Imam Ali al-Ridha as

Prioritas: aa, Kualitas: b
Dari wikishia
(Dialihkan dari Imam Ridha as)
Ali bin Musa al-Ridha as
Imam kedelapan Syiah
'
Makam Imam Ridha as
Lahir11 Dzulkaidah 148 H
Tempat lahirMadinah
Imamah20 tahun 83-203 H
Penguasa KontemporerMakmun Abbasi
Waktu syahidAkhir Safar 203 H di Thus
Tempat dimakamkanMasyhad Iran
Imam sebelumnyaImam Musa al-Kazhim as
Imam setelahnyaImam Jawad as
AyahImam Musa al-Kazhim as
IbuTuktam (Ummul Banin)
SaudariSayidah Fatimah Maksumah sa
PasanganSabikah • Ummu Habibah
PutraMuhammad • Ja'far • Abu Muhammad Hasan • Ibrahim
PutriAisyah • Fatimah
LakabRidha • Shabir • Wafi • Radhi
'Imam-Imam Syiah
Ali, al-Hasan, al-Husain, al-Sajjad, al-Baqir, al-Shadiq, al-Kazhim, al-Ridha, al-Jawad, al-Hadi, al-Askari, al-Mahdi

Ali bin Musa bin Ja'far as (bahasa Arab: علي بن موسى بن جعفر علیه السلام) yang terkenal dengan Imam Ridha as (148-203 H) adalah Imam Kedelapan mazhab Syiah Itsna Asyariyah. Ia memegang tampuk kepemimpinan selama 20 tahun, yang mana 10 tahun sezaman dengan kekhalifahan Harun al-Rasyid, 5 tahun sezaman dengan kekhalifahan Muhammad Amin dan 5 tahun sezaman dengan kekhalifahan Ma'mun. Dalam riwayat yang dinukil dari Imam Jawad as disebutkan bahawa lakab Ridha diberikan oleh Allah kepada ayahnya.

Tempat kelahirannya adalah kota Madinah kemudian dipanggil secara paksa oleh Ma'mun Abbasi ke Khurasan dan dijadikan sebagai wali ahd (baca: putra mahkota) atas desakan Ma'mun Abbasi. Imam Ridha as dalam perjalanannya menuju Khurasan dari kota Madinah telah menyampaikan sebuah hadis yang terkenal yaitu silsilah al-dzahab (mata rantai emas) di kota Neisyabur. Makmun menyelenggarakan beberapa forum dialog antara Imam Ridha as dan para pembesar agama dan mazhab lainnya, yang hal ini menyebabkan semua orang mengakui keunggulan dan keilmuannya.

Imam Ridha as mati syahid di tangan Ma'mun di kota Thus. Pusaranya terletak di Masyhad dan menjadi tempat ziarah jutaan kaum muslimin dari pelbagai penjuru dunia.

Biografi

Nama lengkapnya Ali bin Musa bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Panggilannya adalah Abu al-Hasan dan lakabnya yang populer adalah Ridha. Menurut sebagian riwayat, lakab Ridha diberikan oleh Ma'mun [1] namun dalam riwayat dari Imam Jawad as disebutkan lakab tersebut diberikan Allah swt kepada ayahnya. [2]Shabir, Radhi dan Wafa adalah lakab-lakabnya yang lain. [3] Ia juga terkenal dengan 'Alim Al Muhammad (Orang pintar dari keluarga Muhammad). Dinukilkan bahwa Imam Kazhim as kepada anak-anaknya berkata: "Saudara kalian, Ali bin Musa adalah 'Alim Al Muhammad".[4]

Kelahiran

Diriwayatkan bahwa Imam Ridha as lahir pada hari Kamis atau Jumat 11 Dzulkaidah atau Dzulhijjah atau Rabiul Awal tahun 148 H atau 153 H. [5] Kulaini mengutip bahwa tahun kelahiran Imam Ridha as jatuh pada tahun 148 H. [6] Mayoritas ulama dan sejarawan sependapat dengan Kulaini.[7]

Ibu

Ibu Imam Ridha as, adalah seorang budak wanita dari penduduk Nubakh,[8]yang dikenang dengan beragam nama. Dikatakan bahwa ketika Imam Kazhim as membelinya, ia memberi nama Tuktam kepadanya.[9] Tatkala Imam Ridha as lahir darinya, Imam Musa Kazhim menamai Tuktam dengan nama Thahirah. [10]

Syekh Shaduq mencatat, sebagian orang meriwayatkan bahwa nama ibunda Imam Ridha as adalah Sakan Nubiyah, demikian juga dinamai dengan Arwi, Najmah, Samanah. Julukannya adalah Ummul Banin.[11]

Dalam riwayat disebutkan bahwa ibunda Imam Ridha as adalah seorang budak salehah dan bertakwa, bernama Najmah yang dibeli oleh Humaidah ibunda Imam Musa Kazhim dan menghadiahkannya kepada putranya (Imam Musa). Setelah kelahiran Imam Ridha, Najmah diberi nama Thahirah.[12]

Istri-istri dan Anak-anak

Imam Ridha memiliki istri bernama Sabikah[13] yang disebut masih memiliki tali keturunan dengan Mariah istri Rasulullah saw. [14] Selain Sabikah, dalam sebagian literatur sejarah, disebutkan juga beberapa istri lain Imam Ridha as. Makmun melamar Imam Ridha as untuk putrinya Ummu Habib atau Ummu Habibah dan Imam Ridha as menerima pinangan itu. Thabari menyebut pernikahan ini pada peristiwa-peristiwa tahun 202 H. [15] Disebutkan bahwa tujuan Makmun menikahkan putrinya dengan Imam Ridha as adalah untuk tambah dekat kepada Imam Ridha dan memiliki jalur ke rumahnya guna memperoleh informasi lebih jauh terkait dengan agenda-agenda Imam Ridha as. [16] Suyuthi juga mengutip pernikahan putri Makmun dengan Imam Ridha as tanpa menyebutkan nama putri Makmun itu. [17]

