Fathu Mekah

Prioritas: b, Kualitas: a
Dari wikishia
(Dialihkan dari Penaklukan Kota Mekah)
Sebuah gambar pasukan Islam sebelum Fathu Makkah dalam kitab Syirah al-Nabi ditulis pada abad 11 H atas perintah Sultan Murad III penguasa Utsmani dan melalui usaha Sayid Sulaiman Kasim Pasya.

Fathu Makkah (bahasa Arab: فتح مكة) adalah salah satu penaklukan terpenting Nabi Muhammad saw yang mengakibatkan kota Makkah ditaklukkan pada tahun 8 H. Dengan penaklukan Makkah, sebagian besar suku di Jazirah Arab masuk Islam pada tahun ke-10 H, dan Islam menjadi dominan di Jazirah Arab. Perang ini dilakukan sebagai respons atas pelanggaran perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan oleh pihak Quraisy.

Nabi Muhammad saw menaklukkan Makkah tanpa pertumpahan darah melalui strategi dan kebijakannya, mengikuti prinsip serangan kejutan. Pada masa penaklukan Makkah, Nabi saw mengeluarkan pengampunan massal dengan seruan Al-Yaum Yaum al-Marhamah (Hari ini adalah Hari Kasih Sayang) dan hanya mengecualikan beberapa orang seperti Ikrimah bin Abi Jahl, Shafwan bin Umayah dan Hindun binti Utbah.

Menurut beberapa catatan sejarah, setelah penaklukan Makkah, atas perintah Nabi saw, Imam Ali as naik ke bahu Nabi dan memjatuhkan berhala-berhala ke tanah. Berhala tersebut dikubur di depan pintu masuk Bab Bani Syaiba (salah satu pintu masuk Masjid al-Haram). Juga, Nabi saw mengirim beberapa utusan berkeliling Makkah untuk menghancurkan rumah-rumah berhala. Dengan penaklukan Makkah, semua perjanjian, kontrak dan kesepakatan dibatalkan, kecuali Sidanat Ka'bah dan Siqayat al-Haj.

Pentingnya Penaklukan Makkah dalam Sejarah Islam

Penaklukan Makah dianggap sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah awal Islam, yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan kaum musyrik di Makah dan Islam memperoleh kedaulatan di Jazirah Arab.[1] Setelah penaklukan Makkah, hingga tahun ke-10 H sebagian besar suku di Jazirah Arab masuk Islam, dan kekuasaan kaum musyrik di sana hancur total.[2] Muhammad Husain Thabathabai dan Nasir Makarim Syirazi, salah satu mufasir Syiah, menerapkan Surah An-Nashr kepada Fathu Makkah dan mengatakan bahwa peperangan ini adalah kemenangan terbesar Nabi saw, yang menyebabkan fondasi kemusyrikan disingkirkan dari Jazirah Arab dan orang-orang berbondong-bondong beriman kepada Nabi saw.[3]

Dalam perang ini, Nabi saw mampu menaklukkan Makkah tanpa pertumpahan darah dan tanpa kerugian sedikit pun dan kepada siapa pun.[4] Menurut Sayidd Ja'far Syahidi, penulis buku Tarikh Tahlili Islam, perilaku Nabi saw kepada masyarakat Makkah adalah bentuk toleransi Islam dan mengunkap keagungan Nabi saw di hadapan penentangnya; Karena kaum Quraisy telah menganiaya beliau dan para pengikutnya selama dua puluh tahun dan mereka takut Nabi saw akan melakukan balas dendam.[5]

Sebab Pengumpulan Pasukan

Sebab terjadinya pertempuran tersebut karena orang-orang Quraisy melanggar Perjanjian Hudaibiyah. Pada tahun 6 Hijriah/629 dan setelah terjadinya tiga pertempuran besar; Badar, Uhud dan Khandaq, akhirnya kaum muslimin dan musyrikin di kawasan Hudaibiyah satu sama lain saling menandatangani perjanjian perdamaian yang isinya adalah disepakatinya perdamaian selama 10 tahun antar kedua belah pihak. [1]

Namun dua tahun berikutnya, Quraisy melanggar perjanjian tersebut. Kabilah Bani Khuza'ah merupakan sekutu kaum muslimin dan kabilah Bani Bakr sebagai sekutu Quraisy. Dalam sebuah pertempuran yang terjadi pada tahun 8 H/629 antara kedua kabilah tersebut, beberapa orang dari Quraisy membunuh beberapa orang dari kabilah Bani Khuza'ah yang menguntungkan Bani Bakr. Ini berarti melanggar perdamaian Hudaibiyah dan meskipun Abu Sufyan sendiri pergi ke Madinah untuk meminta maaf, namun uzurnya tidak diterima dan dalam waktu sekejap, Rasulullah saw dengan pasukan besar, pada masa perdamaian dan penyebaran Islam berkumpul dan bergerak untuk menaklukkan Mekah. [2]

