Zainab binti Jahsy

Prioritas: c, Kualitas: a
Dari wikishia
Zainab binti Jahsy
Istri Nabi Muhammad saw
Nama lengkapZainab binti Jahsy bin Rayyab
LakabUmmul Mukminin
Terkenal denganZainab
Afiliasi agamaIslam
Tempat tinggalMekah, Madinah
Wafat20 H/641
Tempat dimakamkanBaqi', Madinah
Istri-istri Nabi saw

Nama

Khadijah al-Kubra sa

Saudah

Aisyah

Hafsah

Zainab (binti Khuzaimah)

Ummu Salamah

Zainab (binti Jahsy)

Juwairiyah

Ummu Habibah

Mariyah

Shafiyah

Maimunah

Tanggal Nikah

(27 sebelum Hijrah/595)

(sebelum Hijrah/sebelum 622)

(1, 2, atau 4 H/622, 623, atau 625)

(3 H/624)

(3 H/624)

(4 H/625)

(5 H/626)

(5 H atau 6 H/626 atau 627)

(6 atau 7 H/627 atau 628)

(7 H/628)

(7 H/628)

(7 H/628)

Zainab binti Jahsy (bahasa Arab: زینب بنت جحش) adalah salah seorang istri Nabi Muhammad saw. Ia sebelumnya menikah dengan Zaid bin Haritsah anak asuh Rasulullah saw, namun tidak lama keduanya berpisah. Untuk mengubah tradisi Jahiliyah yang menyamakan sepenuhnya anak asuh sebagaimana anak kandung, Nabi Muhammad saw menikahi mantan istri anak asuhnya tersebut.

Pernikahannya dengan Zainab menyebabkan Nabi Muhammad saw dilecehkan dan diolok-olok, yang menjadi penyebab turunnya ayat mengenai perintah berhijab. Demikian pula, pernikahannya dengan Zainab menimbulkan kecemburuan dari sebagian istri Nabi saw yang lain, yang kemudian menjadi penyebab turunnya surah Al-Tahrim.

Zainab dikenal sebagai sosok pribadi yang sederhana dan zuhud. Sehingga disaat ia meninggal dunia, tidak ada satu dirhampun yang ia tinggalkan. Ia wafat di Madinah pada tahun 20 H/641 dan dimakamkan di Pemakaman Baqi.

Nama dan Nasab

Nama ayah Zainab Jahsy bin Rayyab dari suku Ghanm dan dari kabilah Asad bin Khuzaima, [1] yang setelah hijrah ke Mekah, bergabung dengan Bani Umayyah sehingga termasuk dalam suku Quraisy. [2] Ibunya bernama Umaima binti Abdul Muththalib, bibi Rasulullah saw.[3]

Sebelumnya Zainab bernama Barra, yang kemudian setelah menikah dengan Rasulullah saw, Rasulullah saw memanggilnya dengan nama Zainab. [4]

Kelahiran

Tidak ada catatan sejarah yang pasti mengenai tahun kelahiran Zainab. Namun mengingat tahun wafatnya 20 H/641 pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, sementara banyak sejarawan yang menyebutkan sewaktu wafat usianya 53 tahun [5] maka setidaknya dapat diperkirakan, ia lahir pada tahun 33 sebelum hijrah atau sekitar 10 tahun sebelum Bi'tsat.

