Fadak

Prioritas: b, Kualitas: b
Dari wikishia
Kebun Fadak

Fadak (bahasa Arab: فدك) adalah sebuah desa di daerah Hijaz, Arab Saudi, dengan kebun dan pohon kurma yang luas yang pada perang Khaibar jatuh ke tangan kaum Muslimin.

Ketenaran Fadak disebabkan persengketaan yang terjadi antara Abu Bakar dan Sayidah Fatimah sa pasca wafatnya Nabi saw tentang kepemilikan daerah ini.

Abu Bakar tatkala sampai kepada kursi kekhilafahan, ia menyita Fadak (yang Nabi sebelum wafatnya sudah memberikannya kepada Sayidah Fatimah) untuk kepentingan kekhilafahan.

Daerah ini setelah masa kekuasan tiga khalifah pertama dan Imam Ali as, pada era Umawi dan Abbasi juga berada dalam kekuasaan para penguasa. Sebagian dari penguasa ini termasuk Umar bin Abdul Aziz dan Ma'mun mengembalikan tanah Fadak ini kepada anak-anak keturunan Sayidah Fatimah sa, namun khalifah berikutnya mengambilnya kembali dari mereka.

Menurut sebuah laporan tahun 1420 H, daerah ini sekarang dikenal dengan nama "Wadi Fatimah" dan kebun-kebun dan masjid yang ada di sana terkenal dengan kebun dan masjid Fatimah.

Lokasi Fadak

Fadak adalah satu daerah yang berada di wilayah Hijaz dan jaraknya kira-kira 160 km dari Madinah.[1] Pada masa sekarang ini, Fadak adalah sebuah kota yang berkembang dengan nama "Al-Haith"[2] yang pada tahun 1975 meliputi 21 kampung dan berdasarkan sensus pada tahun 2010 berpenduduk sekitar 14 ribu orang. [3]

Pada zaman permulaan Islam, orang Yahudi tinggal di daerah ini.[4] Karena posisi Fadak yang strategis, maka tempat ini menjadi tumpuan militer orang Yahudi di Hijaz. [5]

Berdasarkan beberapa literatur yang ada, hingga periode khalifah kedua orang-orang Yahudi masih tinggal di Fadak, namun ia memaksa mereka untuk meninggalkan Fadak. [6]

Tipologi Iklim dan Perekonomian

Fadak pada masa kemunculan Islam, adalah lahan pertanian dan perkebunan kurma dan hal ini karena kesuburan tanah dan kekayaan sumber daya air, oleh karena itu, pendapatan pertanian di Fadak sangat melimpah. [7] Dikatakan bahwa nilai pohon kurma Fadak sebanding dengan pohon kurma yang ada di Kufah, yang merupakan kota kaya dengan hasil kurma yang melimpah. [8]

Dikatakan pula bahwa ketika Umar memutuskan untuk mengusir orang-orang Yahudi dari Fadak, ia membayar kepada mereka sebanyak 50 ribu dirham seharga setengah dari harga Fadak. [9]

Tidak dapat diragukan lagi bahwa pendapatan Fadak sangatlah banyak, namun tidak diketahui secara pasti berapakah hasil tahunan kebun Fadak ini. Sebagian sumber-sumber informasi menyebutkan bahwa pendapatan tahunan dari Fadak pada zaman Nabi saw menembus hingga kisaran antara 24 ribu hingga 70 ribu dinar. [10]

Sebagian peneliti berkeyakinan bahwa hasil Fadak memiliki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan bani Hasyim, sehingga mereka tidak lagi membutuhkan bantuan dari baitul mal khalifah. [11]

Fadak pada Zaman Nabi Muhammad saw

Setelah adanya kejahatan yang dilancarkan kaum Yahudi di peperangan Khandaq dan kalahnya musuh di peperangan ini, Nabi Muhammad saw demi menghadapi orang-orang Yahudi yang ada di daerah ini, menyerang daerah ini dan dengan peperangan itu, berhasil menaklukkan Khaibar.

