Abdullah bin Zubair
Abdullah bin Zubair bin Awwam (bahasa Arab: عبدالله بن الزبير بن العوام) yang dikenal sebagai Ibnu Zubair (1 – 73 H/623-692) adalah salah satu orang yang mengklaim kekhalifahan setelah kematian Muawiyah dan mendirikan kekhalifahan keluarga Zubair di Mekah. Ia adalah anak dari Zubair bin Awwam. Karena ia masih kecil pada masa kehidupan Nabi Muhammad saw, maka ia disebut dengan sahabat kecil. Ia adalah Muhajirin dari kalangan anak-anak yang pertama kali lahir di Madinah. Ia terkenal karena tidak memberi baiatnya kepada Yazid bin Muawiyah, mengklaim kekhalifahan pada dirinya dan pergi ke Mekah untuk berlindung yang mengakibatkan serangan pasukan Yazid ke kota Mekah. Ia mengklaim kekhalifahan atas dirinya sendiri pada tahun 64 H/684 dan sangat banyak penduduk Syam dan Hijaz termasuk Mekah dan Madinah telah memberikan baiat kepadanya. Salah seorang yang merenovasi Ka'bah adalah Zubair dan perenovasian Ka'bah dikaitkan dengannya. Ibnu Zubair memainkan peran penting dalam Perang Jamal dan berperang melawan Imam Ali as, namun setelah kekalahan mereka, Imam Ali as memberi ampunan kepada mereka. Ia dibunuh oleh tentara Suriah, dipimpin oleh Hajjaj bin Yusuf di Mekah pada usia 72 tahun.
Info pribadi | |
---|---|
Nama lengkap | Abdullah bin Zubair bin Awwam |
Julukan | Abu Bakar • Abu Khubaib |
Disebut juga dengan | Ibnu Zubair |
Garis keturunan | Bani Asad |
Kerabat termasyhur | Aisyah (bibi) • Zubair bin Awwam (ayah) |
Lahir | Madinah 1 H/623 |
Muhajir/Anshar | Muhajir |
Tempat Tinggal | Mekah • Madinah |
Wafat/Syahadah | 73 H/692 |
Penyebab Wafat /Syahadah | Dibunuh oleh pasukan Hajjaj bin Yusuf Tsaqafi |
Tempat dimakamkan | Pemakaman al-Hajun |
Informasi Keagamaan | |
Memeluk Islam | Permulaan Islam |
Hijrah ke | Madinah |
Peran utama | Ikut serta dalam Perang Jamal |
Aktivitas lain | Tidak memberikan baitnya kepada Yazid bin Muawiyah • Merenovasi Ka'bah |
Keturunan
Abdullah bin Zubair bin Awwam bin Khuwailid berasal dari suku Bani Asad. Abu Bakar dan Abu Khubaib adalah julukan Abdullah bin Zubair. Ayahnya, Zubair bin Awwam adalah sahabat penting Nabi Muhammad saw dan juga sepupu Nabi saw. Ibunya adalah asma, putri Abu Bakar.
Kelahiran
Ada sedikit perbedaan laporan sejarah tentang tahun kelahiran Ibnu Zubair. [1]Menurut laporan yang terkenal, dia adalah anak pertama yang lahir pada bulan Syawal tahun pertama Hijrah. [2]. Kaum Muslimin ketika mendengar kabar kelahirannya, menampakkan kegembiraannya karena kaum Yahudi mengklaim mereka akan berhasil mencegah kelahiran bayi dengan sihir-sihir yang mereka lakukan. Dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw juga bergembira dan menyuapi Zubair dengan kurma. Kemudian menamainya Abdullah dan Abu Bakar mengazaninya di telinganya. [3] Berdasarkan dari riwayat-riwayat yang berasal baik dari Syiah maupun Sunni, kita mengetahui bahwa pernikahan Zubair dan Asma adalah nikah mut'ah [4]Abdullah bin Zubair adalah anak pertama kali yang lahir dari jenis pernikahan ini. [5] Ibnu Zubair pada usia tujuh atau delapan tahun bersama-sama dengan anak-anak seusianya memberikan baiat kepada Nabi Muhammad saw sehingga ia disebut sebagai sahabat kecil. [6]
Masa Setelah Nabi Muhammad saw
Ketika Nabi Muhammad saw masih hidup saat itu Ibnu Zubair masih kecil. Tidak ada laporan sejarah tentang Ibnu Zubair ikut serta dalam berbagai peperangan dan kejadian-kejadian penting kemasyarakatan atau politik. Hanya ada satu peristiwa sejarah yang menceritakan bahwa ia ikut ayahnya dalam Perang Yarmuk (tahun ke 15 H/636) dan usianya ketika itu masih kecil, sehingga pastinya ia tidak ikut berperang. [7] Nama Abdullah bin Zubair secara perlahan-perlahan namanya disebut dalam sumber-sumber rujukkan pada zaman Khalifah Utsman. Pada masa ini ia memperoleh banyak promosi jabatan.
