Abu Bakar bin Abi Quhafah
Abu Bakar bin Abi Quhafah (bahasa Arab:أبو بكر بن أبي قحافة) (W. 13 H/634), termasuk sahabat Nabi Muhammad saw. Setelah Rasulullah wafat, ia bersama dengan sejumlah sahabat lainnya berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk melakukan pemilihan Khilafah bagi kaum muslim, meskipun Rasulullah saw telah mewasiatkan khilafah Ali as sebelumnya. Para hadirin yang berada di Saqifah Bani Saidah, akhirnya bersumpah setia dan membaiat Abu Bakar sebagai Khalifah Nabi saw. Dia adalah khalifah pertama dari khulafa al-Rasyidin menurut pandangan mazhab Ahlusunah.
Info pribadi | |
---|---|
Nama lengkap | Abdullah bin Utsman |
Julukan | Abu Bakar • 'Atiq |
Garis keturunan | Quraisy Suku Taim |
Kerabat termasyhur | Aisyah (anak) • Muhammad bin Abu Bakar (anak) |
Muhajir/Anshar | Muhajir |
Tempat Tinggal | Mekah • Madinah |
Wafat/Syahadah | 13 H/634 |
Tempat dimakamkan | Di dekat Kuburan Nabi Muhammad saw di masjid Nabawi |
Informasi Keagamaan | |
Memeluk Islam | Termasuk kelompok pertama yang memeluk Islam |
Keikutsertaan dalam Ghazwah | Banyak ikut serta dalam peperangan Nabi saw |
Hijrah ke | Madinah |
Terkenal sebagai | Khalifah Pertama |
Para Imam as dan khalifah | |
---|---|
Imam Ali as
Masa Keimamahan: 11/632 - 40/661 | Abu Bakar
|
Imam Hasan al-Mujtaba as
Masa Keimamahan: 40/661 - 50/670 | Abu Bakar
Muawiyah |
Imam Husain as
Masa Keimamahan: 50/670 - 61/680 | Abu Bakar
Yazid bin Muawiyah |
Imam Ali Zainal Abidin as
Masa Keimamahan: L. 61/680 – 94/713 | Imam Ali
|
Imam al-Baqir as
Masa Keimamahan: 94 H/713 - 114 H/733 | Muawiyah bin Yazid
Hisyam bin 'Abd al-Malik |
Imam al-Shadiq as
Masa Keimamahan: 114 H/733 - 148 H/765 | 'Abd al-Malik bin Marwan
|
Imam al-Kazhim as
Masa Keimamahan: 148 H/765 - 183H/799 | Marwan bin Muhammad
|
Imam al-Ridha as
Masa Keimamahan: 183 H/799 - 203 H/818 | Manshur al-Dawaniqi
|
Imam al-Jawad as
Masa Keimamahan: 203 H/818 - 220 H/835 | Amin al-'Abbasi
|
Imam al-Hadi as
Masa Keimamahan: 220 H/835 - 254 H/868 | Ma'mun al-'Abbasi
|
Imam al-Askari as
Masa Keimamahan: 254 H/835 - 260 H/874 | Mutawakkil al-'Abbasi
|
Imam al-Mahdi as
Masa Keimamahan: 260 H/874 - Sekarang | Mu'tazz al-'Abbasi
... |
Dia menjadi muslim, di tahun-tahun awal kemunculan Islam di Mekah dan dalam pandangan masyhur para sejarawan, ketika Nabi berhijrah ke Madinah, dia seperjalanan dengan Nabi saw dan bersamanya bersembunyi di gua Tsaur.
Selama masa pemerintahannya yang singkat, peristiwa-peristiwa kontroversial terjadi dalam sejarah Islam, termasuk salah satunya pengambilan Fadak dari Sayidah Zahra sa, perang Riddah dan permulaan penaklukan-penaklukan.
Kelahiran, Nasab, Julukan dan Gelar
Abu Bakar, menurut beberapa riwayat [1] dan beberapa tanda dan bukti seperti umur dan tanggal meninggalnya, lahir di Mekah, dua tahun dan beberapa bulan setelah Tahun Gajah (mungkin di tahun 50 sebelum hijrah/573 ).
Namanya pada masa Jahiliyah, Abdul Ka'bah dan setelah Islam, Nabi Muhammad saw memanggilnya dengan nama Abdullah [2] ayahnya bernama Abu Quhafah Utsman (wafat 14 H/635) dan ibunya, Umm al-Khair Salmi, putri Sakhr bin Amr bin Ka'ab, keduanya dari suku Taim dan melalui Murrah, kakek leluhur kelima, memiliki hubungan dengan Nabi saw. [3] Di sebagian riwayat Ahlusunah, disebutkan bahwa namanya adalah 'Atiq [4] tapi tampaknya 'Atiq adalah gelarnya.
Panggilan atau julukannya adalah Abu Bakar. Namun apakah ia dalam kenyataannya memiliki seorang anak laki-laki bernama Bakar atau tidak, terdapat perbedaan pendapat. Dalam berbagai sumber yang menyebutkan anak-anak Abu Bakar, tidak ada satupun darinya yang menyebut nama Bakar sebagai salah satu dari nama anak keturunannya. Namun dalam bait-bait syair yang mengutuk Abu Bakar dari lisan para murtad, terdapat kutipan yang menyebut bahwa ada seorang anak darinya bernama Bakar [5], namun para penentangnya, seperti Abu Sufyan, Abu Bakar (Bakar = unta muda) diubah menjadi Abu Fashil sebagai ejekan untuknya. (Fashil = anak unta yang baru terpisah dari susu induknya) [6].
Dia memiliki beberapa gelar:
- 'Atiq: Sebagian besar sumber Ahlusunah menganggap bahwa 'Atiq adalah termasuk dari gelar-gelarnya dan menulis bahwa Nabi memberikan gelar 'Atiq tersebut karena ketampanan wajahnya [7]. Menurut sebuah riwayat dari Aisyah, Nabi menyebutnya dengan " 'Atiqullahu min al-Nar". [8] beberapa alasan lainnya juga telah dikutip tentang penamaannya. [9]
- gelar lainnya yang terkenal di kalangan Ahlusunah adalah Shiddiq, yang menurut sumber Ahlusunah gelar ini diberikan kepadanya atas dasar pengakuannya tanpa syarat dan penawaran tentang kabar Isra dan Mikraj Nabi saw. [10] dan dalam sebuah riwayat dari budak Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Jibril pada malam Isra, menyebutnya dengan Shiddiq. [11] Sebagian orang mengatakan bahwa dia sejak zaman Jahiliyah telah dijuluki dengan gelar tersebut, sampai gelar 'Atiq juga berada dalam bayang-bayangnya. [12]
- Nama "Awwāh" karena kelembutan hati dan kesedihannya. [13]
- Gelar "Sahibu Rasul" (Teman Rasulullah) dikarenakan kebersamaannya dengan Nabi saw. [14]
Ulama Syiah bukan hanya menolak pemberian gelar Shiddiq kepada Abu Bakar, tapi juga dengan menyandarkan pada sumber-sumber Ahlusunah[15], lakab ini dan juga lakab Faruq, diyakini sebagai salah satu dari lakab-lakab Ali as dan mereka berkeyakinan bahwa gelar-gelar yang dinisbahkan kepada Abu Bakar ini seharusnya digunakan pada awal-awal permulaan sejarah pertama Islam, (ketika mereka menjabat sebagai khalifah tapi ini semua dinisbahkan kepada mereka setelah mereka semua telah tiada.) Karena Ali as, ketika menjabat sebagai khalifah, di atas mimbar Basrah, beliau menyampaikan bahwa lakab-lakab itu diyakini sebagai lakab-lakab yang dinisbahkan kepada mereka. [16]
Istri dan anak-anak
Sumber-sumber sejarah telah mengidentifikasi istri Abu Bakar sebagai berikut:
- Ummu Rumman, anak perempuan Amir bin Uwaimir (atau Umair bin Amir) dari Bani Kinanah, ibu dari Abdurrahman dan Aisyah
- Qutailah putri Abduluzza bin As'ad dari Bani Amir bin Luai, ibu Abdullah dan Asma (ibu dari Abdullah bin Zubair)
- Asma binti Umais, ibu dari Muhammad bin Abu Bakar
- Habiba binti Kharijah bin Zaid bin Abi Zuhair ibu Ummu Kultsum [17]
Periode Mekah
Berdasarkan sebagian riwayat, Abu Bakar sebelum Islam diperkenalkan sebagai seorang pria yang lembut, yang disukai dan dihormati orang-orang Quraisy. [18] Telah dinukil bahwa dia sejak usia muda berkecimpung dalam bisnis sebagai pengusaha (penjual kain) [19].
Waktu Masuk Islam
Tentang masuk Islamnya Abu Bakar, terdapat perbedaan diantara kalangan Sunni. Sebagian ulama Sunni menganggap Abu Bakar sebagai orang muslim keempat setelah Khadijah, Imam Ali as dan Zaid bin Haritsah. Dengan begitu, sebagian dari kalangan Sunni mengatakan bahwa Abu Bakar adalah orang pertama dari empat orang ini, sebagai pria merdeka yang menjadi Muslim. [20] Thabari menukil dari Muhammad bin Sa'ad bahwa Abu Bakar memeluk Islam setelah 50 orang. [21] Sayid Ja'far Murtadha meyakini bahwa pendapat kedua adalah pendapat para peneliti dan berkata: Sepertinya klaim kemusliman Abu Bakar sebagai orang pertama yang memeluk Islam kembali pada periode setelah kekhalifahan khalifah yang empat dan ditetapkan setelah kesyahidan Ali as dan ada kemungkinan hal ini adalah perintah dari Muawiyah dan kemudian disebarkan ke seluruh bagian wilayah Islam. Lantas dia kemudian menolak klaiman ini dengan berbagai alasan. [22] Sebagian riwayat dikutip dari perawi Ahlusunah, yang menceritakan bahwa Abu Quhafah menjadi muslim dalam penaklukan kota Mekah [23], namun sebagaian perawi lainnya mengkritik berita tersebut. [24]
Abu Ja'far Iskafi Mu'tazili, juga berkata: Jika Abu Bakar bergegas mendahului dalam memeluk Islam, mengapa dirinya sendiri tidak menjadikan topik masalah ini sebagai sebuah keutamaan yang dapat dijadikan hujjah dan dalil bagi dirinya terutama pada peristiwa-peristiwa penting seperti di Saqifah dan tidak ada juga dari para pengikutnya dari para sahabatnya yang mengajukan klaim semacam itu? [25]
Dalam beberapa buku Ahlusunah, dijelaskan bahwa karena status sosial Abu Bakar yang baik di kalangan orang Quraisy, setelah ia menyatakan keislamannya, beberapa orang dari masyarakat Mekahpun menjadi muslim; Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqqash dan Talhah bin Ubaidillah [26], namun dalam sebagian riwayat ini ada yang meragukan jika masuk Islamnya kelompok ini disebabkan ajakan Abu Bakar, dan mereka meyakini bahwa perbedaan usia dari sebagian mereka (Zubair, Sa'ad dan Thalhah) dengan Abu Bakar hampir 20 tahun dan tidak dapat dikatakan bahwa mereka adalah rekan sejajar dengannya.[27] Selain itu, dari perbandingan riwayat Ibnu Saad [28] menunjukkan bahwa Abdurrahman bin Auf termasuk salah seorang yang masuk Islam bersama Utsman bin Mazh'un, bukan dari kelompok Abu Bakar. Dengan ini, dapat diprediksikan bahwa keanggotaan mereka dalam syura enam orang yang diadakan oleh Umar dan sebagian sisi-sisi lainnya diyakini sebagai buatan para perawi yang datang setelah itu dengan menyatakan bahwa keislaman mereka karena ajakan Abu Bakar dan bertujuan mengutamakan mereka dibanding yang lainnya. Hal yang memperkuat kesan ini adalah riwayat-riwayat [29] yang memprioritaskan orang lain dari pada mereka. [30]
Periode Penyiksaan Umat Islam
Dengan dimulainya permusuhan kaum musyrikin terhadap kaum muslim, penyiksaan dan penganiayaanpun dimulai sehingga Abu Bakar juga mengalami derita penganiayaan dan penyiksaan tersebut. Dalam sumber-sumber Ahlusunah telah menceritakan tentang ia terluka di tangan orang-orang musyrik. [31] Ketika penyiksaan dan penganiayaan ini semakin parah dengan diusirnnya Bani Hasyim dari Mekah, dia terpaksa meninggalkan Mekah dengan izin dari Nabi saw untuk berhijrah ke Habasyah, namun dengan usulan tetangga dan dukungan untuknya dari Ibnu al-Dughunnah (salah seorang dari orang-orang yang berpengaruh Quraisy), dia kembali ke Mekah, dan karena sekali lagi dia melakukan dakwah secara terbuka dan terang-terangan, penganiayaan dan penyiksaan dimulai kembali. [32] Sebagian memberikan kemungkinan bahwa alasan tinggalnya Abu Bakar di Mekah dan tidak menyertai orang-orang berhijrah ke Habasyah karena klan Taim (suku Abu Bakar), seperti anggota kelompok lainnya yang dikenal dengan nama Hilf al-Fadhul, yang telah dikesampingkan dari pengejaran dan siksaan, tetapi ketika Bani Taim tidak menghendaki, atau mereka tidak mampu untuk membela orang-orang muslim dan Abu Bakar secara praktis berada dalam penyiksaan dan terpaksa dia berhijrah keluar dari Mekah.
