang dari pendukung Imam Ali as menentang keputusan tersebut dan menganggap hal itu sebagai kemurtadan dan ragu dalam keimanan.[143] Diantara mereka yang menjadi benih utama pembentukan Khawarij menilai kafir penerimaan hakamiyat sehingga mereka berpisah dari pasukan Imam as dan pergi ke Harura sebagai ganti Kufah.[144]
Protes demi protes kelompok Khawarij terus berlanjut sampai 6 bulan setelah perang Shiffin dan oleh sebab ini Imam Ali as mengutus Abdullah bin Abbas dan Sha'shaah untuk dialog kepada mereka, namun mereka tidak menuruti keinginan dua orang ini supaya bergabung kembali dengan jemaah. Setelah itu Imam Ali as meminta mereka supaya menentukan 12 orang dan dia sendiri menunjuk jumlah ini dan mengadakan dialog dengan mereka.[145] Ali as juga menulis surat kepada para pembesar Khawarij dan menyeru mereka untuk kembali kepada masyarakat, namun Abdullah bin Wahab dengan mengingatkan peristiwa Shiffin menegaskan bahwa Ali as telah keluar dari agama dan harus bertaubat. Setelah ini pun, melalui perantara beberapa orang seperti Qais bin Sa'ad dan Abu Ayub Anshari, Imam Ali as berulang kali mengajak Khawarij supaya bergabung kembali denganya dan menjamin keamanan kepada mereka. [146] Namun setelah putus asa dari penyerahan diri Khawarij, beliau mengerahkan pasukan 14 ribu orang untuk melawan mereka. Imam Ali as menekankan kepada pasukannya supaya tidak memulai peperangan dan akhirnya pihak Nahrawan memulai peperangan terlebih dahulu.[147] Dengan dimulainya perang, dengan cepat semua Khawarij terbunuh atau terluka. Yang terluka berjumlah 400 orang dan dikembalikan kepada keluarga mereka. Sebaliknya, dari pasukan Imam Ali as kurang dari 10 orang terbunuh. Dari perkumpulan Khawarij di Nahwaran, kurang dari 10 orang melarikan diri. Salah satunya adalah Abdurrahman bin Muljam al-Muradi, pembunuh Imam Ali as. [148]Ibnu Muljam pada waktu sahur tanggal 19 Ramadhan tahun 40 H/26 Januari 661 menebas Imam Ali as dengan sabetan pedangnya di Masjid Kufah, dan dua hari berikutnya tepat pada tanggal 21 Ramadhan/28 Januari, Imam Ali as pada umur 63 tahun gugur sebagai syahid dan dikuburkan secara sembunyi.[149][catatan 1]
Istri-istri dan Anak-anak
Menikah dengan Fatimah Zahra sa
Istri pertama Imam Ali as adalah Sayidah Fatimah sa binti Muhammad saw. [151] Sebelum Ali as, sejumlah orang seperti: Abu Bakar, Umar bin Khatab, Abdur Rahman bin Auf telah datang meminang putri Nabi itu. Namun Nabi Muhammad saw dalam hal ini mengikuti perintah Tuhan dan menolak pinanangan mereka.[152]
Beberapa sumber sejarah menyatakan bahwa pernikahan Ali as dengan Fatimah sa terjadi pada awal Dzulhijjah tahun ke-2 H/25 Mei 624[153], sebagian lagi menyebut bulan Syawal dan kelompok yang lainnya mengatakan pada 21 Muharam. [154]
Buah pernikahan Imam Ali as dan Sayidah Zahra sa dikaruniai lima putra dan putri yang nama-namanya adalah Hasan, Husain, Zainab Al-Kubra dan Ummu Kultsum Kubra.[155] dan Muhsin yang gugur dalam kandungan.[156][157]
Istri-istri yang Lain
Selama Sayidah Fatimah sa masih hidup, Imam Ali as tidak pernah menikah dengan wanita lain. Akan tetapi setelah wafatnya Sayidah Fatimah sa, ia menikah dengan wanita-wanita lain, diantaranya adalah Umamah binti Abi al-Ash bin Rabi'. Ibu Umamah adalah Zainab, putri Nabi Muhammad saw.