Menurut nukilan Thabari (310 H/922) ia ikut pada peristiwa penyerangan Iran bagian utara Khurasan pada tahun 29-30 H/650-651 yang dipimpin oleh Sa'id bin al-Ash. [8]. Ia termasuk penulis Alquran dalam peristiwa pengumpulan mushaf Alquran. [9] Ia turut serta dalam penyerangan ke Maroko pada tahun 27 atau 28 H/648 dibawah pimpinan Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh. Dari ia sendiri dinukilkan bahwa kemenangan kaum Muslimin diperoleh karena ia berhasil membunuh pimpinan pasukan musuh. [10] Ibnu Zubair tidak sejalan dengan ayah dan bibinya Aisyah dalam peristiwa pemberontakan atas Usman. Ia berada dalam barisan Usman dan membelanya. [11] Ia adalah wakil Usman untuk bernegosiasi melawan musuh-musuhnya, ia juga merupakan imam salat jama'ah ketika rumah Usman dikepung. Dalam kejadian ini, ia terluka. [12]
Pada masa Imam Ali as
Ibnu Zubair melawan kekhalifahan Imam Ali as. Tindakan terpentingnya pada masa Imam Ali as adalah bahwa ia melawan Imam Ali dan ikut serta dalam Perang Jamal. Ia adalah penyulut api yang menyebabkan pemberontakan terhadap Imam Ali as. Dikatakan bahwa dalam Perang Jamal ia menderita luka kira-kira 30 luka. [13] Ia juga ikut berperan ketika ayahnya mengadakan perlawanan melawan Imam Ali as bahkan dalam riwayat yang berasal dari para Imam as dikatakan bahwa hal inilah yang menyebabkan ayahnya terpisah dari Ahlulbait as. [14] Sebelum peperangan dimulai, Ibnu Zubair menerima kabar bahwa ayahnya menyesal telah ikut dalam Perang Jamal dan bermaksud untuk menarik diri medan peperangan. Namun Ibnu Zubiar berusaha untuk meyakinkan ayahnya untuk tinggal bersama akhirnya ia gagal meninggalkan medan pertempuran. [15]
Antara Ibnu Zubair dan bibinya Aisyah terdapat hubungan kekerabatan yang akrab. [16] Ketika Aisyah meninggal, ia menunjuk Ibnu Zubair untuk menjadi washinya. [17] Dari sebagian keterkaitan yang disebutkan dalam sejarah bisa ditarik kesimpulan bahwa keikutsertaan Aisyah peristiwa Perang Jamal karena dipengaruhi oleh Ibnu Zubair. [18] Ketika pasukan Jamal memasuki kota Basrah, Ibnu Zubair yang merupakan komandan pasukan perang, mengingkari perjanjian damai antara ia dan Utsman bin Hunaif yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Basrah, bahwa kedua belah pihak tidak akan saling menyerang hingga kedatangan Imam Ali as. Ia dengan sekelompok orang, membunuh 40 orang yang menjadi pelindung bagi kaum Muslimin dan menggunakan uang baitul mal. [19]
Kebangkitan dan Khilafah
Setelah kematian Muawiyah, Abdullah bin Zubair tidak mau memberikan baiat kepada Yazid dan melancarkan serangan kepada pemerintahan Umawi. Sumber-sumber sejarah menyebutkan sebab-sebab pemberontakan Ibnu Zubair diantaranya adalah ia ingin memperoleh kursi kekhalifahan. Oleh karena itu, sebagian laporan sejarah menuliskan bahwa keberadaan Imam Husain as di Hijaz mengganggu harapan Ibnu Zubair, karena masyarakat tidak akan menaruh perhatian kepada Ibnu Zubair selama ada Imam Husain as di Hijaz. Dan karena ia mengetahui bahwa Imam Husain as akan pergi ke Kufah, maka Ibnu Zubair mendorong Imam Husain as supaya pergi ke Kufah. [20]
Ibnu Zubair memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi saw dan ke dua istri Nabi yaitu Khadijah dan Aisyah. Ayah Ibnu Zubair adalah sahabat dekat Nabi Muhammad saw. Ayahnya juga memiliki kedudukan sosial lainnya seperti anggota Syura Khilafah Umar. [21] Disamping itu, ia mengklaim bahwa Utsman berjanji tentang kekhilafannya. Semua faktor-faktor ini menyebabkan ia menilai bahwa dirinya yang layak untuk memegang tampuk kekhalifahan sebelum Bani Umayyah.
Setelah syahadah Imam Ali as, Muawiyah mampu memaksa Ibnu Zubair untuk membaiat dirinya [22] dan bahkan Ibnu Zubair berada di dalam pasukannya ketika Muawiyah menyerang Konstatinopel (Istanbul). [23] Namun ia memberi peringatan bahwa Ibnu Zubair akan mengadakan pemberontakan kepada penggantinya, setelah dirinya meninggal. [24] Setelah kematian Muawiyah, sesuai dengan pesan ayahnya, Ibnu Zubair dipaksa untuk memberikan baiat kepada Yazid dan mengancam jiwanya. Oleh sebab itu, Ibnu Zubair kembali ke Mekah dan berlindung di Ka'bah. [25] Ia memberi gelar kepada dirinya dengan sebutan 'āid baitullah (orang yang meminta perlindungan kepada baitullah) [26] seolah-olah isyarat akan adanya riwayat yang menyebutkan bahwa ketika ada seseorang hendak berlindung dari upaya buruk orang jahat dan meminta pertolongan kepada Ka'bah maka musuhnya akan binasa. [27]
Pada awalnya, ia memperlihatkan bahwa dirinya akan memberikan baiat kepada Yazid. Setelah kabar Peristiwa Karbala sampai ke Mekah, ia membacakan khutbah yang menyulut emosi masyarakat dan menangis. Dalam khutbahnya ia menerangkan bahwa Yazid tidak layak untuk memegang khilafah. [28] Akhirnya Yazid memerintahkan supaya Ibnu Zubair membaiat dirinya dan ia mengirimkan belenggu perak kepada Ibnu Zubair supaya ia mengenakannya sebagai tanda untuk menunjukkan ketaatan dan menghadap kepadanya, namun Ibnu Zubair menolaknya. [29]
Amru bin Sa'id, Hakim Mekah dan Madinah atas perintah Yazid mengirimkan pasukan untuk menyerang Ibnu Zubair. Namun pasukan yang dikirim Yazid mengalami kekalahan. [30] Pemimpin pasukan ini yang merupakan saudara tiri Yazid [31] bersama dengan sekelompok orang lainnya menjadi tawanan Ibnu Zubair dan kemudian dipenjarakan dan akhirnya tewas. [32]
Ketika itu Mekah berada di bawah kendali Ibnu Zubair[33] dan begitu juga dengan kota Madinah. Hal ini disebabkan adanya Peristiwa Karbala dan ketidaklayakan Yazid menjadi khalifah serta kuatnya pengaruh Ibnu Zubair, sehingga menjadikan masyarakat lebih menaruh perhatian kepadanya. Utsman bin Muhammad bin Abu Sufyan, hakim muda kota Madinah membawa rombongan para pembesar Madinah ke Syam setelah melakukan manasik hajidan setelah menyelesaikan manasik haji, ia berharap dengan Yazid memberikan hadiah kepada mereka dan menenangkannya, situasi kota Madinah akan lebih terkendali. [34] Namun rencana ini justru menjadi sebab terbongkarnya ketidaklayakan Yazid menjadi khalifah di hadapan para rombongan.