Terdapat perbedaan pendapat terkait dengan jumlah dan nama anak-anak Imam Ridha as. Syekh Mufid hanya mengakui Muhammad bin Ali sebagai anak dari Imam Ridha as. [18] Ibnu Syahr Asyub dan Thabrisi juga berpendapat yang sama. [19]Sebagian lainnya menyebutkan bahwa Imam Ridha as memiliki seorang putri bernama Fatimah. [20] Sebagian menulis bahwa Imam Ridha as memiliki lima putra dan seorang putri dengan nama-nama Muhammad Qani', Hasan, Ja'far, Ibrahim, Husain dan Aisyah. [21] Sibth bin Jauzi mengutip bahwa Imam Ridha as memiliki empat putra dengan nama-nama, Muhammad (Abu Ja'far Tsani), Ja'far, Abu Muhammad Hasan, Ibrahim, dan seorang putri tanpa menyebutkan nama putri ini. [22] Disebutkan bahwa seorang anak Imam Ridha yang berusia dua tahun atau kurang dari dua tahun dikuburkan di Qazwin yaitu Imam Zadeh Husain yang kini terdapat di kota Qazwin. Menurut sebuah riwayat, Imam Ridha as sendiri pernah mengunjungi kota ini pada tahun 193 H. [23]

Imamah

Imam Ridha as memegang tampuk kepemimpinan paska kesyahidan ayahnya Imam Kazhim as pada tahun 183 H. Masa imamahnya berlangsung selama 20 tahun (183-203 H) yang bertepatan dengan masa khilafah Harun al-Rasyid (10 tahun), Muhammad Amin (sekitar 5 tahun) dan Makmun (5 tahun).

Sebagian orang yang mengutip hadis-hadis dari Imam Musa bin Ja'far as atas imamah putranya Ali bin Musa al-Ridha adalah: Daud bin Katsir al-Riqqi, Muhammad bin Ishaq bin Ammar, Ali bin Yaqthin, Na'im al-Qabusi, al-Husain bin al-Mukhtar, Ziyad bin Marwan, al-Makhzumi, Daud bin Sulaiman, Nashr bin Qabus, Daud bin Zarbi, Yazid bin Sillith dan Muhammad bin Sanan. [24]

Di samping banyak dalil riwayat, akseptabilitas Imam Ridha as di kalangan Syiah dan keunggulan ilmu dan akhlaknya menetapkan bahwa imamah layak untuk disandang olehnya meski masalah imamah pada akhir-akhir hidup Imam Musa bin Ja'far cukup pelik dan sulit, namun kebanyakan sahabat Imam Kazhim as menerima bahwa Imam Ridha as adalah pelanjut dan khalifah mereka yang ditunjuk dari sisi Imam Musa Kazhim as. [25]

Kecondongan Para Pengikut Syiah

Setelah syahadah Imam ketujuh, sebagian besar kaum Syiah, sesuai dengan wasiat dan pesan Imam Kazhim as dan alasan-alasan serta bukti-bukti lainnya, menerima keimamahan putranya Ali bin Musa al-Ridha as dan beliau menegaskannya sebagai imam kedelapan. Kelompok bagian ini, yang juga termasuk dari para tokoh pembesar sahabat Imam al-Kazhim as, dikenal dengan sebutan nama Qath'iyah. [26] Namun kelompok pengikut lainnya dari Imam ketujuh karena dengan alasan-alasan tertentu, engan untuk mengakui keimamahan Imam Ali bin Musa al-Ridha as dan mereka berhenti pada keimamah Musa bin Ja'far as. Mereka menyatakan bahwa Musa bin Ja'far as adalah Imam terakhir dan beliau tidak menentukan keimamahan siapa pun setelahnya dan atau setidaknya kami tidak mengetahuinya. Kelompok ini disebut dengan nama Waqifiyah (atau Waqifah).

Kedudukan Imam di Madinah

Imam Ridha kurang lebih selama sekitar tujuh belas tahun (183-200 atau 201 tahun) dari periode keimamahannya berada di Madinah dan memiliki posisi yang istimewa di kalangan masyarakat. Imam sendiri dalam percakapan dengan Ma'mun mengenai putra mahkota, menggambarkan periode ini dengan berkata:

"Sesungguhnya, perjanjian putra mahkota itu tidak memberikan kepadaku poin atau status apa pun. Ketika aku berada di Madinah, perintahku dapat mempengaruhi mereka yang di timur dan barat, dan ketika aku menaiki kendaraanku melewati gang-gang Madinah, tidak ada yang lebih mulia dariku". [27]

Mengenai posisi ilmiah Imam di Madinah juga dikutip dari dirinya sendiri:

"Aku duduk di masjid Nabi dan para ulama yang berada di Madinah, setiap kali mereka tidak mampu memecahkan suatu permasalahan, semua melemparkan masalah itu kepadaku dan mengirimkan pertanyaan dan masalah mereka kepadaku dan aku menjawab semua permasalahan itu kepada mereka". [28]

Perjalanan ke Khurasan

Disebutkan bahwa hijrah Imam Ridha as dari Madinah ke Marv terjadi pada tahun 200 H [29] atau 201 H.[30]

Dalam Tārikh Ya'qubi dimuat bahwa Makmun membawa Imam Ridha as dari Madinah ke Khurasan. Orang yang ditugasi untuk mengantar Imam Ridha as dari Madinah ke Khurasan adalah Raja bin Abi Dhahak kerabat Fadhl bin Sahal. Mereka membawa Imam Ridha as melalui Basrah hingga sampai di Marv. [31] Jalur yang dipilih oleh Makmun untuk ditempuh oleh Imam Ridha as sampai di Marv adalah jalur yang telah ditentukan supaya Imam Ridha tidak melewati perkampungan Syiah, sebab ia takut dari perkumpulan orang-orang Syiah di sekitar Imam. Makmun memerintahkan supaya Imam Ridha tidak dibawa melalui Kufah dan harus lewat Basrah, Khuzistan, Fars hingga Neisyabur. [32]

Jalur yang dilalui oleh Imam Ridha as sesuai dengan buku Athlas Syiah adalah sebagai berikut: Madinah, Naqrah, Husjah, Nabbaj, Hafr Abu Musa, Basrah, Ahwaz, Behbahan, Isthakhar, Abrquh, Dahsyir (Farasyah), Yazd, Kharaniq, Ribath Pusytibam, Neisyabur, Qadamgah, Dahsurkh, Thus, Sarkhus, Marv. [33] Menurut Syekh Mufid, para tentara Makmun membawa Imam Ridha as dan beberapa dari bani Hasyim ke Marv melalui jalur Basrah. Makmun menempatkan bani Hasyim di satu rumah dan Imam Ridha di rumah yang lain dan menghormatinya.[34]

