Zubair bin 'Awwam
Info pribadi | |
---|---|
Nama lengkap | Zubair bin Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay bin Kilab |
Julukan | Abu Abdullah |
Garis keturunan | Quraisy |
Kerabat termasyhur | Sayidah Khadijah sa (keponakan)• Abu Bakar (mertua) |
Muhajir/Anshar | Muhajirin |
Tempat Tinggal | Mekkah• Madinah• Habasyah |
Penyebab Wafat /Syahadah | Dibunuh oleh Amr bin Jurmuz pada perang Jamal |
Tempat dimakamkan | Bashrah, Irak |
Informasi Keagamaan | |
Memeluk Islam | Permulaan Islam |
Keikutsertaan dalam Ghazwah | Perang Badar• Perang Uhud• Penaklukan Kota Mekah |
Hijrah ke | Habasyah• Madinah |
Peran utama | Orang yang menolak keputusan Sidang Saqifah• Anggota Syura Enam Orang• Andil dalam pembunuhan Utsman bin Affan• Andil dalam perang Jamal melawan Imam Ali as |
Zubair bin Awwam bin Khuwailid (bahasa Arab:لزُبَیر بن العَوّام بن خُوَیلِد) adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw sekaligus keponakan Sayidah Khadijah sa, istri Nabi saw. Zubair masuk Islam pada umur 8 atau 15 tahun. Dia hampir selalu menyertai Nabi saw. Setelah Nabi Muhammad saw wafat, Zubair menolak Peristiwa Saqifah (tempat musyawarah untuk menunjuk pengganti Nabi saw). Ia teguh dalam mendukung dan membela hak kekhalifahan Imam Ali as, termasuk berkali-kali melakukan debat dengan Umar bin Khattab. Dia adalah salah seorang dari enam ahli syura yang ditunjuk Khalifah Umar untuk memusyawarahkan penggantinya. Dalam sidang syura Zubair memberikan pilihannya untuk Imam Ali as. Dia terlibat dalam pembunuhan Utsman. Kemudian, di awal kekhalifahan Imam Ali as, bersama Thalhah, Aisyah dan pihak-pihak yang dikenal dengan golongan Nakitsin, Zubair andil dalam perang Jamal melawan Imam Ali as.
Nasab
Silsilah Zubair adalah Zubair bin Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay al-Qurasyi al-Asadi. Sedangkan nama kunyahnya adalah Abu Abdillah. Dia merupakan anak dari saudara Sayidah Khadijah sa. Ayah Zubair, Awwam, terbunuh dalam perang Fijar.[1] Ibunya bernama Shafiah binti Abdul Muththalib, bibi dari Nabi Muhammad saw dan Imam Ali as.[2]
Sebagian pihak berpendapat, sebenarnya keluarga Zubair berkebangsaan Mesir, bukan Quraisy asli. Mereka berdalil dengan suatu catatan yang menyebutkan bahwa Khuwailid pernah pergi ke Mesir dan kembali ke Mekah dengan membawa Awwam lalu diadopsi.[3]
Menikah dengan Putri Abu Bakar
Zubair menikah dengan putri Abu Bakar yang bernama Asma’.[4] Sebagian pihak menyebutkan, mereka adalah orang yang pertama kali melakukan nikah mut'ah.[5] Setelah beberapa waktu Zubair menceraikan Asma’.[6] Ada yang mengatakan, yang memaksanya untuk menceraikan istrinya adalah putranya sendiri, Abdullah.[7] Namun ada yang berpendapat, Zubair melukai Asma’ sehingga dia terpaksa harus meminta perlindungan pada Abdullah bin Zubair sampai akhir hayatnya.[8]
Masuk Islam
Laporan sejarah menyebutkan, Zubair masuk Islam setelah Abu Bakar. Sebagian sejarawan berpendapat, saat masuk Islam usia Zubair masih 8 tahun.[9] Namun sebagian lain berpendapat, saat itu dia telah berusia 15 tahun.[10] Menurut cerita, Zubair seumuran dengan Imam Ali as.[11] Jika benar maka tidak mungkin saat masuk Islam dia berusia 8 tahun, lebih tepatnya adalah 15 tahun.