Kelakuan Yazid yang jauh dari nilai-nilai Islam dihadapan para rombongan Madinah menyebabkan mereka menjadi tidak senang kepada Yazid dan setelah mereka kembali dari Mekah, mereka secara terang-terangan mengatakan kepada masyarakat bahwa Yazid tidak layak untuk menempati jabatan sebagai pemegang kekhalifahan. Karena kejadian ini Yazid menulis surat yang berisi kemarahannya kepada masyarakat Madinah. [35]
Ibnu Zubair, dalam khutbahnya membakar masyarakat untuk menurunkan Yazid dari tahta kepemilikan. [36] Kemudian ia menulis surat kepada masyarakat Madinah dan meminta mereka untuk membait wakilnya Abdulah bin Muthi' 'Adawi sebagai khalifah bagi kaum mukminin. [37] Setelah itu, masyarakat mengusir Utsman bin Muhammad, hakim Yazid dan sekelompok orang dari Bani Umayah dari kota Madinah. [38]
Yazid mengirim laskar ke Hijaz untuk menekan Ibnu Zubair dan pendukungnya dengan ancaman yang berat. [39] Laskar Yazid pertama kalinya mengepung Madinah dan meminta masyarakat supaya membaiat Yazid dan bersama-sama untuk memadamkan kekuatan Ibnu Zubair, namun masyarakat tidak menerimanya. [40] Dan pada tahun 28 Dzulhijjah tahun 63 H/683, dua pasukan Madinah dan Suriah saling berhadap-hadapan. [41]
Pengepungan Pertama kota Mekah dan Ibnu Zubair
Dalam pertempuran antara masyarakat Madinah dengan pasukan Syam, masyarakat Madinah kalah dan masyarakat Suriah atas komando Yazid memubahkan nyawa dan harta masyarakat. [42] Mereka membunuh secara besar-besaran sahabat Nabi saw. Oleh sebab itu, meletuslah Peristiwa Harrah. Pasukan Suriah pergi ke Mekah untuk memberantas Zubair beserta pendukungnya. [43]
Ibnu Zubair dan pendukungnya dikepung oleh pasukan Suriah semenjak 13 Safar 64 H/684 hingga 40 hari setelah kematian Yazid pada tanggal 14 Rabiul Awal tahun 64 H/684. [44] Ibnu Zubair menetap di Masjidil Haram. Orang-orang Suriah berkemah di bukit dekat Masjidil Haram. [45] Mereka melempari batu dan bola api ke arah Zubair dan pasukannya. Akhirnya, batu-batu itu mengenai Ka'bah dan membuat tirainya terbakar. [46] Ya'qubi (w. 292 H) meriwayatkan bahwa Ibnu Zubair sengaja tidak memadamkan api supaya masyarakat Mekah ikut turut serta dalam berperang melawan pasukan Suriah. [47]
Ya'qubi meriwayatkan bahwa, Ibnu Zubair tidak memadamkan api untuk menjaga agar pengikut dan orang-orang berkemauan keras melawan tentara Yazid. Banyak kelompok berada dibarisan Ibnu Zubair untuk melawan pasukan Suriah diantaranya 200 orang penduduk Habasyah yang dikirimkan oleh Raja Habasyi untuk melindungi Ka'bah. [48] Pasukan Suriah tidak berhasil mengalahkan pertahanan pasukan Ibnu Zubair. Disebabkan kematian Yazid, dan 40 hari kemudian kabar kematiannya itu sampai ke telinga pasukan Suriah, maka pada akhirnya pasukan ini meninggalkan kota Mekah dan kembali ke Suriah.
Kekhalifahan
Sumber-sumber sejarah berbeda pendapat tentang ajakan Ibnu Zubair supaya membaiat dirinya. Sebagian rujukan menulis pada tanggal 9 Rajab tahun 64 H/684. [49] Sebagian menyebutkan bahwa baiat kepada Zubair diberikan oleh masyarakat pada tiga bulan setelah kematian Yazid. [50] Diberitakan bahwa setelah kematian Yazid di Suriah, Ibnu Zubair mendapatkan dukungan dari masyarakat Suriah, oleh itu pasukan Suriah sebelum bergerak ke arah Suriah menginginkan supaya Ibnu Zubair melupakan hal-hal yang telah terjadi seperti Peristiwa Harrah dan pergi ke Suriah bersama dengannya, namun Ibnu Zubair dengan dalil-dalil tertentu menolak ajakannya. [51] [52]
Tak lama setelah itu, orang-orang dari negara-negara seperti Damaskus, Kufah, Basrah, Yaman dan tempat-tempat lain seperti Khurasan membaiat perwakilan Ibnu Zubair. [53] Ibnu Zubair memperlakukan keluarga Bani Umayyah dengan kasar dan mengusir mereka dari Mekah. [54] Dia juga membunuh Atabat bin Abu Sufyan beserta lima puluh anggota Bani Umayyah di sekitar haram. [55] Tindakan ini membuat Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas mengkritik keras atas perbuatannya. [56]Hubungan antara Ibnu Zubair dan Bani Hasyim juga tidak membaik. Muhammad bin al-Hanafiyah menolak untuk memberi sumpah setia kepadanya dan mengatakan bahwa dia akan memberikan baiat dengan syarat jika semua umat Islam telah menerima kekhalifahan Ibnu Zubair, sebuah syarat yang tidak mungkin akan dapat dipenuhi. [57] Ibnu Zubair juga berkhutbah menghina Imam Ali as dan hal ini membuat Muhammad bin al-Hanafiyyah dalam pidatonya mengkritik Ibnu Zubair dalam pidatonya. Masyarakat dan para pembesar Quraisypun melakukan tindakan yang sama. [58]
Ibnu Zubair terus-menerus bersikeras untuk mengambil sumpah setia dari Muhammad bin Hanafiyah. Setelah pemberontakan Mukhtar al-Tsaqafi di Kufah dan pengusiran Abdullah bin Muti, perwakilan Abdullah bin Zubair, dia memenjarakan Muhammad bin Hanafiyah dan sahabat-sahabatnya di Hujrah Zamzam dan bersumpah kepada Tuhan untuk membakar mereka atau memenggal kepala mereka jika mereka menolak untuk memberikan sumpah setia kepadanya. [59] Dikatakan bahwa Muhammad bin Hanafiyah dalam suratnya meminta Mukhtar untuk menolongnya. [60] Mukhtar mengirim rombongan ke Mekah dan hal ini terjadi ketika Zubair mengepung penjara Muhammad untuk kemudian membakarnya. [61] Kelompok beranggotakan 150 orang dikirim dari Kufah dengan semboyan Ya Latsaratal Husain dan memasuki Masjidil Haram dan membebaskan para tahanan dan demi untuk menjaga kesucian masjid, mereka mengganti pedang dengan kayu. Mukhtar juga mengirim pasukan ke masjid dan terjadilah perang antara dua kelompok itu. [62] Tiga hari kemudian, pasukan bantuan datang dari Mesir dan dengan demikian, Muhammad bin Hanafiyah bisa keluar dari masjid dan bersama dengan pasukannya tinggal di Syi'ib Ali [63] hingga Mukhtar hidup. [64] Setelah itu, antara Zubair dan Muhammad bin Hanafiyah selalu terjadi konflik yang berkepanjangan. [65]
