Wahyu
Islam |
---|
Ma'rifatullah | |
---|---|
Tauhid | Tauhid Dzati • Tauhid Sifat • Tauhid Af'al • Tauhid Ibadah |
Furuk | Tawasul • Syafa'at • Tabarruk • |
Keadilan Ilahi | |
Kebaikan dan keburukan • Bada' • Amrun bainal Amrain • | |
Kenabian | |
Keterjagaan • Penutup Kenabian • Nabi Muhammad Saw • Ilmu Gaib • Mukjizat • Tiada penyimpangan Alquran | |
Imamah | |
Keyakinan-keyakinan | Kemestian Pelantikan Imam • Ismah Para Imam • Wilayah Takwini • Ilmu Gaib Para Imam • Kegaiban Imam Zaman as • Ghaibah Sughra • Ghaibah Kubra • Penantian Imam Mahdi • Kemunculan Imam Mahdi as • Raj'ah |
Para Imam | |
Ma'ad | |
Alam Barzah • Ma'ad Jasmani • Kebangkitan • Shirath • Tathayur al-Kutub • Mizan • Akhirat | |
Permasalahan Terkemuka | |
Ahlulbait • Empat Belas Manusia Suci • Taqiyyah • Marja' Taklid |
Wahyu (bahasa Arab: الوحي ) adalah hubungan maknawi antara pribadi seorang nabi dengan alam gaib yang dengan itu pesan Ilahi tersampaikan kepada nabi tersebut, baik pesan tersebut tersampaikan melalui perantara maupun tanpa perantara. Dalam ilmu teologi, hal tersebut dinamakan wahyu "tasyri'i" atau wahyu "risali" yang dikhususkan untuk para nabi yang mana hal ini berbeda dengan ilham dan "tahdits".
Pada masa kontemporer, pembahasan wahyu menjadi semakin kompleks dan menjadi perbincangan para pemikir. Mayoritas dari mereka berpendapat, wahyu adalah hasil dari pengalaman spritual.
Definisi
Wahyu secara etimologi berarti isyarat langsung[1], pesan yang tersampaikan secara cepat [2] dan pesan yang tersampaikan kepada pihak lain.[3]
Dalam terminologi agama, wahyu adalah hubungan maknawi antara pribadi seorang nabi dengan alam gaib yang dengan itu pesan Tuhan tersampaikan kepada nabi tersebut. Nabi yang dimaksud adalah orang-orang khusus pilihan Tuhan yang dianggap layak mendapatkan pesan Tuhan tersebut.[4]
Penggunaan Kata Wahyu dalam Al-Qur'an
Kata "Wahyu" digunakan dalam Alquran dalam beberapa pengertian:
- Yang berarti isyarat tersembunyi sebagaimana dalam kisah Nabi Zakaria as (QS. 19: 11).
فَخَرَجَ عَلَی قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَی إِلَیهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُکرَةً وَعَشِیا
- Yang berarti insting, sebagaimana insting yang diberikan kepada lebah madu (QS. 16:68).
وَأَوْحَی رَبُّك إِلَی النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذذِی مِنَ الْجِبَالِ بُیوتًا وَممِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا یعْرِشُونَ
- Yang berarti petunjuk (QS. 41:12).
وَأَوْحَی فِی کلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا
- Yang berarti waswas atau godaan setan (QS. 6:112)
کذَٰلِك جَعَلْنَا لِکلِّ نَبِی عَدُوًّا شَیاطِینَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ یوحِی بَعْضُهُمْ إِلَی بَعْضٍ
وَأَوْحَینَا إِلَی أُمِّ مُوسَی أَنْ أَرْضِعِیهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَیهِ فَأَلْقِیهِ فِی الْیمِّ
- Yang berarti wahyu tasyri'i untuk para Nabi (QS. 29:65).
وَلَقَدْ أُوحِی إِلَیك وَإِلَی الَّذِینَ مِنْ قَبْلِك لَئِنْ أَشْرَکتَ لَیحْبَطَنَّ عَمَلُك وَلَتَکونَنَّ مِنَ
Ciri Khas Wahyu
Wahyu yang diturunkan untuk para Nabi (wahyu Tasyri'i) memiliki sejumlah ciri khas:[5]
- Disampaikan atau diajarkan kepada Rasul bukan oleh manusia.(QS. 53:4) إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحى عَلَّمَهُ شَديدُ الْقُوى
- Dalam beberapa keadaan, wahyu disampaikan melalui perantara malaikat. (QS. 193:26) نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمينُ
- Tidak muncul dari khayalan pribadi dan sumbernya di luar keinginan nabi.[6]
Metode Datangnya Wahyu
Sampainya wahyu kepada para Nabi juga melalui beberapa cara. Hal ini dijelaskan dalam surah Asy-Syura ayat 51.