Ummul Banin binti Hizam bin Daram Kilabiyah adalah wanita lain yang dinikahi oleh Imam Ali as. Buah pernikahan ini adalah Abbas, Utsman, Ja'far dan Abdullah yang semuanya gugur syahid di Karbala.
Setelah menikah dengan Ummul Banin, Imam Ali menikah dengan Laila binti Mas'ud bin Khalid Nahsyaliyah Tamimah Darmiyah. Kemudian menikah dengan Asma binti Umais Khats'ami di mana Yahya dan Aun adalah buah pernikahan itu. Salah satu istrinya yang lain adalah Ummu Habib binti Rabi'ah Taghlabiyah yang terkenal dengan Shahba'. Istri Imam Ali as yang lain adalah Haulah binti Ja'far bin Qais Hanafiyah, ibu dari Muhammad bin Hanafiyah. Imam Ali as juga menikah dengan Ummu Sa'id binti Urwah bin Mas'ud Tsaqafi dan juga Muhayyah binti Imri al-Qais bin 'Adi Kalbi. [158]
Anak-anak
Syekh Mufid dalam kitab al-Irsyad menyebutkan bahwa putra dan putri Imam Ali as berjumlah 27 orang, dan ditambah Muhsin menjadi 28 orang.[159]Anak-anak Imam Ali as sesuai ibu-ibu mereka adalah sebagai berikut:
| Fatimah sa | Khulah | Ummu Habib | Ummul Banin | Laila | Asma | Ummu Sa'id | Istri-istri lain |
|---|---|---|---|---|---|---|---|
| 1. Hasan | 6. Muhammad Hanafiyah | 7. Umar | 9. Abbas | 13. Muhammad Asghar | 15. Yahya | 16. Ummul Hasan | 18. Ummu Hani
19. Khadijah |
| 2. Husain | 8. Ruqayyah | 10. Jakfar | 14. Ubaidullah | 17. Ramlah | 20. Jumanah (Ummu Jakfar) 21. Zainab Sughra | ||
| 3. Zainab Kubra | 11. Usman | 22. Umamah 23. Ruqayyah Sughra | |||||
| 4. Zainab Sughra | 12. Abdullah | 24. Nafisah 25. Ummu Salamah | |||||
| 5. Muhsin | 26. Ummul Kiram 27. Maimunah |
Keikutsertaannya dalam berbagai Peperangan
Peran Imam Ali as sangat besar dalam beberapa ghazwah dan sariyyah pada masa-masa permulaan Islam. Imam Ali as turut serta dalam semua peperangan bersama Rasulullah saw kecuali dalam perang Tabuk. [161] Dalam sejumlah besar peperangan, Imam Ali as menjadi panglima utama pasukan Islam.[162] Ia pun pada peperangan-peperangan yang mayoritas muslimin lari darinya, tetap bersama Nabi saw di medan tempur dan terus bertempur.[163]
Perang Badar
| Templat:Fontcolor | |
|---|---|
| 599 | Lahir |
| 610 | Orang pertama yang masuk Islam |
| 619 | Wafat Abu Thalib (ayah) |
| 622 | Lailatul Mabit: tidur mengganti Nabi Muhammad saw |
| Templat:Fontcolor | |
| 622 | Hijrah ke Madinah |
| 624/2 | Ikut serta dalam Perang Badar |
| 625/3 | Ikut serta dalam Perang Uhud |
| 626/4 | Wafat Fatimah binti Asad (ibu) |
| 627/5 | Ikut serta dalam Perang Ahzab dan membunuh Amr bin Abdiwudd |
| 628/6 | Menyusun isi Perjanjian Hudaibiyah |
| 629/7 | Menaklukan benteng Khaibar dalam Perang Khaibar |
| 630/8 | Ikut serta dalam Pembukaan Kota Mekah dan mengahncuran berhala atas perintah Nabi saw |
| 630/9 | Wakil Nabi Muhammad saw di Madinah dalam Perang Tabuk |
| 632/10 | Ikut serta dalam Haji Wada' |
| 632/10 | Peristiwa Ghadir |
| 632/11 | Wafat Nabi Muhammad saw dan penguburan beliau oleh Imam Ali as |
| Templat:Fontcolor | |
| 632/11 | Peristiwa Saqifah dan permulaan khilafah Abu Bakar |
| 632/11 | Syahadah Sayidah Fatimah sa |
| 634/13 | Permulaan khilafah Umar bin Khattab |
| 644/23 | Perserta dalam Syura Enam Orang |
| 644/23 | Permulaan khilafah Utsman bin Affan |
| Templat:Fontcolor | |
| 655/35 | Permulaan khilafahnya |
| 656/36 | Perang Jamal |
| 657/37 | Perang Shiffin |
| 658/38 | Perang Nahrawan |
| 661/40 | Syahadah |
| 599 | Birth |
| 599 | Birth |
| 599 | Birth |
Perang Badar adalah perang pertama yang dipimpin Nabi saw antara kaum Muslimin dan kaum musyrik Quraisy. Perang ini meletus pada hari Jumat 17 Ramadhan pada 2 H di samping sungai-sungai Badar. [164]Dalam perang ini, sebagian dari pembesar Quraisy seperti Abu Jahal[165] dan Utbah bin Rabiah[166]terbunuh.