Ketika Khaibar berhasil ditaklukkan dan kaum Yahudi menyerah kepada kaum Muslimin, kabar tentang jatuhnya Khaibar (yang memiliki kekuatan sangat signifikan) sampai kepada orang Yahudi yang tinggal di benteng-benteng dan perkebunan Fadak. Dengan peristiwa ini, mereka ketakutan dan sebelum pasukan Islam sampai ke daerah Fadak, mereka mengirim seorang utusan untuk mengabarkan tentang penyerahan mereka dan keridhaannya kepada Nabi Muhammad saw.

Perdamaian orang Yahudi dengan Nabi saw adalah dengan cara: sebagian dari hasil perkebunan dan tanah Fadak diberikan kepada Nabi saw, di sisi lain, keamanan mereka dijamin dan kepemilikan mereka di wilayah itu terjaga. [12]

Pemberian Fadak kepada Sayidah Zahra as

Dari sisi bahwa pasukan kaum Muslimin tidak ikut dalam menaklukkan tanah Fadak, maka menurut hukum Alquran, Fadak adalah khalisah (terkhusus untuk) Nabi Muhammad saw. Hukum Alquran secara gamblang menjelaskan bahwa ghanaim (harta rampasan perang) yang sampai kepada kaum Muslimin tanpa perang, maka pemiliknya adalah Nabi saw.

﴾وَمَا أَفَاء اللَّهُ عَلَی رَسُولِهِ مِنْهُمْ فَمَا أَوْجَفْتُمْ عَلَیهِ مِنْ خَیلٍ وَلَا رِکابٍ وَلَکنَّ اللَّهَ یسَلِّطُ رُسُلَهُ عَلَی مَن یشَاء وَاللَّهُ عَلَی کلِّ شَیءٍ قَدِیرٌ﴿
"Setiap harta rampasan (fai') yang diberikan Allah kepada rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda dan (tidak pula) seekor unta pun. Tetapi Allah-lah yang memberikan kekuasaan kepada para rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."[13](QS. Al-Hasyr [59]:6)

Rasulullah saw menggunakan pendapatan tanah dan kebun Fadak untuk membiayai kehidupan beliau sendiri dan untuk mencukupi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan dari keluarga bani Hasyim serta orang-orang lainnya yang membutuhkan bantuan. [14]

Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada, pada masa kemudian Nabi memberikan Fadak kepada putrinya, Sayidah Fatimah Zahra sa. [15] Sebagian para mufassir seperti Syekh Thusi, [16] Thabarsi, [17] Haskani, [18] Suyuthi, [19] terkait dengan ayat ﴾وَآتِ ذَا الْقُرْ‌بَیٰ حَقَّهُ﴿(dan berikanlah kepada kerabat yang terdekat haknya, (QS. Al-Isra [17]-26) menyatakan bahwa karena ayat ini turun, maka Nabi Muhammad saw memberikan tanah dan kebun Fadak kepada Fatimah sa. Tentu saja berdasarkan riwayat yang berasal dari Imam Shadiq as dalam Kafi, fadak merupakan salah satu anfal, bukan fai' dan tidak ada seseorang selain Nabi Muhammad saw dan Imam Ali as yang ikut serta dalam menaklukkan Fadak. Oleh sebab itu, Fadak diberikan kepada Sayidah Fatimah Zahra sa.[20]

Fadak setelah Zaman Nabi Muhammad saw

Pemerintah Menyita Fadak

Tak lama setelah peristiwa Saqifah Bani Sa'idah terjadi dan Abu Bakar memegang tampuk kursi kekhalifahan, ia mengumumkan bahwa Fadak bukan merupakan kepemilikan pribadi dan Fadak disita untuk digunakan keperluan kekhalifahan. Fatimah sa terpaksa menemui Abu Bakar dan terjadilah percakapan di antara mereka yang tercatat di buku-buku sejarah maupun riwayat-riwayat dengan perbedaan sedikit dalam penukilkannya.