وَ ما کانَ لِبَشَرٍ أَنْ یکلِّمَهُ اللَّهُ إِلاَّ وَحْیاً أَوْ مِنْ وَراءِ حِجابٍ أَوْ یرْسِلَ رَسُولاً فَیوحِی بِإِذْنِهِ ما یشاءُ إِنَّهُ عَلِی حَکیم
- Allah swt berfirman kepada Nabi-Nya tanpa melalui perantara;
- Kalam Ilahi langsung dimasukkan ke dalam kalbu Rasulullah, tanpa ada campur tangan maujud lainnya;
- Tersampaikan melalui mimpi yang benar[7]. Sebagaimana mimpi yang dialami Nabi Ibrahim as untuk mengorbankan putranya, Ismail as. (QS. 102:37)
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْی قالَ یا بُنَی إِنِّی أَری فِی الْمَنامِ أَنِّی أَذْبَحُك
- Melalui perantara selain manusia, yaitu Jibril atau Ruh atau malaikat lain.
- Disampaikan secara tersembunyi (melalui hijab) sebagaimana pada kisah Nabi Musa as di bukit Tursina yang mendengarkan firman Allah swt di balik pohon.(QS.30:28)[8]
فَلَمَّا أَتاها نُودِی مِنْ شاطِئِ الْوادِ الْأَیمَنِ فِی الْبُقْعَةِ الْمُبارَکةِ مِنَ الشَّجَرَةِ أَنْ یا مُوسی إِنِّی أَنَا اللَّهُ رَبُّ الْعالَمین
Perbedaan antara Wahyu dengan Ilham
Ilham sering juga disebut dengan istilah wahyu "tasdidi", yaitu wahyu yang disampaikan kepada manusia-manusia tertentu yang bukan nabi. [9]
Dalam hal ini, Allah swt memberikan ilham kepada kalbu seseorang yang layak dan berdasarkan ilmu-Nya berhak untuk mendapatkannya. Ilham yang tersampaikan tidak melalui pembicaraan atau pendengaran orang yang bersangkutan melainkan secara tiba-tiba menyadari ada perintah atau petunjuk yang datang dari suara hatinya. Sebagaimana kisah ibu Nabi Musa as yang mendapatkan ilham dari Allah swt untuk menghanyutkan bayinya ke sungai [10] ataupun ilham yang didapat oleh para Imam Maksum [11] demikian pula oleh wali-wali Allah swt yang lain.[12]
Wahyu kategori ini bukan untuk menerangkan hukum-hukum syariat, melainkan hal-hal pribadi yang harus dilakukan seseorang untuk mendapatkan ketenangan, keyakinan, ataupun penyampaian informasi mengenai hal-hal gaib yang akan terjadi di masa yang akan datang dan hal-hal yang dapat meneguhkan hati seseorang.[13]
Perbedaan Wahyu dengan Waswas Setan
Hembusan-hembusan setan sekalipun tak ubahnya wahyu dimana tersampaikan secara cepat, sembunyi dan samar, namun keduanya dapat dibedakan dari isi pesan yang tersampaikan. Wahyu dan Ilham Ilahi saat diterima oleh nabi menimbulkan ketenangan dan kegembiraan, sementara waswas setan karena isinya bertentangan dengan fitrah manusia maka menimbulkan kegelisahan dan ketidaktenangan pada hati seseorang.[14]
Wahyu dalam Pembahasan Kontemporer
Sampai abad ke-16 M, keyakinan akan gaibnya masalah wahyu di kalangan ilmuan dan pemikir Barat bukan hal yang diperdebatkan. Namun dengan semakin berkembangnya ilmu sains dan pemikiran materialisme, maka sebagian dari mereka mengingkari ke-supranaturalan wahyu. Awalnya mereka menyebut wahyu hanya khurafat dan khayalan, namun kemudian dengan berkembangnya ilmu kejiwaan (psikologi) tahun 1846 di Amerika, kelompok yang menentang wahyu merekontruksi pendapatnya dengan menyebut wahyu adalah kondisi kejiwaan seseorang, indera ke enam dan hasil dari kematangan orang-orang yang menerimanya.[15]
Sebagian pemikir Barat lainnya, berdasarkan anggapan identisitas pengalaman religius dan wahyu, berkeyakinan bahwa sesuai dengan wataknya manusia berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Namun berbagai problem seperti diskriminasi yang terjadi pada alam natural, kecacatan epistemik dan moral manusia, rasa kesendirian serta problem-problem lainnya yang semacam ini, bukanlah perkara-perkara yang menjadi perhatian seluruh manusia. Oleh kerenanya, manusia-manusia yang berjiwa transenden (punya semangat tinggi) yang memiliki perhatian besar, secara perlahan memisahkan diri dari masyarakat dan memokuskan diri pada alam yang lebih tinggi. Dengan menempa diri dan melakukan latihan-latihan khusus, mereka mendapatkan kondisi-kondisi [spiritual] yang tidak diperoleh dan diketahui manusia-manusia lainnya. [16] Berdasarkan hal ini, agama merupakan pengalaman spiritual dan sosial nabi dan perkataan Tuhan adalah perkataan Nabi itu sendiri. Wahyu mengikuti pada nabi dan meluas dengan meluasnya personalitas nabi.