Dalam duel pada permulaan perang, Imam Ali as berhasil mengalahkan Walid bin Utbah bin Rabi'ah.[167]Naufal bin Khuwailid yang dilaknat oleh Nabi saw terbunuh di tangan Imam Ali as pada perang ini.[168]Demikian juga hampir 20 orang lagi dari kaum Musyrikin seperti Hanzhalah bin Abu Sufyan dan Ash bin Said terbunuh di tangan Imam Ali as.[169] Di kemudian hari Imam Ali as menulis surat kepada Muawiyah: 'Pedang yang denganya aku membunuh kakekmu (Utbah ayahnya Hindun pemakan jantung), pamanmu (Walid bin Utbah) serta saudaramu (Hanzhalah bin Abi Sufyan) masih berada ditanganku'.[170]
Perang Uhud
Setelah perang Uhud dimenangkan oleh kaum musyrikin, sejumlah besar dari kaum muslimin melarikan diri dari medan perang dan meninggalkan Nabi saw sendirian. Imam Ali as termasuk diantara orang-orang yang tidak lari dari medan dan setia membela Nabi saw.[171] Ali as sendiri mengisahkan peristiwa ini bahwa, Muhajir dan Anshar melarikan diri ke rumah-rumah mereka, tetapi saya dengan 70 luka di badanku tetap setia membela Rasulullah saw.[172]
Berdasarkan penukilan sumber-sumber Syiah[173] dan Ahlusunah[174], atas kesetiaan dan pengabdian Imam Ali as ini, Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad saw dan berkata, pengabdian ini adalah hal luar biasa yang telah ditunjukkan olehnya. Rasulullah saw pun membenarkan perkataan Malaikat Jibril dan berkata: "Aku berasal dari Ali dan Ali berasal dariku". Kemudian terdengar suara dari langit, "Tidak ada pedang selain Dzulfiqar dan tidak ada pemuda selain Ali."
Perang Khandaq
Dalam perang Khandaq, setelah Nabi Muhammad saw mengadakan musyawarah dengan para sahabatnya, Salman mengusulkan untuk menggali parit di sekitar Madinah sehingga akan ada jarak dengan pihak penyerang. [175] Beberapa hari lamanya kedua pasukan berhadap-hadapan di sekitar parit itu dan kadang-kadang terjadi saling lempar anak panah dan batu di antara kedua kubu. Akhirnya Amru bin Abdiwud, salah seorang tentara kafir dengan beberapa orang dari pasukan musuh dapat melewati parit yang lebih sempit dari tempat yang lain. setelah beberapa kali Amru bin Abdiwud menantang duel dan kaum Muslimin hanya diam saja, Ali as meminta izin kepada Nabi Muhammad saw untuk melawan Amru bin Abdiwud, Nabi pun menginzinkannya. Setelah terjadi duel sengit antar keduanya, Imam Ali as membuat Amr terjungkal ke tanah dan Amr pun tewas. [176] Setalah Imam Ali as mampu mengalahkan Amr bin Abdi Wadd, Rasulullah saw bersabda, "Pukulan Ali pada perang Khandaq lebih utama dari pada ibadah seluruh jin dan manusia." [177]
Perang Khaibar
Perang Khaibar terjadi pada Jumadil Awal tahun 7 H/628 dimana Nabi Muhammad untuk melawan konspirasi kaum Yahudi mengeluarkan perintah untuk menyerang benteng-benteng mereka. [178] Setelah Rasulullah saw mengutus beberapa orang di antaranya: Abu Bakar dan Umar untuk menaklukkan benteng Khaibar dan orang-orang itu tidak berhasil, beliau bersabda, "Besok aku akan memberikan bendera kepada seseorang yang mencintai Allah swt dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya. Keesokan harinya, Nabi memanggil Ali as dan beliau pun memberikan bendera itu kepadanya." [179] Menurut penukilan Syekh Mufid, Ali pergi ke medan perang dan menjebol salah satu pintu benteng, dan hingga selesai perang menggunakan pintu tersebut sebagai perisainya. [180]
Penaklukan Kota Mekah