Ibnu Hajar berpendapat, usia Zainab sewaktu meninggal dunia adalah 50 tahun. [6] Sementara Ibnu Sa'ad [7] meriwayatkan dari Waqidi, usia Zainab ketika dinikahi Rasulullah saw 35 tahun [8]. Sehingga diperkirakan kelahirannya sekitar 29 atau 30 tahun sebelum hijrah. Ibu Akasyah bin Mahsahn juga menyebutkan sewaktu hijrah ke Madinah usia Zainab saat itu sekitar 30 tahun. [9]

Hijrah

Zainab dan sejumlah dari keluarga Jahsy termasuk diantara mereka yang pertama berhijrah ke Madinah. [10] Rumah keluarga Jahsy yang ditinggalkan di Mekah, oleh Abu Sufyan dijual ke Amr bin 'Alqama. [11]

Kepribadian

Sepeninggal Zainab, tidak ada sedikitpun harta berharga yang ditinggalkannya. Sebab semasa hidupnya ia dikenal sebagai pribadi yang dermawan. [12] Nabi Muhammad saw mengenalnya sebagai sosok istri yang lembut dan penyayang. Nabi Muhammad saw pernah bersabda kepada semua istrinya, bahwa yang paling pertama menyusulnya setelah kematiannya, adalah yang paling dermawan diantara istri-istrinya. [13]

Zainab hanya dalam beberapa jam, 12 ribu dirham yang merupakan pemasukan tahunannya telah ia habiskan untuk dibagikannya ke pelayan-pelayannya, ke anak-anak yatim, kaum janda serta orang-orang yang lebih membutuhkannya. Kedermawanannya tersebut, banyak diriwayatkan oleh para sejarawan. [14]

Mengenai Zainab, Aisyah menyebutnya sebagai perempuan yang bertakwa, suka membantu, jujur, gemar bersedekah dan berbakti pada orangtua. Aisyah berkata tidak ada yang lebih dikenalnya paling memperhatikan nasib anak-anak yatim dan kaum janda dari Zainab. [15] Aisyah menyebut Zainab adalah istri yang paling dicintai Rasulullah saw setelah dirinya. [16]

Ibnu Abd al-Barra dan Ibnu Jauzi menukil riwayat dari Aisyah, bahwa ia bersama dengan Zainab adalah istri-istri terbaik Nabi Muhammad saw. [17] [18]

Periwayatan

Zainab termasuk perawi langsung hadis dari Rasulullah saw. [19] Bukhari dan Muslim mendokumentasikan sejumlah hadis yang diriwayatkan oleh Zainab. [20] Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Ummu Habibah dan Muhammad bin Abdullah bin Jahsy diantara perawi yang meriwayatkan hadis Nabi saw yang didapatnya dari Zainab. [21]

Riwayat dari Thabari dengan sanad yang mursal menyebutkan, fukaha Hijaz menyebutkan Nabi Muhammad saw wafat di rumah Zainab. [22]

Pernikahan dengan Rasulullah saw

Tuduhan Berlebihan Musuh

Isu pernikahan Rasulullah saw dengan Zainab oleh kelompok Munafikin dan musyrikin dijadikan bahan untuk mencela dan mengolok-olok Nabi Muhammad saw. Sebagian kelompok Munafik menghembuskan fitnah bahwa berpisahnya Zaid bin Haritsah dengan Zainab karena ketertarikan Nabi saw kepada kecantikan Zainab. Merekapun merekayasa cerita mengenai hal tersebut [23] yang cerita tersebut memiliki beragam versi.

Versi cerita yang paling masyhur menyebutkan, sewaktu Nabi Muhammad saw melihat Zainab, Zaid sedang tidak berada di rumah. [24] Menurut versi riwayat Ibnu Habib [25] menyebutkan, Zaid ada di rumah, namun sedang pergi mengambil wudhu. Oleh sebagian mufassir, kisah tersebut dinilai sebagai penyebab turunnya ayat 37 dari surah Al-Ahzab.[26]

Dengan melihat kitab-kitab tafsir klasik yang ada, menunjukkan mufassir generasi awal, kemungkinan besar menjadikan kisah-kisah yang populer dikalangan masyarakat menjadi sumber rujukan. [27] Ibnu Hajar menyebutkan, lemahnya sanad dari kisah-kisah yang beredar mengenai isu yang mengawali perceraian Zaid dengan Zainab. [28] Namun tetap saja kisah-kisah yang hanya bersumber dari satu pihak tersebut yang diterima menjadi penyebab pernikahan Nabi Muhammad saw dengan Zainab. [29]

