Lompat ke isi

Tuthunjiyah

Dari wikishia

Tuthunjiyah adalah sebuah khutbah yang dinisbatkan kepada Imam Ali as yang diriwayatkan dalam kitab Masyariq Anwar al-Yaqin yang berasal dari abad ke-9 Hijriah, namun tidak terdapat dalam Nahjul Balaghah.

Inti dari khutbah ini adalah keluasan ilmu Imam Ali as dan menekankan pengetahuan beliau tentang alam semesta serta peristiwa-peristiwa masa lalu dan masa depan. Dari segi kandungan, khutbah ini termasuk dalam kategori khutbah-khutbah yang pada abad ketiga hingga kelima Hijriah dianggap mengandung pemikiran ghulat (berlebihan).

Sumber yang Meriwayatkan Khutbah

Referensi tertua yang menyebutkan khutbah ini adalah kisah penutup khutbah yang dicatat oleh Sayid Hibatullah Musawi pada tahun 703 H/1304 M dalam Al-Majmu' al-Ra'iq.[1] Satu-satunya riwayat kuno dari khutbah ini terdapat dalam Masyariq Anwar al-Yaqin karya Hafiz Rajab Bursi (seorang sufi dan ulama Syiah abad kedelapan dan kesembilan).[2] Hibatullah Musawi tidak memberikan penjelasan tambahan tentang khutbah ini. Bursi juga tidak menyertakan sanad atau bahkan menyebutkan perawi khutbah ini.[3]

Tempat dan Waktu Khutbah

Hafiz Rajab al-Bursi menyatakan bahwa khutbah ini disampaikan di suatu tempat antara Kufah dan Madinah.[4] Berdasarkan teks khutbah, dapat disimpulkan bahwa khutbah ini disampaikan setelah Perang Shiffin, karena di dalamnya disebutkan tentang balasan bagi para syuhada Shiffin seperti Ammar bin Yasir dan Uwais al-Qarni.[5]

Menurut Bursi, Jabir (kemungkinan Jabir bin Abdullah al-Anshari) adalah pendengar khusus Imam Ali as saat khutbah ini disampaikan, dan Jabir mengajukan pertanyaan kepada Imam setelah khutbah selesai.[6] Di tengah khutbah, disebutkan juga seorang tokoh bernama Ibnu Shuwairemah yang berdiri dan mengonfirmasi perkataan Imam.[7] Namun, tokoh ini tidak termasuk dalam daftar sahabat Imam.

Alasan Penamaan

Nama khutbah ini diambil dari kata "Al-Tathnij" yang disebutkan berulang kali dalam teks khutbah, baik dalam bentuk tunggal maupun ganda. Tidak ada sumber yang menjelaskan cara pengucapan kata ini. Penggunaan kata ini menunjukkan bahwa kata tersebut tidak terkait dengan kata dasar bahasa Arab "Tanj" atau bentuk tiga huruf yang ditambah "Tatannuj" yang berarti "bervariasi dan menguasai berbagai keterampilan".[8] Tidak ada makna lain yang dikenal dalam bahasa Arab atau non-Arab untuk kata ini. Dalam teks khutbah, "Tathnij" diartikan sebagai teluk air.[9] Menurut Hafiz Rajab al-Bursi, para pendahulunya menafsirkan "Tathnijain" dalam khutbah ini sebagai "dunia dan akhirat".[10]

Sayid Kazhim Rasyti menjelaskan tentang penamaan khutbah ini sebagai "Tuthunjiyah": Nama ini diberikan karena khutbah ini mencakup "akwar" dan "adwar" (lingkaran dan siklus) keberadaan yang terbatas pada dua bola. Ia kemudian menjelaskan dua bola ini, yang menurutnya adalah dua "Tatnij" alam semesta.[11] Ia menempatkan banyak pandangan keagamaannya yang khusus berdasarkan pertentangan dua "Tatnij" ini, yang menurutnya berasal dari sumber yang sama dan berkumpul di "bahr muhit" (lautan luas).[12]