Pada permulaan bulan Ramadhan tahun ke-8 H/629 dengan maksud untuk menaklukkan Mekah, Rasulullah saw keluar dari kota Madinah. Nabi Muhammad saw yang pada mulanya menyerahkan bendera kepada Sa'ad bin Ubadah namun karena ia berbicara tentang balas dendam akhirnya beliau memberikan bendera itu kepada Ali as. [181] Paska Fathu Mekah, Nabi Muhammad saw menghancurkan berhala-berhala di dalam Ka'bah, kemudian merintahkan Ali as untuk menaiki punggungnya dan menurunkan patung khuza'ah dari atas Ka'bah. [182]
Perang Hunain
Perang Hunain terjadi pada tahun 8 H/629. Pada perang ini, Imam Ali memegang panji kaum Muhajirin. [183]Pada perang ini, setelah terjadi penyerangan secara mendadak oleh kaum musyrikin, kaum muslimin melarikan diri dan hanya Ali dan beberapa orang yang tetap tinggal dan membela Nabi saw.[184]
Perang Tabuk
Hanya dalam perang Tabuk, Imam Ali as tidak ikut serta berperang bersama Rasulullah saw. Atas dasar perintah Nabi, ia tinggal di Madinah sehingga dalam ketidakhadiran Nabi Muhammad saw, ia dapat mengawasi tipu muslihat kaum Munafik. Setelah Ali tinggal di Madinah, kaum Munafik pun menyebarkan isu dan guna meredamkan fitnah itu, Imam Ali as segera mengangkat senjata dan dengan sigap menemui Nabi Muhammad saw di luar Madinah untuk memberitahukan hal ini. Pada kesempatan ini Rasulullah saw membacakan hadis Manzilah. Beliau bersabda, "Saudaraku Ali, kembalilah ke Madinah karena Madinah tidak layak dipimpin kecuali oleh aku dan engkau. Oleh karena itu, engkau adalah khalifahku dari Ahlulbait, kediaman dan kaumku. Wahai Ali! Apakah engkau tidak rela jika kedudukanmu di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku." [185]
Saraya
- Sariyah Ali bin Abi Thalib ke Fadak untuk melawan bani Sa'ad (pada Sya'ban tahun ke 6).[186]
- Sariyah Ali bin Abi Thalib untuk menghancurkan rumah berhala Falas di kabilah bani Thayy (pada Rabiul Akhir tahun ke 9).[187]
- Sariyah Ali bin Abi Thalib ke Yaman (pada Ramadan tahun ke 10).[188]
Penugasan ke Yaman
Imam Ali as pada tahun 10 H atas arahan Nabi saw dikirim ke Yaman.[189] Dinukil dari Ali as bahwa Nabi saw mengirimnya ke Yaman untuk menyeru masyarakat kepada Islam, mengajarkan hukum dan menerangkan halal dan haram, Nabi saw berpesan padanya untuk tidak megawali perang dan bahkan jika memungkinkan untuk menghindarinya.[190] pada perjalanan ini sebagian kabilah besar dan penting Yaman seperti kabilah Hamdan menerima Islam dan memeluknya ditangan imam Ali as.[191] Kabilah Yaman yang lain pun mengikuti kabilah Hamdan dan menjadi Muslim.[192] Dalam laporan lain diceritakan soal perkelahian Ali as dengan kabilah Mudzhaj. Menurut laporan tersebut Imam Ali as pergi ke negri mereka dan menyeru mereka kepada Islam, dan karena mereka menolak dan memilih perang, maka Imam Ali as pun berperang dengan mereka. Setelah beliau berhasil membuat mereka lari, sekali lagi beliau menyeru mereka kepada Islam. Beliau mengumpulkan harta rampasan perang dan di musim haji menyerahkannya kepada Nabi saw disertai dengan sedekah-sedekah yang diambil dari Najran.[193]Nabi saw menyerahkan urusan peradilan Yaman kepada Ali as dan mendoakan dia supaya diberi ketabahan dan kekuatan. Sumber-sumber sejarah telah menyebutkan beberapa contoh dari peradilan-peradilan tersebut.[194]
Pengganti Nabi pada Peristiwa Ghadir

Nabi Muhammad saw pada tahun ke-10 H/631 guna melaksanakan kewajiban dan pengajaran ritual haji pergi ke Mekah. Ritual ini pun akhirnya selesai sementara itu banyak kelompok yang berpamitan dengan beliau dan bertolak menuju Madinah.