Menurut suatu nukilan, Fatimah menginginkan Fadak dikembalikan kepadanya. Abu Bakar berkata ia mendengar dari Nabi bahwa harta Nabi saw akan diberikan kepada kaum Muslimin setelah sepeninggalnya beliau dan ia akan menerima warisan darinya. [21] Fatimah sa menjawab: "Ayahku memberikan harta itu kepadaku." Kemudian Abu Bakar menginginkan supaya Sayidah Fatimah sa menyertakan bukti bahwa Nabi Muhammad saw memberikan tanah Fadak kepadanya.

Menurut nukilan dari sebagian sumber sejarah, Sayidah Fatimah membawa suaminya, Imam Ali as dan Ummu Aiman sebagai saksi. Abu Bakar pun menerimanya dan membawa kertas sehingga tidak akan ada lagi orang yang akan memprotes keberadaan tanah Fadak, akan tetapi ketika Fatimah sa keluar, Umar bin Khattab melihatnya dan merobek surat itu. [22]

Berdasarkan sebagian sumber-sumber yang lain, Abu Bakar dalam dialog ini menukil sebuah riwayat dari Nabi saw dimana berdasarkan riwayat itu, tidak ada sedikit pun warisan yang beliau wariskan, namun Fatimah sa berkata bahwa Fadak telah diberikan Nabi saw kepadanya. Menurut sumber ini, Abu Bakar menginginkan bahwa Sayidah Fatimah membawakan saksi khusus. Sayidah Fatimah pun membawa suaminya, Imam Ali dan Ummu Aiman, namun Abu Bakar tidak mengakui kesaksian Ummu Aiman sehingga Fadak tidak dikembalikan kepada Sayidah Fatimah sa. Oleh sebab itu, Sayidah Fatimah meninggalkan dialog itu dan kemudian pergi ke tempat sahabat-sahabat yang sedang berkumpul dan mengenalkan dirinya dan mempertahankan kepemilikannya tentang tanah Fadak seraya menyampaikan pidato yang terkenal dengan nama khutbah Fadakiyah. [23] Namun Abu Bakar tetap tidak mengembalikan tanah Fadak kepadanya.

Mengenai jumlah saksi terdapat perbedaan yang cukup tajam dalam rujukan-rujukan sejarah. Berdasarkan sebuah nukilan, Sayidah Fatimah juga membawa dua orang putranya sebagai saksi. [24] Fakhrurazi berpendapat bahwa salah satu budak Nabi juga memberi kesaksian atas peristiwa ini. [25]

Baladzuri menulis bahwa nama budak itu adalah Ribah. [26] Dalam literatur Syiah terdapat nama Asma binti Umais yang tercatat juga sebagai saksi. [27] Juga dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw menulis bahwa surat kepemilikan tanah Fadak adalah Sayidah Fatimah Zahra sa. [28]

Berdasarkan sumber-sumber sejarah, ketika Nabi saw wafat tanah Fadak berada di tangan Sayidah Fatimah dan beliau memiliki wakil, pedagang perantara dan pekerja. [29]Sebagian peneliti sejarah berkeyakinan bahwa hal ini telah menjadi saksi bahwa Nabi saw memberikan tanah Fadak kepada putrinya. [30] Pada masa pemerintahan Umar, kepemilikan Fadak juga tidak dikembalikan kepada keluarga Nabi saw. [31]

Usman menyerahkan kepengurusan Fadak kepada Marwan bin Hakam dan setelah itu pada zaman kekhilafahan Imam Ali as hingga berakhirnya pemerintahan Umawi berada dalam kendali mereka. [32]

Berdasarkan sumber Ahlusunah, pendapatan Fadak pada masa ketiga khalifah hingga periode Utsman digunakan untuk keperluan bani Hasyim dan Ibnu Sabil, meskipun kepemilikan bani Hasyim diambil. Sumber ini menegaskan bahwa beginilah tradisi Rasulullah saw tentang Fadak dan tradisi ini diubah pada masa dinasti bani Umayyah berkuasa yaitu bani Hasyim tidak memperoleh bagian dari pendapatan Fadak.[33]