Isi

Pembukaan khutbah ini memiliki kemiripan yang kuat dengan bagian "Penciptaan Alam" dalam khutbah pertama Nahjul Balaghah. Sebagian besar ungkapan-ungkapan dalam khutbah ini, dengan struktur kalimat yang berbeda, sangat dipengaruhi oleh ayat-ayat Al-Qur'an dan mirip dengan pemikiran resmi dan umum Syiah. Pembahasan tentang talisman menjadi penghubung antara bagian awal khutbah dan pembahasan misterius di tubuh khutbah.[13] Setelah memasuki pembahasan tentang "Tatnijain", khutbah ini menemukan ciri khasnya sendiri.

Inti dari khutbah ini adalah keluasan ilmu Imam Ali as, khususnya pengetahuan beliau yang unggul tentang alam semesta serta peristiwa-peristiwa masa lalu dan masa depan. Oleh karena itu, khutbah ini mencakup tema-tema luas dalam kosmologi, penciptaan alam, berita tentang orang-orang terdahulu, dan peristiwa-peristiwa terkait akhir zaman.

Ciri Khas Khutbah

Khutbah ini harus ditempatkan bersama khutbah-khutbah seperti Khutbah al-Bayan, Khutbah Iftikhar, Khutbah Lulu'ah, dan Khutbah Aqalim, yang semuanya mengandung tema-tema yang pada abad ke-3 hingga ke-5 Hijriah dianggap sebagai pemikiran ghulat (berlebihan).[14]

Dalam Khutbah Tuthunjiyah, beberapa ungkapan seperti "Akulah yang mengangkat Idris ke tempat yang tinggi,"[15] jika dibandingkan dengan Surah Maryam ayat ke -57, atau ungkapan "Akulah yang pertama, Akulah yang terakhir, Akulah yang zahir, dan Akulah yang batin,"[16] jika dibandingkan dengan Surah Al-Hadid ayat ke-3, serta penisbahan kehancuran umat-umat terdahulu kepada diri sendiri,[17] jika dibandingkan dengan berbagai ayat Al-Qur'an, menunjukkan bahwa setidaknya sebagian ungkapan dalam khutbah ini terkait dengan pemikiran ghulat.

Gambaran yang diberikan dalam beberapa ungkapan khutbah tentang penciptaan, seperti "Akulah yang menciptakan aqalim (wilayah) dengan perintah Yang Maha Mengetahui dan Bijaksana, Akulah kalimat yang melaluinya segala urusan terlaksana dan zaman berlalu,"[18] dapat dibandingkan dengan pemikiran "Sang Pencipta" dalam tingkatan di bawah Tuhan Yang Maha Tinggi menurut kaum Gnostik, dan dapat menjadi penghubung antara pemikiran Gnostik tentang Sang Pencipta dengan pemikiran Kristen. Ungkapan-ungkapan seperti "Akulah pemilik keabadian pertama"[19] dan pernyataan bahwa "Dia mengajarkan ilmu-Nya kepadaku dan aku mengajarkan ilmuku kepada-Nya" tentang Nabi Muhammad saw,[20] terlihat pada puncak-puncak khutbah.

Namun, di akhir khutbah, ungkapan bahwa Ali adalah cahaya yang diciptakan dan hamba yang diberi rezeki,[21] dengan peralihan dari kata ganti orang pertama ke penyebutan nama sendiri, sekali lagi bertujuan untuk menegaskan bahwa penafsiran ketuhanan dalam benak pendengar atau pembaca harus dihilangkan.

Misteri mendominasi tubuh utama khutbah ini, dan penggunaan ungkapan-ungkapan yang tidak biasa seperti "Akulah Thirtha, Akulah Janbutha, Akulah Barhalun, dan Akulah Aliyuthutha"[22] yang mirip dengan kata-kata bahasa Suryani. Penyebutan sebuah jurang di dasar neraka sebagai "Amqiyus"[23] dan penggunaan istilah kunci yang sulit dipahami "Tatnij"[24] adalah contoh dari misteri ini.