Pernikahan Nabi saw dengan Zainab juga dijadikan oleh kaum Nasrani di masa itu sebagai bahan untuk menyerang kepribadian Nabi saw dan mengesankan citra buruk pada Islam. [30] Kemungkinan yang pertama kali menggunakan peristiwa ini sebagai bantahan atas kenabian Nabi Muhammad saw dalam keyakinan Kristen adalah John Damascene dalam buku The Fountain of Knowledge. [31] Setelah itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari literatur Kristen dalam kaitannya dengan polemik terhadap Islam. Terkadang kisah mengenai peristiwa tersebut mengalami perubahan sebagaimana yang mereka nukil dari kitab-kitab Ahlusunah, dan menjadikannya sebagai sumber rujukan. [32]

Jawaban

Ulama-ulama Islam memberikan sejumlah jawaban dan bantahan dari syubhat-syubhat tersebut. Sumber penolakan kaum Musyrikin dan Munafikin atas pernikahan Nabi Muhammad saw dengan mantan istri anak angkatnya dikarenakan tradisi Jahiliyah penduduk Mekah yang memberlakukan anak angkat sebagaimana anak kandung, sehingga hukum-hukum yang berkaitan dengan anak angkat juga berlaku untuk anak asuh. Kisah tersebut termuat dalam ayat 36-39 surah Al-Ahzab. [33]

Menikah dengan sepupu adalah tindakan yang sah dalam Islam, sehingga perkawinan Nabi Muhammad saw dengan putri bibinya bukan masalah. Namun mengenai apa yang telah disebutkan bahwa Nabi saw menikahi Zainab karena tertarik dengan kecantikannya, [34] maka harus dikatakan bahwa Nabi saw tahu bahwa Zainab adalah perempuan yang santun dan cantik sebelum pernikahannya dengan Zaid bin Haritsah; bahkan saat itu Nabi saw sendiri yang meminta Zaid menikahi Zainab.

Nabi saw memiliki rasa kasih sayang secara khusus pada Zaid [35], yang satu atau dua tahun setelah Bi'tsah, Ia memerdekakan budaknya, Ummu Aiman untuk kemudian dinikahkan dengan Zaid. Dari pernikahan Zaid dan Ummu Aiman, lahirlah Usamah bin Zaid. [36]

Pelamaran Nabi Muhammad saw

Setelah Zainab hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad saw melamar Zainab untuk Zaid. Zainab kala itu menganggap bahwa dirinya dilamar untuk Nabi saw sendiri. Namun setelah tahu, Nabi saw melamarnya untuk Zaid, ia sempat menolak namun sadar bahwa itu kehendak Nabi saw, maka ia pun ridha dan menyepakati berlangsungnya pernikahan tersebut. [37]

Ahli tafsir pada umumnya berpendapat peristiwa dilamarnya Zainab oleh Nabi Muhammad saw untuk Zaid mengiringi turunnya ayat 36 surah Al-Ahzab yang dengan turunnya ayat tersebut, Zainab tidak lagi punya pilihan lain, selain menyepakati pernikahannya dengan Zaid. [38]

Perpisahan dengan Zaid

Meski selalu bersama[39]namun Zaid mengeluhkan akhlak buruk Zainab kepada Rasulullah saw, yang oleh Rasulullah saw ia diminta bersabar dan bertahan bersama istrinya.[40]Sampai akhirnya Nabi Muhammad saw meminta agar Zaid menceraikan istri setelah ada perintah dari Allah swt agar keduanya berpisah.