Analisa Kasus Fadak

Sayid Muhammad Baqir Shadr dalam kitab Fadak fi al-Tārikh terkait dengan pembahasan Fadak menuliskan bahwa Fadak sebenarnya adalah sebuah masalah politik. [34]

Dipersoalkannya masalah Fadak oleh Sayidah Fatimah Zahra sa memiliki dua manifestasi: Islam dan Kafir, iman dan Munafik dan perbedaan nash dan musyawarah. Masih dalam buku itu, [35]ia menjelaskan bahwa Fadak adalah simbol perlawanan dengan tujuan besar dan agung. Fadak memiliki makna perlawanan semua sisi terhadap penguasa pada waktu itu dimana asal mulanya adalah peristiwa Saqifah yang dimotori oleh 3 orang: Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah Jarah. [36]

Apabila Sayidah Fatimah Zahra hanya mencari sepetak tanah sebagai warisan, pasti akan sangat banyak pecinta dan Syiah Ali yang siap memberi kesaksian dan menyelesaikan permasalahan Fadak, namun Sayidah Fatimah sa memiliki tujuan yang lain. Dalam buku yang ditulisnya, penulis menandaskan bahwa Sayidah Fatima sa menempuh 6 langkah dalam berjuang melawan pemerintahan yang berkuasa. [37]

  1. Mengutus perwakilan untuk menemui Abu Bakar untuk mengambil warisan (baik Fadak maupun lainnya) dan menjelaskan bahwa Fadak adalah warisannya bukan pemberian.
  2. Melakukan protes secara langsung kepada Abu Bakar.
  3. Menyampaikan khutbah di Masjid Nabawi pada hari ke-10 setelah wafatnya Nabi saw.
  4. Menyampaikan khutbah secara tegas untuk perempuan-perempuan Muhajirin dan Anshar ketika beliau sedang sakit.
  5. Melakukan negosiasi singkat dan kemarahan kepada Abu Bakar dan Umar, ketika mereka bermaksud mendatangi Sayidah Zahra untuk meminta maaf, beliau menyatakan bahwa kemarahannya karena sikap keduanya.
  6. Wasiat terkenal beliau mengenai ketidakridhaannya orang-orang yang melawan beliau untuk hadir dalam acara penguburan jenazahnya.

Sayid Muhammad Baqir Shadr juga menulis terkait dengan sebab Sayidah Fatimah yang memulai pergerakan itu, bukan Imam Ali as juga menulis dalam bukunya. [38]

Permulaan pergerakan yang dimotori Sayidah Fatimah sa memiliki dua unsur penting dan positif: Salah satu unsurnya adalah unsur emosional karena beliau adalah putri Nabi, sehingga akan memancing emosi masyarakat dan akan memunculkan lagi kenangan-kenangan pada masa kehidupan Nabi dan satunya lagi unsur politik karena apabila Imam Ali as yang memulai perlawanan itu, kemungkinan besar akan terjadi perang di antara mereka dan akan menyulut kemarahan kaum Muslimin sehingga akan meletus peperangan dengan penguasa.

Nampaknya, hal inilah yang menjadi sebab bagi Imam Ali as tidak meminta tanah Fadak pada masa kekhilafahannya, karena Fadak menjadi simbol perlawanan dan pemberian kekuatan kepada pemiliknya dan setelah kekuasaan kembali kepada pemiliknya, maka tidak lagi membutuhkan perlawanan untuk mendapatkan haknya.

