Perang Khaibar
Perang Khaibar (bahasa Arab:غزوة خيبر)adalah salah satu perang yang diikuti oleh Nabi Muhammad saw atau disebut juga "Ghazwah" pada tahun ke-7 H/628. Penyebab perang ini adalah orang-orang Yahudi Khaibar melindungi orang-orang Yahudi yang diusir Rasulullah saw dari Madinah, terlebih setelah adanya provokasi dari sebagian kabilah Arab.
Masa kejadian | Shafar tahun ke-7 H/628 |
---|---|
Tempat kejadian | Kawasan Khaibar |
Alasan | Khaibar adalah sebuah tempat Konspirasi orang-orang Yahudi dan tempat yang sangat berbahaya yang mengancam Islam yang baru saja berdiri di Hijaz |
Akibat | Kemenangan Muslimin |
pejuang1 | Kaum Muslimin |
pejuang2 | Kaum Yahudi Khaibar |
panglima1 | Nabi Muhammad saw |
panglima2 | Marhab |
Kekuatan1 | Pasukan Islam berjumlah 1400 orang |
Kekuatan2 | Kaum Yahudi yang tinggal di dalam benteng Khaibar |
korban1 | Pihak Muslimin sekitar 15 atau 17 orang yang syahid |
korban2 | Pihak kaum Yahudi Khaibar 93 orang yang terbunuh |
Perang Khaibar dimenangkan pihak Islam dan kaum Yahudi Khaibar diusir dari tempat tersebut. Keberanian dan kegagahan Imam Ali as yang berhasil menaklukkan sebagian benteng Khaibar merupakan kunci penting dalam kemenangan yang dicapai kaum muslimin.
Letak Khaibar
Wilayah Khaibar saat ini berada di 165 km arah utara kota Madinah, tepatnya di ujung jalur arah ke Syam (Jalur Tabuk). Pusat Khaibar adalah kota al-Syuraif. Wilayah Khaibar meliputi kawasan pertanian subur yang berada di daerah bebatuan yang terletak pada ketinggian 854 meter di atas permukaan laut.
Khaibar memiliki lembah besar, air, lahan pertanian dan penduduk yang banyak. Penghasilan terbesar daerah ini didapat dari kurma yang memang sejak dulu terkenal keunggulannya. Mayoritas penduduk Khaibar berasal dari kabilah Anzah. Mereka tinggal di desa Surair dan daerah sekitar lembah Gharas (keluarga) bani Rasyid. [1]
Faktor-faktor Perang
Pada tahun ke-4 H/625, setelah Rasulullah saw mengusir kaum Yahudi bani Nadhir dari Madinah karena berkhianat, sebagian mereka, di antaranya Huyay bin Akhtab, Salam bin Abi al-Haqiq dan Kinanah bin Rabi' bin Abi al-Haqiq pergi ke Khaibar.
Setahun kemudian mereka pergi ke Mekkah dan menghasut kafir Quraisy agar memerangi Rasulullah saw.[2] Perlahan Khaibar menjadi pusat konspirasi kaum Yahudi yang membahayakan bagi umat Islam yang saat itu baru tumbuh berkembang.[3]
Pada bulan Sya'ban tahun ke-6 H/627, ketika mendengar bahwa kabilah bani Sa'ad bin Bakar (salah satu kabilah Arab yang ada di sekitar Khaibar) telah bersatu untuk membantu kaum Yahudi Khaibar, Rasulullah saw mengutus Imam Ali as bersama sejumlah rombongan ke tempat mereka. Serangan yang dipimpin Imam Ali as mampu memporak-porandakan musuh dan pihak muslimin berhasil menyita harta benda mereka.
Pada bulan Ramadhan di tahun yang sama, Abdullah bin Atik bersama pasukannya berhasil membunuh Salam bin Abi al-Huqaiq karena terbukti berbuat makar dengan membentuk kelompok-kelompok untuk melawan Rasulullah saw dan kaum Muslimin. Di masa itu juga Rasulullah saw menugaskan Abdullah bin Rawahah pergi ke Khaibar untuk mengecek situasi dan kondisi kaum Yahudi. [4]
Setelah itu kaum Yahudi mengangkat Usair bin Zarim atau Yusair bin Rizam sebagai pemimpin mereka. Dia melakukan usaha untuk meyakinkan kabilah-kabilah Arab, di antaranya bani Ghatafan, agar mau memerangi Rasulullah saw. Bersama mereka, dia berencana menyerang Madinah.
Sebab itu Rasulullah saw kembali mengutus Abdullah bin Rawahah bersama pasukannya menuju Khaibar untuk melawan mereka. Akhirnya Usair dan sekelompok Yahudi yang berpihak padanya terbunuh. [5]
Selain itu semua, setelah Yahudi bani Quraizhah dari Madinah diusir, terlebih setelah terjalinnya kesepakatan damai antara seluruh Yahudi Madinah dan Rasulullah saw, orang-orang Yahudi Khaibar merasa gerah. Sebagian Yahudi Khaibar merupakan para pemuka bani Nadhir yang diusir Rasulullah saw dari Madinah.