Kemenangan Umat Islam Tanpa Pertumpahan Darah

Sebuah gambar ilustrasi Bilal Habasyi mengumandangkan azan di Makkah dalam kitab Sirah al-Nabi

Menurut para ahli sejarah, Nabi saw mampu menaklukkan Makkah tanpa pertumpahan darah dengan strategi dan kebijakannya. [13] Atas perintah Nabi saw, pasukan Islam pada tanggal 10 Ramadan tahun 8 H [14] dengan melakukan observasi dan prinsip kejutan, sebelum musuh memikirkan pertahanan mampu mengusir musuh dari kota. [15] Tujuan utamanya tidak diketahui bahkan oleh pasukan Islam. [16] Ketika pasukan mencapai Mar al-Zhahran (sekarang Lembah Fatimah, 24 kilometer dari Makkah), [17] masyarakat Makkah dan mata-matanya tidak mendapat informasi gerakan pasukan Islam.[18] Setelah Abu Sufyan mengetahui keberadaan Pasukan Islam di sekitar Makkah, Abbas bin Abd al-Muththalib, atas perintah Nabi saw, membawa Abu Sufyan ke sebuah lembah sehingga dia bisa melihat sejumlah besar pasukan umat Islam dari sana [19] dan tidak memikirkan untuk melakukan perlawanan, sehingga pasukan Islam dapat menguasai Makkah tanpa pertumpahan darah. [20] Abu Sufyan kemudian mendatangi Nabi saw dan memeluk agama Islam.[21]

Menurut beberapa riwayat, pada tanggal 20 Ramadan [22], umat Islam berbaris ke Makkah dengan slogan نَحْنُ عِبَادُ اللَّهِ حَقّاً حَقّا “Kami sebenar-benarnya hamba Allah swt.” [23] Tentu saja, para sejarawan tidak sepakat tentang hari ketika umat Islam memasuki Makkah, dan peristiwa ini tercatat terjadi hari-hari lain bulan Ramadan.[24] Nabi saw menjamin kemanan mereka yang berada di dalam Masjidil Haram, di dalam rumah Abu Sufyan dan di rumah mereka sendiri. [25] Pada hati Fathu Makkah, tidak ada korban jiwa dari kalangan umat Islam, kecuali dua orang bernama Kurz bin Jabir[26] dan Khunais bin Khalid Asy'ari[27] (atau Khalid Asy'ari)[28] yang tersesat di jalan. Kedua orang ini menempuh jalan yang berbeda dan dibunuh oleh kaum musyrik di tengah perjalanan.[29]

Pengampunan Massal

Setelah Nabi saw memasuki Makkah, beliau saw mengumumkan penganpunan massal[30] dan memerintahkan para komandannya untuk menghindari perang dan pertumpahan darah dan hanya menghadapi mereka yang berniat berperang.[31] Sa'd bin Ubadah, pemegang panji pasukan Islam dengan mengatakan, “Hari ini adalah hari pembalasan,” menyebabkan masyarakat Makkah panik. [32] Kata-kata Sa'ad membuat Nabi saw marah.[33] Oleh karena itu, dengan mengatakan “Hari ini adalah hari rahmat”,[ 34] beliau saw mengambil panji darinya dan memberikannya kepada Imam Ali as [35] atau putra Sa'ad. [36] Nabi saw tidak menawan penduduk Makkah dan membebaskan mereka dan menyebut mereka dengan Thulaqa (artinya orang-orang yang dibebaskan).[37] Itulah sebabnya Abu Sufyan dan penduduk Makkah disebut Thulaqa[38]. Menurut beberapa ahli sejarah, kata Thulaqa menunjukkan arti negatif karena masyarakat Makkah terpaksa berbaiat kepada Nabi saw. [39] Dalam penaklukan Makkah, Nabi saw membatalkan semua perjanjian dengan Quraisy kecuali Sidanat Ka'bah dan Siqayat al-Haj.

Orang-orang yang Terkecualikan dari Pengampunan Massal

Rasulullah saw setelah mengeluarkan perintah pengampunan massal, mengecualikan beberapa orang dalam hal ini dan memerintahkan supaya membunuh mereka dimanapun ditemukan, meski berada di bawah kain Ka'bah. [3]Tentu, semua orang-orang ini tidak terbunuh dan lebih dari separuhnya mendapatkan surat jaminan.