Pada tanggal 18 Dzulhijjah, ketika rombongan sampai pada suatu daerah bernama Ghadir Khum di dekat Juhfah, wahyu turun kepada Nabi Muhammad saw untuk menyampaikan kabar kekhilafahan Imam Ali bin Abi Thalib as kepada masyarakat. Oleh karena itu, Nabi menyuruh supaya semua rombongan yang di depan berhenti sehingga rombongan yang masih di belakang pun sampai. Kemudian Nabi Muhammad saw menyampaikan perintah Tuhan (ayat tabligh).[195] Allah swt berfirman:
"Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah menjagamu dari bahaya manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." [196]
Setelah turunnya ayat ini dan setelah Nabi saw mendirikan salat berjamaah, beliau saw menyampaikan khutbah kepada orang-orang yang hadir di tempat itu, «أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أَنِّی أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِینَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ؟»; "Bukankah kalian tahu bahwa aku lebih utama atas kaum Mukminin dari pada diri mereka sendiri? Masyarakat pun menjawab, 'iya', kemudian Nabi mengangkat tangan Imam Ali as seraya bersabda, «مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ، فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ، اللَّهُمَّ وَالِ مَنْ وَالَاهُ، وَعَادِ مَنْ عَادَاهُ»; Barang siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah. Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya." [197] Berdasarkan sebagian sumber, Nabi saw dalam menjawab pertanyaan sebagian sahabatnya, apakah ini perintah Allah dan Rasul-Nya? bersabda: iya, ini perintah Allah dan rasul-Nya.[198] Setelah Nabi saw menyampaikan khutbah ini, sebagian sahabat seperti Umar bin Khattab mengucapkan selamat kepada Imam Ali as.[199]
Menurut pandangan para mufasir Syiah dan sebagian Ahlusunah, ayat Ikmal turun pada hari ini.[200]
Paska kepergian Nabi saw, Imam Ali as dalam beberapa kesempatan menyinggung masalah peristiwa Ghadir dan sabda Nabi tentangnya guna menekankan atas kebenaran dirinya.[201]Berdasarkan indekasi-indekasi dalam khutbah Ghadir dan juga pernyataan-pernyataan dan puisi-puisi kaum Muslimin setelahnya yang ditercatat dalam berbagai sumber, Muslim Syiah meyakini bahwa Nabi saw pada peristiwa Ghadir mengangkat dan melantik Imam Ali as sebagai penggatinya atas perintah Ilahi.[202]
Pemilihan Khalifah di Saqifah
Seteleh meninggalnya Nabi Muhammad saw, pada saat Ali as dan Bani Hasyim sibuk mengafani dan menguburkan jasad Nabi Muhammad saw, Anshar membuat perkumpulan di Saqifah Bani Sa'idah guna memilih pengganti Nabi saw dari kalangan mereka sendiri. Alasan mereka membentuk pertemuan ini adalah karena khawatir Quraisy akan membalas dendam atas kekalahan mereka dalam peperangan dan juga karena mereka tahu bahwa Quraisy tidak akan menjalankan wasiat Nabi saw mengenai Ali as sebagai penggatinya.[203] Ketika Abu Bakar dan Umar mengetahui perkumpulan ini, bersama Abu Ubaidah Jarrah, Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan pergi ke tempat perkumpulan. Setelah terjadi persengketaan sengit diantara mereka dan tanpa menghiraukan peristiwa Ghadir Khum akhirnya mereka memilih Abu Bakar sebagai khalifah. [204]
Sejarah Penentangan terhadap Imam Ali as