Sebagian sumber menulis bahwa dia menghabiskan sebagian harta dan kekayaannya untuk membebaskan 7 budak yang telah masuk Islam dari perbudakaan dan siksaan para majikan mereka, atas perbuatannya ini menyebabkan ia dicerca oleh ayahnya Abu Quhafah. [33]
Hijrah ke Madinah
Kejadian yang paling menonjol dari kehidupan Abu Bakar di Mekah adalah menjadi pendamping bagi Rasulullah saw ketika hijrah ke Madinah dan bersembunyi di gua Tsaur. [34] Kejadian ini terjadi pada malam Kamis awal bulan Rabiul Awal pada tahun pertama Hijriah (tahun 14 setelah kenabian, 13 September 622). Masyhur mengatakan bahwa ketika Nabi saw mendapat kabar melalui wahyu tentang konspirasi pembunuhan beliau, dia bersama dengan Abu Bakar keluar dari Mekah dan langsung pergi menuju Yatsrib lewat jalan memutar sehingga mereka sampai ke gua. [35]
Ayat Laa Tahzan mengacu pada cerita tentang tinggalnya Nabi dan Abu Bakar di dalam gua. Para ulama Sunni menganggap bahwa ayat ini sebagai dalil keutamaan Abu Bakar. Adapun bentuk penafsiran ayat ini, tentang dia dan Nabi saw di gua Tsaur antara para mufassir Islam terdapat perbedaan. [catatan 1]
Apa dan bagaimana pertemanan Abu Bakar dengan Nabi saw selama diperjalanan tersebut masih belum jelas dan sebagian mengatakan bahwa Nabi saw secara kebetulan melihat Abu Bakar di jalan dan kemudian membawanya dalam perjalanan. [36] Kutipan lainnya mengatakan bahwa Nabi saw pada malam penyerangan, beliau pergi ke rumah Abu Bakar dan dari sana, beliau bersama Abu Bakar pergi ke gua Tsaur. [37] Pendapat ketiga menjelaskan bahwa Abu Bakar mendatangi Nabi saw dan Ali as menunjukkan tempat persembunyiannya. [38]
Abu Bakar setelah hijrah ke Madinah menetap di Sunkh, sebuah tempat di sekitar Madinah dan berjarak satu mil, yaitu di rumah Khabib bin Isaf (Habib bin Yasaf) atau Kharijah bin Zaid bin Abi Zuhair (dari Bani al-Harits bin al-Khazraj).[39] Berdasarkan sebagian sumber, dia di Madinah, dimana saja dan kapan saja senantiasa berada di samping Nabi saw. Dan 8 bulan kemudian, Rasulullah saw membuat sebuah perjanjian persaudaraan di antara kaum muslim Muhajirin dan Anshar, dia dan Umar mengikat tali persaudaraan dan memanggilnya saudara. [40]; Namun dalam terjemahan bahasa Persia Rafi'addin Hamadani dari Sirah Ibnu Ishaq, di situ tertulis bahwa "Abu Bakar dipersaudarakan dengan Kharijah bin (Zaid bin Abi) Zuhair, yang berasal dari Anshar." [41]
Abu Bakar bertemu dua hari sekali dengan Nabi saw di Madinah, dan menurut sebagian dari riwayat dia selalu bersamanya dalam setiap peperangan . [42]
Hadir dalam Peperangan
Waqidi menjelaskan bahwa Abu Bakar telah banyak ikut serta dalam peperangan seperti Perang Badar[43] Uhud[44], Hamra' al-Asad[45], Bani al-Nadhir[46], Badar al-Mau'id[47], Muraisi'[48], Khandaq[49], Bani Quraizhah[50], Bani Lihyan[51], Hudaibiyah[52], Khaibar[53], Fathu Makkah[54], Hunain[55], Taif[56], Tabuk[57], serta peperangan Najd[58] dan Dzat al-Salasil. [59]
Menurut penukilan Ibnu Abi al-Hadid, dari gurunya, Abu Ja'far Iskafi, "Abu Bakar tidak melepaskan anak panah dan tidak menghunus pedang dan tidak pula meneteskan darah." [60]
Di Perang Khaibar Nabi saw mengirim Abu Bakar dan juga Umar bin Khattab untuk membuka benteng Khaibar, namun keduanya sama sekali tidak ada yang berhasil membuka dan menaklukkan benteng Khaibar. Kemudian Nabi saw berkata: "Besok aku akan memberikan bendera kepada seseorang yang mencintai Allah dan Nabi-Nya, Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya, dan pintu Khaibar akan terbuka dan takluk di tangannya." Ketika itu beliau memanggil Imam Ali as dan menyerahkan bendera kepadanya. Imam Ali as berhasil menaklukkan benteng Khaibar. [61]
Nabi saw, diakhir-akhir hayatnya, telah menyiapkan pasukan untuk berperang dengan orang-orang Romawi, sementara orang-orang ternama ada di antara tentara-tentara tersebut seperti Abu Bakar, Namun komando pasukan diberikan kepada Usamah bin Zaid. [62]
Kisah Penyampaian Surah al-Baraah
Salah satu misi kontroversial dari Abu Bakar adalah berkaitan dengan urusan Haji pada tahun ke-9 H/630 dan penyampaian surah al-Bara'ah. Menurut riwayat Ibnu Ishaq, Nabi saw setelah menyelesaikan Perang Tabuk di bulan Dzulhijjah pada tahun ke-9 H/630, beliau mengangkat Abu Bakar sebagai Amir al-Hajj dan menyuruhnya pergi ke Mekah. Karena dia beranjak dari Madinah, tiba-tiba surah al-Baraāh turun dan Nabi saw dengan menjelaskan sebuah perkataan yang berisikan bahwa "Hanya seorang laki-laki dari keluargaku yang akan menyampaikan pesanku ini", lalu beliau mengirim Ali as ke Mekah dengan untanya untuk menyampaikan pernyataan tersebut. [63] Di antara para mufassir dan sejarawan, terjadi perselisihan yang sangat tajam tentang jumlah ayat yang dibaca pada musim haji, tempat di mana ayat-ayat itu dibaca, masa penurunannya (sebelum keberangkatan Abu Bakar atau sesudahnya) dan pencopotan Abu Bakar dari kepengurusan Haji dan mendudukkan Ali as ditempatnya. [64]
Kisah Tentang Pasukan Usamah
Misi terakhir Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah al-Jarrah dan sekelompok pembesar sahabat lainnya pada masa hidup Nabi adalah berpartisipasi pada pasukan Usamah menuju Mu'tah Syam(Suriah). Menurut riwayat Waqidi[65] dan Ibnu Sa'ad [66], Nabi saw pada hari Senin, 4 malam sebelum bulan Safar setelah Haji Wada' dan beberapa hari sebelum beliau wafat, telah memerintahkan kaum muslimin untuk bersiap-siap melaksanakan perang dengan orang-orang Romawi dan keesokan harinya, Usamah bin Zaid dipanggil dan komandan pasukan pun diserahkan kepadanya[67], namun keberangkatan tentara ini, tidak terlaksana meski mendapat penekanan tinggi dari Nabi saw. Pertama, dikarenakan protes dari beberapa sahabat atas usia Usamah yang terlalu muda, kemudian dengan dalih persediaan bekal perjalanan dan akhirnya dikarenakan berita penyakit Nabi saw yang semakin memburuk kepada Usamah dan akhirnya ia kembali ke Madinah. Abu Bakar, Umar dan yang lainnya meskipun ada instruksi yang jelas dari Nabi saw (untuk tidak kembali ke Madinah) mereka juga kembali dari kamp Jurf menuju Madinah. [68]
Kisah Salat Jamaah di akhir-akhir kehidupan Nabi saw
Saat Nabi saw berusaha membuat tentara Usamah pergi berjalan menuju Syam, penyakit yang dideritanya tiba-tiba semakin parah, sehingga ketika Bilal mengumandangkan waktu salat, beliau tidak memiliki kemampuan untuk bangkit dan hadir di masjid untuk melakukan salat, lalu diputuskan untuk menentukan seseorang untuk menggantikannya sebagai Imam. Dalam riwayat yang berkaitan dengan bagaimana salat ini didirikan, sampai seseorang ditunjuk menjadi Imam salat jamaah, jumlah beberapa salat jamaah yang dirikan tanpa dihadiri oleh Nabi saw dan bahkan satu salat jamaah yang didirikan secara sempurna dengan dipimpin oleh Abu bakar atau tidak, terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama.[69]
Dalam sebuah riwayat, Nabi saw pada suatu hari, saat penyakitnya semakin parah, beliau bersabda: "Kirimlah seseorang untuk memanggil Ali." Aisyah menyarankan untuk mengirim seseorang memanggil Abu Bakar, dan Hafsah berkata bahwa dia telah mengirim seseorang untuk memanggil Umar dan semuanya datang menghadap Nabi. Kemudian Nabi saw berkata: Pergilah kalian semua, jika aku membutuhkan kalian, aku akan memanggil kalian. [70]
Dengan banyaknya perbedaan yang terdapat dalam riwayat, dinukil bahwa Abu Bakar berdiri di masjid menggantikan kedudukan Nabi saw menjadi imam salat jamaah. Tetapi banyak perbedaan riwayat tentang reaksi Nabi saw terhadap salat ini. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Aisyah, ketika Abu Bakar berdiri untuk melakukan salat, keadaan Nabi saw pulih dan beliau bangkit dan datang ke masjid sambil bersandar pada dua orang yang memapahnya sementara kedua kakinya terseret di atas tanah. Ketika Abu Bakar melihat kedatangan Nabi, diapun menyingkirkan dirinya, namun Nabi memberi isyarat untuk tetap berada di tempatnya. Kemudian Nabi saw datang dan duduk di sebelah kiri Abu Bakar. Kemudian Nabi melaksanakan salat sambil duduk dan Abu Bakar berdiri. Abu Bakar mengikuti salat Nabi dan orang-orang mengikuti salat Abu Bakar. [71] Sebagian dari ulama Sunni dalam menonjolkan dan mengutamakan kepemimpinan salat jamaah Abu Bakar dalam menggantikan kedudukan Nabi, menjadikannya sebagai salah satu dalil keprioritasan Abu Bakar dalam Imamah dan kepemimpinan umum, yaitu kekhalifahan, mereka berpendapat sampai sejauh ini dan mengatakan bahwa Nabi saw telah bermakmum dengan Abu Bakar. [72] Bahkan ucapan semacam ini bagi beberapa ulama besar Sunni sangat membuat heran dan mencengangkan dan sampai Abul Faraj Abdur Rahman Ibnu Jauzi, mufassir, fakih besar mazhab Hambali (511-597 H/1117-1201) melakukan sebuah tindakan untuk membuat sebuah tulisan buku berjudul Afāt Ashāb al-Hadits sebagai sebuah penolakan akan hal ini. [73]
Pandangan Syiah
Para ulama Syiah telah menentang cerita tentang salatnya Abu Bakar di hari-hari Nabi saw terbaring sakit dengan beberapa cara:
- 1. Meskipun hadis yang diriwayatkan dari Aisyah hampir sepakat tentang masalah ini, namun hadis ini belum mencapai tingkat mutawatir dan ini tidak dapat dijadikan sebagai sebuah sandaran dan berdalil dengannya. Di sisi lain menurut pendapat Sayid Jakfar Murtadha al-Amili, ada kemungkinan Aisyah dalam riwayat ini berbicara untuk memberikan keuntungan baginya.[74]
- 2. Dengan ijmak para sejarawan [75], Abu Bakar seharusnya pada saat itu berada di kamp Jurf dan pasukan yang dikomandani oleh Usamah bin Zaid, bukan di Madinah. Oleh karena itu, jika dia mendirikan salat dengan penduduk Madinah, itu bukan atas perintah Nabi saw. Ada beberapa hal tanda bukti yang menetapkan pernyataan ini:
- A) Sebuah hadis yang berdasarkan hadis tersebut Nabi saw memberi perintah untuk memanggil Ali as, tetapi orang yang mendengar perintah tersebut tidak mementingkannya dan menggantinya dengan menghadirkan Abu Bakar, Umar dan Abbas. [76]
- B) Nabi saw dalam keadaan lemah datang ke masjid dengan dibantu oleh dua orang (Ali as dan Fadhl bin Abbas) dan mengimami salat jamaah.[77]
Dengan ini semua, menurut pandangan para ulama Syiah mengatakan jika dengan berasumsikan keabsahan riwayat yang terkait dengan salat Abu Bakar di zaman terbaringnya Nabi saw, hal ini tidak akan membuat alasan untuk mendahulukan atau mengutamakan Abu Bakar dalam kekhilafahan. Karena Nabi saw sebelum hari-hari ini, telah berulang kali memberikan perintah kepada sahabat-sahabat lainnya untuk melakukan salat jamaah bersama orang-orang seperti [[Abu Ubaidah al-Jarrah, Amr bin Ash, Khalid bin Walid, Usamah bin Zaid, Ali as dan bahkan sekali lagi menyuruh Abu Bakar untuk melakukan hal itu. [78]
Saqifah
Nabi Muhammad saw meninggal pada hari Senin 12 Rabiul Awal tahun 11 H/632 dan menurut riwayat penanggalan ulama hadis Syiah, pada hari Senin 28 Safar di tahun yang sama. Berita tentang meninggalnya Nabi saw begitu cepat tersebar sehingga kota Madinah al-Munawaroh yang kecil di waktu, dan sepertinya sejak hari-hari intensifikasi penyakit Nabi saw yang semakin parah dan kemungkinan meninggalnya disebabkan penyakit tersebut, membuat beberapa gelintir orang telah berniat untuk mengambil dan mendapatkan kekuasaan. Tidak beberapa lama setelah terdengar berita wafatnya Rasulullah saw, dimana saat itu Ali as, Fadhl bin Abbas serta beberapa orang lainnya masih sibuk mengurus pemandian tubuh suci Nabi saw. Sa'ad bin Ubadah seorang pemimpin dari suku Khazraj, dalam keadaan sakit demam, duduk di tengah-tengah sekelompok Anshar (Aus dan Khazraj) di Saqifah Bani Sa'idah sambil berbicara tentang keutamaan-keutamaan Anshar dan prioritas mereka daripada Muhajirin dalam masalah kekhalifahan.