Menurut mayoritas sejarawan, perceraian antara Zainab dan Zaid terjadi pada tahun ke-5 H/626 atau setelah terjadinya Perang Muraisa' pada bulan Sya'ban. [41]

Pernikahan dengan Rasulullah saw

Nabi Muhammad saw atas perintah dari Allah swt menikahi Zainab. Hikmah dibalik pernikahan tersebut adalah untuk merombak tradisi Jahiliyah penduduk Mekah yang memberlakukan sama seutuhnya antara anak asuh dengan anak angkat. [42]

Diriwayatkan sendiri dari Zainab, ia menikah tanpa mahar dengan Rasulullah saw dan Nabi saw memperkenalkan Zaid sebagai pewaris dan puteranya. [43]

Dikarenakan pernikahan Nabi Muhammad saw dengan Zainab adalah ketetapan langit, maka Nabi saw memperlakukan Zainab lebih istimewa dibandingkan dengan istrinya yang lain. [44]Pada pesta pernikahannya dengan Zainab, Nabi saw menyembelih seekor kambing [45] dan melayani tamu-tamunya dengan itu. [46]

Pernikahan Nabi Muhammad saw dengan Zainab berlangsung pada awal bulan Dzulqa'dah pada tahun ke-5 H/626, yang saat itu Zainab sedang berusia 35 tahun. [47]

Turunnya Ayat Hijab

Ayat hijab turun setelah pernikahan Nabi Muhammad saw dengan Zainab untuk menghindarkan gangguan dari sejumlah kaum Munafikin. Dengan matan yang berbeda-beda, riwayat mengenai turunnya ayat hijab tersebut dicatat oleh Ibnu Sa'ad [48]dan Thabrani [49] serta dinukil oleh ulama ahli tafsir dengan menyebut turunnya ayat 58 dan 59 surah Al-Ahzab tersebut untuk menghindarkan istri Nabi saw dari gangguan. [50]

Zainab adalah istri yang sangat dicintai dan disayangi Rasulullah saw dan memiliki posisi yang istimewa di sisi Rasulullah saw. Hal itulah yang menimbulkan kecemburuan dari beberapa istri Nabi saw yang lain. Ayat-ayat bagian awal surah Al-Tahrim turun berkenaan dengan peristiwa yang dipicu oleh kecemburuan tersebut. [51] Keistimewaan yang dimiliki Zainab menyebabkan ia dibenci oleh Shafiyah binti Huyay bin Akhthab. [52]

Zainab ikut beserta Rasulullah saw pada perang Hunain [53]dan pasca wafatnya Rasulullah saw ia berkata tidak akan pernah lagi keluar menunggangi hewan tunggangan, meskipun itu untuk melakukan haji. [54]

Nabi saw berkata kepada Umar yang memarahi Zainab, supaya tahu bahwa Zainab itu Awwah (orang yang rendah hati) dan banyak merintih di sisi Allah swt. Zainab itu memiliki sifat Nabi Ibrahim dalam dirinya. [55]

Pada Periode Kekhalifahan Umar

Pada masa kekhalifahan Umar, wilayah kekuasaan Islam sangat luas. Khalifah Umar melakukan berbagai penaklukan di wilayah jazirah Arab. Sebagaimana istri-istri Nabi saw yang lain, Zainab juga mendapatkan harta dari Baitul Mal sebesar 12 ribu dirham setiap tahunnya. Namun Zainab hanya mendapatkan pada tahun pertama, sebab tahun setelahnya ia telah menghembuskan nafas yang terakhir. Bagi Zainab harta yang didapatkan dari penaklukan adalah fitnah dan berharap dari Allah swt agar ia dihindarkan dari harta yang didapat dari penaklukkan dan penjajahan. [56]

Wafat

Zainab adalah istri yang pertama kali menyusul Rasulullah saw ke haribaan-Nya. [57] Ia wafat pada tahun ke 20 H/641 [58]. Salat jenazah untuknya diimami oleh Umar bin Khattab yang saat itu menjadi khalifah. [59]