Penyampaian Hadis Silsilah al-Dzahab

Peristiwa yang paling penting dan terdokumentasi paling baik dari perjalanan Imam Ridha as adalah penyampaian hadis tersohor Silsilah al-Dzahab (Mata Rantai Emas) oleh beliau di kota Neisyabur. [35]

Ishak bin Rahwaih berkata: "Sewaktu Imam Ridha as dalam perjalanan ke Khurasan dan tiba di Neisyabur, para ahli hadis berkumpul dan berkata, Wahai Putra Rasulullah anda datang ke kota kami dan anda tidak memanfaatkan itu dengan menjelaskan hadis kepada kami? Mendengarkan permintaan itu, Imam Ridha as mengeluarkan kepalanya dari tenda dan mengatakan:

"Aku mendengar dari ayahku Musa bin Ja'far, dia berkata mendengar dari ayahnya, Ja'far bin Muhammad yang berkata mendengar dari ayahnya Muhammad bin Ali yang berkata mendengar dari ayahnya Ali bin al-Husain yang mendengar dari ayahnya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as yang berkata mendengar dari Rasulullah saw yang berkata mendengar dari Jibril as yang berkata, Allah swt berfirman:

Kalimat Laa ilaha illaLlah adalah pagar dan bentengku. Barang siapa yang masuk kedalamnya maka dia akan aman dari azab". Setelah itu Imam Ridha as berkata, "Tapi dengan syarat-syaratnya, dan aku adalah salah satu dari syarat-syarat itu". [36]

Serambi Dar al-Hujjah Haram Radhawi

Wilayah Ahd Makmun

Setelah Imam Ridha as berdiam di Marv, Makmun mengutus seseorang ke kediaman Imam Ridha as dan menyampaikan bahwa dirinya ingin lengser dari khilafah dan menyerahkan urusan khilafah ini kepada Imam Ridha. Imam dengan tegas menolak usulan Makmun seraya berkata, "Jika pemerintahan merupakan hakmu, Anda tidak bisa memberikannya kepada orang lain dan jika itu bukan milikmu, Anda tidak mempunyai kelayakan untuk memberikannya".[37] Para peneliti meyakini bahwa jawaban Imam tersebut telah meruntuhkan dan mempermasalahkan dasar legalitas kekhilafahan Makmun.[38]Sayid Ja'far Murtadha Amili meyakini bahwa pada dasarnya Makmun tidak serius dalam menawarkan khilafah kepada Imam Ridha as. Ia melontarkan pembahasan panjang dan pada akhirnya mengambil kesimpulan bahwa tawaran Makmun adalah sebuah upaya untuk mengukuhkan pemerintahan dan khilafahnya.[39] Setelah itu, Makmun meminta supaya wilayah ahd ini diserahkan kepada Imam Ridha as. Imam pun tetap menolak dengan tegas. Di sini Makmun angkat bicara dengan nada mengancam: "Umar bin Khattab membuat syura beranggotakan enam orang untuk memilih khalifah. Di antara mereka terdapat datukmu, Amirul Mukminin, 'Ali bin Abi Thalib. Umar mensyaratkan bahwa siapa yang menentang keputusan syura harus dipenggal kepalanya. Jadi, tidak ada jalan lain kecuali menerima apa yang saya tawarkan kepada Anda." Imam menjawab: "Aku menerima tawaranmu, dengan syarat aku tidak memerintah dan tidak pula melarang, aku tidak mengeluarkan fatwa dan tidak pula menjadi hakim, aku tidak mengangkat seseorang dan tidak pula memecatnya, dan aku tidak akan merubah sesuatu dari posisi aslinya." Makmun menerima semua syarat yang diajukan oleh Imam Ridha as. [40]

Dengan demikian, Makmun pada hari Senin, 7 Ramadhan 201 H memberikan baiat kepada Imam Ridha as sebagai putra makhota setelahnya. Dan, memakaikan pakaian hijau kepada masyarakat sebagai ganti pakaian hitam.[catatan 1] Kemudian Makmun menuliskan instruksi ini di seluruh penjuru kota dan meminta warga masyarakat untuk berbaiat kepada Imam Ridha as serta membacakan namanya di mimbar-mimbar khutbah. Di samping itu, Makmun mencetak koin Dinar dan Dirham dengan nama Imam Ridha as. Seluruh masyarakat mengikuti titah ini kecuali seseorang yang enggan mengenakan pakaian hijau yaitu Ismail bin Ja'far bin Sulaiman bin Ali Hasyimi. [41]

Penyelenggaraan Majelis Debat

Setelah membawa Imam Ridha ke Marv, Makmun mengadakan beberapa forum ilmiah dengan menghadirkan ulama dari beberapa mazhab dan agama. Dalam beberapa pertemuan ini, berlangsung perdebatan antara Imam Ridha as dan ulama lainnya yang secara umum berkisar tentang masalah-masalah ideologi dan fikih. Sebagian dari debat ini disebutkan oleh Thabrisi dalam al-Ihtijāj. [42] Sebagian dari debat (atau ihtijajāj) adalah: [43]

Makmun dengan menyeret Imam Ridha as dalam acara debat bermaksud ingin menghilangkan gambaran masyarakat tentang para imam Ahlulbait sebagai pemilik ilmu khusus misalnya ilmu ladunni. Syekh Shaduq dalam hal ini menulis, "Makmun mendudukan ulama level atas dari setiap firkah yang ada untuk berhadap-hadapan (berdebat) dengan Imam Ridha as sehingga dengan demikian ia dapat membuat pamor Imam Ridha as jatuh dengan perantara ulama tersebut. Hal ini dilakukan Makmun karena sifat hasud terhadap imam, kedudukan ilmu dan sosial imam di tengah masyarakat. Namun tiada satu pun dari ulama yang mampu menandingi imam kecuali mengakui keutamaan dan argumen yang disuguhkan Imam Ridha as yang membuat mereka tertegun dan menerimanya." [44]