Ibnu Zubair memperlakukan Ibnu Abbas dengan keras dan menghina dia dalam pidatonya. [66] Ibnu Abbas tidak pernah memberi sumpah setia kepada Ibnu Zubair dan menganggapnya tidak layak [67] menduduki posisi khalifah karena telah melanggar kesucian Masjidil Haram. [68] Dengan mempertimbangkan posisi religius dan ilmiah Ibnu Abbas, maka pendapatnya terhadap Ibnu Zubair membahayakan posisinya. [69] Selain itu, Ibnu Abbas adalah salah satu tentara yang bertempur bersama Imam Ali as dalam pertempuran Jamal. Sebagian fatwa Ibnu Abbas diantaranya tentang kebolehan Nikah Mut'ah menyebabkan perbedaan diantara mereka. Ibnu Abbas menyatakan bahwa Ibnu Zubair adalah anak dari jenis pernikahan mut'ah. [70] Hal itu juga dinyatakan oleh ibu Ibnu Zubair. Akhirnya Ibnu Zubair mengeluarkan Ibnu Abbas untuk keluar dari Mekah, namun konflik mereka tetap berlanjut ketika Ibnu Abbas tinggal di Tha'if hingga meninggal dunia disana. [71]
Pengepungan Kedua
Setelah Ibnu Zubair memiliki kekuasaan, Bani Umayyah termasuk Marwan bin Hakam telah mengalami masa tua dan sakit. Oleh karena itu, ia mengusir anaknya, Abdul Malik dari Madinah. Hal ini menyebabkan Marwan sebagai khalifah yang memiliki hubungan dekat dengan Ibnu Zubair menemukan peluang untuk melemahkannya di Suriah. [72]
Marwan berhasil mengacaukan pasukan musuh di Perang Marj Rahith pada bulan Dzulhijjah tahun 64 H/684 . [73] dan membunuh Dhahak bin Qais. [74] Dalam waktu yang singkat kekuatan Ibnu Zubair di Suriah berakhir. Mesir juga menjadi daerah kekuasaan Marwan dan tidak lagi menjadi kekuasaan Zubair. [75]
Saat Abdul Malik bin Marwan berkuasa di Suriah pada tahun 65 H/685 Ibnu Zubair mulai berceramah pada musim haji tentang keburukan Abdul Malik bin Marwan sehingga masyarakat akan memberikan sumpah setia kepadanya. Dalam pidatonya di hari Arafah dia mengingatkan orang tentang kutukan Nabi Muhammad saw atas Hakam bin al-Ash seperti nenek moyang Abdul Malik dan keluarganya dan dia mencoba mempengaruhi orang-orang Suriah untuk mendukungnya. [76] Di sisi lain, Abdul Malik mencoba mencegah masyarakat supaya tidak menghadiri ibadah haji, dia juga menggunakan fatwa dari Al-Zuhri, seorang ulama pemerintah, bahwa umat Islam dapat melakukan ritual haji dan tawaf di Baitul Maqdis. Masyarakat Suriah pada musim haji bertawaf dan melaksanakan ibadah haji pada hari Arafah dan Idul Kurban di sana. [77]
Perselisihan internal di antara Bani Umayyah dan ancaman dari Khawarij serta Roma, mencegah kelompok Marwan untuk secara serius menghadapi pertentangan dari Ibnu Zubair. [78] Hingga pada tahun 72 H/691 saat Abdul Malik berhasil mengalahkan Mus'ab bin Zubair dan menduduki Irak dia mengirim Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi untuk menekan Ibnu Zubair di Hijaz. [79] Hajjaj karena telah mengetahui kelemahan pasukan Ibnu Zubair dan mengetahui bantuan pasukan 5000 orang telah memasuki Madinah, ia mengusir Ibnu Zubair dari Madinah. [80] Kemudian ia bergerak menuju Makkah dan mengepung Ibnu Zubair di Masjidil Haram. Pengepungan ini dimulai pada bulan Dzulhijjah tahun 72 H/692 dan setelah enam bulan dan 17 hari berakhir dengan kematian Ibnu Zubair pada hari Selasa, tanggal 17 Jumadil Awal tahun 73 H/693.
Beberapa laporan menyebutkan pengepungan tersebut berlangsung selama delapan bulan dan 17 hari. [81] Berdasarkan satu hal, pada awalnya, Abdul Malik melarang Hajjaj untuk melakukan tindakan militer ke Makkah dan mendorongnya untuk menaklukkan Ibnu Zubair melalui pemboikotan ekonomi. [82] Pada musim haji tahun 72 H/692, Ibnu Zubair terkepung di Masjidil Haram dan karena tercegah untuk melakukan wukuf di Arafah dan juga tidak bisa melempar jumrah, maka ia tidak bisa melaksanakan ibadah hajinya. [83] Berdasarkan keinginan para sahabat seperti Ibnu Umar atau Jabir bin Abdullah Anshari dan Abu Sa'id Khudri, Hajjaj bin Yusuf hingga akhir musim haji dan kembalinya para haji dari Mina menahan diri untuk menyerang Ibnu Zubair dan kemudian meminta para jamaah haji untuk segera pulang dan melanjutkan peperangan. [84] Ia menyebut dirinya sebagai amirul hajj dan melakukan ibadah haji bersama para hujaj dan dengan mengenakan baju perang ia hadir di Arafah [85] meskipun ia tidak melaksanakan tawaf Kakbah dan sa'i antara Shafa dan Marwah. [86]
Hajjaj menghalangi sampainya makanan ke pasukan Zubair dan mereka hanya diberi akses untuk bisa memanfaatkan air zam-zam. [87] Ia menghujami Zubair dengan ketapel dan diantara lepasan ketapel ini ada yang mengenai Kakbah. [88] Batu-batu ketapel itu juga masuk ke sumur Zam-zam dan merusakkan dinding bagian samping Kakbah [89] dan memindahkan hajar aswad dari tempat aslinya. [90] Kemudian Hajjaj memerintahkan supaya menyerang Masjidil Haram dengan bola api. Hal ini menyebabkan kain Kakbah terbakar. Tindakan ini menyebabkan Ibnu Zubair mengirim pasukan untuk mencegah kerusakan yang lebih meluas Kakbah. [91] Ia juga menyuruh untuk memasang perisai untuk menjaga Hajar Aswad dari serangan yang lebih banyak. [92]
Keluarga dan pendukung Abdullah bin Zubair beserta saudaranya, Urwah menyarankannya untuk mengikuti strategi Imam Hasan as dan berdamai dengan Hajjaj bin Yusuf. Namun dengan kedudukan yang ia miliki, ia sangat memprotes saran ini. [93] Keadaan ini bersamaan dengan pemaafan umum Hajjaj [94] sehingga mendorong pendukung Ibnu Zubair dan bahkan para anak-anaknya Khubaib dan Hamzah menyerah demi untuk menyelamatkan diri. [95]
Terbunuhnya Ibnu Zubair
Akhirnya Ibnu Zubair mengetahui bahwa dia tidak dapat mempertahankan diri melawan tentara Suriah. Pada akhir hayatnya dalam percakapan dengan ibunya asma ia menjelaskan bahwa perlawanannya hanya karena Allah swt dan tidak ada unsur pengkhianatan dan dosa yang sengaja ia lakukan dan tidak mengandung mengambil keuntungan-keuntungan duniawi dan menjelaskan bahwa kezaliman-kezaliman yang dilakukan oleh pengikutnya adalah tidak menyenangkan baginya. [96] Ia dengan permintaan ibunya [97] dan dengan pendukung yang sedikit jumlahnya hingga waktu-waktu menjelang kematiannya dan dalam keadaan menyandar ke Ka'bah dibunuh oleh laki-laki yang berasal dari Bani Sukun dan Bani Murad. [98]