Berita yang berkaitan tentang apa yang terjadi di Saqifah dan ucapan serta pidato yang keluar antara kelompok Muhajirin dan Anshar, cukup dikenal. Sumber-sumber menyatakan bahwa pemilihan Abu Bakar terjadi dengan dibarengi percakapan dan persengketaan yang sangat kontroversial, sehingga Hubab bin Mundzir, dari Anshar, menghunuskan pedang ke arah Muhajirin dan hampir saja Sa'ad bin Ubadah, habis terinjak-injak, ia juga memegang dan menarik janggut Umar [79] Selanjutnya, kabilah Bani Aslam, yang berpihak dengan Muhajirin, memasuki Madinah dan memberikan baiat mereka kepada Abu Bakar, dan suku inilah yang mempermudah urusan baiat kepada rakyat Madinah. [80] Dari Umar [catatan 2] diriwayatkan bahwa baiat dengan Abu Bakar adalah pekerjaan yang tanpa aturan dan tergesa-gesa (faltah) semoga Allah menyelamatkan masyarakat dari keburukannya. [81]
Syaikh Mufid merangkum alasan kemenangan ini dalam sejumlah kalimat, seperti berikut: Sibuknya Ali bin Abi Thalib as dengan mengurusi upacara pemakaman Nabi saw; Jauhnya Bani Hasyim dari tempat kejadian, karena musibah yang menimpa mereka; perselisihan Anshar; tidak sukanya "orang-orang yang tertolak dan umat Islam yang lemah" dari penundaan urusan. [82]
Awal Kekhalifahan
Sehari setelah kejadian Saqifah Abu Bakar pergi ke masjid dan setelah memuji Tuhan berkata: "Wahai manusia, aku telah berkuasa atas kalian sementara aku bukan yang terbaik dari kalian. Bantulah aku dalam perbuatan baik, dan jika aku mulai menyimpang, bimbinglah aku ... Kelemahan kalian di sisiku adalah ketidakmampuan hingga nanti dengan kehendak Allah, kebenaran ini akan aku berikan kepada-Nya dan keperkasaan kalian di sisiku adalah satu kelemahan hingga dengan kehendak Allah kebenaran dapat aku junjung tinggi. Tidak seorangpun yang dapat merendahkan Jihad di jalan Allah. Karena setiap suku yang membenci jihad, Tuhan akan menghinakan mereka...Selama aku mengikuti Tuhan dan Rasul-Nya, taati dan patuhilah aku dan jika aku berpaling dari perintah Allah dan Rasul-Nya, ketika itu aku cabut hak kalian untuk mematuhiku. Berdirilah kalian semua untuk salat semoga Tuhan merahmati kalian semua."[83]
Dia dalam khotbah lainnya setelah memuji Tuhan, dia berkata: "Wahai manusia, aku juga seperti kalian. Mungkin kalian mengharapkan saya melakukan seperti apa yang bisa dilakukan oleh Rasulullah saw. Allah telah memilih Muhammad saw dari alam dunia ini dan ia terjaga dari malapetaka, tetapi aku adalah pengikut bukan pendiri. Jika aku berjalan di jalan yang benar, kalian patuhi aku dan jika aku salah, luruskan aku. Berhati-hatilah bahwa aku adalah setan yang kadang-kadang menjatuhkanku. Setiap kali dia datang padaku, hindarilah aku. [84]
Khotbah-khotbah ini dari sudut pandang para cendikiawan dan ulama Ahlusunah dianggap sebagai suatu tanda dari norma adab, kerendahan hati dan ketegaran Abu Bakar terhadap sunah-sunah kenabian dan merupakan bimbingan berharga dalam metode pemerintahan bagi masa depan [85], namun, para ulama Syiah, menganggap bahwa sebagian dari beberapa petikan khotbah-khotbah tersebut mengungkapkan sisi kekurangan pada Abu Bakar dan sebuah alasan ketidaklayakannya dalam kekhalifahan, dan dalam hal ini mereka telah mendiskusikannya sebagai satu keyakinan mereka (prinsip Imamah). [86]
Meskipun khilafah Abu Bakar di kursi pemerintahan itu sudah dipastikan, namun sekelompok dari Muhajirin dan Anshar menolak untuk berbaiat dengannya. Nama beberapa orang dari mereka yang dimuat dalam sumber-sumber adalah:
- Ali as
- Sa'ad bin Ubadah
- Abbas bin Abdul Muthalib
- Fadhl bin Abbas
- Zubair bin Awwam
- Khalid bin Sa'id
- Miqdad bin Amr, Salman al-Farisi
- Abu Dzar Ghifari
- Ammar bin Yasir
- Bara' bin 'Azib
- 'Ubay bin Ka'ab
- Hudzaifah bin Yaman
- Khuzaimah bin Tsabit
- Abu Ayyub al-Anshari
- Sahl bin Hunaif
- Utsman bin Hunaif
- Abu al-Haitsam bin al-Tayyihan
- Sa'ad bin Abi Waqqash
- Abu Sufyan bin Harb. [87]
Dari jumlah tersebut, selain Sa'ad bin Ubadah yang mengklaim kekhalifahan dan orang-orang seperti Abu Sufyan serta para pendukungnya yang memiliki tujuan duniawi [88], sekelompok lainnya lagi dengan bersandar pada dasar bahwa Imam Ali as memiliki andil besar dalam Islam, layanan yang brilian dan kedekatan serta kekerabatannya dengan Nabi saw yaitu sebagaimana yang mereka pakai di Saqifah sebagai dasar bukti keutamaan Abu Bakar dalam urusan khilafah dan Ali as beserta Bani Hasyim juga berdalil demikian hanya sekedar memberitahu mereka yang bahwa apa yang mereka gunakan semuanya ada pada Ali [89] dan meyakini bahwa khilafah adalah hak Ali as dan kelompok Syiah Ali lainnya meyakini bahwa masalah suksesi dan kepemimpnan masyarakat Islam merupakan masalah yang paling tinggi dan urgen dalam kedudukan mazhab dan dengan bersandarkan pada ayat اِنَّ اللّهَ اصْطَفی آدَمَ وَ نوحاً وَ آلَ اِبْراهیمَ وَ آلَ عِمْرانَ عَلَی الْعالَمینَ، ذُرّیهً بَعْضُها مِنْ بَعْضٍ… Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing sebagai) satu keturunan yang sebagiannya( keturunan) dari yang lain.[90] dan bahwasannya Nabi Muhammad dan keluarganya dari keturunan Nabi Ibrahim dan memiliki keutamaan-keutamaan dan kelayakan-kelayakan, dan juga ayat اِنَّما وَلیکُمُ اللّهُ وَ رَسولُهُ وَ الَّذینَ آمَنوا الّذینَ یقیمونَ الصّلوهَ وَ یؤتونَ الزّکوهَ وَهُمْ راکِعونَ [91] dan masih banyak ayat-ayat lainnya [92], begitu pula dengan berdasarkan hadis-hadis mutawatir seperti, Hadis Dar [93], Hadis Manzilah, [94] dan Hadis Ghadir [95], yang kesemuanya ini menyatakan bahwa kekhalifahan itu berdasarkan nash dan penentuan. [96]
Sa'ad bin Ubadah hingga akhir hidupnya tidak berbaiat dengan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Dia pada kekhalifahan Umar berpindah ke Syam, dan di pertengahan malam di daerah bernama Horan (Suriah) dia ditemukan terbunuh. [97] Tetapi Baladzuri dengan riwayat Madaini, menuturkan bahwa Abu Mikhnaf dan Kalbi mengatakan bahwa Umar telah mengirim seorang laki-laki ke Horan dan memerintahkan untuk memaksanya bersedia memberikan baiat dan jika dia tidak menerimanya maka mintalah kepada Tuhan untuk membantu melawannya. Laki-laki itu bertemu dengan Sa'ad dan karena dia tidak bisa mengambil baiat darinya, dia membunuhnya dengan anak panah. Balazduri kemudian mengisyaratkan pada satu riwayat yang terkenal, yang mana menurut riwayat tersebut "Sa'ad dibunuh oleh para jin". [98]
Pengambilan Baiat dari Imam Ali as
Kebanyakan riwayat sejarah menunjukkan ketidakpuasan Imam Ali as untuk berbaiat pada Abu Bakar dan penolakannya. Serta adanya tindakan penekanan dan kekerasan atas dirinya, keluarganya dan para sahabatnya semata-mata adalah untuk mendapatkan baiat darinya. Dari diri Imam Ali as tampaknya ada isyarat secara eksplisit tentang penolakan baiat tersebut. [99]
Dua Riwayat Ibnu Qutaibah Dinawari
Dalam buku al-Imāmah wa al-Siyāsah terdapat dua hadis yang diriwayatkan berkaitan dengan hal ini yang termasuk dari hadis-hadis lain yang lebih global:
Hadis Pertama
Dalam hadis pertama dimuat demikian: Umar dengan sekelompok orang yang mana Usaid bin Hudhair dan Salmah bin Aslam ada diantara mereka, pergi ke pintu rumah Ali as dan mereka meminta kepadanya dan Bani Hasyim supaya pergi ke masjid untuk memberikan baiatnya kepada Abu Bakar, namun mereka tidak menerimanya dan Zubair bin Awwam datang dengan pedang terhunus. Salmah atas perintah Umar berdiri dan mengambil pedangnya dan melemparnya ke tembok. Mereka membawa Zubair dan iapun berbaiat pada Abu Bakar. Begitu juga dengan Bani Hasyim berbaiat kepadanya. Namun Imam Ali as tidak memberikan baiatnya dan berdiri di hadapan Abu Bakar seraya mengatakan bahwa kekhalifahan adalah haknya sama seperti pengakuan dan hujah yang dikatakan Abu Bakar di depan Anshar. Umar berkata: "Kami tidak akan melepaskanmu sehingga engkau melakukan baiat". Ali as berkata kepadanya: "Peraslah susu kekhalifahan dengan baik karena engkau juga akan merasakannya dan tegakkanlah urusan kekuasaan hari ini sehingga esok akan diserahkan kepadamu". Lalu Abu Bakar berkata kepadanya: "Jika kamu tidak mau berbaiat padaku, aku tidak akan memaksamu". Ketika itu Abu Ubaidah al-Jarrah berpesan kepada Ali as untuk menyerahkan khilafah kepada Abu Bakar. Kemudian Ali as menjelaskan tentang hakikat kebenarannya dan Ahlulbait as dalam urusan khilafah yang disampaikan kepada Muhajirin. Dan mereka diperingatkan untuk tidak mengikuti hawa nafsu dan menyimpang dari jalan Allah swt. Basyir bin Sa'ad al-Anshari berkata kepad Ali as: "Jika Anshar sebelum berbaiat dengan Abu Bakar mendengar perkataanmu ini, walau dua orang maka mereka tidak akan berselisih tentangmu". Ketika malam hari, Imam Ali as dan Fatimah sa, putri Nabi saw dengan menaiki sebuah tunggangan, pergi ke rumah-rumah Anshar untuk meminta dukungan dari mereka, namun mereka berkata: "Wahai putri Nabi Allah, jika suamimu meminta kepada kami sebelum Abu Bakar, maka ia sama sekali tidak ada bandingannya dengan suamimu....[100]
Hadis Kedua
Di hadis kedua yang kemungkinannya adalah sebagian penggalan hadis tertukar dengan hadis pertama, hadis dimuat demikian: Abu Bakar bertanya mengenai sekelompok orang yang tidak mau berbaiat dengannya dan berkumpul di sekitar Ali as dan mengirim Umar untuk mendatangi mereka. Umar mendatangi pintu rumah Ali as dan memanggil mereka dari luar, namun tak seorangpun ada yang keluar. Kemudian Umar meminta kayu bakar dan berkata: "Aku bersumpah demi jiwa Umar yang berada di tangan-Nya, jika kalian tidak keluar, rumah ini dengan siapa saja yang berada di dalamnya, akan aku bakar". Mereka berkata kepadanya:" Wahai Abu Hafs, jika Fatimah berada di dalamnya, bagaimana?" Dia berkata: "Meskipun dia ada di dalamnya".[101] Lalu semua keluar dan melakukan baiat, kecuali Ali as…[102] Dalam kelanjutan hal-hal ini, perincian apa yang terjadi, yaitu pesan Ali as, ucapan-ucapan Fatimah sa yang berisi celaan dan makian, pengiriman berulang kali kelompok-kelompok yang menggerakkan Umar untuk mengambil baiat dari Ali as, menyeret Ali as ke masjid, mengancamnya dengan pembunuhan, ucapan-ucapan keras Ali as dan kutukan Fatimah sa dan akhirnya dilaporkan tentang tangisan Abu Bakar dan permohonan pembatalan baiat darinya.[103]
Para pendukung Imam Ali as ketika berbaiat, meluapkan keyakinan dan perasaan mereka kepada Ali as dan khilafahnya. Ucapan Salman yang sebagiannya dengan bahasa Persia dan sebagian lainnya dalam bahasa Arab, juga dinukil dalam sumber-sumber Ahlusunah. Dia berkata: "Kardaz wa nokardaz", yaitu kalian lakukan atau tidak kalian lakukan, jika mereka berbaiat dengan Ali, semuanya akan mengambil manfaat darinya.[104]