Sayid Ja'far Syahidi dalam menganalisa khutbah Fadakiyah Sayidah Fatimah Zahra menulis: "Jelaslah bahwa mereka mengabaikan perkataan Sayidah Fatimah sa sehingga mereka mengalihkannya kedalam pembahasan warisan. Sayidah Fatimah sebenarnya tidak menginginkan pohon-pohon kurma dan gandum-gandum itu. Keluarga yang membiarkan kerongkongan mereka sendiri selalu kehausan dan mengenyangkan perut mereka dengan kemiskinan bahkan mereka tidak meneteskan air mata untuk perut anak-anak mereka, tidak hanya berkeinginan mangambil alih tanah dengan beberapa batang pohon kurma. Sejatinya, yang tetap ingin dijaganya adalah sunah dan tegaknya keadilan. Beliau khawatir jika kebodohan yang ditutupi jubah Islam terlelap dan membanggakan suku bangkit kembali. Hari ini bani Taim berada di depan, kemudian giliran bani 'Adi setelah itu keluarga bani Umayyah dan Abu Sufyan di mana mereka selama memiliki kekuatan memerangi Islam dan karena tidak ada lagi cara lain yang bisa mereka tempuh, maka mereka melawan Islam dengan menggunakan lidah kaum Muslimin." [39]


Penulis A'lam al-Nisa menukil dari Ali bin Mahna Alawi: "Tujuan Abu Bakar dan Umar mengambil Fadak dari Fatimah sa adalah supaya Ali as tidak akan memperoleh kekuatan dari pendapatan Fadak sehingga akan terjadi konflik dalam kekhalifahannya." [40]

Fadak pada masa Kekhalifahan Imam Ali as

Ketika Imam Ali as pada tahun ke- 35 H menerima kekhalifahan secara lahir yang dipaksakan oleh masyarakat, Imam Ali as tidak mengambil tindakan untuk mengambil kembali tanah Fadak.

Dalam riwayat disebutkan tentang sebab Imam Ali as tidak menuntut tanah Fadak adalah meninggalnya dua pihak yang saling memperebutkan tanah Fadak, yaitu Sayidah Fatimah sa dan Abu Bakar. [41]

Menurut riwayat yang lain disebutkan bahwa penggunaan Fadak oleh pihak-pihak selain Ahlulbait as adalah sebuah tindakan ghasab (perampasan) dan penghakimannya diserahkan kepada Allah swt. [42]

Fadak pada masa Dinasti Umawi

Menurut sumber sejarah, Fadak pada masa periode Umawi berada di tangan penguasa Umawi. Ketika pemerintahan sampai kepada Umar bin Abdul Aziz, ia mengembalikan pendapatan tanah Fadak kepada keluarga Nabi Muhammad saw. [43]

Namun kepemilikannya tidak dikembalikan kepada mereka. Nampaknya, pengembalian pendapatan Fadak atas perintah Umar bin Abdul Aziz kepada keluarga dan cucu Nabi saw membuat tidak senang pihak bani Umayah. Oleh karena itu, Umar Abdul Aziz menjelaskan bahwa pada zaman Nabi saw; "Fadak adalah milik pribadi Nabi. Putrinya menginginkan Fadak menjadi miliknya, namun Nabi tidak menerimanya. Nabi menggunakan pendapatan Fadak untuk memenuhi keperluan keluarganya dan bani Hasyim, sebagiannya juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi Nabi. Kemudian Abu Bakar dan Umar juga demikian dan menggunakan pendapatan Fadak untuk keperluan bani Hasyim. Namun setelah mereka, kebiasaan itu berubah dan penggunaan pendapatan Fadak hanya digunakan untuk keperluan-keperluan yang tidak dimaksudkan oleh Nabi dan aku dengan mengembalikan pendapatan Fadak kepada pemiliknya, pada dasarnya mengembalikan harta itu kepada pemiliknya." [44]

Fadak pada Masa Pemerintahan Abbasi

Fadak pada masa kekuasaan Abbasi (Rabiul Awwal 132 H-Dzulhijah 232 H/Oktober 749 M-Juli 847 M) tidak berada di tangan Ahlulbait sampai pada tahun 210 H pada masa pemerintahan Ma'mun Abbasi ketika ia mengeluarkan keputusan resmi dan menyatakan bahwa kepemilikan tanah Fadak dikembalikan kepada anak keturunan Sayidah Fatimah sa. [45]