Forum-forum debat ini perlahan-lahan memunculkan banyak persoalan bagi Makmun. Tatkala ia mengetahui akibat buruk dari pengadaan acara-acara seperti ini maka ia segera mengambil langkah membatasi gerak Imam Ridha as. Diriwayatkan dari Abdus Salam Harawi bahwa Makmun dikabarkan, "Imam Ridha as mengadakan pelajaran-pelajaran teologis sehingga membuat orang-orang menjadi kagum kepadanya." Makmun menugaskan Muhammad bin Amru Thusi untuk menghalau masyarakat supaya tidak menghadiri majelis tersebut. Kemudian Imam mengutuk Makmun atas perbuatan ini[45]

Serambi Dar al-Hujjah Haram Radhawi

Salat Id

Imam Ridha as
"Wahai manusia! Bertakwalah kepada Allah akan seluruh nikmat-Nya yang telah dicurahkan atas kalian. Janganlah kalian menyingkirkan kenikmatan itu dari diri kalian dengan bermaksiat kepada-Nya. Ketahuilah! Setelah iman kepada Allah dan Rasul-Nya dan pengakuan atas hak-hak para wali Allah dari keluarga Muhammad saw., sesungguhnya kalian semua belum bersyukur kepada Allah dengan sesuatu yang lebih dicintai daripada menolong saudara-saudaramu seiman dalam urusan dunia mereka. Semua ini adalah jembatan bagi kalian untuk menuju surga-surga Tuhan mereka. Sesungguhnya orang yang telah melakukan demikian termasuk hamba-hamba Allah yang istimewa"
Al-Durr Al-Nazhim, hlm. 215.

Setelah Imam Ridha as dibaiat sebagai calon pengganti khalifah/putra mahkota (pada 7 Ramadhan 201), tibalah hari pertama dari bulan Syawal, yaitu Hari Raya Idul Fitri. Satu hari sebelumnya, Makmun meminta Imam Ridha as untuk menjadi imam shalat Id. Namun Imam Ridha as berdasarkan syarat-syarat yang telah disepakati sebelumnya menolak untuk menjadi imam salat Id. Makmun mendesak dan Imam Ridha as mau tak mau menerima dan berkata, "Kalau begitu saya akan menunaikan salat (Id) sebagaimana Rasulullah saw." Orang-orang menantikan Imam Ridha as keluar laksana para khalifah keluar dengan adab dan perayaan tertentu, namun mereka tercengang melihat Imam berjalan dengan kaki telanjang sambil membaca takbir. Para pemimpin lasykar yang datang dengan mengenakan pakaian resmi yang biasa digunakan dalam perayaan seperti ini, dengan melihat kondisi yang ada, segera turun dari kuda-kuda mereka dan melepaskan sepatu-sepatunya mengikuti imam sambil menangis dan membaca takbir. Setiap kali Imam melangkah ia mengucapkan tiga takbir.

Disebutkan bahwa Fadhl berkata kepada Makmun, "Apabila Imam Ridha seperti ini sampai di tempat salat, maka orang-orang akan semakin banyak berkerumun dan mengaguminya. Lebih baik Anda memintanya untuk kembali." Makmun segera mengutus seseorang dan meminta Imam Ridha as untuk kembali. Lalu Imam Ridha as meminta sepatunya kemudian memasangnya lalu menaiki kendaraan dan kembali. [46]

Kesyahidan

Haram Imam Ridha as

Dinukilkan bahwa kesyahidan Imam Ridha as terjadi pada hari Jumat atau hari Senin akhir bulan Shafar, atau 17 Shafar, atau 21 Ramadhan, atau 18 Jumadil Awal, atau 23 Dzulkaidah, atau akhir Dzulkaidah, pada tahun 202 H, atau 203 H, dan atau 206 H.[47] Kulaini menyebutkan wafatnya Imam Ridha as terjadi pada bulan Shafar tahun 203 H pada umur ke 55 tahun.[48]Menurut pandangan kebanyakan ulama dan ahli sejarah, tahun kesyahidan Imam as adalah tahun 203.[49]Thabrisi menukilkan hari kesyahidan beliau pada akhir bulan Shafar.[50]

Mengenai umur Imam Ridha as juga terdapat perbedaan pendapat sesuai dengan perbedaan mengenai hari lahir dan kesyahidannya, dimana usia beliau dikatakan dari 47 hingga 57 tahun.[51] Sesuai dengan pendapat terbanyak yang disebutkan terkait hari lahir dan wafatnya, usia beliau adalah 55 tahun.

Mengenai proses kesyahidan Imam Ridha as, terdapat sejumlah periwayatan yang berbeda dari sumber-sumber yang berbeda.

  • Sebagaimana yang disebutkan dalam Tarikh Ya'qubi, Makmun pada tahun 202 H bertolak ke Irak melalui Marv. Bersamanya ikut wali ahd-nya, Imam Ridha as dan perdana menterinya, Fadhl bin Sahl Dzu al-Riyasatain. [52]Tatkala tiba di Thus, Imam Ridha as wafat di sebuah desa yang bernama Nuqan pada awal tahun 203 H. Penyakit yang dideritanya hanya berlangsung tiga hari akibat dari racun dari buah delima yang diberikan oleh Ali bin Hisyam. Makmun menunjukkan perasaan berduka atas kepergian Imam Ridha as. Ya'qubi melanjutkan, "Diberitakan Abu al-Hasan bin Abi Ibad dan berkata, "Saya melihat Makmun mengenakan jubah putih dan berjalan kaki dan berkata, 'Wahai Abal Hasan! Setelahmu siapa yang saya harus andalkan?'" Makmun tinggal selama tiga hari berada di samping kuburan Imam Ridha as dan setiap harinya orang-orang membawakan sepotong roti dan sedikit garam untuknya. Makanannya hanyalah itu. Kemudian pada hari keempat ia kembali." [53]
  • Syekh Mufid menukilkan, Makmun menyuruh Abdullah bin Basyir untuk tidak memotong kukunya sehingga lebih panjang dari batas normal, kemudian Makmun memberinya sesuatu yang menyerupai buah asam dan memerintahkannya untuk membuat benda itu menjadi sebuah adonan dengan tangannya. Kemudian Makmun pergi ke hadapan Imam Ridha as dan memanggil Abdullah lalu memerintahkannya untuk memeras air delima dengan tangannya lalu disajikan kepada Imam Ridha as. Dan hal inilah yang menjadi penyebab wafatnya Imam Ridha as setelah dua hari berselang. [54]
  • Syekh Shaduq mengutip sebuah riwayat yang kandungannya sama dengan riwayat di atas namun yang disebutkan adalah racun pada anggur dan pada sebagian lainnya disebutkan pada anggur dan juga pada delima. [55]Sayid Ja'far Murtadha Husaini menyebutkan enam pendapat terkait dengan penyebab wafatnya Imam Ridha as. [56]
  • Ibnu Hibban salah seorang ahli hadis dan rijal abad ke-4 H, di bawah nama Ali bin Musa al-Ridha, menulis, "Ali bin Musa al-Ridha wafat lantaran racun yang diberikan Makmun. Peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu tahun 203 H." [57]