Sebagian sejarawan berpendapat, Zubair adalah orang kelima atau keenam yang masuk Islam.[12] Karena yang menceritakan tentang islamnya Zubair adalah cucunya sendiri yang bernama Hisyam bin Urwah bin Zubair,[13] karenanya ada kemungkinan hal itu terlalu dilebih-lebihkan.[14]
Di Zaman Nabi saw
Sebelum Hijrah
Tidak banyak riwayat yang menceritakan tentang Zubair sebelum peristiwa hijrah. Hanya ada secuil cerita yang menyebutkan bahwa dia termasuk orang yang ikut hijrah ke Habasyah.[15]Saat Zubair dan para Muhajirin lainnya berada di Habasyah, tersebar isu bahwa orang-orang Quraisy telah masuk Islam. Sebab itu sebagian kaum Muhajirin kembali pulang ke Mekah, termasuk Zubair.[16]
Ikrar Persaudaraan
Salah satu yang dilakukan Rasulullah saw saat tiba di Madinah adalah mengajak kaum muslimin untuk menyatakan ikrar persaudaraan. Saat itu Zubair berpasangan dengan Abdullah bin Mas'ud.[17] Dalam riwayat lain disebutkan, Zubair berpasangan dengan Salamah bin Salamah bin Waqasy.[18]
Ikut Perang
Data sejarah menyebutkan, Zubair andil dalam perang Badar,[19] Uhud dan Penaklukan Kota Mekah.[20]
Zubair dan Para Khalifah
Menolak Kekhalifahan Abu Bakar
Setelah wafat Rasulullah saw, Zubair adalah salah satu orang yang menolak Sidang Saqifah. Saat rumah Sayidah Fatimah sa diserang oleh sekelompok orang, Zubair mengangkat pedangnya dan menyerang mereka. Saat itu Khalid bin Walid melempar batu kepadanya dari belakang hingga pedangnya terjatuh. Umar mengambil pedang itu dan mematahkannya.[21]
Zubair adalah menantu Abu Bakar karena dia menikah dengan Asma’ binti Abu Bakar.[22] Namun kemudian dia menceraikannya, konon dia lakukan atas desakan putranya yang bernama Abdullah.[23]
Cemooh Umar Tentang Zubair
Hubungan Zubair dengan khalifah kedua tidak begitu baik. Suatu malam Umar bersama Ibnu Abbas sedang mencari seseorang di Madinah. Saat pembicaraan menyinggung tentang Zubair, Umar berkata, "Dia itu orang yang tidak sabar dan garang. Saat sedang senang berlagak seperti orang mukmin, tapi kalau sedang marah seperti orang kafir. Kadang seperti manusia, kadang seperti setan".[24]
Anggota Syuro Enam Orang | |
Untuk Menentukan Khalifah Ketiga | |
Imam Ali as |
Terlibat Pembunuhan Utsman
Saat berlangsung musyawarah untuk memilih pengganti khalifah kedua, Zubair tidak memberikan suaranya untuk Utsman. Artinya dia tidak sejalan dengan Utsman. Utsman memberinya 600.000 dirham agar tidak mengusiknya.[25] Namun tak lama kemudian ternyata dia memprovokasi masyarakat supaya membunuh Utsman.[26]
Zubair dan Kekhalifahan Imam Ali as
Zubair adalah sepupu Imam Ali as. Hubungannya dengan Imam Ali as banyak mengalami pasang surut. Dulunya dia adalah salah seorang pembela Imam Ali as dalam menghadapi Peristiwa Saqifah. Dia juga sebagai saksi wasiat Sayidah Fatimah az-Zahra sa,[27] ikut hadir dalam proses pemakaman Sayidah Fatimah sa,[28] dan orang yang memberikan suaranya pada Imam Ali as saat berlangsungnya musyawarah yang beranggotakan enam orang dalam pemilihan khalifah.