Dalam perintahnya yang ia tujukan kepada Qatsam bin Ja'far, Gubernur Madinah dikatakan bahwa Ma'mun berdasarkan urusan agama dan pemerintahan dan kekerabatan dengan Rasulullah saw, menyerukan bahwa lebih baik mengikuti sunah Rasul dan melaksanakan perintahnya dari pada mengikuti dan menjalankan sunah dan perintah orang lain. Oleh karena itu Fadak dikembalikan kepada keluarga Nabi saw dan ahli waris Sayidah Fatimah sa. [46]

Setelah Ma'mun, Mutawakil memerintahkan Fadak dikembalikan kepada kondisi sebelum perintah Ma'mun. [47] Dan setelah itu Fadak tidak pernah lagi berada di tangan keluarga Rasulullah saw.

Sayid Ja'far Syahidi, seorang peneliti dan penulis buku Tarikh Islam berkeyakinan bahwa dari perintah Ma'mun untuk mengembalikan Fadak dapat disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada masa-masa hari pertama setelah wafatnya Nabi hanyalah masalah kebijakan politik dan kebijakan ini telah mengubah sunah yang ada. Apabila tujuan Ma'mun hanyalah ingin menyenangkan keluarga Ali as dan menarik simpati kaum Syiah saja, maka ia harus mengambil tindakan seperti yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz yaitu ia hanya memberikan pendapatan Fadak kepada keturunan Fatimah as sehingga tidak perlu terlibat dalam kesalahan para pendahulunya. [48]


Menurutnya, penuntutan kembali masalah Fadak oleh Sayidah Fatimah sa dan setelah meninggalnya beliau untuk mencegah ijtihad di hadapan nash sehingga pada masa depan masyarakat Islam tidak akan melakukan perubahan yang tidak sesuai dengan sunah Nabi saw. [49]