Peperangan ini menelan korban jiwa sebanyak 240 orang. Sebagian darah mereka sampai ke dalam Ka'bah. [99] Kepala Ibnu Zubair bersamaan dengan kepala Abdullah Muthi' dan Abdullah bin Shafwan dibawa ke Madinah [100] dan dipajang di sana. [101] Kemudian kepala ini dibawa ke hadapan Abdul Malik dan hadiah setiap pembala kepala ini adalah 500 dinar. [102] Riwayat lain mengatakan bahwa Ibnu Zubair terbunuh di dekat Hajun. [103] Berdasarkan sebagian riwayat, Abdul Malik membawa kepala Ibnu Zubair untuk memaksa Abdullah bin Khazim, hakim Ibnu Zubair di Khurasan supaya mentaatinya dan akhirnya ia menguburkan kepala Ibnu Zubair disana. [104] Hajjaj menggantung jenazah Ibnu Zubair hingga satu tahun. [105] Akhirnya dengan permohonan ibunya Asma jenazahnya diberikan kepada Ibunya. Asma menguburkan jenazah anaknya di kuburan Hajun Mekah. [106] Menurut laporan Mush'ab bin Abdullah menyebutkan bahwa jenazah Ibnu Zubair dipindah ke Madinah dan dikuburkan di rumah neneknya, Shafiyyah yang kemudian menjadi bagian Masjid Nabi. [107]
Ibnu Zubair dalam Referensi
Sebagian laporan sejarah tentang Abdullah bin Zubair berbeda-beda dalam menuliskan tentang Ibnu Zubair. Sebagian dari riwayat yang sebagian besar dari para pendukungnya menyatakan pujian yang berlebihan. Namun berdasarkan riwayat dan laporan-laporan sejarah yang lainnya mengutuknya dengan sangat.
Kemuliaan
Dalam laporan sejarah Sunni Ibnu Zubair sangat dipuji-puji sebagiannya berkaitan dengan ibadah-ibadah yang ia lakukan. Sebagian sejarawan Islam [108] meragukan akan kebenaran tentang fadhilah-fadhilah yang dimilikinya seperti sujudnya yang sangat lama sehingga burung-burung hinggap di punggungnya [109], Bertawaf mengelilingi Ka'bah [110], tujuh atau 15 hari berpuasa tanpa berbuka puasa [111], Ketika orang-orang telah ruku' dan meskipun diantara mereka telah membaca surah-surah yang panjang seperti Surah Al-Baqarah, Surah Ali Imran, Surah Al-Nisa, dan Surah Al-Maidah, ia belum juga ruku' [112], ia berbicara dengan para budaknya dengan menggunakan 100 bahasa [113], pertama kali yang ia ucapkan ketika kecil adalah pedang dan ia selalu mengulangi kata-kata itu. [114] ketika ia masih kecil, ia minum darah hejamat (bekam) Nabi saw [115], ia melihat jin perempuan melakukan thawaf disekitar Ka'bah dan ia mengusirnya [116], ia bercakap-cakap dengan jin laki-laki dan ia takut kepadanya [117], ia berdoa di Hajar aswad untuk memperoleh kekuasaan dan kekhalifahan di Hijaz dan doanya diijabah. [118] [119]
Celaan
Sebaliknya terdapat riwayat-riwayat lain dalam sumber-sumber Sunni yang meriwayatkan bahwa ia tidaklah sebaik sebagaimana yang telah diriwayatkan. Setelah ia meminum darah hejamat (bekam) Nabi saw, Nabi saw bersabda: "Celakalah orang-orang karenamu! Dan celakalah kamu karena orang-orang". [120] Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan bahwa ketika Utsman bin Affan dikepung, Abdullah bin Zubair berkata kepadanya: "Aku memiliki kuda yang bisa berlari kencang dan siap kuberikan untukmu. Apakah kau tidak ingin pergi ke Mekah dan mereka yang ingin bersamamu, akan datang kepadamu? Usman berkata: Tidak! Saya mendengar dari Rasulullah saw bahwa ada domba jantan di Mekah yang mengajarkan ajaran sesat bernama Abdullah dan baginya setengah penderitaan semua orang". [121] Nir Bana melaporkan berdasarkan laporan Ibnu Asakir dan Salman Farsi mengabarkan tentang pembakaran Ka'bah oleh salah satu keluarga Zubair di masa mendatang. [122]
Imam Ali as di Perang Jamal berkata kepada Zubair, anaknya yaitu Abdullah menyebabkan ayahnya meninggalkan Ahlulbait as [123]. Imam Hasan menyebutnya sebagai orang bodoh. [124] Sebagian riwayat juga menyebutkan tentang kebijakan-kebijakannya yang menuai kritikan diantaranya: Ancaman pembakaran kepada Bani Hasyim karena tidak mau memberikan baiat kepadanya dimana Urwah bin Zubair mencari pembenaran atas tindakan saudaranya: Ia melakukan hal ini karena untuk mencegah terjadinya perpecahan dan kaum muslimin tidak berbeda pendapat dan mereka (Bani Hasyim) supaya taat kepadanya dan pada akhirnya semuanya akan bersatu sebagaimana Umar bin Khattab melakukan tindakan ini kepada Bani Hasyim ketika mereka menolak untuk memberikan baiatnya kepada Abu Bakar. [125] Ibnu Zubair memiliki dendam mendalam terhadap Ahlulbait as. [126] Hinaan dia kepada Imam Ali as dinukilkan dalam sebagian riwayat. [127] Dikatakan bahwa ia berkhutbah selama 40 minggu, ia tidak mau bersalawat kepada Nabi saw karena khawatir akan membuat Bani Hasyim bangga karenanya. [128] Tindakan ini menyebabkan sebagaian ulama, bahkan ulama Ahlusunah sendiri meragukannya. [129] Kaum Syiah juga tidak memiliki pandangan yang baik kepadanya. [Masih memerlukan referensi]
Membangun Ka'bah
Berdasarkan sumber referensi sejarah Mekah, Ka'bah telah beberapa kali dipugar. Salah satunya direnovasi oleh Ibnu Zubair. Dikatakan bahwa setelah Ka'bah dihujani dengan ketapel bola api oleh tentara Yazid dan mengalami kerusakan yang parah, Ibnu Zubair membangun kembali Ka'bah yang telah hancur. [130] Demikian juga selama pemerintahannya, ia membeli rumah-rumah yang ada disekitar Masjidil Haram dan meluaskan bangunannya. [131] [132]
Catatan Kaki
- ↑ Al-Isti’āb, jld. 3, hlm. 905
- ↑ Al-Thabaqāt Khamsah 2, hlm. 31-32; Tārikh Islam, jld. 5, hlm. 437; Al-ashābah, jld. 4, hlm. 80, Tārikh al-Thabari, terjemah, jld. 3, hlm. 924; Dāirah al-Ma’ārif Islām, jld. 1, hlm. 54; Al-ashābah, jld. 4, hlm. 80 bagian Abdullah bin Zubair
- ↑ Al-Thabaqāt Khamsah 2, hlm. 31-32; Tārikh al-Islām, jld. 5, hlm. 437; Al-ashablāh, jld. 4, hlm. 80.