Setelah terbunuhnya Utsman, banyak orang berbondong-bondong datang ke rumah Imam Ali as, termasuk Thalhah dan Zubair. Mereka menyatakan siap mendukung dan membaiat Imam Ali as sebagai khalifah. Setelah banyak desakan akhirnya Imam Ali as menerima permintaan mereka.[29]Saat itu Zubair dan Thalhah menyatakan siap mengumpulkan dukungan dari pihak Muhajirin.[30] Namun tidak lama kemudian mereka berubah pikiran. Mereka menentang kekhalifahan Imam [[Imam Ali as].[31] Ketika Zubair dan Thalhah mendengar bahwa Aisyah yang berada di Mekah juga tidak setuju atas terpilihnya Imam Ali as sebagai khalifah, mereka berencana keluar dari Madinah ke Mekah dengan dalih untuk berangkat umrah. Ketika mereka meninggalkan Madinah, Imam Ali as berkata, "Mereka tidak pergi untuk mengunjungi Baitullah, namun untuk berbuat makar dan melakukan pengkhianatan".[32]
Zubair mengajak Aisyah berangkat ke Bashrah dengan pasukan yang banyak untuk melawan Imam Ali as. Setelah merampas harta warga Yaman oleh Ya'la bin Munabbih, secara resmi mereka menyatakan perlawanan terhadap Imam Ali as.[33]
Peran Zubair Dalam Perang Jamal
Zubair adalah salah seorang yang bertanggung jawab atas terjadinya perang Jamal. Pada tahun 36 H/656 dia dibantu Thalhah berhasil membujuk Aisyah supaya bersedia ikut berangkat ke Bashrah. Begitu tiba di Bashrah mereka melukai Utsman bin Hanif, gubernur Imam Ali as di Bashrah.[34]Imam Ali as bersama pasukannya berangkat ke Bashrah untuk menghadapi mereka. Setelah terjadi pertempuran sengit, perang itu dimenangkan pihak Imam Ali as.
Pertemuan Zubair dengan Imam Ali di Medan Perang
Saat kedua belah pasukan saling berhadapan, Imam Ali as memanggil Zubair. Mereka berdua bertemu dan berbicara di tengah antara dua kubu barisan pasukan. Saat itu Imam Ali as mengingatkan tentang pesan yang pernah disampaikan Rasulullah saw untuknya.
Isi pesan tersebut adalah: Suatu hari di hadapan Imam Ali as, Rasulullah saw bertanya pada Zubair;"Apakah engkau mencintai Ali?", Zubair menjawab, "Bagaimana aku tidak mencintainya". Rasulullah saw kembali bertanya,"Bagaimana kau memeranginya dengan dhalim?!"[35] Setelah mendengar hal itu Zubair meninggalkan medan perang.[36]
Terbunuhnya Zubair
Begitu Zubair meninggalkan medan perang, Amr bin Jurmuz dan beberapa orang mengikuti lalu membunuhnya di tempat bernama Wadi al-Siba'.[37] Setelah itu Amr menghadap pada Imam Ali as. Dia berkata pada penjaga, "Ijinkan masuk untuk pembunuh Zubair". Imam Ali as berkata:"Ijinkan dia masuk dan berikan hadiah neraka padanya".[38] Rasulullah saw bersabda tentang pembunuh Zubair, "Tempat pembunuh Zubair adalah neraka".[39]
Kematian Zubair membuat Imam Ali as nampak tidak senang. Saat melihat pedang Zubair, seraya mengenang keberanian dan kegigihan Zubair dalam pertempuran di periode awal Islam, beliau berkata,"Pedang ini berkali-kali telah membuat Rasulullah saw senang".[40]
Taubat Zubair
Melihat dzahir sabda Rasulullah saw dan apa yang disampaikan Imam Ali as terkait pembunuh Zubair, mungkin sebagian orang mengambil kesimpulan bahwa Zubair telah bertaubat. Yusufi Gharawi tidak setuju jika dikatakan bahwa Zubair telah bertaubat. Menurutnya, Zubair bisa dikatakan telah bertaubat dengan benar jika saat itu dia mengikuti dan membantu imam zamannya (Imam Ali as). Kenyataannya setelah dialog dengan Imam Ali as dia tidak melakukannya. Sehingga tidak bisa disimpulkan bahwa perkataan Imam Ali as (dan juga sabda Rasulullah saw yang menyatakan pembunuh Zubair akan masuk neraka) adalah bukti bahwa Zubair telah bertaubat. Sebab bisa jadi yang dikabarkan Rasulullah saw itu karena pembunuhnya bertindak tanpa ada ijin dari imam zamannya. Apalagi ternyata pembunuh itu di kemudian hari menjadi golongan Khawarij Nahrawan.[41]
Pembangunan Makam Zubair
Ibnu Jauzi Hanbali menulis dalam kitabnya: "Pada tahun 386 H/996 warga Bashrah mendirikan bangunan yang dilengkapi dengan masjid dan kubah di atas makam Zubair, mereka banyak menginfakkan harta untuk makam itu".[42] Namun Syekh Mufid memperkirakan, letak kuburan Zubair itu tidak didukung dengan bukti yang cukup. (Lih. Ibnu Atsir, al-Bidayah, jld. 11, hlm. 319).