Galeri

Catatan Kaki

  1. Yaqut Hamawi, Mu'jam al-Buldān, jld. 4, hlm. 238
  2. Ja'fariyan, Atsari Islami Makkah wa Madinah, hlm. 396
  3. Site Muhafadzah al-Haith al-Rasmi
  4. Biladi, Mu'jam Ma'ālim al-Hijāz (Al-Haith), jld. 2, hlm. 205-206, Fadak , jld. 7, hlm. 23.
  5. Subhani, 1346, hlm. 14.
  6. Marjani,Bahjah al-Nufus wa al-Asrar fi Tarikh, jld. 1, hlm. 438.
  7. Silahkan lihat: Mu'jam al-Buldān, jld. 4, hlm. 238; Lisān al-Arab, Ibnu Mandzur, jld. 10, hlm. 437.
  8. Silahkan lihat: Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 16, hlm. 236.
  9. Abu Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Jauhari,Al-Saqifah wa Fadak, hlm. 98.
  10. Qutb Rawandi,al-Kharaij wa al-Jaraih jld. 1, hlm. 113; Ibnu Thawus, Kasyf al-Mahajjah li Tsamarah al-Muhjah, hlm. 124
  11. Syahidi, Sayid Ja'far, Fatimah, Dukhtare Muhammad saw, Cet. 3, Tehran: Ketab Furusyi Hafidz, menukil dari: Ustadi, Fadak, hlm. 390-391.
  12. Imtā' al-Asmā', jld. 1, hlm. 326.
  13. Silahkan lihat: Fahr al-Razi, jld. 29, 506; Thabathabai, jld. 19, hlm. 203.
  14. Baladzuri, hlm. 41.
  15. Kulaini, jld. 1, hlm. 543; Mufid, hlm. 289 dan 290; Syahidi, hlm. 96-97.
  16. Thusi, Al-Tibyān fi Tafsir al-Qurān, jld. 6, hlm. 468.
  17. Thabarsi, Majma' al-Bayān fi Tafsir al-Qurān, jld. 6, hlm. 633-634.
  18. Haskani, Syawāhid al-Tanzil li Qawāid al-Tafdhil, jld. 1, hlm. 438-439.
  19. Suyuthi, Al-Dur al-Mantsur, jld. 4, hlm. 177.
  20. Kulaini, Al-Kāfi, jld. 1, hlm. 538.
  21. Baladzuri, hlm. 40 dan 41.
  22. Kulaini, jld. 1, hlm. 543.
  23. Futuh al-Buldān, jld. 1, hlm. 36; Ansāb al-Asyrāf, hlm. 519; Menukil dari Syahidi, Zendegi Fatimah Zahra, hlm. 155.
  24. Muruj al-Dzahab, Sirah Halabi, jld. 3, hlm. 40.
  25. Tafsir surah Al-Hasyr, jld. 8, hlm. 125.
  26. Baladzuri, hlm. 43.
  27. Majlisi, jld. 8, hal 93 dan 105.
  28. Majlisi, jld. 8, hal 93 dan 105.
  29. Syarh Ibnu Abil Hadid, jld. 16, hlm. 211.
  30. Subhani, 1355, hlm. 12.
  31. Silahkan lihat: Futuh al-Buldān, jld. 1, hlm. 36.
  32. Al-Ma'arif, hlm. 84; Tārikh Abul Fida, jld. 1, hlm. 168; Sunan Baihaqi, jld. 6, hlm. 301; Al-Aqd al-Farid, jld. 5, hlm. 33; Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 1, hlm. 198; Al-Ghadir, jld. 8, hlm. 236-238; Syahidi, Zendegani Fatimah Zahra, hlm. 116.
  33. Silahkan lihat: Baladzuri, hal, 40.
  34. Hlm. 49, Menukil dari Muntazheri, Khutbah Hadhrat Fātimah Zahrā as wa Mājarāe Fadak, hlm. 395 (catatan kaki).
  35. Hlm. 50, Menukil dari Muntadzeri, Khutbah Hadhrat Fātimah Zahrā as wa Mājarāe Fadak, hlm. 395 (catatan kaki).
  36. Hlm. 87, Menukil dari Muntadzeri, Khutbah Hadhrat Fātimah Zahrā as wa Mājarāe Fadak, hlm. 395-396 (catatan kaki).
  37. Hlm. 86, Menukil dari Muntadzeri, Khutbah Hadhrat Fātimah Zahrā as wa Mājarāe Fadak, hlm. 396 (catatan kaki).
  38. Syahidi, Ali az Zabān Ali, hlm. 37.
  39. Kahhalah,A'lām al-Nisā, jld. 4, hlm. 124.
  40. Shaduq, jld. 1, hlm. 154-155.
  41. Silahkan lihat: Ustadi, Fadak, hlm. 391-392, menukil dari Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 16, hlm. 208.
  42. Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 16, hlm. 208.
  43. Silahkan lihat: Ibnu Asakir, jld. 45, hlm. 178-179; Baladzuri, hlm. 41; Katib Baghdadi, hlm. 259 dan 260.
  44. Silahkan lihat: Ibnu Asakir, jld. 45, hlm. 178-179; Baladzuri, hlm. 41; Katib Baghdadi, hlm. 259 dan 260.
  45. Baladzuri, Futuh al-Buldān, jld. 1, hlm. 37 dan 38.
  46. Baladzuri, Futuh al-Buldān, jld. 1, hlm. 37-38; Syahidi, Zendegāni Fātimah Zahrā, hlm. 116-117; Silahkan lihat: Zendegāni Fātimah Zahrā, hlm. 55-56.
  47. Baladzuri, Futuh al-Buldān, jld. 1, hlm. 38.
  48. Syahidi, Zendegāni Fātimah Zahrā, hlm. 118.
  49. Syahidi, Zendegāni Fātimah Zahrā, hlm. 119.