- ↑ Thahawi, Syarah Ma’āni al-Atsār, jld. 3, hlm. 24; Askari, Izdiwaj Muwaqat dar Islam, 50-52.
- ↑ Al-Aqd al-Farid, jld. 4, hlm. 14.
- ↑ Al-ashablāh, jld. 4, hlm. 81; Tārikh al-Islām, jld. 5, hlm. 430; Siyar A’lām al-Nubala, jld. 3, hlm. 364.
- ↑ Silahkan lihat: Tārikh Thabari, jld. 3, hlm. 571; Al-Ashablāh, jld. 3, hlm. 334
- ↑ Silahkan lihat: Tārikh, jld. 4, hlm. 270; Demikian juga Dāirah al-Ma’ārif Islām, jil 1, hlm.55, bagian Abdullah bin Zubair
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 10, hlm. 176; Usdul Ghābah, jld. 3, hlm. 328; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 335.
- ↑ Futuh al-Buldān, hlm. 224; Al-Muntadhim, jld. 4, hlm. 344.
- ↑ Tārikh Khalifah, hlm. 102; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 7, hlm. 181.
- ↑ Al-Thabaqāt, jld. 2, hlm. 36, Ansābul Asyrāf, jld. 5, hlm. 564.
- ↑ Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahjul Balāghah, jld. 1, hlm. 265.
- ↑ Al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld. 1, hlm. 28; Usdul Ghābah, jld. 3, hlm. 139.
- ↑ Al-Futuh, jld. 2, hlm. 470; Murūj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 363.
- ↑ Silahkan lihat: Najati, Dānesy Nāmeh Haj wa Haramain Syarifain, Ibnu Zubair http://hajj.ir/99/3019
- ↑ Silahkan Fath al-Bāri, jld. 4, hlm. 476.
- ↑ Al-Isti’āb, jld. 3, hlm. 910; Tārikh al-Islām, jld. 4, hlm. 246.
- ↑ Futuh al-Buldān, hlm. 365; Al-Isti’āb, jld. 1, hlm. 368.
- ↑ Farzandān Ali Abi Thalib, terjemah, jld. 1, hlm. 164.
- ↑ Tārikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 160; Al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld. 1, hlm. 42.
- ↑ Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 338; Akhbār al-Daulah al-Abasiyyah, hlm. 60.
- ↑ Tārikh al-Islām, jld. 5, hlm. 438;Tārikh Ibnu Khaldun, jld. 3, hlm. 12.
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 5, hlm. 145; Al-Akhbār al-Thiwāl, hlm. 226.
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 5, hlm. 314; Tārikh Thabari, jld. 5, hlm. 339.
- ↑ Al-Mushanif, Ibnu Abi Syaibah, jld. 8, hlm. 608; Sahih Muslim, jld. 8, hlm. 167.
- ↑ Al-Mushanif, Ibnu Abi Syaibah, jld. 8, hlm. 608; Sahih Muslim, jld. 8, hlm. 167.
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 8, hlm. 319; Al-Muntadzam, jld. 5, hlm. 347.
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 5, hlm. 327-328; Tārikh Thabari, jld. 5, hlm. 478.
- ↑ Al-Thabaqāt al-Asyrāf, jld. 5, hlm. 141; Ansābul Asyrāf, jld. 5, hlm. 330.
- ↑ Silahkan lihat: jld. 5, hlm. 141; Tārikh al-Islām, jld. 5, hlm. 198.
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 5, hlm. 331.
- ↑ tidak ada referensi
- ↑ Maskawaih, jld. 2, hlm. 85.
- ↑ Tajarub al-Umam, Ibid, jld. 2, hlm. 85, Tārikh Thabari, jld. 5, hlm. 480.
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 5, hlm. 319, 372; Al-Badā wa al-Tārikh, jld. 6, hlm. 18.
- ↑ Ansābul-Asyrāf, jld. 5, hlm. 337.
- ↑ Murūj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 69.
- ↑ Murūj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 69.
- ↑ Ansābul-Asyrāf, jil 5, hlm. 340; Al-Badā wa al-Tārikh, jld. 6, hlm. 13-14.
- ↑ Al-Muntadzam, jld. 5, hlm. 16.
- ↑ Tārikh al-Islām, jld. 5, hlm. 25.
- ↑ Al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld. 1, hlm. 231; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 220.
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 5, hlm. 359; Tārikh Damisyq, jil 14, hlm. 387.
- ↑ Akhbār Makkah, Azraqi, jld. 1, hlm. 203; Ansābul Asyrāf, jld. 5, hlm. 359.
- ↑ Akhbār Makkah, Azraqi, jld. 1, hlm. 198; hlm. 203; Akhbar al-Kiram.
- ↑ Tārikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 252.
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 5, hlm. 362-372.
- ↑ Tārikh Khalifah, hlm. 160.
- ↑ Abdullah bin Zubair, hlm. 119.
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 5, hlm. 344, 372.
- ↑ Dalil yang lebih mendetail: Nijati, Dānesy Nāmeh Haj wa Haramain Syarifain, bagian Ibnu Zubair http://hajj.ir/99/3019#_ftn127
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 5, hlm. 373-374; Tārikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 255.
- ↑ Al-Futuh, jld. 5, hlm. 156.
- ↑ Ibid.
- ↑ Akhbār Makkah, Fakihi, jld. 3, hlm. 364; Ansābul Asyrāf, jld. 3, hal, 335.
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 3, hlm. 372; Al-Futuh, jld. 6 hlm. 248.
- ↑ Tārikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 262; Al-Futuh, jld. 6, hlm. 248.
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 3, hlm. 472-473; Tārikh Thabari, jld. 6, hlm. 76.
- ↑ Tārikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 261; Tārikh Thabari, jld. 6, hlm. 76; Tajārub al-Umam, jld. 2, hlm. 188
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 3, hlm. 475; Tārikh Thabari, jld. 6, hlm. 76.