Periode kehidupan Imam Ali as berada dalan kondisi yang sangat genting, amat sensitif dan berperan besar dalam sejarah Islam, khususnya setelah beliau menjabat sebagai khalifah dimana banyak terjadi gesekan-gesekan di tengah kaum Muslimin. Abdurrahim Qanawat dalam Daneshnameh Imam Ali as (Ensiklopedia Imam Ali as) menyakini bahwa sejumlah besar dari perselisihan pada masa Nabi saw dan Ali as bersumber dari persaingan kekeluargaan dan kesukuan di Quraisy dan diantara anak-anak keturunan Abdu Manaf.[205] Dengan menunjuk perselisihan diantara anak-anak dan cucu-cucu Abdu Manaf untuk merebut jabatan-jabatan di Mekah, Abdurrahim Qanawat berbicara tentang lemahnya posisi bani Hasyim sepeninggal Abdul Muththalib dihadapan bani Umayyah[206] dan menegaskan bahwa dengan bermualnya tekanan-tekanan bani Umayyah kepada Imam Ali as sejak awal kekhilafahan, persaingan keluarga diantara keluarga Abdul Muththalib dan keluarga Harb (kakek Muawiyah) sampai pada puncaknya dan bani Umayyah relatif berhasil dimana keimanan Abu Thalib, ayah Imam Ali as, menjadi dipersoalkan.
Tekanan-tekanan ini berkelanjutan sampai 100 tahun berikutnya dan permulaan pemerintahan Abbasi. [207] Menurut pernyataan Qanawat, tekanan-tekanan ini dengan motivasi lain terus bergulir pada periode dinasti Abbasi, sebab tali keturunan kaum Abbasi bersambung kepada Abbas bin Abdul Muththalib, paman Nabi. Mengingat bahwa Islamnya dia tidak dari awal dan bahkan pada perang Badar pun menjadi tawanan Nabi saw, kaum Abbasi merasa hina di hadapan keutamaan-keutamaan dan kebanggaan-kebanggaan kaum Alawi. [208]
Peristiwa perang Badar dianggap sebagai kejadian penting karena akar sebagian perdebatan teologis dan politis tumbuh di masa Ali bin Abi Thalib.[209] Imam Ali as pada perang Badar memiliki peran terbesar dalam membunuh kaum musyrikin. Sebab, Waqidi menyebut orang yang terbunuh di tangan Ali as berjumlah 22 orang, Ibnu Abi al-Hadid menyebut 35 orang (separuh dari yang tewas) dan Syekh Mufid menyebut 36 orang. [210] Hasan Tharimi dalam Daneshnameh Jahan Islam (Ensiklopedia Dunia Islam) meyakini bahwa 13 orang dari yang tewas di tangan Ali as termasuk pembesar Quraisy seperti Abu Jahal. Kekalahan dan tewasnya sosok-sosok terkenal bagi orang-orang musyrik Quraisy merupakan kekalahan telak yang mengancam reputasi dan nama baik mereka.[211] Berdasarkan bukti-bukti sejarah, orang-orang Quraisy semenjak peristiwa Badar merasa sakit hati kepada Imam Ali as, bahkan setelah mereka masuk Islam pun memprovokasi Quraisy dengan lantunan syair untuk melawan Imam Ali as dan melanggar baiat.[212] Dan, mereka tidak memusuhi seorang sahabat Nabi sebagaimana mereka memusuhi Ali as.[213] Kecemburuan sebagain orang yang seperjuangan dengan Imam Ali as kepada beliau setelah perang Badar dan juga sejalannya kecemburuan ini dengan kedengkian para musuh, berefek besar dalam penentuan pengganti Nabi saw dan nasib kaum Muslimin di kemudian hari.[214]
Sayid Hasan Fatimi di dalam Daneshnameh Imam Ali as (Ensiklopedia Imam Ali as) meyakini bahwa kecintaan Nabi Muhammad saw kepada Imam Ali as adalah salah satu sebab kedengkian dan kecemburuan Quraisy kepadanya.[215]Menurutnya, peristiwa Saqifah, berikutnya pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi saw terproses sebelum beliau wafat dan ada kelompok tertentu telah berencana menyingkirkan Ali as. [216] Menurut keyakinan dia, terbunuhnya orang-orang Munafik dan para penghasut oleh pedang Imam Ali as dari satu sisi, dan pukulan Anshar terhadap muhajirin dari sisi lain, memaksa Anshar untuk lebih cepat memilih pengganti Nabi saw diantara mereka sendiri. Dan, Abu Bakar dan orang-orang Quraisy Madinah yang lain memanfaatkan kesempatan tersebut, [217] sementara Amirul Mukminin as sedang sibuk mengurus pengafanan dan penguburan Nabi saw.[218]