Sebagian dari beberapa sumber meskipun dengan pandangan politik atau keyakinan, mereka berusaha menghindar untuk menukil hadis ini secara sempurna atau sekedar menyinggung pada hal itu pada tempatnya, namun baik disadari atau tidak disadari dengan menyebutkan ucapan-ucapan Abu Bakar ketika ia terbaring sakit, menegaskan tentang kejadian ini. Berdasarkan riwayat-riwayat ini, Abu Bakar di hari-hari terakhir kehidupannya berkata: "Ya, aku tidak menyesal dengan apa yang terjadi di dunia, kecuali tiga perbuatan yang pernah aku lakukan dan andai saja tidak aku lakukan dan tiga perbuatan yang tidak aku kerjakan andai saja aku kerjakan… andai saja rumah Fatimah, jikapun mereka tutup dengan tujuan perang, aku tidak membukanya…"[105] juga ketika Bani Hasyim menolak berbaiat dengan Abdullah bin Zubair, dan dia mengancam mereka untuk membakarnya, saudaranya Urwah bin Zubair dalam menjustifikasi perbuatan ini bersandar pada serangan ke rumah Sayidah Zahra sa.[106]
Meskipun Umar bin Khattab dalam khotbahnya di atas mimbar masjid Madinah dalam melaporkan Peristiwa Saqifah, berkata: "Ali dan Zubair serta sekelompok lainnya berpaling dari kami dan berkumpul di rumah Fatimah".[107] Dengan perkataan ini ia mengakui akan penolakan Ali as dan bergabungnya sekelompok orang dengannya, namun para sejarawan Ahlusunah, kecuali beberapa orang, tidak menunjukkan kecondongan mereka untuk menyebut atau mengutarakan secara detail tentang masalah ini. Bahkan di salah satu dari riwayat-riwayat ini menyebut nama Saif dalam silsilah persanadannya,[catatan 3] dimuat semacam ini: Ketika Ali as mendengar bahwa Abu Bakar duduk untuk dibaiat, sangking takut terlambatnya dalam hal ini, beliau tampak tergesa-gesa datang ke masjid dengan hanya berpakaian yang menempel di badannya tanpa jubah dan serban, lalu melakukan baiat dan dia duduk di sampingnya. Setelah itu ia mengirim seseorang ke rumah supaya jubahnya dibawakan ke masjid.[108]
Masa Baiat
Hadis-hadis tentang penolakan Ali as dari pembaiatan, bagaimana pembaitannya dengan Abu Bakar dan masanya banyak perbedaan dan terkadang saling bertentangan. Dengan memperhatikan bahwa penjelasan kejadian ini dilaporkan dicari dalam berbagai sumber dan jarang dapat ditemukan. Dikarenakan bahwa setiap hadis tentang hal ini dicatat secara terpisah dan tidak ada kaitannya dengan hadis yang lain dan urutan kejadian tidak menentu, tidak dapat diketahui bahwa permohonan baiat dari Ali as dan para sahabatnya tidak ada jarak dan langsung dilakukan setelah perkumpulan Saqifah dan datang ke masjid atau setelah baiat yang dilakukan secara umum atau setelah pemakaman Nabi saw.[109]
Hadis-hadis ini dapat dibagi menjadi dua bagian: Satu kelompok dengan sedikit perselisihan dalam lafaz dan kandungan yang berisikan bahwa Ali as beberapa jam setelah baiat umum, baik dengan keikhlasan atau paksaan berbaiat pada Abu Bakar.[110] Menurut sebagian penukilan-penukilan sejarah, Ali as sampai 6 bulan, tidak mau berbaiat kepada Abu Bakar.[111], bahkan dalam Sebagian riwayat dimuat bahwa tidak ada seorangpun dari Bani Hasyim yang berbaiat pada Abu bakar sampai Ali as berbaiat kepadanya.[112]
Sebab Baiat
Tampaknya apa yang memaksa Ali as untuk berbaiat dengan Abu Bakar, tersebarnya kemurtadan secara cepat, penyelewengan para suku dan munculnya para pengaku nabi di Semenanjung Arab.[113] Sebagian sumber-sumber memberikan kemungkinan suasana penekanan dan takut kehilangan nyawa dalam penerimaan baiat cukup berpengaruh, karena telah diriwayatkan bahwa suatu hari Abu Hanifah bertanya kepada Mu'min Thaq; "Jika kekhalifahan secara sah adalah milik Ali, mengapa dia tidak bangkit untuk mengambil haknya?" Dia menjawab: "Dia takut dibunuh oleh para Jin sebagaimana Sa'ad bin Ubadah!". [114]
Fadak
Salah satu tindakan Abu Bakar diawal kekhalifahannya adalah menyita secara paksa tanah Fadak.[115] Pada sebagian sumber-sumber Ahlusunah mengisyaratkan masalah penyitaan tanah Fadak, protes Fatimah sa dan permintaan haknya, jawaban Abu Bakar serta murka putri Nabi saw kepadanya.[116] Sebagiannya lagi menukil berbagai riwayat yang lebih jelas berkenaan dengan pembahasan tersebut.[117]
Para peneliti Syiah berdasarkan sumber-sumber Ahlusunah menunjukkan bahwa Fatimah sa sejak Abu Bakar memerintahkan penyitaan tanah Fadak, beliau berulang kali -hingga akhir hayatnya yang singkat- berdalil di samping masyarakat Madinah atas keberhakkannya terhadap tanah Fadak. Tindakan dan juga prilaku para ajudan Abu Bakar dalam penyerangan ke rumah Ali as untuk pengambilan baiat membuat Fatimah sa sangat murka dan marah sehingga sampai akhir kehidupannya, beliau tidak mau berbicara dengan Abu Bakar. Beliaupun melarang Abu Bakar dan Aisyah untuk menghadiri upacara pemakaman jenazahnya.[118]
Dikatakan bahwa Abu Bakar sambil menangis, pernah menuliskan sanad dan tanda bukti kepemilikan Fadak atas Fatimah sa setelah mendengarkan alasan-alasan yang dikemukakan oleh Fatimah sa. Namun Umar ketika mengetahui hal itu, ia lantas memprotes Abu Bakar. Kemudian sanad tersebut diambilnya dan ia robek-robek.[119]
Sebagian ulama Ahlusunah berkenaan dengan penyitaan tanah Fadak meyakini bahwa hal itu merupakan ijtihad dan batasan kemaslahatan khalifah. Namun kaum Syiah dengan bertolak bahwasannya ini hanya suatu penyitaan yang terjadi pada masa Abu Bakar dan sebaliknya, dilaporkan tentang pemberian dan pendermaan dari baitul mal demi tujuan pengokohan fondasi-fondasi kekhalifahan, tindakan ini betul-betul tindakan tercela, karena mengusik ketenangan Fatimah sa yang mana berdasarkan sabda Nabi saw sama dengan mengusik ketenangan Allah swt dan Nabi-Nya adalah suatu dosa yang besar dan ini merupakan salah satu aib, noda dan cela bagi Abu Bakar.[120]
Pengiriman Pasukan Usamah
Tindakan resmi pertama atau kedua dari pemerintahan Abu Bakar setelah penyitaan tanah Fadak adalah mempersiapkan pasukan Usamah. Walaupun khalifah sadar akan kegaduhan Semenanjung Arab (murtadnya sebagian suku, munculnya pengakuan para nabi baru, pembelotan orang-orang Yahudi dan Nasrani dan kekacauan-kekacaunan lainnya yang mungkin akan terjadi) tampaknya ia sangat yakin untuk menjalankan perintah-perintah Nabi saw dengan mengirim pasukan Usamah, tanpa mendengarkan pendapat dari kedua penasehatnya yaitu Umar dan Abu Ubaidah. Mereka berdua mengatakan bahwa pengiriman pasukan Usamah pada masa yang sensitif jauh dari pandangan akal. Dalam menjawab para penentangnya ia berkata: "Demi Dzat yang jiwa Abu Bakar berada di tangannya, jika takut binatang-binatang buas menangkapku, kelompok Usamah akan aku kirim sebagaimana Nabi saw memerintahkannya…"[121]
Perang Riddah
Sementara berita meninggalnya Nabi saw masih belum sampai ke seluruh jazirah Arab, namun di beberapa titik kawasan, terjadi interaksi-interaksi dalam bentuk yang bermacam-macam. Sebagian sumber menjelaskan bahwa banyak orang-orang yang diperangi oleh Abu Bakar dengan alasan murtad, sejatinya mereka masih mendirikan salat, mereka meyakini Tauhid dan Kenabian. Tampaknya, mereka tidak menerima secara resmi kekhalifahan Abu Bakar atau mereka tidak mau membayar zakat. Menurut penuturan Ibnu Katsir [122] selain Ibnu Majah seluruh ulama ahli hadis menukil bahwa Umar memprotes Abu Bakar mengapa bertindak tidak sesuai dengan Sunah Nabi, memerangi masyarakat yang masih bersyahadat dengan keesaan Allah swt dan kenabian Muhammad saw? Abu Bakar menjawab: "Demi Allah, dengan siapa saja yang membeda-bedakan antara salat dan zakat, dia akan aku perangi". Thabari juga menukil bahwa beberapa kelompok dari kaum Arab datang ke Madinah yang berikrar tentang salat, namun mereka enggan membayar zakat.[123] Diantara para penentang terdapat orang-orang yang memprotes pada kekhalifahan Abu Bakar dan enggan untuk membayar zakat kepadanya.[124]
Sebagian dari para Ahli berpendapat bahwa di hari-hari semacam ini penduduk jazirah Arab, selain kaum muslimin yang tegar, terdapat 3 kelompok:
- 1. Kelompok yang telah memeluk Islam, kemudian murtad
- 2. Kelompok yang enggan membayar zakat kepada Abu Bakar, tetapi mereka menerima salat
- 3. Kelompok mayoritas adalah kelompok yang masih dalam keraguan.[125]
Sebagian orang-orang meninggal dalam peperangan ini, begitu pula terbunuhnya Malik bin Nuwairah di tangan [[Khalid bin Walid] dan dukungan Abu Bakar padanya. Hal ini benar-benar bertentangan dengan Kitab Alquran dan Sunah Nabi saw dan ini merupakan noda serta aib Abu Bakar.[126] Pandangan sebagian para pembesar sahabat dan Ahlusunah seperti Abu Qatadah Anshari, Abdullah bin Umar dan bahkan Umar tentang pembunuhan Malik sesuai dengan pandangan ulama Syiah.[127]
Abu Bakar sebagaimana yang ia perintahkan kepada para komandan pasukan, dia secara lahir menampakkan kesopanan dan keramahan dalam menyergap para pembangkang serta memberikan hukuman yang keras dan tegas kepada mereka. Menurut sebuah riwayat tindakannya terhadap Fuja'ah Sulami (Iyas bin Abdu Yalil) menjelaskan hal ini bahwa: awalnya Iyas datang ke hadapan Abu Bakar dan mengambil senjata dan peralatan darinya untuk berperang dengan penduduk Riddah, namun dengan peralatan tersebut dia merampok kaum muslimin. Setelah Abu bakar mengalahkan dan menangkapnya, dia memerintahkan untuk menyalakan api besar di mushalla Madinah dan setelah Iyas dililit dalam sebuah kain lalu ia dilempar ke dalam api tersebut.[128]
Begitulah Abu Bakar mulai menyergap para penentang pemerintahan dan musuh-musuh Islam dan dengan bantuan kaum muslimin. Dalam waktu yang singkat ia mampu menundukkan para pembangkang di kawasan kira-kira dua bulan setengah (sejak Jumadil Awal atau Jumadil Akhir 11 H/632 hingga akhir tahun tersebut. Dan berbagai kekacauan yang terjadi jauh dari kawasan dan fitnah para pengaku kenabian Aswad 'Unsa, Thalhah bin Khuwailid, Sajjah dan Musailamah juga sampai pertengahan tahun setelahnya dan hanya dalam waktu setahun keadaan jazirah Arab mampu dia kembalikan sebagaimana di masa Nabi saw berada di bawah panji Islam.[catatan 4]
Penaklukan-penaklukan di Luar Jazirah Arab
Abu Bakar setelah Perang Riddah dan meredam berbagai kekacauan yang terjadi di kawasan, ia juga mulai menaklukkan Irak dan Syam dengan tujuan untuk memperluas daerah kekuasaannya.