Ibnu Sa'ad, [60] Dzahabi, [61] dan sejumlah perawi lainnya menukilkan bahwa pada proses pemakaman Zainab, Umar bin Khattab pada awalnya memerintahkan hanya untuk para mahramnya saja yang bisa melihat langsung proses pemakaman tersebut untuk menjaga kemuliaan istri Nabi saw tersebut. Sebab saat itu Zainab hendak dimakamkan tidak dengan peti jenazah. Namun Asma binti 'Umais pada saat itu mengusulkan untuk digunakan peti jenazah sehingga masyarakat umum mampu mengikuti proses pemakaman tersebut. [62]

Umar bin Khattab menerima usulan tersebut dan selanjutnya memberlakukannya untuk setiap jenazah perempuan yang hendak dimakamkan agar menggunakan peti jenazah sehingga tidak terlihat oleh pandangan umum. [63]

Proses Pemakaman

Pemakaman Zainab dengan menggunakan peti jenazah dikenal sebagai yang pertama dalam masyarakat Islam waktu itu. Ketika ditanyakan kepada Asma binti 'Umais dibalik saran penggunaan peti untuk jenazah Zainab, ia berkata, ia pernah melihat tradisi penduduk Habasyah menggunakan peti pada prosesi pemakaman jenazah. [64] Sementara peti jenazah telah digunakan pada prosesi pemakaman jenazah Sayidah Fatimah az-Zahra sa, hanya karena prosesi pemakamannya diadakan tidak secara terbuka, sehingga pemakaman Zainablah yang dikenal sebagai yang pertama menggunakan peti jenazah untuk memuliakan istri Nabi saw sehingga jenazahnya tidak terlihat oleh umum. [65]

Makam

Zainab dimakamkan di Pemakaman Baqi di samping rumah Aqil bin Abi Thalib dan rumah Muhammad bin al-Hanafiyah. [66] Hadir pada prosesi pemakamannya, Usama bin Zaid, para sepupu dan semua kerabatnya.[67]

Pada hari saat Zainab dimakamkan, udara kota Mekah sangat panas, karena itu Khalifah memerintahkan untuk diatas makamnya dibuatkan tenda, dan makamnya yang pertama kali memiliki tenda untuk memudahkan orang untuk menziarahinya. [68]

Warisan

Satu-satunya harta warisan yang ditinggalkan Zainab adalah rumahnya, yang ditinggalinya semasa hidup. Namun pada saat perluasan Masjid Nabawi, rumah tersebut terpaksa dirubuhkan pada masa kekuasaan Walid bin Abd al-Mulk. Pihak penguasa memberikan ganti rugi kepada pewarisnya sebesar 50000 dirham. [69]