Pada masa kontemporer, telah mengemuka sebuah diskursus baru serta penjelasan-penjelasan lebih modern terkait fenomena wahyu dan prosesnya. Di dunia Arab, Nasr Hamid Abu Zaid, Mohammad Arkon, Fazlur Rahman, Hasan Hanafi, Mohammad Khalfullah dan di Iran Abdul Karim Soroush dan Mujtahid Shabestari mengajukan suatu tafsiran baru tentang wahyu.[17] Kendati pandangan-pandangan ini tidak serupa dan terdapat perbedaan-perbedaan perspektif serius di antara mereka, namun sebagian besar dari pandangan-pandangan ini, sepaham dalam dua hal: Satunya adalah teks-teks religius tidak dapat dilihat keluar dari lingkup kemanusiaan dan terpisah dari sejarah dan budaya manusia (bukan pandangan meta-insani) dan semuanya hendak menekankan peran "manusia" di dalamnya. Lainnya adalah wahyu tidak bersumber dari hakekat-hakekat dan proposisi-proposisi melainkan dianggap sebagai sejenis perjumpaan dan pengalaman esoteris (batin). [18]
Pembahasan-pembahasan yang diketengahkan orang-orang ini, ditentang oleh para penganut pandangan umum dan populer Islam.
Catatan Kaki
- ↑ Raghib, Mufradat, hlm. 858.
- ↑ Khalil bin Ahmad, al-'Ain, jld. 3, hlm. 321.
- ↑ Ibnu Mandzhur, Lisan al-Arab, jld. 3, hlm. 379.
- ↑ Thabathabai, Wahyu ya Syu'ure Marmuz, hlm. 104.
- ↑ Muthahari, Nubuwat, hlm. 81-84.
- ↑ Muthahari, Nubuwat, hlm. 84
- ↑ Shaduq, al-Tauhid, hlm. 264.
- ↑ 2, hlm. 279; Thabathabai, al-Mizān fi Tafsir al-Qur'an, jld. 18, hlm. 74; Muthahari, Nubuwat, hlm. 81-84.
- ↑ Thabathabai, al-Mizān fi Tafsir al-Qur'an, jld. 6, hlm. 373.
- ↑ Surah Al-Qashash ayat 28.
- ↑ Amuli, Tafsir al-Muhith al-A'zham, jld. 1, hlm. 446.
- ↑ Shadr al-Mutālihin, Tafsir al-Qur'an al-Karim, hlm. 100; Alusi, hlm. 393.
- ↑ Jawadi Amuli, Adab Fanāi Muqarrabān, jld. 1, hlm. 141.
- ↑ Dawar Panoh, Anwar al-Irfan, jld. 3, hlm. 370.
- ↑ Dāirah al-Maārif al-Qur'an al-'Isyrin, jld. 10, hlm. 712-719.
- ↑ َAli Dhasti, hlm. 43
- ↑ [1]
- ↑ situs Farhang wa Ulumue Insani
Daftar Pustaka
- Alusi, Sayid Mahmud. Ruh al-Ma'āni fi Tafsir al-Qur'an al-Karim. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiah, 1415 H.
- Amuli, Sayid Haidar. Tafsir al-Muhith al-A'dzham wa al-Bahr al-Khadhm. Tehran: Penerbit Kementerian Arsyad Islami, cet. III, 1422 H.
- Dawar Panah, Abu al-Fadhl. Anwār al-'Irfān fi Tafsir al-Qur'an. Tehran: Penerbit Shadr, 1375 HS.
- Dhasti, Ali, 23 Tahun.
- Farahidi, Khalil bin Ahmad. Al-'Ain. Qom: Qom. Penerbit: Hijrat, cet. II, 1409 H.
- Ibnu Mandzhur, Muhammad bin Mukaram. Lisān al-Arab. Beirut: Dar Shadr, 2000.
- Jawadi Amuli, Abdullah. Adab Fanāi Muqarrabān. cet. V, jld. 2: Qom, penerbit Isra, 1388 S.
- Muthahari, Murtadha. Nubuwwat. Teheran: Penerbit Shadra, 1373 HS.
- Qomi, Ali bin Ibrahim. Tafsir al-Qommi. Qom: Dar al-Kutub, cet. IV, 1367 HS.
- Raghib Isfahani, Husain bin Muhammad. Mufradāt fi Gharib al-Qur'an. Beirut: Dar al-'Ilm, 1412 H.
- Shadr al-Mutaallihin, Muhammad bin Ibrahim. Tafsir al-Qur'an al-Karim. Qom: Penerbit Bidar, cet. II, 1366 HS.
- Thabathabai, Muhammad Husain. al-Mizān fi Tafsir al-Qur'an. Qom: Penerbit: Jami'ah Mudarrisin, cet. V, 1417 H.
- Thabathabai, Muhammad Husain. Wahy ya Syu'ure Marmuz. Tanpa tempat: Markaz Nashr wa Tauzi' Kitab, 1377 HS.
- Wajdi, Farid, Dāirah al-Ma'ārif al-Qarn al-'Isyrin.