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 3, hlm. 476-477; Tārikh Thabari, jld. 6, hlm. 77.
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 3, hlm. 478; Akhbar al-Daulah al-Abasiyah, hlm. 107.
- ↑ Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 287.
- ↑ Najati, Dānesy Nāmeh Haj wa Haramain, Ibnu Zubair http://hajj.ir/99/3019#_ftnref195
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 4, hlm. 55; Akhbār al-Daulah al-Abasiyah, hlm. 110.
- ↑ Akhbār al-Daulah al-Abasiyyah, hlm. 92.
- ↑ Tārikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 250; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 339.
- ↑ Tārikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 247.
- ↑ Akhbār Makkah, Fakihi, jld. 3, hlm. 20; Ansābul Asyrāf, jld. 4, hlm. 55-56; Al-Futuh, jld. 6, hlm. 326.
- ↑ Silahkan lihat: Al-Thabaqāt, jld. 3, hlm. 482; Murūj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 80.
- ↑ Al-Thabaqāt, jld. 5, hlm. 31; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 241.
- ↑ Al-Thabaqāt al-Kubra, jil 5, hlm. 31; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 241.
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 6, hlm. 273; Tārikh al-Islām, jld. 5, hlm. 38.
- ↑ Al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld. 2, hlm. 22, Murūj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 88.
- ↑ Akhbār Makkah, Fakihi, jld. 1, hlm. 356; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 280.
- ↑ Akhbar Makkah, Fakihi, jld. 1, hlm. 356; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 280.
- ↑ Al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld. 2,hlm. 37, Daulat Umawiyan, jld. 8, hlm. 280; Hayah al-Haiwan, jld. 2, hlm. 58.
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 7, hlm. 95; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 315.
- ↑ Tārikh Thabari, jld. 6, hlm. 175; Al-Kāmil, jld. 4, hlm. 350.
- ↑ Thārikh Thabari, jld. 6, hlm. 175; Al-Muntadzam, jld. 6, hlm. 124.
- ↑ Al-Futuh, jld. 6, hlm. 338.
- ↑ Al-Isti'āb, jld. 3, hlm. 907; Al-Kāmil, jld. 4, hlm. 350.
- ↑ Akhbār Makkah, Fakihi, jld. 2, hlm. 372; Al-Kāmil, jld. 4, hlm. 350.
- ↑ Tārikh Thabari, jld. 2, hlm. 372; Al-Kāmil jld. 4, hlm. 350.
- ↑ Al-Kāmil, jld. 4, hlm. 350; Al-Thabaqāt, Khamsah 2, hlm. 93.
- ↑ Al-Thabaqāt, Khamsah 2, hlm. 94; Akhbār Makkah, Fakihi, jld. 2, hlm. 31.
- ↑ Al-Thabaqāt, Khamsah 2, hlm. 95; Al-Anbiya, hlm. 50.
- ↑ Al-Futuh, jld. 6, hlm. 340; Hayah al-Haiwan, jld. 2, hlm. 59.
- ↑ Tārikh al-Islām, jld. 5, hlm. 315.
- ↑ Akhbār Makkah, Fakihi, jld. 2, hlm. 360; Al-Futuh, jld. 6, hlm. 341.
- ↑ Al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld. 2, hlm. 38.
- ↑ Al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld. 2, hlm. 38.
- ↑ Al-Thabaqāt, Khāmsah 2, hlm. 99; Ansābul Asyrāf, jld. 7, hlm. 124; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 330.
- ↑ Tārikh Thabari, jld. 6, hlm. 188; Al-Kāmil, jld. 4, hlm. 352.
- ↑ Tārikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 267; Al-Kāmil, jld. 4, hlm. 353.
- ↑ Al-Thabaqāt, Al-Khamsah 2, hlm. 98; Al-Muntadzam, jld. 6, hlm. 125.
- ↑ Al-Isti’āb, jld. 3, hlm. 910; Al-Jauharah fi Nasab al-Nabi, jld. 1, hlm. 320.
- ↑ Al-Isti’āb, jld. 3, hlm. 910; Al-Jauharah fi Nasab al-Nabi, jld. 1, hlm. 320.
- ↑ Tārikh Damisq, jld. 28, hlm. 151; Tārikh Islām, jld. 5, hlm. 452.
- ↑ Tārikh Thabari, jld. 6, hlm. 192; Al-Ashablāh, jld. 5, hlm. 22.
- ↑ Al-Thabaqāt, Khamsah 2, hlm. 113-114; Al-Kamil, jld. 4, hlm. 356.
- ↑ Tajārub al-Umam, jld. 2, hlm. 247; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 342.
- ↑ Tārikh Damisyq, jld. 28, hlm. 151; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 326.
- ↑ Al-Kāmil, jld. 4, hlm. 357; Nihāyah al-Arab, jld. 21, hlm. 141; Majma’ al-Zawāid, jld. 7, hlm. 507; Al-Jauharah fi Nasab al-Nabi, jld. 1, hlm. 3199.
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 7, hlm. 129; Nihāyah al-Arab, jld. 21, hlm. 141.
- ↑ Tārikh Damisyq, jld. 28, hlm. 254; Tārikh al-Islām, jld. 5, hlm. 447.
- ↑ Silahkan lihat: Nijati, Dānesy Nāmeh Haj wa Haramain Syaraifain, Ibnu Zubair, http://hajj.ir/99/3019#_ftn298
- ↑ Tārikh Damisyq, jld. 28, hlm. 170; Nihāyah al-Arab, jld. 21, hlm. 143.
- ↑ Akhbār Makkah, Fakihi, jld. 1, hlm. 251; Al-Kāmil, jld. 4, hlm. 360.
- ↑ Khilyah al-Auliya, jld. 1, hlm. 335, jld. 5, hlm. 440.
- ↑ Tarikh Damisq, jld. 28, hlm. 171; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 334.
- ↑ Tārikh Islām, jld. 5, hlm. 444; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 339.
- ↑ Al-Kāmil, jld. 4, hlm. 360; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 340.
- ↑ Tārikh al-Islām, jld. 5, hlm. 437, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 333; Sabal al-Huda jld. 10, hlm. 40.
- ↑ Tārikh Damisyq, jld. 28, hlm. 185; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 336.
- ↑ Tārikh Damisyq, jld. 28, hlm. 185; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 336.
- ↑ Akhbār Makkah, Fakihi, jld. 1, hlm. 140; Al-Muntadzam, jld. 6, hlm. 135.