Serangan ke Iran
Di masa khilafah Abu Bakar, pemerintahan Sasanian menjadi lemah karena beberapa faktor seperti; perang saudara dan pergantian raja yang terus menerus di Ctesiphon (sebelah timur sungai Tigris). Faktor ini menyebabkan keruntuhan kekuasaan mereka. Salah satu dari kaum muslimin bernama Matsna bin Haritsah datang ke Madinah dan meminta kepada Khalifah untuk berperang melawan Iran. Pada awalnya Abu Bakar melantik dia untuk melaksanakan hal itu, namun kemudian ia memerintahkan Khalid bin Walid yang pergi ke Irak untuk memimpin serangan tersebut. Ia juga menulis surat kepada Matsna untuk bergabung dengan Khalid. [129] Dalam peperangan ini mereka dengan cepat berhasil menundukkan para pemimpin Sasanian dalam berbagai pertempuran serta menguasai berbagai titik kawasan Iran. Mereka juga mampu menguasai kota Hirah pada bulan Safar tahun 12 H/633.[130]
Serangan ke Syam
Abu Bakar pada tahun 12 H/633[131] mulai menyusun kekuatan militer dan mempersiapkan laskar pasukan yang akan dikirim ke Syam . Pasukan ini berhasil menang dan menaklukan daerah-daerah di kawasan Syam.[132] Setelah meraih berbagai kemenangan ini, menyebabkan kekaisaran Bizantum menyiapkan laskar pasukan yang besar untuk dikirim berperang menghadapi kaum muslimin. Dua laskar besar di Yarmuk saling berhadap-hadapan. Kaum muslimin meminta bantuan dari Abu Bakar, iapun memerintahkan Khalid bin Walid supaya dari Irak berangkat ke Syam.[133] Khalid tiba di Yarmuk setelah menaklukkan beberapa daerah dan berhasil meraih kemenangan atas sekelompok pasukan Roma di Bosra (termasuk dari provinsi Horan-Suriah bagian selatan) dan Ajnadayn. Dalam keadaan perang masih berkecamuk, seorang utusan dari Madinah sampai ke Yarmuk dengan membawa sepucuk surat dari Umar yang menceritakan tentang meninggalnya Abu Bakar dan naiknya Umar menjadi khalifah setelahnya. Begitu juga dengan pencopotan Khalid bin Walid sebagai komandan pasukan perang di Syam dan digantikan oleh Abu Ubaidah. Namun semua itu disembunyikan hingga akhir kemenangan-kemenangan kaum muslimin.[134]
Pengumpulan Alquran
Setelah Nabi saw wafat dan berbagai peristiwa yang terjadi seperti Peristiwa Yamamah (11 H/632) dan terbunuhnya sebagian besar dari sahabat dan para qari Quran. Kaum muslimin merasa sangat membutuhkan untuk mengumpulkan Alquran. Untuk mengenal secara mendalam pada pelaksanaan rencana tersebut melalui penukilan berbagai riwayat yang berbeda merupakan hal yang cukup sulit, sehingga tidak ada bukti yang jelas bahwa Abu Bakar ikut berperan dalam pengumpulan Alquran. Berdasarkan sebuah riwayat yang dinukil oleh Bukhari dari Zaid bin Tsabit, setelah pertempuran Yamamah, Abu Bakar dengan usulan Umar, memanggil Zaid dan menugaskannya untuk mengumpulkan Alquran. Zaidpun setelah berpikir dan merenung beberapa waktu dalam hal ini mulai melakukannya dan mengumpulkan surah-surah dan ayat-ayat dari seluruh tempat. Sebagian dari surah-surah dan ayat-ayat ini disimpan di permukaan pelepah-pelepah kurma dan batu-batu putih dan sebagian lagi berada dalam hafalan kaum muslimin, misalnya Zaid menemukan dua ayat akhir surah At-Taubah di sisi Khuzaimah bin Tsabit (dzusyahadatain). [135] Oleh karena itu, riwayat suhuf ini berada di tangan Abu Bakar sampai ia menemukan ajalnya, lalu berada di tangan Umar dan setelah itu berada di tangan Hafsah, putri Umar.[136] Dengan menelaah riwayat-riwayat lain dapat ditemukan banyak informasi tentang bagaimana pengumpulan naskah Zaid, para pendukung dan pembimbing Zaid, jenis dan macam halaman-halaman yang digunakannya. Berdasarkan riwayat-riwayat ini, Utsman bin Affan meminjam mushaf ini dari Hafsah untuk penyusunan akhir Alquran. Setelah itu ia membakar seluruh mushaf yang berada di tangannya kecuali milik Hafsah. Dan kemudian ia mengembalikannya kepada Hafsah dalam keadaan utuh. Marwan bin Hakam (64-65 H/673-674) yang menjadi gubenur Madinah pada masa kekuasaan Muawiyah, pernah meminta mushaf tersebut dari Hafsah, namun ia tidak memberikannya. Setelah Hafsah meninggal (45 H/665) mushaf tersebut jatuh ke tangan Abdullah bin Umar. Kemudian Marwan untuk kedua kalinya mengutus seseorang untuk meminta mushaf tersebut darinya. Dan utusan tersebut berhasil mengambilnya dari tangan Abdullah bin Umar. Lalu Marwan memerintahkan untuk menghancurkan mushaf tersebut agar tidak menimbulkan keraguan dalam mushaf-mushaf Utsman.[137]
Metode Kepemerintahan
Abu bakar dalam kekhalifahan singkatnya (2 tahun beberapa bulan) banyak dia habiskan dalam peperangan, tidak ada agenda atau sistem penting yang dibangun. Dia demi memperkokoh fondasi-fondasi kekuasaannya berusaha menunjukkan bahwa dia dalam pemerintahannya, mengikuti Alquran dan Sunah Nabi saw. Sebagian tindakan-tindakannya seperti mengirim pasukan Usamah, meski ditentang oleh para sahabat lain, menegaskan ucapan ini. Tentunya dia setiap kali berbenturan dengan permasalahan yang menuntut kemaslahatan pemerintah, hal itu diselesaikan dengan ijtihad bi ra'yi (pendapatnya). Ibnu Sa'ad dengan menukil dari Ibnu Sirin menulis: Abu Bakar setelah Nabi saw adalah orang yang paling berani melakukan ijtihad bi ra'yi. Abu Bakar berkata: "Aku berijtihad dengan pendapatku sendiri, jika benar itu dari Allah dan jika salah itu dariku dan aku memohon ampun dari-Nya". [138]
Meskipun ini adalah hal yang masyhur bahwa Dewan Atha (lembaga pembagian hak dari baitul mal) didirikan pada masa khilafah Umar [139], namun menurut apa yang dimuat dalam berbagai sumber bahwa Dewan Atha sudah ada sejak zaman Abu Bakar. Menurut perkataan Ibnu Sa'ad[140] dan Ibnu Atsir[141] baitul malnya dipindahkan ke Madinah, sebelumnya berada di Sunh dan tidak seorang penjaga pun ditempatkan di sana, karena setiap apa saja yang sampai ke sana, langsung dibagikan kepada kaum muslimin dan tidak tersisa sedikitpun. Setelah dipindahkan di Madinah, baitul mal di diletakkan di rumahnya. Menurut penjelasan Abu Yusuf di awal tahun pertama kekhalifahan Abu bakar, ada sejumlah kekayaan dari Bahrain yang sampai ke baitul mal. Dia memberikannya sedikit kepada beberapa orang yang mana Nabi saw pernah menjanjikan untuk membayar sesuatu kepada mereka, lalu sisanya ia bagikan secara merata kepada semua orang; baik orang besar dan kecil, budak dan bebas, laki-laki dan perempuan yang mana setiap dari mereka mendapatkan tujuh sepertiga dirham. Tahun kemudian juga ada harta yang lumayan banyak sampai ke baitul mal, dibagikan juga secara merata yang setiap orang mendapatkan 20 dirham. Abu Bakar juga dalam hal ini mengamalkan sunah Rasulullah saw dan usulan sebagian orang yang menginginkan pembagian berdasarkan kemuliaan dan latar belakang serta hal-hal yang demikian, namun ia tolak. [142] Ibnu Sa'ad berkata: "Setelah ia meninggal, Umar membuka pintu baitul Mal di depan para pembesar dan orang-orang terpercaya yang hadir di sana, di dalamnya tidak ditemukan kecuali satu dinar dalam sebuah kantong yang jatuh terselip".[143]
Para Ajudan
Dua tahun beberapa bulan dari kekhalifahan Abu Bakar berlalu dalam peperangan dan sementara pertempuran dengan Iran dan Syam masih terus berlanjut, ia pun meninggal dunia. Dengan begitu, kebanyakan para ajudan pemerintahannya, kecuali beberapa gelintir orang adalah para komandan dan panglima pasukan. Dalam berbagai sumber, telah disebutkan nama para ajudannya sebagai berikut:
- Umar bin Khattab: menjabat sebagai jaksa pengadilan
- Abu Ubaidah menjabat sebagai bendahara baitul mal
- 'Attab bin Usaid, pejabat kepengurusan Mekah
- Utsman bin Abi al-Ash, pejabat kepengurusan Thaif
- Zaid bin Tsabit berserta Utsamn bin Affan menjabat sebagai sekretaris pendataan dan penulisan. [144]
Menurut riwayat Thabari, penulisan diserahkan kepada Zaid dan penulisan berita diserahkan kepada Utsman.[145] [catatan 5] Abu Bakar setiap kali berhalangan hadir di Madinah, pelaksanaan salat diserahkan kepada Umar dan seseorang seperti Utsman atau Usamah ia jadikan sebagai pengganti jabatannya di Madinah.[146] Ya'qubi menyebutkan nama-nama para fakih zaman Abu Bakar adalah sebagai berikut:
- Ali as
- Umar bin Khattab
- Muadz bin Jabal
- Ubay bin Ka'ab
- Zaid bin Tsabit
- Abdullah bin Mas'ud.[147]
Penentuan Penerus
Keterangan-keterangan terkait pemilihan dan pelantikan Umar sebagai penerus, tidak sama seperti keterangan-keterangan pada saat itu. Walaupun dalam kebanyakan hadis ini terdapat ucapan dari konfirmasi Abu Bakar dengan sebagian sahabat seperti Abdurrahman bin Auf dan Sa'ad bin Abi Waqqash yang lainnya dan juga istri dan anaknya Aisyah dan putra-putranya. Dari sekumpulan riwayat ini secara jelas dapat dilihat bahwa Abu bakar sudah memutuskan pelantikan atas Umar untuk menjadi penerusnya; karena semua protes para penasehatnya berkenaan Umar, dijawabnya dengan penolakan.[148] Bukti-bukti lainnya juga yang menunjukkan bahwa Abu bakar sejak dulu memiliki niat demikian, yaitu:
- Peristiwa Saqifah dan usulannya untuk kekhalifahan Umar.
- Menyerahkan kepemimpinan salat dan perkara pengadilan kepada Umar. Menurutnya salah satu dari dalil-dalil penting akan keutamaan dari yang lainnya adalah kepemimpinan terhadap masyarakat.
- Pengambilan izin dari Usamah atas tinggalnya Umar di Madinah sebagai asisten Khalifah.