Ungkapan "terbitnya Bahram dan Kaywan"[25] dengan nama-nama Persia dari dua bintang ini, bukan nama Arabnya, adalah salah satu ciri khas bahasa khutbah ini. Ungkapan "tujuh pulau" untuk pembagian bumi dalam khutbah ini[26] menjadikan khutbah ini sebagai salah satu contoh langka dalam budaya Islam yang merujuk pada pemikiran India tentang "tujuh pulau".[27]

Sulit untuk menemukan hubungan langsung antara ajaran-ajaran dalam khutbah ini dengan pemikiran Ismailiyah, namun perlu diperhatikan bahwa ajaran-ajaran seperti penggunaan istilah "pulau" untuk pembagian bumi, pembahasan tentang "daur dan kaur"[28] dan beberapa tema terkait penciptaan alam, memiliki kaitan dengan pemikiran mereka.

Bagaimanapun, Bursi mengira bahwa pembaca khutbah akan curiga terhadap kandungannya, namun ia memperingatkan pembaca dari kecurigaan ini dan menganggap beratnya kandungan khutbah ini berasal dari kedalaman makna batinnya. Ia khususnya mengingatkan bahwa khutbah ini telah melangkah jauh dalam menyucikan Sang Pencipta hingga tidak ada seorang pun dari makhluk yang mampu menanggungnya.[29] Ia dalam bukunya sering merujuk pada poin-poin dalam khutbah ini, terutama tentang keluasan ilmu Imam as.[30]

Kekeliruan tentang Khutbah Tuthunjiyah

Agha Buzurg Teherani mengemukakan dugaan bahwa Khutbah Tuthunjiyah adalah Khutbah Aqalim yang disebutkan oleh Ibnu Syahr Asyub dalam kitab Manaqib,[31] namun tema-tema yang disebutkan dalam Manaqib tentang Khutbah Aqalim umumnya tidak ditemukan dalam Khutbah Tuthunjiyah.[32]

Terjadi juga kekeliruan antara Khutbah Tuthunjiyah dan Khutbah Fakhhar (Iftikhar) dalam laporan Bursi.[33]

Pandangan Ulama

Terlepas dari Hibatullah Musawi dan Bursi yang merupakan tokoh-tokoh khusus dalam Imamiyah, Khutbah Tuthunjiyah tidak mendapat perhatian di kalangan Imamiyah hingga abad ketiga belas Hijriah. Pada masa Safawiyah, Faidz Kasyani mengonfirmasi penisbahan khutbah ini kepada Imam Ali as,[34] sementara Allamah Majlisi, meskipun mengetahui kitab Bursi, tidak memasukkan khutbah ini dalam Bihar al-Anwar dan memilih untuk diam tentangnya.

Sayid Kazhim Rasyti, seorang ulama Syaikhiah, sekitar tahun 1232 H[35], menemukan khutbah ini sebagai landasan yang tepat untuk mengeksplorasi pemikirannya sendiri dan menulis penjelasan panjang lebar tentangnya.[36] Mirza Qummi (wafat 1232 H) menolak penisbahan khutbah ini dan yang serupa kepada Imam Ali as.[37]

Hampir satu abad kemudian, Ha'iri Yazdi (wafat 1333 H) dalam Al-Zam al-Nasib lebih memperhatikan khutbah ini dari segi kandungannya tentang tanda-tanda kemunculan dan meriwayatkannya dalam bukunya.[38] Dalam kitab Al-Anwar al-Ilahiyyah disebutkan bahwa khutbah ini tidak terbukti melalui jalur yang valid, meskipun mengandung hal-hal dan tema-tema yang disebutkan dalam beberapa riwayat.[39]