Mengenai sebab dibunuhnya Imam Ridha as oleh Makmun terdapat beberapa alsan yang disebutkan, diantaranya: kemenangan Imam Ridha as atas berbagai ulama dalam pelbagai majelis debat. [58], sambutan hangat masyarakat atas kedatangan Imam Ridha pada acara pelaksanaan salat Id, membuat Makmun merasa terancam dan ia sadar bahwa pemberian wilayat ahdi kepada Imam telah membuat keadaan semakin sulit untuknya. Oleh karena itu, ia memasang mata-mata untuk mengawasi gerak-gerik Imam Ridha as jangan sampai menyusun agenda untuk melawan Makmun. [59]

Imam Ridha as sama sekali tidak takut kepada Makmun dan acapkali jawaban-jawaban yang diberikan Imam Ridha as membuat Makmun gundah dan sedih. Kondisi ini telah membuat Makmun murka dan semakin besar kusumatnya kepada Imam Ridha meski tidak ditampakkan. [60]Diriwayatkan bahwa tatkala Makmun bergembira pada salah satu penaklukan militernya, Imam Ridha as berkata kepadanya, "Wahai Amiral Mukminin! Takutlah kepada Allah akan umat Muhammad saw dan apa yang diamanahkan Allah swt kepadamu. Engkau telah menyia-nyiakan urusan kaum Muslimin..." [61]

Makam Imam Ridha as

Setelah syahidnya Imam Ridha as, Makmun mengebumikannya di rumah Hamid bin Qahthabah Thai (Buq'ah Haruniyah) di desa Sanabad. [62]Dewasa ini Haram Radhawi terletak di Iran dan tepatnya di kota Masyhad Muqaddas. Dan, setiap tahunnya dikunjungi banyak peziarah dari berbagai negara. [63]

Sirah Imam Ridha as

Ibadah:Dikisahkan, suatu ketika Imam Ali Ridha as sedang melakukan dialog ilmiah dengan para pemuka dari bermacam agama dan aliran madzhab. Terdengarlah suara azan tanda masuk waktu salat. Saat itu juga beliau segera meninggalkan tempat. Yang lainnya berusaha mencegahnya supaya menunda salatnya dan melanjutkan dialog terlebih dahulu. Imam Ali Ridha as menjawab, “Aku salat dulu, nanti aku akan kembali.” [64] Ada pula kisah menarik mengenai ibadah malam beliau. [65] Dikisahkan, ketika Imam Ali Ridha as menghadiahkan bajunya kepada Di'bil bin al-Kuza'i, ia berpesan, “Jagalah baju ini, aku telah memakainya untuk ibadah seribu malam. Permalamnya aku salat seribu rakaat. Aku juga telah mengkhatamkan Al-Qur'an seribu kali dengan memakai baju ini.” [66] Disebutkan pula, Imam Ali Ridha as senang melakukan sujud berlama-lama. [67]

Akhlak: Banyak riwayat yang menyebutkan tentang bagaimana prilaku dan akhlak Imam Ali Ridha as di masyarakat. Beliau selalu bersikap lembut dan ramah dengan para budak dan kalangan bawah. Bahkan setelah menjadi Putra Mahkota, [68] beliau tetap tidak berubah. Ibnu Syahr Asyub meriwayatkan, suatu hari Imam Ali Ridha as pergi ke pemandian umum. Di sana ada seseorang yang tidak mengenalnya. Orang tersebut meminta Imam untuk membersihkan dan memijat badannya. Ia menuruti permintaannya. Melihat hal itu, orang-orang yang mengenal Imam segera memberitahu pada orang tadi tentang siapa yang sedang memijatnya. Setelah mengetahuinya, orang tersebut sangat merasa malu dan memohon maaf pada Imam. Namun ternyata Imam malah menenangkannya dan melanjutkan memijat. [69]

Pendidikan: Salah satu yang sangat ditekankan dalam ajaran Imam Ali Ridha as adalah hal mendidik anak dalam keluarga. Di antara pesan yang beliau sampaikan pada umatnya adalah supaya menikah dengan pasangan yang saleh atau salehah, [70] menaruh perhatian serius selama masa kehamilan, [71] memberikan nama yang baik pada anak, [72] menyayangi dan memuliakan anak kecil, [73] dan lain sebagainya. Disebutkan, Imam Ali Ridha as selalu berusaha menjalin keakraban dengan sanak saudara dan orang-orang di sekitarnya. Tiap kali memiliki waktu luang, ia selalu mengumpulkan para saudara dan orang-orang sekitarnya, baik yang tua maupun muda untuk mengobrol dan bercengkrama. [74]

Ilmu: Ketika berada di Madinah, tidak jarang para ulama bertanya pada Imam Ali Ridha as tentang persoalan yang tidak mereka ketahui jawabannya. [75] Saat sedang di Kota Marv, ia juga banyak didatangi untuk melakukan dialog menyangkut berbagai tema sehingga banyak persoalan dapat terjawab dan terselesaikan. Selain itu, di rumah dan di Masjid Marv, ia membuka majelis ilmu. Namun begitu majlis tersebut makin berkembang, Makmun memerintahkan supaya majelis itu ditutup. [76]

Banyak riwayat dari Imam Ali Ridha as yang menerangkan tentang pentingnya masalah kesehatan dan kedokteran. Imam banyak menjelaskan hal-hal terkait makanan sehat, kebersihan, kesehatan, pencegahan dan pengobatan penyakit. Kitab yang berjudul Tibbu al-Ridha (terkenal dengan nama Risalah Dzahabiah) adalah kitab yang diambil dari ajaran Imam Ali Ridha as. Di dalamnya termuat pesan-pesan Imam terkait masalah medis.