Anak Zubair
Abdullah bin Zubair
Anak Zubair yang paling terkenal adalah Abdullah. Abdullah lahir pada periode awal hijrah. Dia merupakan putra pertama yang lahir di Madinah dari kalangan Muhajirin. Ketika Abdullah lahir kaum Muslimin mengumandangkan takbir bersama-sama. Takbir yang dikumandangkan itu bukan karena Zubair atau Abdullah memiliki kedudukan istimewa, namun kelahirannya adalah bukti kebohongan rumor bahwa kaum Yahudi menyihir kaum Muhajirin supaya tidak bisa memiliki keturunan.[43] Para sejarawan menyebutkan Abdullah adalah anak pertama yang lahir dari hasil nikah mut'ah.[44]
Anak Lain
Selain Abdullah, berikut ini nama anak-anak Zubair: Anak laki-laki: Urwah, Mundhir, Ashim, Muhajir, Khalid, Umar, Mush'ab, Hamzah, Jakfar. Anak perempuan: Khadijah, Ummu Hasan, Aisyah, Habibah, Surah, Hindun, Ramlah, Ubaidah, Zainab.
Harta
Selama kekhalifahan tiga khalifah pertama Zubair berhasil mengumpulkan banyak harta. Sepeninggalnya, dia mewariskan 11 rumah di Madinah, 2 rumah di Bashrah, 1 rumah di Kufah dan 1 rumah di Mesir.[45] Di samping itu, disebutkan dia juga meninggalkan 1000 dinar, 1000 kuda, dan 1000 budak.[46]
Catatan Kaki
- ↑ Ibnu Qutaibah, al-Ma'arif, matan, hlm. 219.
- ↑ Muqaddasi, al-Bada' wa al-Tarikh, jld. 5, hlm. 85.
- ↑ Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, jld. 11, hlm. 67.
- ↑ Sam’ani, al-Ansab, jld. 1, hlm. 217.
- ↑ Al-'Aqd al-Farid, jld. 4, hlm. 14. Thahawi, Syarh Ma'ani al-Atsar, jld. 3, lhm. 24. Askari, Izdiwaje Muwaqat Dar Islam, 5052.
- ↑ Lih. Ibnu Sa’ad, Muhammad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 8, hlm. 253. Ibnu Qutaibah, Abdullah, al-Ma'arif, hlm. 173. Ibnu Asakir, Ali, Tarikh Madinah Dimasyq, hlm. 9, 16-18.
- ↑ Asadul Ghabah, jld. 6, hlm. 10.
- ↑ Ibid.
- ↑ Muqaddasi, al-Bada wa al-Tarikh, jld. 5, hlm. 83.
- ↑ Ibnu Abdul Barr, al-Isti'ab, jld. 2, hlm. 510. Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah, jld. 2, hlm. 98.
- ↑ Ibnu Abdul Barr, al-Isti'ab, jld. 2, hlm. 511.
- ↑ Thabaqat, Ibnu Sa'ad, jld. 3, hlm. 75.
- ↑ Ibnu Abi Syaibah, jld. 8, hlm. 450. Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 75.
- ↑ Fallah Zadeh, hlm. 123.
- ↑ Tarikh Ibnu Khaldun, jld. 2, hlm. 415.
- ↑ Ibid.
- ↑ Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 75.
- ↑ Tarikh Ibnu Khaldun, jld. 2, hlm. 423.
- ↑ Sam'ani, al-Ansab, jld. 1, hlm. 216. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 77.
- ↑ Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 77.
- ↑ Al-Ikhtishash, hlm. 186. Al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 28.
- ↑ Ibnu Abdul Barr, al-Isti'ab, jld. 4, hlm. 1781.
- ↑ Al-Ishabah, jld. 8, hlm. 13.
- ↑ Ya'qubi, jld. 2, hlm. 158.
- ↑ Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 79.
- ↑ Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 47. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 3, hlm. 56.