Catatan Kaki

  1. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 101; Ibnu Abd al-Barr, jld. 4, hlm. 1849; Ibnu Abi al-Hadid, jld. 9, hlm. 242.
  2. Lih. Baladzuri, j;d. 1, hlm. 521-522.
  3. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 101; Ibnu Abd al-Barr, jld. 4, hlm. 1849; Ibnu Abi al-Hadid, jld. 9, hlm. 242.
  4. Ibnu Abd al-Barr, jld. 4, hlm. 1849; Mahab al-Din Thabrisi, jld. 161; Ibnu Hajar, jld. 7, hlm. 668.
  5. Lih. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 115; Ibnu Jauzi, jld. 2, hlm. 49.
  6. Ibnu Hajar, jld. 7, hlm. 670.
  7. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 114.
  8. Lih. Ibnu Hajar, jld. 7, hlm. 670.
  9. Ibnu Sa'ad, jld. 1, hlm. 115.
  10. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 114; Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 101; Dzahabi, jld. 2, hlm. 211.
  11. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 114-115, 145.
  12. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 114.
  13. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 108; Abu Na'im Isfahani, jld. 2, hlm. 54; Ibnu Abd al-Barr, jld. 4, hlm. 1850-1851.
  14. Lih. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 103-110; Ibnu Hajar, jld. 7, hlm. 670.
  15. Ibnu Sa'ad, jld.8, hlm. 108-110; Ibnu Abd al-Barr, jld. 4, hlm. 1851; Ibnu Hajar, jld. 7, hlm. 671.
  16. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 114.
  17. Ibnu Abd al-Barr, jld.4, hlm. 1851.
  18. Ibnu Jauzi, jld. 2, hlm. 48.
  19. Lih: Tabrani, jld. 24, hlm. 51-57.
  20. Dzahabi, jld. 2, hlm. 218.
  21. Lih. Mazi, jld. 35, hlm. 184.
  22. Thabari, Tarikh, jld. 3, hlm. 187.
  23. Lih. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 101-102; Baladzuri, jld. 1, hlm. 522; Ibnu Abd al-Barr, jld. 4, hlm. 1849-1850.
  24. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 101-102; Thabari, Tarikh, jld. 2, hlm. 562-566; Thabrani, jld. 24, hlm. 44.
  25. Ibnu Habib, hlm. 85.
  26. Lih. Thabari, Tafsir; Ibnu Abi Zaminain, pada ayat yang dimaksud.
  27. Lih. Thabrani, jld. 24, hlm. 44.
  28. Ibnu Hajar, jld. 7, hlm. 668.
  29. Dairah al-Ma'arif Islam.
  30. Dairah al-Ma'arif Islam.
  31. Lih. Sahas, hlm. 91; Hoyland, hlm. 276.
  32. Lih. Kindi, hlm. 58; Sahas, hlm. 91; Daniel, hlm. 30-31, 119-125, 313.
  33. Lih. Sayid Murtadha Allamalhuda, hlm. 175-177.
  34. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 101-102; Qomi, jld. 2, hlm. 172-173.
  35. Ibnu Sa'ad, jld. 3, hlm. 40, 42-44; Ibnu Abd al-Barr, jld. 2, hlm. 543, 546.
  36. Lih. Ibnu Sa'ad, jld. 3,hlm. 45; Ibnu Abd al-Barr, jld. 2, hlm. 546.
  37. Ibnu Sa'ad, jld.8, hlm. 101; Thabrani, jld. 24, hlm. 39, 40, 45; Abu Na'im Isfahani, jld. 2, hlm. 51-52.
  38. Lih. Muqatil bin Sulaiman; Thabari, Tafsir pada ayat yang dimaksud; Ibnu Abi Zaminain, pada ayat yang dimaksud menukil riwayat yang menyebutkan ayat tersebut berkenaan dengan Ummu Kultsum bin 'Uqbah bin Abi Mu'ith dan Zaid bin Haritsah.
  39. Abu 'Ubaidah, hlm. 62; Abu Na'im Isfahani, jld. 2, hlm. 52.