Posisi Imam Ali as
Pada peristiwa Saqifah, Ali as tidak berbaiat kepada Abu Bakar. Terkait masalah baiat itu sendiri dan waktu pembaiatan terjadi silang pendapat diantara para sejarawan.[219] Menurut catatan sebagian sumber, Ali as berdialog secara halus tapi tegas dengan Abu Bakar dan beliau menyalahkan Abu Bakar karena pelanggarannya di Saqifah tidak memperhatikan hak Ahlulbait Nabi. Dengan argumentasi-argumentasi yang dibawakan oleh Amirul Mukminin as, Abu Bakar berubah sampai pada batas berbaiat, tapi akhirnya atas musyawarah sebagian sahabatnya ia tidak jadi berbaiat.[220] Ali as dalam berbagai moment dan perkataan memprotes masalah Saqifah dan mengingatkan akan haknya sebagai pengganti Nabi saw. Khutbah Syiqsyiqiyah termasuk khutbah paling terkenal yang di dalamnya Imam as menyinggung masalah tersebut.[221] Menurut catatan beberapa sumber yang lain, Ali as setelah kejadian Saqifah dan di waktu Fatimah Zahra sa masih hidup, malam hari membawa Fatimah sa, putri Rasulullah, di atas tunggangan ke rumah-rumah dan tempat-tempat Anshar guna meminta pertolongan, namun mereka menjawab: "Wahai putri Nabi, kami telah berbaiat kepada Abu Bakar, andaikan Ali as lebih dahulu maju kami pun tidak akan berpindah darinya". Ali as menjawab: Apakah aku akan berselisih mengenai khilafah sementara Nabi tidak ada yang menguburkannya? [222]
Pembelaan Imam Ali as akan haknya sebagai penggati Nabi saw tidak terhenti disini. Salah satu kejadian yang paling penting dimana ia menegaskan haknya dalam hal penggati Nabi adalah kejadian yang terkenal dengan "Munasyadah" (saling sumpah menyumpah). Pada peristiwa Munasyadah, Imam Ali as menyumpah sahabat supaya memberikan kesaksian mengenai apa yang mereka dengar dari Nabi tentang Imam Ali as. Sebagaimana yang dinukil Allamah Amini, banyak sumber dari Syiah dan Ahlusunah yang menjelaskan kejadian Munasyadah terjadi pada Rajab tahun 35 H, yakni pada permulaan kekhilafahan Imam Ali as. Di sini Imam Ali as menginginkan dari sahabat untuk memberikan kesaksian mengenai apa yang mereka dengar di Ghadir terkait pengganti Nabi saw.[223] Sumber-sumber Syiah juga menyinggung terjadinya Munasyadah lain saat dibentuk Syura Enam Orang untuk menunjuk Umar sebagai khalifah. Di dalam riwayat-riwayat Munasyadah, Imam Ali as menjelaskan data-data terperinci mengenai beberapa kejadian dimana Nabi saw menjelaskan dengan tegas hak Ali as dalam hal khilafah. Di sini Ali as pun menyumpah anggota syura, apakah mereka pernah mendengarnya atau tidak? Mereka pun mengiyakan.[224]
Masa Pemerintahan Ketiga Khalifah
Selama masa pemerintahan tiga khalifah yang berlangsung selama 25 tahun, Imam Ali as kurang-lebih menjauh dari urusan politik dan pemerintahan dan hanya sibuk melakukan aktivitas-aktivitas keilmuan dan kemasyarakatan, seperti mengumpulkan Alquran yang terkenal dengan Mushaf Imam Ali as, memberikan masukan-masukan kepada para khalifah dalam permasalahan pemerintahan, penaklukan, pengaturan pemerintahan, infak kepada fakir miskin dan anak yatim, membebaskan budak kira-kira sebanyak 1000 budak dengan cara membelinya, pertanian, penanaman pohon, menggali saluran-saluran, membangun masjid-masjid, seperti masjid Fath di Madinah, sebuah masjid yang terletak di dekat pusara Hamzah, sebuah masjid di Miqat, dan mewakafkan tempat-tempat dan properti-properti yang mempunyai pendapatan pertahun 40.000 dinar. [225]
Pada pembahasan selanjutnya akan dijelaskan tentang beberapa permasalahan penting yang terjadi pada masa periode ini.