Daftar Pustaka

  1. Ibnu 'Asakir, Ali bin Hasan, Tārikh Madinah Dimasyq, Dar al-Fikr, Beirut, cet. 1, 1415.
  2. Ibnu Thawus, Sayid Ali bin Musa, Kasyf al-Mahjah li Tsamarah al-Mahjah, Najaf, Al-Mathbu'ah al-Haidariyah, 1370.
  3. Ustadi, Ridha, Fadak, Dar Dānesy Nāmeh Imām Ali bin Ab Thalib As, jld. 8, Ali Akbar Rasyad, Teheran: Markaz Nasyar Atsar Pazuhesygah Farhang wa Andisyeh Islami, 1380.
  4. Baladzuri, Ahmad bin Yahya bin Jabir, Futuh al-Buldān, jld. 1, Riset: Salahuddin al-Munjid, Al-Qahirah: Maktabah al-Misriyah, 1956.
  5. Syahidi, Sayid Ja'far, Zendegāni Fātimah Zahrā As, Teheran: Daftar Nasyar Islami, 1362.
  6. Suyuthi, Jalaluddin, Al-Dur al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma'tsur, jld. 4, Beirut: Dar al-Ma'rifah lil Mathbu'ah wa al-Nasyr, tanpa tahun.
  7. Huskani, Abdullah bin Ahmad, Syawāhid al-Tanzil li Qawāid al-Tafdhil, Riset: Muhammad Baqir Mahmudi: Teheran: Sazman Cab wa Intisyarat Wezarat Irsyad Islami, 1411.
  8. Subhani, Ja'far, Farazhāi Hasas az Zendegāni Amiral Mukminin As, Maktab Islam, tahun ke-18, Vol. 4, Farwardin 1355 S, dan Vol. 5, Urdibehesy 1355 S.
  9. Al-Shadr, Muhammad Baqir, Fadak fi al-Tārikh, Teheran: Muasasah al-Bi'tsah, Markaz Al-Thaba'ah wa al-Nasyar, 1424/2003/1393.
  10. Shaduq, Ilal al-Syarayi', Mansyurat al-Maktabah al-Haidariyah wa Mathbu'atih, Al-Najaf al-Asyraf, 1385-1966.
  11. Safri Furusyani, Ni'matullah wa 'Alami; Ali Ridha, Fadak, Dānesy Nāmeh #Fathimi Sa, jld. 1, Teheran: Pazuhesygah Farhang wa Andisye Islami, 1393.
  12. Thabathabai, Muhammad Husain, Al-Mizān, Intisyarat Jamiah Mudarisin, Qum 1417.
  13. Fahkr Razi, Muhammad bin Umar, Mafātih al-Ghaib, Dar Ihya al-Arabi, sewum, Beirut, 1420.
  14. Thabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma' al-Bayān fi Tafsir al-Qurān, Teheran: Nashir Khosro, 1372.
  15. Quth Rawandi, Sa'id bin Habutallah, al-Jaraih wa al-Jaraih, Qum, Muasasah Imam Mahdi, 1409 H.
  16. Thusi, Muhammad bin Hasan, Al-Tibyān fi Tafsir al-Qurān, Beirut: Dar Ihya al-Tsurat al-Arabi, tanpat tahun.
  17. Kulaini, Muhammad Ya'qubi, Ushul Kāfi, Terjemah Jawan Mustafawi, Masyhad, Hauzah Ilmiyah Islamiyah, 1342.
  18. Katib Baghdadi, Qadamah bin Ja'far, Al-Haraj wa Shana'ah al-Kitābah, Dar al-Rasyid li Nasyr, Baghdad, cet. 1, 1981.
  19. Marjani, Abdullah bin Abdul Malik, Bahjah al-Nufus wa al-Asrār fi Tārikh Hijrah Nabi al-Mukhtar, Dar al-Gharb al-Islami, Beirut, Cet. 1, 2002.
  20. Mufid, Al-Muqni'ah, Muasasah al-Nasyr al-Islami Cet. 2, Qum, 1410.
  21. Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Masyhad, Dar al-Kitab Ilmiyah, 1354.
  22. Muntazheri, Husain Ali, Khutbah Hadhrat Fātimah Zahrā As wa Mājarāe Fadak, Teheran: Muasasah Farhanggi Khurd Awa, 1387.
  23. Nahj al-Balāghah, terjemah Sayid Ja'far Syahidi, Ilmi wa Farhanggi, 1378.