  40. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 103; Baladzuri, jld. 1, hlm. 522; Thabrani, jld. 24, hlm. 41.
  41. Lih. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 114; Baladzuri, jld. 1, hlm. 521; Ibnu Abd al-Barr, jld. 4, hlm. 1849, yang sependapat dengan pendapat Qitadah; Abu 'Ubaidah, hlm. 61; Baladzuri, jld. 1, hlm. 521; Ibnu Abd al-Barr, jld. 4, hlm. 1849, yang menyebutkan waktu berpisahnya Zainab dengan Zaid pada tahun ke-3 H/624 meskipun Baladzuri menyebut bahwa pendapat tersebut tidak dapat dipastikan.
  42. Lih. Qs. Ahzab: 37; Ibnu Hajar, jld. 7, hlm. 667; Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 646.
  43. Ibnu Sa'ad, jld. 3, hlm. 42; Ibnu Abd al-Barr, jld. 2, hlm. 543; Ibnu Hajar, jld. 2, hlm. 599.
  44. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 103; Ibnu Abd al-Barr, jld. 4, hlm. 1850.
  45. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 103.
  46. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 105, 106, 107; Ibnu Abd al-Barr, jld. 4, hlm. 1849.
  47. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 114; Ibnu Abd al-Barr, jld. 4, hlm. 1849.
  48. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 105-107.
  49. Thabrani, jld. 24, hlm. 46-50.
  50. Lih. Maqatil bin Sulaiman; Thabari, Tafsir, pada ayat yang dimaksud; Thabari, Tafsir; Ibnu Abi Zaminain, pada ayat yang dimaksud, mengenai penyebab turunnya ayat ini, ia menukil khusus dari Ummu Salamah dan Aisyah.
  51. Lih. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 107; Bukhari, jld. 6, hlm. 166-167, jld. 7, hlm. 232; Muslim, jld. 4, hlm. 184-185.
  52. Ibnu Abd al-Barr, jld. 4, hlm. 1850.
  53. Waqidi, jld. 3, hlm. 926; Thabari, Tarikh, jld. 3, hlm. 83.
  54. Waqidi, jld. 3, hlm. 1115.
  55. Abu Na'im Isfahani, jld. 2, hlm. 53-54; Ibnu Abd al-Barr, jld. 4, hlm. 1852: Ibnu Hajar, jld. 7, hlm. 669.
  56. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 110; Lih. Dzahabi, jld. 2, hlm. 214.
  57. Ibnu Abd al-Barr, jld. 4, hlm. 1850.
  58. Lih. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 115; Thabrani, jld. 24, hlm. 38; Ibnu Abd al-Barr, jld. 4, hlm. 1852.
  59. Ibnu Habib, hlm. 88; Mazi, jld. 35, hlm. 185.
  60. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 111.
  61. Dzahabi, jld. 2, hlm. 212-213.
  62. Ibnu Qutaibah, hlm. 555.
  63. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 112; Ibnu Qutaibah, hlm. 555.
  64. Kulaini, jld. 3, hlm. 251; Ibnu Babwaih, jld. 1, hlm. 194; Abu Na'im Isfahani, jld. 2, hlm. 43.
  65. Lih. Ibnu Qutaibah, hlm. 555; Thabrisi, jld. 1, hlm. 278; Mahab al-Din Thabari, hlm. 166.
  66. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 109; Baladzuri, jld. 1, hlm. 524.
  67. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 111-112, 113-114; Baladzuri, jld. 1, hlm. 524.
  68. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 112-113; Lih: Ibnu Habib, hlm. 88; Baladzuri, jld. 1, hlm. 524.
  69. Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 114; Dzahabi, jld. 2, hlm. 218.