Abu Bakar
Dengan bermulanya kekhalifahan Abu Bakar, terjadi peristiwa yang menyakitkan bagi Ahlulbait seperti penyerangan terhadap rumah Ali as, pemberian baiat kepada Abu Bakar,[226] penggunaan dan pengambilan secara paksa Tanah Fadak [227] dan kesyahidan Sayidah Fatimah sa.
Baiat yang Dipaksakan
Ketidaksediaan Imam Ali as untuk membaiat kepada Abu Bakar dan langkah-langkah yang ditempuh beberapa sahabat yang menentang kekhalifahan Abu Bakar merupakan ancaman serius bagi Abu Bakar dan Umar. Oleh karena itu, Abu Bakar dan Umar memutuskan untuk mengakhiri ancaman ini dengan cara memaksa Imam Ali as untuk membaiat kepadanya. [228]
Setelah beberapa kali Abu Bakar mengirim Qunfudz ke rumah Ali as untuk mengambil baiat dari Imam Ali as, namun Imam Ali menolak, Umar berkata kepada Abu Bakar, bangunlah dan pergilah engkau sendiri ke sana. Dengan demikian, Abu Bakar, Umar, Usman, Khalid bin Walid, Mughirah bin Syu'bah, Abu Ubaidah al-Jarrah dan Qunfudz pergi ke rumah Ali as.
Ketika rombongan itu tiba di pintu rumah Ali as, setelah menghina Sayidah Fatimah sa, mereka mendorong pintu rumahnya, padahal Sayidah Fathimah sa berada diantara pintu dan dinding, mereka juga mencambuknya. [229] Kemudian mereka menyerang Imam Ali as dan melilit pakaiannya di lehernya lalu menyeret Imam Ali as keluar rumah dan membawanya ke Saqifah. Ketika Imam Ali as dibawa ke masjid, ia minta supaya membaiat Abu Bakar. Imam menjawab, "Aku lebih berhak akan kekhalifahan ini dari pada kalian dan aku tidak akan berbaiat kepadamu. Kamu lebih layak untuk berbaiat kepadaku karena kamu hanya dengan berdalih sebagai keluarga Nabi, telah mengambil khilafah dari kaum Anshar dan sekarang kamu mengambilnya dariku." [230]
Terkait zaman pengambilan baiat ini dari Imam Ali as terjadi silang pendapat diantara para sejarawan. Sebagian mereka mengatakan hal ini terjadi setelah kewafatan Sayidah Fatimah sa, dan sebagian lagi mengatakan empat puluh hari setelahnya dan kelompok ketiga mengatakan enam bulan setelah wafatnya Sayidah Fatimah sa.[231] Namun Syekh Mufid meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib sama sekali tidak memberikan baiatnya kepada Abu Bakar.[232]
Kinerja Imam Ali as pada Masa Kekhilafahan Abu Bakar
Pada masa khilafah Abu Bakar selama kurang lebih dua tahun lamanya, Ali as dengan berbagai risiko yang dihadapinya tetap memberikan bimbingan-bimbingan kepada pemerintahan selama mau dibimbing. Menurut keyakinan ulama Ahlusunah, Abu Bakar dalam masalah penting bermusyawarah dengan Ali as[233] dan menjalankan nasehatnya. Bahkan supaya ia bisa memanfaatkan nasehat Imam Ali as melarang Imam keluar bersama kaum muslimin dari