- ↑ Najati, Dānesy Nāmeh Haj wa Haramain Syarifain, Ibnu Zubair http://hajj.ir/99/3019#_ftn306
- ↑ Syaibani, Al-Ahad wa al-Matsāni, jld. 1, hlm. 414; ویل للناس منک وویل لک من الناس
- ↑ Musnad Ahmad bin Hanbal, jld. 1, hlm. 64, hadis no 461 یلْحِدُ بِمَکَّةَ کَبْشٌ من قُرَیشٍ اسْمُهُ عبد اللَّهِ علیه مِثْلُ نِصْفِ أَوْزَارِ الناس
- ↑ Tārikh Madinah Damisyq, jld. 28, hlm. 22111, Lizahraqna Hadza al-Bait ala Yadi Rajula min Ali al-Zubair.
- ↑ Tārikh Thabari, jld. 3, hlm. 41; Ansābul Asyrāf, jld. 1, hlm. 314.
- ↑ Zamakhsyari, Al-Mustaqsya fi Amtsāl al-Arab, jld. 2, hlm. 118.
- ↑ Syarah Nahj al-Balāghah libni Abil Hadid, jld. 10, hlm. 147.
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 3, hlm. 482; Akhbār al-Daulah al-Abasiyah, hlm. 116.
- ↑ Silahkan lihat: Khamsah 2, hlm. 85; Tārikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 272; Murūj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 80.
- ↑ Ansābul Asyrāf, jld. 3, hlm. 482; Murūj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 79; Syarah Nahj al-Balāghah, jld. 4, hlm. 61.
- ↑ Silahkan lihat: Syarah Nahj al-Balāghah, jld. 1, hlm. 10.
- ↑ Azraqi, Akhbār Makkah wa Ma jaa Fiha min al-Atsār, Azraqi, jld. 1, hlm. 289.
- ↑ Azraqi, Akhbār Makkah wa Ma jaa Fiha min al-Atsār, jld. 2, hlm. 70.
- ↑ Tentang Renovasi Ka'bah silahkan lihat: Najati, Dānesy Nāmeh Haramain Syarifain, Ibnu Zubair http://hajj.ir/99/3019
Daftar Pustaka
- Sebagian besar makalah ini berasal dari makalah Ibnu Zubair tulisan Muhammad Sa’id Najati dalam Dānesy Nāmeh Haj wa Haramain Syarifain setelah di edit.
- Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahjul Balāghah, riset: Muhammad Abul Fadhl, Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyah, 1378 H.
- Ibnu A’tsam al-Kufi, (w.314 H), Al-Futuh Ali Syiri, Beirut, Dar al-Adhwa, 1411 H.
- Ibnu Sa’d (230 H), Al-Thabaqāt al-Kubra, Riset: Muhammad Abdul Qadir, Beirut, Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1418 H.
- Ahmad bin Hanbal (w. 562 H), Al-Ansāb, Abdurahman bin Yahya, Haidar Abad, Dairah Ma’arif al-Utsmaniyah, 1382 H.
- Ibnu Abduriyyah, Ahmad bin Muhammad bin Anduriyyah (w. 328 H), Al-Aqd al-Farid, Dar Ihya al-Tsurats al-Arabi, Beirut, Libanon, Al-Thab’ah al-Tsalitsah, 1420 H.
- Fakihi (w. 275 H), Akhbār Makkah, Abdul Malik Dahisy, Beirut, Dar Khadhara, 1414 H.
- Ibnu Dawud Dainawari (w. 282 H), Al-Akhbār al-Thiwal, Abdul Mun’im, Qum, Al-Radhi, 1412 H.
- Ibnu asakir (w. 571 H), Tārikh Madinah Damisyq, Ali Syiri, Dar al-Fikr, 1415 H.
- Ahmad bin Ya’qub (w. 292 H), Tārikh Ya’qubi, Beirut, Dar Shadir, 1415 H.
- Al-Baladzuri (w. 279 H), Ansābul Asyrāf, Riset: Zakar, Beirut, Dar al-Fikr, 1417 H.
- Ibnu Atsir Ali bin Muhammad Al-Jazri (w. 630 H), Al-Kāmil fi al-Tarikh, Beirut, Dar Shadir, 1385 H.
- Ibnu Katsir (w. 774 H), Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Beirut, Maktabah al-Ma’arif, t.t.
- Khalifah bin Khayath (w. 240 H), Tārikh Khalifah, Beirut, Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1415 H.
- Al-Muthahhar al-Muqadasi (w. 355 H), Al-Badā wa al-Tārikh, Beirut, Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1415 H.
- Al-Muthahar al-Muqadasi (w. 355 H), Al-Badā wa al-Tārikh, Beirut, Dar Shadir, 1903 M.
- Ibnu Jauzi (w. 597 H), Al-Muntadham, Na’im Zarzor, Beirut, Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1412 H.
- Al-Mas’ud (w. 346 H), Murūj al-Dzahab, Riset: as’ad Daghir, Qum, Dar al-Hajarah, 1409 H.
- Ibnu A’tsam al-Kufi (w. 314 H), Al-Futuh, Ali Syiri, Beirut, Dar al-Adhwa, 1411 H.
- Ibnu Abi Syaibah (w. 235 H), Al-Mushanif, Sa’id Muhammad, Dar al-Fikr, 1409 H.
- Abdul Razak al-Shan’ani (w. 211 H), Al-Mushanif, riset: Habiburahman, Al-Majlis al-Ulama, t.t.
- Thahawi Hanafi, Ahmad bin Muhammad (321 H), Syarah Ma’āni al-Atsar, Riset: Muhammad Zuhri Najar, Nasyir Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Beirut, Al-Thab’ah al-Aula, 1399.
- Zamakhsyari, Mahmud bin Amru bin Ahmad Jarullah (538 H), Al-Mustaqsha fi Amtsal al-Arab, Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Al-Thab’ah al-Tsanawiyah, 1987 M.
- Thabari, Muhammad bin Jarir (w. 310 H), Tārikh al-Thabari, Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Beirut.
- Baladzuri, Ahmad bin Yahya (279 H), Jamal min Ansyābul Asyrāf, Riset: Suhail Zakar dan Riyadh Zarkali, Beirut, Dar al-Fikr, cet. 1, 1417 H.
- Ibnu asakir, Ali bin Husain bin Habatullah (w. 571 H), Tārikh Madinah Damisyq, Tahkik:Muhibbin Abi Sa’id Abi Umar bin Ghuramah al-Amri, Dar al-Fikr, Beirut, 1995.
- Muhammad bin Ahmad al-Muqadasi (w. 380 H), Ahsan al-Taqaim, Kairo, Maktabah Madbuli, 1411 H.
- Syaibani, Ahmad bin Amru (w. 287 H), Al-Ahad wa al-Matsāni, Tahkik Faisal Ahmad Al- Jawabarah, Dar al-Riyadh, cet. 1, 1411 H.
- Gibb, H.A.R. “ʿAbdullāh b. al-Zubayr” ,E.I. ,second ed. Leiden: E. J. Brill, 1986.