Dari Kalangan Laki-laki

  • Ikrimah Ibin Abi Jahl: Ia kabur sebelum kaum muslimin tiba, namun istrinya, yang sebelumnya telah memeluk Islam menemui Rasulullah saw dan mengambil jaminan keamanan untuknya. [4]
  • Shafwan bin Umayyah: Kabur ke Jeddah, namun ia menemui Rasulullah setelah Umair bin Wahab al-Jumahi menjamin keamanan untuknya. Ia meminta tempo dua bulan kepada Rasulullah untuk memeluk Islam, Rasulullah saw memberikan waktu empat bulan, akhirnya setelah beberapa waktu ia memeluk Islam. [5]
  • Abdullah bin Abi Sarh: Ia merupakan saudara sesusu Utsman, ia murtad setelah memeluk Islam. Utsman mengambil surat jaminan untuknya. [6]
  • Abdullah ibnu Khathal: Ia membunuh seorang muslim dan murtad. [7]Ia mati terbunuh di tangan kaum muslim setelah penaklukan Mekah. [8]
  • Huwairits bin Naqidz: Ia melantunkan syair menentang Rasulullah saw dan ia juga tidak mempedulikan syarat-syarat pengampunan massal setelah penaklukan Mekah dan keluar dari rumah dan kabur dari rumah dan akhirnya terbunuh di pertengahan jalan. [9]
  • Miqyas bin Shabatah/Dhababah: Ia kabur setelah membunuh salah seorang muslim dan murtad. Numailah bin Abdullah al-Kinani yang membunuhnya. [10]
  • Aslam bin Ziba'ri: Kabur ke Najran, namun setelah beberapa waktu memeluk Islam dan mendapat surat jaminan. [11]
  • Wahsyi bin Harb: Ia adalah pembunuh Hamzah bin Abdul Muththalib paman Rasulullah saw, setelah beberapa waktu menemui Rasulullah dan mendapat surat jaminan.

Dari Kalangan Wanita

  • Hindun binti Utbah: Ibu Muawiyah.
  • Sarah, budak 'Amr bin Abdul Muththalib: Ia menjadi mata-mata bagi kaum musyrikin dengan memata-matai pasukan Islam sebelum mereka berangkat perang. [12] Ia mendapatkan surat jaminan dan meninggal pada masa kekhilafahan Umar. [13]
  • Dua budak Abdullah bin Khatal: Nama-nama mereka adalah Qaribah dan Faratna. [14] Dua budak ini adalah penyanyi dan mencela Rasulullah saw dengan lagu-lagunya, salah satu dari mereka memeluk Islam dan yang satunya pun mati terbunuh.[15]

Penghancuran Berhala-berhala

Lukisan "Peristiwa Penghancuran Berhala" dalam kitab Sirah al-Nabi

Setelah penaklukan Makkah, Rasulullah saw menghancurkan berhala-berhala yang ada. Dengan saran Rasulullah saw, Ali as menaiki pundak beliau dan merobohkan satu persatu berhala ke tanah. [16] Setelah penghancuran berhala, maka turunlah ayat[17]:قُلْ جاءَ الْحَقُّ وَ زَهَقَ الْباطِلُ إِنَّ الْباطِلَ کانَ زَهُوقاً; Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap."[18]

Peristiwa naiknya Imam Ali as ke pundak Rasulullah banyak diriwayatkan oleh para pemuka Ahlusunah dalam buku-bukunya, seperti: Ahmad bin Hanbal, Abu Ya'la Moshili, Abu Bakar Khatib meriwayatkannya dalam Tarikh Baghdad, Muhammad bin Shabagh Za'farani dalam Al-Fadhā'il, Hafiz Abu Bakar Baihaqi, Qadhi Abu Umar dan Utsman bin Ahmad dalam buku-bukunya, Tsa'labi dalam tafsirnya, Ibnu Mardawaih dalam Al-Manāqib, Ibnu Mundah dalam buku Al-Ma'rifah, Thabari dalam Al-Khashaish, Khatib Kharazmi dalam Al-Arba'in, Abu Ahmad Jurjani dalam Al-Tarikh. [19] Demikian juga Abu Abdillah Ja'al dan Abu al-Qasim Haskani, Abul Hasan Syadzan menulis beberapa buku dalam membuktikan peristiwa tersebut. [20]