Imam Tidak Bertaqiyyah dalam Persoalan Imamah: Selama menjadi imam, Imam Ali Ridha as sedapat mungkin tidak mempraktikkan konsep taqiyyah, khususnya menyangkut masalah imamah. Sebab waktu itu terjadi peristiwa-peristiwa yang mengancam keutuhan akidah imamiah, di antaranya adalah peristiwa yang menyangkut gerakan Waqifah. Terlebih, sisa-sisa pengikut kelompok Fathahiah masih terlihat aktif, beliau justru makin banyak menyampaikan hal-hal yang menyangkut masalah imamah. Misalnya dalam pembahasan tentang wajibnya ketaatan pada imam. Sebenarnya hal itu telah dipaparkan sejak masa Imam Ja'far Shadiq as, namun para imam yang lain menyampaikannya dengan cara taqiyyah. Sedangkan Imam Ali Ridha as, secara gamblang dan tanpa khawatir sedikitpun, menyampaikan bahwa ia adalah imam yang harus ditaati. [77] Dengan sikapnya itu, kepada para pengikutnya Imam ingin menyampaikan, "Bertakwalah dengan baik, jangan menyampaikan perkataan dan ajaran kami kepada sembarang orang." [78]

Suatu ketika Makmun mengirim surat kepada Imam Ali Ridha as. Isinya, dia meminta pada imam supaya menjelaskan apa saja pokok-pokok Islam yang asli. Dalam jawabannya Imam menulis, pokok-pokok Islam yang asli adalah: Tauhid, Kenabian Nabi Muhammad saw, imamah Imam Ali as sebagai penerus dan penjaga risalah Nabi saw dan sebelas imam setelahnya. Dalam penjelasannya itu beliau menggunakan istilah “القائم بامر المسلمین” (orang yang memegang tanggung jawab urusan kaum muslimin). [79]

Karya-karya Yang Disandarkan kepada Imam Ridha as

Kitab Uyun Akhbar al-Ridha as

Sebagian penulis selain mengutip hadis-hadis dan riwayat-riwayat dari Imam Ridha as atau jawaban yang diterima oleh orang-orang yang merujuk pada Imam untuk memahami persoalan-persoalan keilmuan dan ajaran Islam (misalnya buku 'Uyūn Akhbār al-Ridhā yang banyak mengutip masalah-masalah seperti ini), juga menyebutkan beberapa karya yang validitas penyandaran ini memerlukan dalil-dalil yang memadai dan penyandaran-penyandaran sebagian dari karya-karya itu kepada Imam Ridha as belum dapat dibuktikan. Di antara karya itu adalah buku al-Fiqh al-Radhawi namun sejumlah periset dari kalangan ulama menolak bahwa buku ini ditulis oleh Imam Ridha as. [80]

Karya lainnya yang disandarkan kepada Imam Ridha as adalah Risalah Dzahabiyyah dalam masalah kedokteran. Disebutkan bahwa Imam Ridha as mengirimkan risalah ini kurang lebih pada tahun 201 H untuk Makmun dan Makmun untuk menunjukkan betapa pentingnya resep-resep itu ia menulisnya dengan tinta emas dan kemudian disimpan di perpustakaan Darul Hikmah sehingga dengan demikian risalah tersebut dinamai sebagai Risalah Dzahabiyah. Banyak ulama yang telah menulis syarah dan memberikan ulasan atas buku ini. [81]

Karya lainnya yang disandarkan kepada Imam Ridha as adalah buku Shahifah al-Ridha dalam masalah Fikih yang belum lagi dapat dibuktikan penyandarannya menurut ulama. [82]Buku lainnya yang disandarkan kepada Imam Ridha as adalah Mahdh al-Islām wa Syarā'i al-Din namun nampaknya tidak dapat diyakini bahwa buku ini adalah karya Imam Ridha as. [83]

Para Sahabat

Sebagian penulis menyebutkan bahwa terdapat 367 orang dalam senarai sahabat dan perawi hadis Imam Ridha as. [84] Sebagian sahabat Imam Ridha as adalah sebagai berikut:

  • Yunus bin Abdurrahman
  • Muwaffaq (pelayan Imam Ridha)
  • Ali bin Mahziyar
  • Shafwan bin Yahya
  • Muhammad bin Sanan
  • Zakariya bin Adam
  • Rayyan bin Shalt
  • Da'bal bin Ali

Kedudukan Imam Ridha as di Kalangan Ahlusunah

Dar al-Huffazh, Haram Radhawi

Sebagian pembesar Ahlusunnah memuji nasab, ilmu dan keutamaan Imam Ridha as[85]dan pergi berziarah ke Haram Imam Ridah as. Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia berulang kali pergi ziarah ke makam Ali bin Musa di Masyhad, dan dengan perantara bertawassul kepadanya banyak dari kesulitan-kesulitannya dapat terselesaikan.[86]

Ibnu Hajar Askalani menukilkan bahwa Abu Bakar bin Khuzaimah (Imam Ahli Hadis) dan Abu Ali Tsaqafi beserta ulama besar Ahlusunnah lainnya pernah menziarahi makam Imam Ridha as. Perawi menyampaikannya kepada Ibnu Hajar dengan mengatakan, “Abu Bakar bin Khazaimah sangat memuliakan makam tersebut (makam Imam Ridha as) dengan menujukkan sikap rendah hati dan menangis di sisi makam, yang membuat kami bingung.” [87]

Ibnu Najjar Baghdadi berkata, "Ia memiliki kedudukan dalam bidang ilmu dan agama sehingga pada usia dua puluhan tahun memberikan fatwa di masjid Rasulullah saw." [88]

Lihat Juga


Didahului oleh:
Imam Musa al-Kazhim as
Imam kedelepan Syiah Imamiyah
183 H-203 H
Diteruskan oleh:
Imam Muhammad al-Jawad as

catatan

  1. Pakaian yang dikenakan oleh Abu Muslim Khurasani dan pengikutnya yang boleh jadi mengikuti bendera Rasulullah saw atau sebagai tanda duka cita para syahid Ahlulbait Rasulullah saw