Menurut keterangan Thabari [149] dan Ibnu Hibban [150] Abu Bakar secara pribadi memanggil Utsman dan berkata: "Tulislah: dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ini adalah perjanjian Abu bakar bin Abi Quhafah dengan kaum muslimin, amma ba'd…" Abu Bakar dalam keadaan itu dan di tempat itu hilang kesadarannya dan pingsan, kemudian Utsman atas inisiatif dirinya, ia menulis: "Amma ba'du, aku melantik Umar bin Khattab sebagai penerusku atas kalian dan aku tidak meninggalkan apa-apa atas kalian kecuali keinginan dalam kebaikan". Ketika Abu Bakar siuman, ia berkata: "Bacalah untukku!". kemudian Utsman membaca apa yang ia tulis. Abu Bakar karena mendengar nama Umar, langsung mengucapkan takbir dan berkata: "Apakah kamu takut jika dalam ketidaksadaranku aku meninggal, dan masyarakat saling berselisih?" Utsman menjawab: "Iya". Dalam riwayat-riwayat Ya'qubi[151] dan Ibnu Qutaibah[152] tidak ada ucapan tentang ketidaksadaran Abu Bakar dan teks surat perjanjian Abu Bakar dalam dua riwayat ini berbeda dengan sumber-sumber lainnya dan satu dengan yang lainnya juga memiliki perbedaan yang sangat banyak. Teks ini dalam riwayat Ibnu Qutaibah lebih rinci dan mengandung poin ini bahwa aku tidak gaib, dugaan dan harapanku adalah dia seorang yang adil, jika yang nyata adalah sebaliknya (Allah Maha Mengetahui) bahwa aku berniat baik.[153] Ibnu Hibban memuat riwayat dalam bukunya bahwa Abu bakar setelah mendengar teks surat perjanjian dari mulut Utsman dia mendoakannya dan kemudian mengangkat kedua tangnnya ke langit dan berkata: "Ya Allah, tanpa ada perintah dari Nabi-Mu, aku telah memberikannya kekuasaan dan dalam hal ini aku tidak bermaksud apapun kecuali kemaslahatan umat dan pencegahan dari timbulnya fitnah". [154] Aku berijtihad dengan pendapatku sendiri dan orang terbaik dan terkuat dari mereka telah aku lantik dan sama sekali aku tidak berpihak terhadap Umar.[155] Dalam riwayat al-Imāmah wa al-Siyāsah ada sebuah ungkapan lain dalam ucapan-ucapan Abu Bakar yang ditujukan kepada masyarakat dimana dia berkata: "Jika kalian mau, berkumpullah dan berkonfirmasilah. Siapa saja yang kalian kehendaki maka berikan kekuasaan kepadanya dan jika kalian mau aku berijtihad dengan pendapatku…", kemudian ia menangis dan masyarakat juga menangis dan mereka berkata: "Wahai penerus dan pengganti Nabi Allah, engkau lebih baik dan lebih tahu dari kami…". Lalu dia memanggil Umar dan memberikan surat kepadanya supaya dibacakan di depan masyarakat. Di situlah datang seseorang di jalan Umar seraya bertanya: "Abu Hafs, apa yang tertulis di dalam surat?", Umar menjawab: "Aku tidak tahu, namun apa saja yang tertulis, aku adalah orang pertama yang mendengar dan taat". Orang tadi berkata: "Tetapi demi Allah aku tahu apa isinya, tahun pertama kamu menjadikannya amir(pemimpin) dan tahun ini dia menjadikan kamu amir".[156]
Penampilan, Kepribadian dan Aturan Hidup
Abu Bakar adalah seorang yang berawakan tinggi, kurus, wajahnya putih, dengan dahi yang menonjol, matanya cekung dan masuk, pipinya kurus dan janggutnya sedikit dan diwarnai dengan pacar dan terkadang karena banyak warna seakan-akan menjadi kemerah-merahan.[157]
Abu Bakar disifati sebagai seorang laki-laki yang lembut, disukai dan sopan.[158] Menurut apa yang dimuat dalam sebagian sumber sejarah, dia sangat pemurah hati dan gampang mengeluarkan air mata.[159] Bul juga menulis bahwa kecuali dalam beberapa hal, tidak terlihat dia bertindak keras dan bertoleransinya terhadap orang-orang yang murtad penyebab utama kembalinya ketenangan di Jazirah Arab.[160]
Kebalikan dari pandangan ini, Lamnes dengan berdasarkan sumber-sumber Ahlusunah memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang Abu Bakar dia menulis: Abu Bakar dalam beberapa riwayat dikenal sebagai seorang mukmin yang sederhana dan manusia yang baik dan sensitif yang cepat meneteskan air mata, namun sejatinya, dia adalah seorang lelaki yang kuat, serius dan cukup keras dan pemarah dimana terkadang seorang yang terkenal keras seperti Umar dibuatnya mundur. Dia juga dengan bersandar pada sebuah riwayat dari Baladzuri[161] menulis bahwa Nabi saw juga memiliki pandangan semacam ini tentang Abu Bakar, karena Aisyah disebut sebagai putri sejatinya Abu Bakar dalam kekerasan. Lamnes berkeyakinan bahwa Abu Bakar, bukan hanya dikarenakan lebih berumur dapat unggul atas Umar, akan tetapi bahkan berkat tampilan luarnya yang tenang dan lembut serta lebih berpikir ke depan dan menjaga diri [catatan 6] dan dia di hari Saqifah bagaikan seorang murid di bawah seorang guru. Dalam penyergapan para pembangkang yang murtad, dengan rencananya yang kokoh -walaupun mendapat penentangan dari pembesar sahabat- tetap ia lakukan, dan sama sekali tidak membiarkan rasa takut merasuki hatinya dari serangan para pemberontak ke Madinah.[162]
Kekerasan Abu Bakar ditegaskan oleh sebuah riwayat yang diambil dari Asma' putrinya dan dari keluarga Nadha' yang dimuat oleh Waqidi. Berdasarkan riwayat ini, Abu Bakar di hadapan Nabi saw dan dalam keadaan ihram memukul budaknya karena menghilangkan unta dan perbekalan safarnya. [163] Menurut penuturan Lamnes, gambaran yang ditampilkan dari kepribadian pengganti dan penerus pertama Rasulullah saw dalam riwayat-riwayat Islam, muncul dikarenakan faktor dan sebab yang bermacam-macam dan dengan menggunakan sarana yang bermacam-macam agama, politik, famili dan kekabilahan untuk menyebarkannya secara meluas dan cepat. Citra atau gambaran ini, yang telah dipaksakan melalui sumber-sumber ini pada historiografi Islam dan studi-studi Timur, tidak mewakili karakter sejati Abu Bakar. Dia menulis: Dari sisi prinsip-prinsip keyakinan, Abu Bakar seharusnya adalah seorang muslim terbaik dan paling istimewa. Oleh karenanya, ajaran kuat Madinah dan para penulis yang berpengaruh dari keluarga Zubairian (dari keluarga Abu Bakar) mengambil langkah-langkah dalam mengatasi sosok seperti dia dan akhirnya mereka berhasil hingga nama Abu Bakar selalu bersama dengan "keutamaan" dan "keistimewaan-keistimewaan".
Dalam sumber-sumber Ahlusunah, secara umum seperti buku sejarah, biografi, sejarah Nabi saw, bab dan bagian-bagian yang khusus membahas keutamaan-keutamaan dan latar belakang Abu Bakar. Sesuai keyakinan mereka terdapat bukti dari ayat-ayat Alquran yang turun berkaitan dengan Abu Bakar dan hadis-hadis yang pernah Nabi saw ucapkan berkenaan dengan keutamaannya. Salah satu dari ayat-ayat tersebut: اِنَّ اللّهَ اشْتَری مِنَ المُؤْمِنینَ اَنْفُسَهُمْ وَ اَمْوالَهُمْ بِاَنَّ الْجَنَّهَ[164]فَاَمّا مَنْ اَعْطی وَاتَّقی [165] ثانی اثْنَینِ... فَاَنْزِلَ اللّهُ سَکینَتَهُ عَلَیهِ [166] dan ...[167] Adapun hadis: لوکنت متخذاً من امتی خلیلاً لاتخذت ابابکر و لکن اخی وصاحبی [168] مَثَل ابوبکر کمثل میکائیل ینزل برضاءاللّه...[169] dan masih banyak hadis yang lainnya.[170] Allamah Amini pembahasan asli jilid ketujuh dalam kitab al-Ghadir secara khusus membahas dan mendiskusikan riwayat-riwayat berkaitan dengan keutamaan-keutamaan ini.[171]
Ada beberapa riwayat yang menceritakan bahwa Abu Bakar memiliki kemampuan dalam menafsirkan mimpi. Dan salah satu mimpi yang ia tafsirkan adalah mimpi Nabi saw. [172] Waqidi juga mengisyaratkan sebuah riwayat tentang pengetahuan Abu Bakar tentang puisi. [173] Ibnu Atsir menghitung beberapa sahabat seperti Umar, Utsman, Ali as, Abdurrahman bin Auf, Ibnu Mas'ud dan lainnya termasuk di antara para perawi Abu Bakar. [174] Namun meskipun ia adalah salah satu dari sedikit orang yang lebih banyak bersama dengan Nabi saw, namun hanya 142 hadis yang diriwayatkan darinya.
Abu Bakar tinggal di Sunh (1,6 Km dari masjid Nabi saw) bersama istrinya, Habibah putri Kharijah. Dengan menempati sebuah ruangan yang terbuat dari cabang pohon kurma, tidak lebih dari itu. Hingga 6 atau 7 bulan setelah baiat, ia kemudian datang ke Madinah. Ia datang ke Madinah terkadang dengan berjalan kaki atau naik kuda, dan setelah salat Isya' ia kembali ke keluarganya. Di Sunh ia memerah susu untuk para tetangganya dan mengembala domba-dombanya. Aktifitas ini senantiasa ia lakukan dalam beberapa waktu, bahkan setelah baiat. [175] Masih dalam riwayat-riwayat yang sama, dikatakan bahwa dia dalam beberapa waktu setelah menjadi khalifah, ia masih memasarkan bisnisnya dengan mengenakan pakaian yang menutupi kepribadiannya di waktu subuh. Situasi ini terus berlanjut sampai Abu Ubaidah, pejabat bendahara baitul mal, menetapkan haknya. [176] Adapun mengenai jumlah gaji Abu Bakar terdapat perbedaan pendapat: dikatakan bahwa ia mendapatkan gaji tetap sebanding dengan seorang Muhajirin: yaitu separuh, atau menurut satu riwayat, sepotong dari satu domba untuk makan sehari-hari dan pakaian musim panas dan musim dingin. Begitu juga ada yang mengatakan sekitar 2500, 6000 dirham dalam setahun. [177]
Wafat
Abu Bakar pada hari Senin, 7 Jumadil Akhir tahun 13 H/634 ia pergi mandi dimana pada waktu itu hari begitu dingin. Setelah itu dia demam dan dirawat sehingga ia tidak dapat pergi melakukan salat bersama masyarakat. Ketika ia dalam keadaan sakit yang berlangsung selama 15 hari, Umarlah yang menggantikan posisinya sebagai imam salat jamaah bersama masyarakat. Dan mulai orang-orangpun mulai menjenguknya. Hingga pada malam hari Selasa tanggal 22 bulan yang sama, di usia 62 dia meninggal dunia dan memegang tampuk kekhalifahan selama 2 tahun, 3 bulan, 22 hari. [178] Menurut wasiat Abu Bakar, isterinya Asma' yang memandikan jenazahnya. Pada malam itu Umar yang menyalatinya di masjid Nabi. Sesuai dengan wasiatnya kepada Aisyah, dengan bantuan Utsman, Thalhah dan ... ia dikuburkan di samping Nabi saw. [179]
Dinukil dari Abu Bakar ucapan-ucapan ketika ia dalam keadaan sakit sebagai wasiat, yang sebagian di antaranya berhubungan dengan suksesi Umar, berbagai protes yang dilontarkan kepadanya, sebagian lainnya berhubungan dengan permasalahan pribadi dan apa yang ia tinggalkan dan penyelesaian dengan baitul mal. [180] Selain ucapan-ucapan ini, dinukil sebuah ucapan yang luar biasa darinya dengan sedikit perbedaan dalam lafaz dan makna dalam beberapa sumber. Untuk mengetahui tentang misteri di akhir kehidupannya dan penjelasan sebagian tentang beberapa peristiwa dalam sejarah Islam memiliki nilai penting dan khusus. Ucapan-ucapannya ini dalam menjawab kata-kata terakhir yang disampaikan Abdurrahman kepadanya, ia berkata: "Engkau senantiasa baik dan melakukan perbaikan, dengan begitu kamu jangan bersedih atas sesuatu dari dunia," dan Abu Bakar menjawab: "Ya, aku tidak menyesali apa pun tentang dunia kecuali tiga hal yang telah aku lakukan dan andai saja tidak aku lakukan begitu juga dengan tiga hal yang seandainya jawabannya aku tanyakan kepada Rasulullah saw. Adapun apa yang aku sukai tapi tidak aku lakukan adalah:
- Pertama, adalah andai rumah Fatimah sa yang mereka tutup -walau mereka bertujuan melawanku- tidak aku dobrak.
- Kedua, adalah andai Fajaah Sulami tidak aku bakar, seharusnya aku segera membunuhnya atau aku melepaskannya.
- Ketiga, andai saja pada hari Saqifah Bani Sa'idah kekhalifahan kucampakkan ke leher salah satu dari dua orang ini, Umar dan Abu Ubaidah. Dimana salah satu dari keduanya menjadi Amir dan aku menterinya; ...
Adapun tiga hal yang tidak aku lakukan dan seandainya aku melakukannya:
- Pertama, bahwa Asy'ats bin Qais yang dibawa kepadaku sebagai tawanan, andai aku tidak memenggal lehernya, karena menurt prasangkaku setiap kali dia melihat kejahatan, dia akan bergegas mendukungnya.
- Andai saja ketika Khalid bin Walid aku kirim untuk memerangi para murtad, aku tetap tinggal di Dzul Qishsah dan bertempur bersamanya.
- Ketiga, seandainya saja ketika aku mengirim Khalid ke Syam dan Umar juga ke Irak sehingga dengan hal itu kedua tanganku ini aku buka di jalan Tuhan.
Kemudian dia membentangkan kedua tangannya dan menambahkan: "Andai saja semuanya itu aku tanyakan kepada Nabi Allah saw bahwa kekhalifahan itu milik siapa sehingga tidak seorangpun yang berperang atasnya, dan andai aku tanyakan apakah anak perempuan saudara laki-laki dan bibi dapat mewarisi atau tidak? Karena aku tidak yakin tentang hal ini."[181]
Abu Bakar dari Lisan Abu Bakar
Dalam sumber-sumber Ahlusunah, Abu Bakar pernah berkata:
"Saya mengambil alih urusan kalian; sementara aku bukan yang terbaik dari kalian; jika aku berbuat benar, bantulah aku; jika aku melakukan hal yang buruk, hentikan aku, karena saya memiliki setan yang selalu mengelabuiku." [182]
Riwayat ini telah disebutkan dalam banyak sumber Ahlusunah dengan kandungan yang mirip, termasuk: Ibnu Sa'ad dalam Thabaqat al-Kubra [183], Thabari dalam Tārikh Thabari [184], San'ani dalam Kitab al-Mushannaf [185], Ibnu Jauzi dalam al-Muntazham [186] ; Ibnu Taimiyyah dalam buku Minhaj al-Sunnah; [187] Suyuthi dalam kitab Tārikh al-Khulafa [188]
Ibnu Katsir setelah mengutip hadis ini dan menganggapnya sebagai hadis yang shahih. [189]
catatan
- ↑ Untuk penjelasan dan telaah lebih lanjut silahkan merujuk ke ayat Laa Tahzan.