Daftar Pustaka

  • Abu Ubaidah, Ma'mar bin Matsna Bashri. Tasmiah Azwaj al-Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam wa Auladihi. Beirut: cet. Kamal Yusuf Haut, 1410 H/1990.
  • Abu Na'im, Ahmad bin Abdullah Isfahani. Hilyatu al-Awliyah wa Tabaqat al-Asfiyah. Beirut, 1387 H/1967.
  • Muhammad Ali bin Husain lebih populer dengan nama Ibnu Babwaih al-Qumi, Man La Yahdhuruh al-Faqih, cet. Ali Akbar al-Ghaffari, Qom, 1414 H.
  • Muhammad Habib al-Baghdadi. Kitab al-Muhabbar. Beirut, tanpa tahun.
  • Ibnu Hajar al-Asqalani. Al-Ashabah fi Tamyiz al-Shahabah. cet. Ali Muhammad Bajawi, Beirut, 1412 H/1992.
  • Ibnu Abi al-Hadid. Syarh Nahj al-Balaghah, cet. Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim, Kairo, 1387 H/1967.
  • Ibnu Jauzi, Jamaluddin al-Faraj. Shifatu al-Shafwatu, cet. Mahmud Fakhuri dan Muhammad Rawas Qal'a Ji, Kairo, 1390 H/1970.
  • Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, cet. Ihsan Abbas.
  • Muhammad bin Abdullah bin Abi Zamnain, Tafsir Al-Qur'an al-Aziz, cet. Abu Abdullah Husain bin 'Akashah dan Muhammad bin Mustafa Kanz, Kairo, 1423 H/2002.
  • Abdullah bin Muslim yang lebih populer dengan nama Ibnu Qutaibah, al-Ma'arif, cet. Tsarwat 'Akashah, Kairo, 1379 H/1960.
  • Yusuf bin Abdullah bin Muhammad yang lebih populer dengan nama Ibnu Abd al-Barr, al-Isti'ab fi Ma'rifah al-Ashhab, cet. Ali Muhammad Bajawi, Beirut, 1412 H/1992.
  • Abdul Mulk bin Hisyam lebih populer dengan sebutan Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiah, cet. Mustafa Saqa, Ibrahim Abyari dan Abdullah al-Hafidz Syalbi, Beirut, tanpa tahun.
  • Maqatil bin Sulaiman al-Balkhi, Tafsir Maqatil bin Sulaiman, cet. Ahmad Farid, Beirut, 1424 H/2003.
  • Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Beirut, 1401 H/1981.
  • Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansab al-Asyraf, cet. Mahmud Firdaus 'Adzham, Damaskus, 1418 H/1997.
  • Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Sair A'lam al-Nubala.
  • Sulaiman bin Ahmad al-Tabrani, al-Mu'jam al-Kabir, cet. Hamdi Abdul Majid al-Salafi, Mosul, 1405 H/1984.
  • Fadhl bin Hasan al-Tabarsi, A'lam al-Nawari bi A'lam al-Huda, Qom, 1417 H.
  • Muhammad bin Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, cet. Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim.
  • Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami' al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an.
  • Mahab al-Din Ahmad bin Abdullah al-Tabari, al-Samth al-Tsamain fi Manaqib Ummahat al-Mu'minin, cet. Muhammad bin Farid, tanpa tahun, tanpa tempat.
  • Ali bin Husain yang populer dengan nama Allamal Huda, Tanzih al-Anbiya, cet. Fatimah Qadhi Syiar, Tehran, 1380 S.
  • Muhammad bin Ya'qub al-Kulaini, al-Kafi.
  • Abd al-Masih bin Ishak al-Kindi, Risalah Abdullah bin Ismail al-Hasyimi ila Abd al-Masih bin Ishak al-Kindi Yad'uhu ila al-Islam wa Risalah al-Kindi ila al-Hasyimi Yuridu biha 'alaihi wa Yad'uhu ila al-Nashraniyah, Damaskus, 2005.
  • Ali bin Ibrahim al-Qomi, Tafsir al-Qomi, cet. Sayid Tayyib Musawi al-Jazairi, Qom, 1404 H.
  • Muslim bin Hajjah, al-Jami' al-Sahih, Beirut, tanpa tahun.
  • Jamaluddin bin Abd ar-Rahman al-Mazi, Tahdzib al-Kamal fi Asma al-Rijal, cet. Basyar 'Awwad Ma'ruf, Beirut 1422 H/2002.
  • Muhammad bin Umar al-Waqidi, Kitab al-Magazi al-Waqidi, cet. Marseden Jhones, London, 1966. *EI2, s. v. ,"Zaynab BT. DJahash" (by. C. E. Bosworth).
  • Robert G. Hoyland, The Earliest Christian writings on Muhammad: An Appraisal in: The Biography of Muhammad: The Issue of Sources, ed., Harald Motzki (Leiden, Boston and Köln, 2000).
  • Norman Daniel, Islam and the West: the making of an image (Oneword, Oford 1993).
  • Daniel J. Sahas, John of Damascus on Islam: The Heresy of the Ishmaeites, Leiden 1972.