Catatan Kaki

  1. Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 261; Ibnu Syahr Asyub, Manāqib Ibnu Syahr Asyub, jld. 4, hlm. 363.
  2. Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridhā, jld. 1, hlm. 13.
  3. Al-Amin, al-Sayid Muhsin, A'yān al-Syiah, jld. 2, Beirut: Dar al-Ta'āruf al-Mathbu'āt, hlm. 545.
  4. Thabrisi, I'lam al-Wara bi A'lam al-Huda,, jld. 2, hlm. 64
  5. Fadhlullah, Tahlili az Zindigani-e Imam Ridha as, hlm. 43.
  6. Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 486.
  7. Amili, al-Hayat al-Siyasiyah li al-Imam al-Ridha as, hlm. 168
  8. Ja'fariyan, Hayate Fikri-Siyasi Imamame Syiah, hlm. 425
  9. Shaduq, Uyun Akhbar al-Ridha, jld. 1, hlm. 14.
  10. Shaduq, Uyun Akhbar al-Ridha, jld. 1, hlm. 15.
  11. Shaduq, Uyun Akhbar al-Ridha, jld. 1, hlm. 16.
  12. Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridha, jld. 2, hlm. 41.
  13. Thabrisi, I'lam al-Wara bi A'lam al-Huda, jld. 2, hlm. 91, 1417 H.
  14. Al-Kulaini, al-Kāfi, jld. 1, hlm. 492.
  15. Thabari, al-Tārikh, jld. 7, hlm. 149.
  16. Al-Qurasyi, Hayat al-Imam Ali bin Musa al-Ridha as, jld. 2, hlm. 408.
  17. Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, hlm. 226.
  18. Syekh Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm.271
  19. Fadhlullah, Tahlili az Zindigani-e Imam Ridha as, hlm. 44.
  20. Qommi, Muntaha al-Amal, 1725-1726.
  21. Fadhlullah, Tahlili az Zindigani-e Imam Ridha as, hlm. 44.
  22. Sibth bin Al-Jauzi, Tadzkirah al-Khawash, hlm. 123.
  23. Ja'fariyan, Hayate Fikri-Siyasi Imamane Syiah, hlm. 426.
  24. Syekh Mufid, jld. 2, hlm. 248.
  25. Ja'fariyan, hlm. 427.
  26. Naubahkhti, Firaq al-Syiah, hlm.79.
  27. Kulaini, al-Kafi, jld.8, hlm.151.
  28. Thabrisi, I'lam al-Wara Bi A'lam al-Huda, jld.2, hlm.64.
  29. ‘Irfan Manesy, hlm. 18.
  30. Ja'fariyan, Hayate Fikri wa Siyasi Imamane Syieh, hlm. 426.
  31. Ya'qubi, jld. 2, hlm. 465, 1378 S.
  32. Muthahari, Majmue-e Atsar Ustad Syahid Muthahhari, jld. 18, hlm. 124
  33. Ja'fariyan, hlm. 95.
  34. Syekh Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 259
  35. Fadhlullah, hlm. 133, 1377 HS.
  36. Shaduq, Ma'ani al-Akhbar, hlm. 371
  37. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 49, hlm. 129
  38. Lihat: Dirakhsyah, Husaini Faiq, Sirah Siyasi Imam Ridha dar Barkhurd ba Hukumati Jaur (Sikap politis Imam Ridha as dalam menghadapi pemerintah zalim), hlm. 21
  39. Lihat: Amili, al-Hayat al-Siyasiyah li al-Imam al-Ridha as, hlm. 286
  40. Syekh Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 259
  41. Ya'qubi, Tarikh Ya'qubi, jld. 2, hlm. 465.
  42. Ja'fariyan, hlm. 442, 1381 S.
  43. Silakan lihat: al-Tabarsi, jld. 2, 1403 H, hlm. 396 dst.
  44. 'Uyūn Akhbār al-Ridhā, jld. 1, hlm. 152, sesuai nukilan dari Ja'fariyan, hlm. 442.
  45. Ja'fariyan, hlm. 442, 1381 S.
  46. Ja'fariyan, hlm. 443-444, 1381 S.
  47. Fadlullah, Tahlili az Zindigani-e Imam Ridha as, hlm. 43
  48. Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 486
  49. Amili, al-Hayat al-Siyasiyah li al-Imam al-ridha as, hlm. 169
  50. Thabrisi, I'lam al-Wara bi A'lam al-Huda, jld. 2, hlm. 41
  51. Lihat: Al-Qurasyi, Hayat al-Imam Ali bin Musa al-Ridha as, jld. 2, hlm. 503-5-4
  52. Ya'qubi, Tarikh Ya'qubi, jld. 2, hlm. 469.
  53. Tarikh Ya'qubi, jld. 2, hlm. 471.
  54. Syekh Mufid, al-Irsyad,jld. 2, hlm. 270
  55. Silahkan lihat, Shaduq, Uyun Akhbar al-Ridha as, jld. 2, hlm-hlm.245
  56. Lihat: Amili, Zindigi Siyasi Hasytumin Imam, hlm. 202-212.
  57. Ibnu Hibban, al-Tsiaqat, jld. 8, hlm. 456-457, 1402 H; Ja'fariyan, Ja'fariyan, Hayati Fikri wa Siyasi Imamane Syiah, hlm. 460, 1376 S.
  58. Ja'fariyan, Ja'fariyan, Hayati Fikri wa Siyasi Imamane Syiah, hlm. 443, 1376 S.
  59. Ja'fariyan, Hayati Fikri wa Siyasi Imamane Syiah, hlm. 444.
  60. Ja'fariyan, Hayati Fikri wa Siyasi Imamane Syiah, hlm. 444-445.
  61. Al-'Athardi, Musnad al-Imam al-Ridha as, jld. 1, hlm. 84-85, 1413 H.
  62. Syekh Mufid, al-Irsyad, hlm. 464.
  63. Dakhil, Aimmatuna; Sirah al-Aimmah al-Itsna Asyar, jdl.2, hlm. 76-77.
  64. Syekh Shaduq, al-Tauhid, hlm. 435.
  65. Syekh Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridhā as, jld. 2, hlm. 184.
  66. Rijāl al-Najāsyi, hlm. 277.
  67. Syekh Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridhā as, jld. 2, hlm. 17.
  68. Syekh Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridhā as, jld. 2, hlm. 159.
  69. Ibnu Syahr Asyub, al-Manāqib, jld. 4, hlm. 362.
  70. Kulaini, al-Kāfi, jld. 5, hlm. 327.
  71. Kulaini, al-Kāfi, jld. 5, hlm. 23.
  72. Kulaini, al-Kāfi, jld. 5, hlm. 19.
  73. Nuri Tabarsi, Mustadrak al-Wasāil, jld. 3, hlm. 67.
  74. Syekh Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridha, jld. 2, hlm. 159.
  75. Thabrisi, I'lām al-Wara, jld. 2, hlm. 64.
  76. Syekh Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-RIdha, jld. 2, hlm. 172-173.
  77. Kulaini, al-Kāfi, jld. 1, hlm. 487.
  78. Kulaini, al-Kāfi, jld. 1, hlm. 224.
  79. Syekh Shaduq,‘Uyun Akhbār al-Ridha, jld. 2, hlm. 122.
  80. Fadhlulllah, hlm. 187.
  81. Fadhlulllah, hlm. 191-196.
  82. Fadhlulllah, hlm. 196.
  83. Fadhlulllah, hlm. 197-198.
  84. Silahkan lihat, al-Qurasyi.
  85. Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, jld.7, hlm. 389; Yafi'i, Mir'at al-Jinan, jld. 2, hlm. 10
  86. Ibnu Hibban, al-Tsiqat, jld. 8, hlm. 457
  87. 'Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, jld. 7, hlm. 388.
  88. Ibnu Najjar, terkait dengan Tārikh Baghdād, jld. 4, hlm. 135; lihat juga: Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, jld. 7, hlm. 387.