Pranala Terkait

Catatan Kaki

  1. Hibatullah Musawi, Al-Majmu' al-Ra'iq, jilid 1, hlm. 452.
  2. Hafiz Rajab Bursi, Masyariq Anwar al-Yaqin, hlm. 166-170.
  3. Hafiz Rajab Bursi, Masyariq Anwar al-Yaqin, hlm. 166.
  4. Hafiz Rajab Bursi, Masyariq Anwar al-Yaqin, hlm. 166.
  5. «Al-Khutbah», hlm. 168.
  6. Lihat: Bursi, hlm. 168 dan 170.
  7. «Al-Khutbah», hlm. 168.
  8. Ibnu Manzhur, entri "Tanj".
  9. «Al-Khutbah...», hlm. 167.
  10. Hlm. 122, dengan ungkapan "Qala al-Mufassirun".
  11. Hlm. 7.
  12. Hlm. 8-9, 18.
  13. «Al-Khutbah», hlm. 166.
  14. Paketchi, hlm. 26-30; lihat juga: Khutbah al-Bayan, seluruh teks.
  15. «Al-Khutbah», hlm. 168.
  16. «Al-Khutbah», hlm. 168.
  17. «Al-Khutbah», hlm. 167.
  18. «Al-Khutbah», hlm. 169.
  19. «Al-Khutbah», hlm. 168.
  20. «Al-Khutbah», hlm. 167.
  21. «Al-Khutbah», hlm. 170.
  22. «Al-Khutbah», hlm. 169.
  23. «Al-Khutbah», hlm. 169.
  24. «Al-Khutbah», hlm. 166 dan 167.
  25. «Al-Khutbah», hlm. 169.
  26. «Al-Khutbah», hlm. 169.
  27. Biruni, hlm. 191-212; Paketchi, hlm. 20.
  28. «Al-Khutbah», hlm. 168.
  29. Hlm. 166.
  30. Hlm. 122, 136, 140.
  31. Jilid 7, hlm. 199, 201-202; Ibnu Syahr Asyub, jilid 2, hlm. 47.
  32. Paketchi, hlm. 29.
  33. Hlm. 122; Paketchi, hlm. 26-27.
  34. Hlm. 409.
  35. Agha Buzurg, jilid 7, hlm. 201.
  36. Untuk kritik: Sha'rani, jilid 2, hlm. 120.
  37. Hlm. 786.
  38. Jilid 2, hlm. 242.
  39. Tabrizi, hlm. 97.

Daftar Pustaka

  • Al-Qur'an al-Karim.
  • Nahjul Balaghah.
  • Agha Buzurg, Al-Dhari'ah.
  • Ibnu Syahr Asyub, Muhammad, Manaqib Al Abi Thalib, Najaf, Percetakan Haidariyah.
  • Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab.
  • Bursi, Rajab, Masyariq Anwar al-Yaqin, Beirut, 1379 H.
  • Biruni, Abu Rayhan, Tahqiq Ma lil-Hind, Hyderabad, 1377 H.
  • Paketchi, Ahmad, "Pemikiran Tujuh Wilayah" dalam Studi Islam, Masyhad, 1383 HS, No. 65-66.
  • Ha'iri Yazdi, Ali, Al-Zam al-Nasib, Najaf, 1390 H.
  • Tabrizi, Jawad bin Ali, Al-Anwar al-Ilahiyyah, tanpa tempat, tanpa tahun.
  • Khutbah al-Bayan, Najaf, 1385 H.
  • Rasyti, Kazhim, Syarh Khutbah al-Tuthunjiyah, Tabriz, 1270 H.
  • Sya'rani, Al-Wahhasan, Ta'liqat 'ala Syarh Usul al-Kafi, disunting oleh Ghaffari, Teheran, 1388 H.
  • Faidz Kasyani, Muhammad Muhsin, Qurrat al-'Uyun, Teheran, 1378 H.
  • Qummi, Abul Qasim, Jami' al-Syatat, Teheran, 1311 H.
  • Musawi, Hibatullah, Al-Majmu' al-Ra'iq, disunting oleh Dargahi, Teheran, 1417 H.