- ↑ Menurut penukilan Baladzuri riwayat ini dinukil dari Abu Bakar. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.590-591.
- ↑ Untuk informasi lebih lanjut tentang tertolaknya riwayat Saif, silahkan rujuk: Askari, Khamsun wa Miah al-Shahabi al-Mukhtalaq, 1405 H., jld.1, hlm.69-86; jld.2, hlm.29-34.
- ↑ Untuk mengetahui rincian kemenangan-kemenangan ini silahkan rujuk: Baladzuri, Futuh al-Buldān, 1398 H, hlm.89-115; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, 1387 H. jld.3, hlm.227-342; Deruzeh, Tārikh al-Arab fi al-Islām, al-Maktabah al-Mishriyah, hlm.38-65
- ↑ Untuk mengetahui nama-nama lainnya silahkan rujuk: Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk,1387 H., jld.3, hlm.427; Ibnu Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh,1385 H., jld.2, hlm.420-421; Tārikh Ya'qubi, 1379 H., jld.2, hlm.138.
- ↑ Ya'qubi memiliki pandangan yang benar-benar berbeda. Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, 1379 H, jld.2, hlm.138
Catatan Kaki
- ↑ Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.223.
- ↑ Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm.168.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.169; Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm.167-168.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.170; Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.205.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.246; Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld.6, hlm.313.
- ↑ Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.589; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.253-255; Mufid, al-Irsyād, hlm.102.
- ↑ Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm.168; Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.127.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.170; Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm.168.
- ↑ Untuk percontohan lihat: Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.205; Suyuthi, Tārikh al-Khulafa, hlm.28-29.
- ↑ Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm.168; Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.206.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.170.
- ↑ Deruzeh, Tārikh al-Arab fi al-Islām, hlm.26.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.171; Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.205.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.171; Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.205.
- ↑ Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.2, hlm.146; Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm.169; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm.310; Nasai, Tahdzib Khasāish Imām Ali, hlm.21-22; Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld.3, hlm.26; Suyuthi, al-Jāmi al-Shaghir, jld.2, hlm.50.
- ↑ Amini, al-Ghadir, jld.2, hlm.312-314.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.8, hlm.239, 276, 280-285, 360; Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm.172-173.
- ↑ Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.206.
- ↑ Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.1, hlm.267; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm.317.
- ↑ Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.1, hlm.264; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm.310; bandingkan dengan: Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.1, hlm.262; Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm.169;Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm.316; Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.23.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm.316.
- ↑ Amili, al-Shahih min Sirati al-Nabi al-A'zham, jld.2, hlm.324-330.
- ↑ Ahmad bin Hambal, Musnad, jld.6, hlm.349; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak al al-Shahihain, jld.3, hlm.243-245; Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ishābah, jld.4, hlm.116-117.
- ↑ Dzahabi, Mizān al-I’tidāl, jld.1, hlm.228; jld.1, hlm.18, 55, 86; jld.3, hlm.58,125,214,345; Ibnu Hajar al-Asqalani,Tahdzib al-Tahdzib, jld.9, hlm.220; jld.12, hlm.46.
- ↑ Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld.13, hlm.224.
- ↑ Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.1, hlm.267-268; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.1, hlm.52-53.
- ↑ Lihat: Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm.317.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.124, 400.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.139.
- ↑ Zaryab, Sireh Rasulullah, hlm.115-116.
- ↑ Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.1, hlm.310; Ahmad bin Hambal, Musnad, jld.2, hlm.204.
- ↑ Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.2, hlm.11-13; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.1, hlm.67-69.
- ↑ Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.1, hlm.340-341; Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.230-232.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.1, hlm.227-228.
- ↑ Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.2, hlm.126-129; Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.1, hlm.227-229.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm.374.
- ↑ Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.260.
- ↑ Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld.3, hlm.179.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.173-174; Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.2, hlm.136-137.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.174.
- ↑ Muhammad bin Ishaq, Sirah Rasulullah, hlm.485.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.173-174; Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.212.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.174.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.26,55.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.240.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.336.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.364.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.386.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.405.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.448-449.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.498.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.536.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.580.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.644.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.782,813.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.900.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.930-931.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.991-996.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.722.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.770.
- ↑ Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld.13, hlm.170.
- ↑ Dzahabi, Tārikh al-Islām, jld.2, hlm.412; Ibnu Abi Syaibah, al-Kitāb al-Mushannaf fi al-Ahadist wal Atār, jld.6, hlm.367; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak ala al-Shahihain, jld.3, hlm.39; Iji, Kitāb al-Mawāqif, jld.3, hlm.634.
- ↑ Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.113.
- ↑ Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.4, hlm.188-191.
- ↑ Lihat: Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.1077; Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.2, hlm.168-169; jld.3, hlm.177; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.10, hlm.41-47; Thusi, al-Tibyān, jld.5, hlm.169; Thabrasi, Majma’ al-Bayān fi Tafsir al-Qur’ān, jld.5, hlm.6.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.1117.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.2, hlm.189-190, hlm.177.
- ↑ Bandingkan: Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.184; Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.4, hlm.253.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.186; Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld.1, hlm.159-162.
- ↑ Lihat: Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.2, hlm.215-224; jld.3, hlm.178; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.197; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.130-132.
- ↑ Lihat: Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.196; Bandingkan: Ahmad bin Hambal, Musnad, jld.1, hlm.356; Mufid, al-Irsyād, hlm.99.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.2, hlm.215-224; jld.3, hlm.179; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.130-132.
- ↑ Bukhari, Sahih Bukhari, jld.1, hlm. 174, 175, 183; Ahmad bin Hambal, Musnad, jld.6, hlm.234.
- ↑ Jakfar Murtadha, jld. 32, hal. 315-316.
- ↑ Ibnu Jauzi, Afāt Ashāb al-Hadits, hlm.49-50; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.132.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.2, hlm.189-190; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.184-186; Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld.1, hlm.159-160; Mufid, al-Irsyād, hlm.98.
- ↑ Ahmad bin Hambal, Musnad, jld.1, hlm.356; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.196.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.179; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.131; Mufid, al-Irsyād, hlm.98.
- ↑ Ibnu Jauzi, Afātu Ashāb al-Hadits, hlm.28.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.220-223; Halabi, al-Sirah al-Halabiyah, jld.3, hlm.359.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.205; Fayyadh, Tārikh Islām, hlm.131.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.204-206; Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.583-584; bandingkan: Nahjul Balāghah, khotbah 136.
- ↑ Mufid, al-Irsyād, hlm.101.
- ↑ Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.4, hlm.311; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.204-206; bandingkan: Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.590-591; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.159-161.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.212; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.223-224; bandingkan: Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.590-591 .
- ↑ Azham, Asyhar Masyahir al-Islām, hlm.90-91; Deruzeh, Tārikh al-Arab fi al-Islām, hlm.30.
- ↑ Musawi Naisyaburi, Tasyiid al-Mathain, jld.1, hlm.197-224; Husaini Firuz Abadi, al-Sab'ah min al-Salaf, hlm.9-11.
- ↑ Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.123-126; Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.588; Ibnu Abdu Rabbah, al-'Aqd al-Farid, jld.4, hlm.259-260; Thabrasi, al-Ihtijāj, jld.1, hlm.97; Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld.1, hlm.44-61.
- ↑ Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.588.
- ↑ Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.11-12; Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.582; Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.125-126; Nahjul Balāghah, khotbah 67.
- ↑ Q.S. Ali Imran, ayat 33-34.
- ↑ Q.S. Al-Maidah, ayat 55.
- ↑ Lihat: Mufid, al-Jamal wa al-Nushrah li Sayidil Itrah, hlm.32-33; Thabathabai, Syieh dar Islām, hlm.113.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm.319-321; Ahmad bin Hambal, Musnad, jld.1, hlm.111.
- ↑ Ghanji, kifāyah al-Thālib, hlm.281; Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.23-24; Mufid, al-Jamal wa al-Nushrah li Sayidil Itrah, hlm.33-34; Ibnu Shabagh, al-Fushul al-Muhimmah, hlm.39.
- ↑ Muhib Thabari, Dzakhāir al-‘Uqba, hlm.67-68; Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld.5, hlm.208-214; jld.7, hlm.346-351.
- ↑ Thabathabai, Syieh dar Islām, hlm.113-114.
- ↑ Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.10; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.222-223; Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.616-617.
- ↑ Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.589; bandingkan: Ibnu Abdu Rabbah, al-'Aqd al-Farid, jld.4, hlm.260.
- ↑ Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.11-12; Thabrasi, al-Ihtijāj, jld.1, hlm.95-96; .
- ↑ Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.11-12; bandingkan: Mufid, al-Ikhtishāsh, hlm.184-187; Thabrasi, al-Ihtijāj, jld.1, hlm.95-96.
- ↑ Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.586.
- ↑ Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.12.
- ↑ Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.13-14; bandingkan: Ibnu Abdu Rabbah, al-'Aqd al-Farid, jld.4, hlm.259; Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.126; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.202; Masudi, Muruj al-Dzahab, jld.2, hlm.308; Mufid, al-Irsyād, hlm.185-187.
- ↑ Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.591; Thabarsi, al-Ihtijāj, jld.1, hlm.99.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.430-431; Masudi, Muruj al-Dzahab, jld.2, hlm.308; bandingkan: Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.137; Ibnu Abdu Rabbah, al-'Aqd al-Farid, jld.4, hlm.268.
- ↑ Masudi, Muruj al-Dzahab, jld.3, hlm.77.
- ↑ Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.4, hlm.308-310; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.204-205.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.207.
- ↑ Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.582; Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.124-126.
- ↑ Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.582; Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.11.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.208; Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.126; Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.586; Ibnu Abdu Rabbah, al-'Aqd al-Farid, jld.2, hlm.22, jld.4, hlm260; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.170-171; Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.222-223.
- ↑ Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.588; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.387; Thabarsi, al-Ihtijāj, jld.1, hlm.95-105.
- ↑ Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.587; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.208; Thabarsi, al-Ihtijāj, jld.2, hlm.381.
- ↑ Thuraihi, Majma' al-Bahrain, jld.3, hlm.371; Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld.16, hlm.268-269.
- ↑ Untuk percontohan lihat: Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.207-208.
- ↑ Baladzuri, Futuh al-Buldān, hlm.44-46.
- ↑ Muhaqiq Karaki, Nafahāt al-Lāhut, hlm.78; Amin, a’yān al-Syiah, jld.1, hlm.314; Bukhari, Sahih al-Bukhari, jld.5, hlm. 82; Ibnu Hajar Haitami, al-Shawa’iq al-Muhriqah, hlm.25; Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld.16, hlm.218.
- ↑ Halabi, al-Sirah al-Halabiyah, jld.3, hlm.362.
- ↑ Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld.1, hlm.222; Mufid, al-Jamal wa al-Nushrah li Sayidil Itrah, hlm.59.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.1121; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.225-226; Azham, Asyhar Masyahir al-Islām, hlm.24-25; Fayyadh, Tārikh Islām, hlm.133.
- ↑ Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld.6, hlm.311.
- ↑ Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld.6, hlm.311.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.246; Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld.6, hlm.311.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.246; Fayyadh, Tārikh Islām, hlm.133.
- ↑ Sayid Murtadha, al-Syāfi fi al-Imāmah, jld.4, hlm.161-167; Thabathabai, Syieh dar Islām, hlm.11.
- ↑ Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.131-132; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.278; Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.4, hlm.295-296.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.264; Abu Ali Miskawaih, Tajārub al-Umam, jld.1, hlm.168.
- ↑ Baladzuri, Futuh al-Buldān, hlm.242; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.343, 344, 346.
- ↑ Lihat: Baladzuri, Futuh al-Buldān, hlm.243-244; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.344, 345, 348, 351, 353, 355, 358; Zarrinkub, Tārikhe Irān ba’daz Islām, hlm.346-350.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.387.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.115-116.
- ↑ Baladzuri, Futuh al-Buldān, hlm.140-141; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.314-392.
- ↑ Baladzuri, Futuh al-Buldān, hlm.118-122; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.395, 406, 407, 434.
- ↑ Bukhari, Sahih Bukhari, jld.6, hlm. 98.
- ↑ Bukhari, Sahih Bukhari, jld.6, hlm. 98-99.
- ↑ Ramyar, Tārikh Quran, hlm. 304 dan seterusnya.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.177-178.
- ↑ Abu Ubaid, al-Amwāl, hlm.231.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.213.
- ↑ Ibnu Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld.2, hlm.422.
- ↑ Ibnu Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld.2, hlm.22.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.213; Ibnu Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld.2, hlm.422; Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.134-154.
- ↑ Ibnu Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld.2, hlm.420-421.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 426.
- ↑ Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.182; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 241-247.
- ↑ Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.138.
- ↑ Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.191-192; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 428; Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.19; Ibnu Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld.2, hlm.425 .