Daftar Pustaka

  • Al-'Amili, al-Sayid Ja'far Murtadha. Al-Hayāt al-Siyāsiyah lil Imām al-Ridhā as: Dirāsah wa Tahlil. Beirut: Al-Markaz al-Islamiyah lid Dirasah, 1430 H.
  • Al-'Atharidi. Musnad al-Imām al-Ridhā, jld. 1. Beirut: Dar al-Shafwah, 1413 H/1993.
  • Al-Jauzi, Yusuf bin Abdullah. Tadzkirah al-Khawwāsh min al-Ummah fi Dzikr Khasāish al-Aimmah. Qom: Mansyurat al-Syarif al-Radhi, tanpa tahun.
  • Al-Qurasyi, Baqir Syarif. Hayāt al-Imām Ali bin Musā al-Ridhā: Dirasah wa Tahlil, jld. 2. Mehr Deldar, 1429 H/2008 .
  • 'Asqalani, Ibnu Hajar. Tahdzib al-Tahdzib, jld. 7. Beirut: Dar Shadir.
  • Dāirah al-Ma'ārif Tasyayyu', jld. 1. Tehran: Bunyad Islami, 1366 SH.
  • Dakhil, Ali Muhammad Ali. Aimmatuna: Sirah al-Aimmah al-Itsnā 'Asyar, jld. 2. Muassasah Dar al-Kitab al-Islami, 1429 H/2008 .
  • Dekhada, Ali Akbar. Lughat Nāme Dekhādā, jld. 8. cet. 10. Tehran: Danesygah Tehran, 1377 SH.
  • Fadhlullah, Muhammad Jawad. Tahlili az Zendagāni Imām Ridhā as. Terjemah: Muhammad Shadiq Arif. Mashyad: Bunyad Pazyuhesy-ha Islami, 1377 SH.
  • Husaini, Ja'far Murtadha. Zendegi Siyāsi Hasytumin Imām. Terjemah: Sayid Khalil Khaliliyan. Tehran: Daftar Nasyr Farhang Islami, 1381 SH.
  • Ibnu Habban. Al-Tsiqāt, jld. 8. India:Percetakan Majlis Dairah al-Ma'arif al-Utsmaniyah, Haidar Abad, 1402 H.
  • Irfan Manesy, Jalil. Jugrafiyah Tārikhi Hijrat Imām Ridhā Alaihi al-Salām az Madinah tā Marv. Masyhad: Astan Quds Radhawi, Bunyad Pazyuhesy Islami, 1374 SH.
  • Ja'fariyan, Rasul. Athlas Syi'ah. Tehran: Sāzemān Jegrofiyah Niru-hā Musallah, 1387 SH.
  • Ja'fariyan, Rasul. Hayāt Fikri wa Siyāsi Imāmān Syiah Alaihim al-Salām. Qom: Ansariyan, 1381 SH.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Al-Kāfi, jld. 1. Editor: Muhammad Akhundi dan Ali Akbar Ghaffari. Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, tanpa tahun.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Al-Kāfi, jld. 1. Riset dan editor: Ali Akbar Ghaffari. cetakan kelima, 1363 SH.
  • Muthahhari, Murtadha. Majmu'ah Ātsār, jld. 18. Qom: Shadra Tehran, 1381 SH.
  • Qummi, Syekh Abbas. Muntaha al-Āmāl. Riset:Nasir Baqiri Bidhindi. Qom: Dalil, 1379 SH.
  • Suyuthi, Jalaluddin. Tārikh al-Khulafā. Riset: Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid. tanpa tempat. tanpa tahun.
  • Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu'man. al-Irsyād fi Ma'rifat Hujajilllah 'ala al-'Ibād. Qom: 1428 H.
  • Syekh Shaduq. 'Uyūn Akhbār al-Ridhā as. Terjemah: Ali Akbar Ghaffari. jld. 2, Tehran: Nasyr Shaduq, 1373 SH.
  • Thabrisi, Abi Manshur Ahmad bin Ali bin Abi Thalib. al-Ihtijāj. Annotasi: Al-Sayid Muhammad Baqir al-Musawi al-Khurasan, Sa'id. Masyhad: 1403 H.
  • Thabrisi, al-Fadhl bin Hasan. I'lām al-Warā bi A'lām al-Hudā, jld, 2. Qom: Muassasah Alu al-Bait li Ihya al-Turats, 1417 H.
  • Yafi'i, Abdullah bin As'ad. Mir'ah al-Jinān wa 'Ibrah al-Yaqdhān fi Ma'rifat ma Yu'tabar min Hawādits al-Zamān, jld. 2. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1417 H.
  • Ya'qubi, Ahmad bin Abi Ya'qub. Tārikh Ya'qubi, jld. 2. Terjemah: Muhammad Ibrahim Ayati. Tehran: Ilmi wa Farhanggi, 1378 SH.

Pranala Luar