Catatan Kaki

  1. Ibnu Atsir, al-Kamil, jld. 2, hlm. 204.
  2. Ibnu Atsir,al-Kamil, jld. 2, hlm. 239-244.
  3. Tsaqafi, Al-Gharat, Ja, hlm. 125.
  4. Al-Isti'āb, jld. 3, hlm. 1082.
  5. Al-Maghazi, terjemahan teks, hlm. 653.
  6. Dalāil al-Nubuwwah, jld. 5, hlm. 63.
  7. Ibnu Atsir, Terjemahan al-Kamil, jld. 7, hlm. 295.
  8. Imta' al-Asma, jld. 1, hlm. 399.
  9. Ibnu Atsir, Al-Kamil, terjemahan, jld. 7, hlm. 296.
  10. Futuh al-Buldān, terjemahan, teks, hlm. 60.
  11. Futuh al-Buldān, hlm. 61.
  12. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 354.
  13. Zendegāni Muhammad saw, terjemahan, jld. 2, hlm. 273.
  14. Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 357 (Cetakan Zakkar, jld. 1, hlm. 453); Tarikh Ya'qubi, Terjemahan, jld. 1, hlm. 420.
  15. Thabari, Tarikh al-Thabari, Terjemahan, jld. 3, hlm. 1187.
  16. Al-Tharāif, Ibnu Thawus, jld. 1, hlm. 80.
  17. QS. Al-Isra,: 81.
  18. Al-Tharāif, Ibnu Thawus, jld. 1, hlm. 80.
  19. Al-Tharāif, Ibnu Thawus, jld.1, hlm.80
  20. Al-Tharāif, Ibnu Thawus,jld.1, hlm.80

Daftar Pustaka

  • Baladzuri, Ahmad bin Yahya bin Jabir (m 279). kitab Jumal min Ansab al-Asyraf. Riset: Suhail Zakar, Riyadh Zarkali. Beirut: Dar al-Fikr, cet. 1, 1417 H.
  • Himyari, Abdullah bin Ja'far. Qurb al-Isnad (cet. Al-Hudaitsah). Qom: Mu'assasah Āl al-Bait, cet. 1, 1413 H.
  • Ibnu Atsir, Abul Hasan Ali bin Muhammad al-Jazari (m 630 M). Usud al-Ghabah fi Ma'rifah al-Shahabah. Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H.
  • Ibnu Hajar al-'Askalani, Ahmad bin Ali (m 852). al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah. Riset: Adil Ahmad Abdul Maujud, Ali Muhammad Muawwidz. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1, 1415 H.
  • Ibnu Hisyam. al-Sirah al-Nabawiyyah. Beirut: Suhail Zakkar, 1412 H.
  • Ibnu Khaldun, Abdur Rahman bin Muhammad (m 808). Diwan al-Mubtada' wa al-Khabar fi Tarikh al-Arab wa al-Barbar wa Man Asharahum min Dzawi al-Sya'ni al-Akbar. Riset: Khalil Syahadah. Beirut: Dar al-Fikr, cet. 2, 1408/1998.
  • Ibnu Khaldun. al-Ibar Tarikh Ibnu Khaldun. Penj. Abdul Muhammad Āyati. Mu'assasah Muthala'at wa Tahqiqat Farhanggi, cet. 1, 1363 S.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya'qub bin Ishak (m 329). al-Kafi. Korektor: Ghaffari Ali Akbar dan Akhundi, Muhammad. Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, cet. 4, 1407 H.
  • Muqaddasi, Muthahhar bin Thahir (m 507). al-Bad'u wa al-Tarikh. Bur Sa'id, Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyyah, tanpa tahun.
  • Nashr bin Muzahim, Waqiah al-Shiffin. Maktabah Ayatullah Mar'asyi Najafi Qom: cet. 2, 1404 H.
  • Syaikh Mufid. al-Irsyad. Penj. Rasuli Mahallati. Tehran: Islamiyyah, cet. 2, tanpa tahun.
  • Syaikh Thusi, Muhammad bin Hasan. al-Āmāli Thusi. Qom: Dar al-Tsaqafah, cet. 1, 1414 H.
  • Thabari. Tarikh al-Umam wa al-Mulk. Riset: Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim. Beirut: Dar al-Turats, cet. 2, 1387 S.
  • Tsaqafi, Ibrahim bin Muhammad (238 H). al-Gharat. Qom: Dar al-Kitab, cet. 1, 1410 H.
  • Waqidi, Muhammad bin Umar (m 207). Kitab al-Maghazi. Riset: Marsden Jones. Beirut: Mu'assasah al-A'lami, cet. 3, 1409 H.
  • Ya'qubi, Ahmad bin Abi Ya'qub bin Ja'far bin Wahab Wadhih al-Katib al-Abbasi (wafat setelah 292). Tarikh al-Ya'qubi, Beirut: Dar Shadiq, tanpa tahun.