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 429.
- ↑ Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.192.
- ↑ Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.136, 138.
- ↑ Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.19.
- ↑ Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.19; lihat juga: Mubarrad, jld.1, hlm.17, dekat dengan kandungan ini.
- ↑ Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.19.
- ↑ Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.192-193.
- ↑ Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.19-20; bandingkan: Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.199; 200; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 428-430; Ibnu Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld.2, hlm.425-428.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.188-191; Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm.170; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 424.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.108-109; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm.317; Ibnu Abdu Rabbah, al-'Aqd al-Farid, jld.3, hlm.284.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.179, 180; Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.13-15.
- ↑ 1EI.
- ↑ Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.415.
- ↑ lihat: hlm.125-127.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.1094.
- ↑ Taubah, hlm.9, hlm.111.
- ↑ Q.S. Al-Lail, ayat 5.
- ↑ Q.S. Al-Taubah, ayat 9.
- ↑ Azham, Asyhar Masyahir al-Islām, hlm.14-15; Ibnu Hajar Haitami, al-Shawa’iq al-Muhriqah, hlm.98-102.
- ↑ Bukhari, Sahih Bukhari, jld.4, hlm. 191.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.109.
- ↑ untuk percontohan: Bukhari, Sahih Bukhari, jld.4, hlm. 189-198; Ibnu Sa'ad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.175-178; Suyuthi, Tārikh al-Khulafa, hlm.38-68.
- ↑ Amini, al-Ghadir, jld.2, hlm.87-312.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.507, 544-544; jld.2, hlm.747-936; Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.177.
- ↑ Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.807.
- ↑ Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.205.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 432; Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.219; Azham, Asyhar Masyahir al-Islām, hlm.89, nukilan dari Ibnu Asakir.
- ↑ Ibnu Sa'ad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.184-185.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.179, 180; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 432.
- ↑ Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.136-137; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.419-420; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.191-194.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.203, 208,209; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 421-422; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.193-195.</.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.192-200; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 428-430; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.191-194.</.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 429-431; Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.137; Masudi, Muruj al-Dzahab, jld.2, hlm.308-309; Ibnu Abdu Rabbah, al-'Aqd al-Farid, jld.4, hlm.268-269.
- ↑ Sajestani, al-Zuhd, hlm. 5.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.212.</.
- ↑ Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm. 244.
- ↑ San'ani, al-Mushannaf, jld.11, hlm. 336.
- ↑ Ibnu Jauzi, al-Muntazham,jld.4, hlm.69.
- ↑ Ibnu Taimiyyah, Minhāj al-Sunnah, jld.8, hlm.266.
- ↑ Suyuthi, Tārikh al-Khulafa, hlm.71.
- ↑ Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld.6, hlm.301.
Daftar Pustaka
- Abu Ubaid, Qasim bin Sallam. Al-Amwāl. Riset: Abdul Amir Ali Muhanna. Beirut: Dar al-Hadatsah, 1988.
- Ahmad bin Hanbal.Musnad Ahmad bin Hanbal. Kairo: 1313 H.
- 'Amili, Sayid Ja'far Murtadha. As-Shahīh min Sīrah an-Nabī al-A'zham. Qom: 1400 H.
- Amin, as-Sayid Muhsin. A'yān al-Syi'ah. Diedit: oleh Hasan Amin. Beirut: Dar al-Ta'aruf li al-Mathbu'at, 1403 H.
- Amini, Abdul Husain Ahmad. Al-Ghadīr. Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1403 H.
- 'Askari, Murtadha. Khamsūn wa Mi`ah as-Shahābī al-Mukhtalaq. Beirut: 1405 H.
- 'Asqalani, Ibnu Hajar. Al-Ishābah fī Tamyīz ash-Shahābah. Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-'Arabi, 1328 H.
- Asqalani, Ibnu Hajar. Tahdzīb al- Tahdzīb. Hyderabad (Dekkan):Majlis Da`irah al-Ma'arif an-Nizhamiyyah, 1326 H.
- 'Azhm, Rofiq bin Mahmud. Asyhar Masyāhīr al-Islam. Beirut: 1403 H.
- Baladzuri, Ahmad bin Yahya. Ansāb al-Asyrāf. Riset: Muhammad Hamidullah. Kairo: 1959.
- Baladzuri, Ahmad bin Yahya. Ansāb al-Asyrāf. Riset: Muhammad Baqir al-Mahmudi. Beirut: Muassisah al-A'lami li al-Mathbu'at, 1394 H.
- Baladzuri, Ahmad bin Yahya. Futūh al-Buldān. Riset: Ridhwan Muhammad Ridhwan. Beirut: 1398 H.
- Bukhari, Muhammad bin Isma'il.Shahīh al-Bukhārī. Beirut: Dar Ihya` at-Turats al-Arabi, 1313 H.
- Darwazah, Muhammad 'Izzah. Tārīkh al-Arab fī al-Islam. Beirut: Al-Maktabah al-Mishriyyah.
- Dinawari, Ibnu Qutaibah. Al-Ma'ārif. Riset: Tsarwat 'Okasyah. Kairo: 1960.
- Dinawari, Ibnu Qutaibah.Al-Imāmah wa al-Siyāsah. Kairo:, 1356 H.
- Dzahabi, Muhammad bin Ahmad. Mīzān al-I'tidāl fī Naqdi ar-Rijāl. Riset: Ali Muhammad al-Bajawi. Beirut: Dar al-Fikr.
- Dzahabi, Muhammad. Tārīkh al-Islām wa Wafayāt al-Masyāhīr wa al-A'lām. Cet. I. Diedit: Umar Abdus Salām Tadmuri. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi,1407 H.
- Fayyadh, Ali Akbar. Tārīkh Islam. Teheran : Danesygah Teheran,1335 S(1976).
- Ganji, Muhammad bin Yusuf. Kifāyah at-Thālib fī Manāqib 'Ali bin Abi Thālib. Riset: Muhammad Hadi Amini. Teheran: Dar Ihya` Turats Ahlul Bait 'Alaihimus Salam, 1362 S (1983).
- Hakim Naisyaburi. Al-Mustadrak 'alā Shahīhain. Riset: Mushthafa Abdul Qodir Atha`. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1411 H.
- Halabi, Ali bin Ibrahim bin Ahmad. Al-Sīrah al-Halabiyyah. Beirut: Al-Maktabah al-Islamiyyah.
- Husaini Firuz Abadi, Murtadha. Al-Sab'atu minas Salaf. Qom: 1361 S(1982).
- Ibnu 'Abdi Rabbih Andalusi, Ahmad bin Muhammad. al-'Iqd al-Farīd. Riset: Ahmad. Beirut: 1402 H.
- Ibnu Abi al-Hadid, Abdul Hamid bin Hibatullah. Syarh Nahj al-Balāghah. Riset: Muhammad Abdul Karim an-Nimri. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418 H.
- Ibnu Abi Syaibah al-Kufi, 'Abdullah bin Muhammad. al-Mushannaf fī al-Ahādīts wa al- Ātsār. Riset Kamal Yusuf al-Hut. Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 1409 H.
- Ibnu Atsir, Ali bin Muhammad al-Jazari. Al-Kāmil fī At-Tārīkh. Beirut: Dar al-Shadir, 1385 H.
- Ibnu Atsir, Ali bin Muhammad al-Jazari. Usd al-Ghābah fī Ma'rifat al-Shahābah. Kairo: 1286 H.
- Ibnu Hajar Haitami, Ahmad. Ash-Shawā'iq al-Muhriqah. Beirut: 1405 H.
- Ibnu Hibban, Muhammad. Ats-Tsiqāt. Hyderabad (Dekkan):1393 H.
- Ibnu Hisyam. As-Sīrah an-Nabawiyyah. Riset: Muhammad Abul Fadhl Ibrahim. Kairo: 1355 H.
- Ibnu Ishaq, Muhammad bin Ishaq bin Yasar. Sīrah Ibnu Ishāq. Diterjemahkan: Rafi'uddin Ishaq Hamedani. Riset: Ashghar Mahdawi. Teheran: Khawarizmi, 1360 HS (1981).
- Ibnu Jauzi, Abdurrahman bin Ali. Afatu Ashhābil Hadīts. Riset Ali Husaini Milani. Qom: Markaz al-Haqaiq al-Islamiyyah, 1432 H.
- Ibnu Jauzi, Abdurrahman bin Ali. Al-Muntazham fī Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk. Cet. I. Beirut: Dar Shadir, 1358 H.
- Ibnu Katsir, Ismail bin Umar bin Katsir ad- Dimasyqi. Al-Bidāyah wa an-Nihāyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1407 H.
- Ibnu Miskawaih, Abu Ali Razi. Tajārib al-Umam. Riset: Abul Qasim Imami. Tehran: Zarin, 1366 HS (1987).
- Ibnu Saad, Muhammad bin Mani'. Ath-Thabaqāt al-Kubrā. Beirut: Dar ash-Shadir, 1968.
- Ibnu Shabbagh, Ali bin Muhammad. Al-Fushūl al-Muhimmah. Najaf: 1950.
- Ibnu Taimiyyah, Ahmad.Minhāj as-Sunnah an-Nabawiyyah. Riset: Muhammad Risyad Salim. Kairo: Muassisah Qurthubah, 1406 H.
- Iji, Abdurrahmanbin Ahmad. al-Mawāqif fī Ilm al-Kalām. Cet. I. Riset: Abdurrahman Umairah. Beirut: Dar al-Jil, 1417 H.
- Kurki, Ali bin Abdul Ali. Nafahāt al-Lāhūt. Teheran: Maktabah Nainawa.
- Mahmud Ramyar. Tārīkh Qur'ān. Cet III. Teheran: Amir Kabir, 1362 HS (1983).
- Mas'udi, Ali bin al-Husain. Murūj al-Dzahab wa Ma'ādin al-Jawhar. Riset: Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid. Beirut: 1387 H.
- Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu'man. Al-Ikhtishāsh. Riset: Ali Akbar Ghaffari. Qom: 1357 HS (1978).
- Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu'man. Al-Irsyād fī Ma'rifati Hujajillah 'ala al-'Ibād. Qom: Maktabah Bashirati.
- Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu'man. Al-Jamal wa an-Nushrah li Sayyid al-'Itrah. Qom: Maktabah ad-Dawari.
- Nasai, Ahmad bin Syu'aib. Tahdzīb Khashāish al-Imam Ali. Riset: Abu Ishaq Juwaini. Beirut: 'Alam al-Kutub, 1404 H.
- Sajistani, Sulaiman bin Asy'ats. Al-Zuhdu. Cet. I.Kairo: Dar al-Misykat, 1993.
- Sayid Murtadha, Ali bin Husain. Al-Syāfī' fī al-Imāmah. Riset Sayid Abduz Zahra Husaini. Teheran: Muassisah ash-Shadiq, 1410 H.
- Shan'ani, Abdurrazzaq bin Hammam. al-Mushannaf. Cet. II. Riset Habiburrahman. Beirut: Al-Maktabah al-Islamiyyah, 1403 H.
- Suyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakr. Al-Jāmi' ash-Shaghīr fi Ahādīts al-Basyīr wa an-Nadzīr. Kairo: 1373 H.
- Suyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakr. Tārīkh al-Khulafā` . Riset Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid. Kairo:1371 H.
- Thabari, Ahmad bin 'Abdullah. Dzakhāir al-'Uqbā. Kairo: Al-Maktabah al-Qudsi, 1356 H.
- Thabari, Muhammad bin Jarir. Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk. Cet II. Riset Muhammad Abul Fadhl Ibrahim. Beirut: Dar Ihya' al-Turats al-'Arabi, 1387 H.
- Thabathabai, Sayid Muhammad Husain. Syi'ah dar Islam. Qom: Dar at-Tabligh Islami, 1348 S (1969).
- Thabrisi, Ahmad bin Ali. Al-Ihtijāj 'alā Ahli al-Lujāj. Riset: Muhammad Baqir Musawi Khurasan. Najaf: Nu'man,1386 H.
- Thabrisi, Fadhl bin Hasan. Majma' al-Bayān fī Tafsīr al-Qur'ān. Riset: Hasyim Rasuli Mahallati dan Fadhlullah Yazdi. Beirut: Daru Ihya` at-Turats al-Arabi,1408 H.
- Thuraihi, Fakhruddin bin Muhammad. Majma' al-Bahrain. Riset: Mahmud 'Adil. Teheran: Daftar-e Nasyr-e Farhangg-e Islami,1367 S (1988).
- Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Tibyān fī Tafsīr al-Qur'ān. Riset Ahmad Qashir al-'Amili. Beirut: Dar Ihya' at-Turats al-'Arabi, 1383 H.
- Tirmidzi, Muhammad bin 'Isa. Al-Jāmi' al-Shahīh. Riset: Ahmad Muhammad Syakir. Kairo: 1356 H.
- Waqidi, Muhammad bin Umar. Al-Maghāzī. Riset: Mersden Jones. London: 1966.
- Ya'qubi, Ahmad bin Ya'qub. Tārīkh al-Ya'qubi. Beirut: Dar al-Shadir, 1379 H.
- Zarin Kob, Abdul Husain. Tārīkh Iran Ba'daz Islam. Teheran: Amir Kabir, 1343 HS(1964).
- Zaryab Khui, Abbas. Sīre-ye Rasūlullah. Teheran: Surusy, 1370 HS(1991).