- ↑ Syekh Shaduq, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jld. 4, hlm. 244.
- ↑ Fattal Naisyaburi, Raudhah al-Wa'idhin, jld. 1, hlm. 349.
- ↑ Mufid, al-Jamal, hlm. 130.
- ↑ Tarikh Ya'qubi, jld. 2, hlm. 167.
- ↑ Ibid, hlm. 169.
- ↑ Syarh Nahjul Balaghah, jld. 1, hlm. 123.
- ↑ Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 63.
- ↑ Ibnu Abdul Barr, al-Isti'ab, jld. 1, hlm. 366-369. Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah, jld. 1, hlm. 251.
- ↑ Ibnu Asakir, Tarikh Madinah Dimasyq, jld. 18, hlm. 409; Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 18, hlm. 123.
- ↑ Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 9, hlm. 430.
- ↑ Thabari, Tarikh Thabari, jld. 4, hlm. 511.
- ↑ Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 3, hlm. 254.
- ↑ Ibnu Asakir, Tarikh Madinah Dimasyq, jld. 18, hlm. 421.
- ↑ Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 78.
- ↑ Askari Wadeqani, Sahabehe Payambar A'zam, jld. 5, hlm. 137.
- ↑ Ibnu Jauzi, al-Muntadzam fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam, jld. 14, hlm. 383.
- ↑ Askari, al-Awail, hlm. 220.
- ↑ Thahawi, Syarh Ma'ani al-Atsar, jld. 3, hlm. 24. Askari, Izdiwaje Muwaqat dar Islam, 5052. Al-'Aqd al-Farid, jld. 4, hlm. 14.
- ↑ Shahih Bukhari, jld. 4. Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, jld. 8, hlm. 717.
- ↑ Al-Mas'udi, Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 333.
Daftar Pustaka
- Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, Qom, Perpustakaan Ayatullah Mar'asyi Najafi, 1404 H.
- Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, Bairut, Darul Fikr, 1409 H.
- Ibnu Atsir, ‘Izzuddin Abul Hasan Ali bin Muhammad al-Jazari, Asadul Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, Bairut, Darul Fikr, 1409 H/1989 M.
- Ibnu Jauzi, Abul Faraj Abdurrahman, bin Ali bin Muhammad, al-Muntadzam fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam, riset: Muhammad Abdul Qadir ‘Atha dan Musthafa Abdul Qadir ‘Atha, Bairut, darul Kutub al-Ilmiah, cet. Pertama, 1412 H.
- Ibnu Khaldun, Diwan al-Mubtada wa al-Khabar fi Tarikh al-Arab wa al-Barbar wa min Ashirihim min Dzawi al-Sya’n al-Akbar, riset: Khalil Syihadah, Bairut, Darul Fikr, cet. Kedua, 1408 H/1988 M.
- Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, riset: Muhammad Abdul Qadir ‘Atha, cet. Pertama, Bairut, Darul Kutub al-Ilmiah, 1410 H.
- Ibnu Asakir, Tarikh Madinah Dimasyq, Darul Fikr, Bairut, Bairut, 1415 H.
- Ibnu Abdul Barr, Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad, al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashab, riset: Ali Muhammad al-Bijauwi, Bairut, Darul Jail, cet. Pertama, 1412 H/1992 M.
- Ibnu Abdu Rabbih, al-‘Aqd al-Farid, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Bairut, Libanon, cet. Ketiga, 1420 H.
- Ibnu Qutaibah, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim al-Dinawari, al-Imamah wa al-Siyasah, riset: Ali Syiri, Bairut, darul Adhwa’, cet. Pertama, 1410 H/1990 M.
- Ibnu Qutaibah, al-Ma’arif, riset: Tsarwat Akasyah, Kairo, al-Haiah al-Mishriah al-‘Ammah lil Kitab, cet. Kedua, 1992 M.
- Baladzuri, Ahmad bin Yahya bin Jabir, Ansab al-Asyraf, riset: Suhail Zakkar dan Riyadh Zarikli, Bairut, Darul Fikr, cet. Pertama, 1417 H/1996 M.
- Sam’ani Abu Said Abdul Karim bin Muhammad bin Mashur al-Tamimi, al-Ansab, riset: Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi al-Yamani, Haidar Abad, Majlis Dairah al-Ma’arif al-Utsmaniah, cet. Pertama, 1382 H/1962 M.