Mereka berusaha membalas dendam pada Rasulullah saw dengan menggelontorkan banyak harta untuk menghasut kabilah-kabilah Arab sekitarnya, di antaranya kabilah Ghatafan yang terkenal kuat. Tujuannya supaya mereka mau bergabung melawan Rasulullah saw dan kaum muslimin. Dengan alasan yang cukup, tak lama setelah peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw menyerang Khaibar. [6]
Waktu Terjadinya Perang Khaibar
Pada awal bulan Muharam tahun ke-7 H/628 Rasulullah saw bertolak menuju ke Khaibar. Dan di bulan Shafar beliau telah berhasil menguasai Khaibar, kemudian pada awal bulan Rabiul Akhir tahun ke-7 H/628 rombongan sudah kembali ke Madinah.[7]
Wakil Nabi di Madinah
Saat bertolak ke Khaibar Rasulullah saw mewakilkan kepemimpinan Madinah kepada Siba' bin Urfithah atau Abu Dzar al-Ghifari.[8] Dalam memimpin pasukan Rasulullah saw menugaskan Imam Ali as untuk mengawal mereka sekaligus membawa panji perang berwarna putih. [9][10]
Jumlah Pasukan Islam
Para sejarawan menyebutkan, pasukan Islam dalam Perang Khaibar berjumlah 1400 orang.[11]Ada yang menyebutkan jumlahnya sama dengan orang yang ikut hadir di Hudaibiyah, yaitu 1500 orang[12] dan sebagian lain meyebutkan 1540 orang.[13] Di antara pasukan Islam terdapat 20 orang muslimah, termasuk Ummu Salamah, istri Nabi saw.
Atas izin Nabi saw, sebagian perempuan dari Bani Ghaffar ikut ke medan perang untuk membantu dan merawat pasukan Islam.[14] Selain itu ada 10 orang Yahudi Madinah dan beberapa budak yang ikut berpihak pada Rasulullah saw. [15]
Jumlah Penduduk Khaibar
Para sejarawan menyebutkan, jumlah penduduk Khaibar yang siap tempur saat itu mencapai 10.000[16] hingga 20.000 orang.[17] Mereka hampir tidak percaya bagaimana mungkin Rasulullah saw berani menghadapi pasukan yang jauh lebih besar jumlahnya dibanding pasukannya.
Terlebih Yahudi Khaibar memiliki benteng pertahanan yang sangat kokoh dan menjulang tinggi di atas gunung-gunung. Mereka juga memiliki persenjataan dan orang yang sangat banyak serta menguasai persediaan air yang tak ada habisnya.
Dengan semua itu mestinya dengan mudah mereka akan mampu bertahan hingga beberapa tahun. Sebagian Yahudi Madinah berusaha membuat pesimis kaum muslimin. Menurut mereka, pasukan Islam tidak akan bisa menghadapi pihak Khaibar yang memiliki benteng pertahanan yang sangat kukuh itu.
Mereka bahkan mengutus seseorang pada Kinanah bin Abi Huqaiq yang ada di Khaibar untuk memberitahukan bahwa pasukan Islam tidak memiliki banyak senjata. Pihak kafir Quraisy juga sangat yakin Yahudi Khaibar akan menang melawan Rasulullah saw. [18]
Lintasan Rasulullah saw dari Madinah ke Khaibar
Rasulullah saw meminta dua orang dari kabilah Asyja' sebagai pemandu jalan menuju Khaibar. Selama perjalanan, rombongan Rasulullah saw singgah di beberapa tempat dan membangun masjid di sana.
Rasulullah saw meminta salah satu pemandunya untuk mengarahkan pasukan Islam ke jalur yang memisahkan antara Khaibar dan Syam. Tujuannya untuk mencegah Bani Ghatafan agar tidak membantu kaum Yahudi Khaibar. Dari beberapa jalur yang ada Rasulullah saw memilih jalur yang paling sering dilewati orang.[19]
Salah seorang panglima Nabi saw yang bernama Ibad bin Basyar berhasil menangkap seorang mata-mata Yahudi dari kabilah Asyja'. Mata-mata itu berusaha menakut-nakuti kaum muslimin dengan mengatakan bahwa kabilah Ghatafan sudah bersedia bergabung dengan Yahudi Khaibar melawan pasukan Islam. Namun saat menerima serangan dari kaum muslimin justru pihak Yahudilah yang ketakutan. [20]
Kabilah Ghatafan Tidak Membantu Yahudi Khaibar
Ketika kabilah Ghatafan tahu bahwa Rasulullah saw telah memasuki Khaibar, mereka segera menyusul untuk membantu Yahudi Khaibar. Namun karena khawatir dengan keluarga dan harta yang mereka tinggalkan, sebelum sampai di benteng Khaibar mereka kembali ke rumah.[21]
Riwayat lain menyebutkan, sebelum terjadi perang, Kinanah menemui pihak Ghatafan dan menjanjikan hasil setahun kurma Khaibar untuk mereka, sebagian menyebutkan setengah dari itu. Tujuannya agar mereka mau bergabung melawan Rasulullah saw. Akhirnya mereka merespon tawaran tersebut. Guna menindak lanjuti kesepakatan itu orang-orang Ghatafan menunjuk Uyainah bin Hisn untuk memimpin pasukan. Tiga hari sebelum sampainya Rasulullah saw ke Khaibar mereka sudah berangkat dan memasuki daerah Natha.
Rasulullah saw menugaskan Sa'ad bin Ibadah menemui Uyainah untuk menyampaikan pesan pada mereka. Isi pesan itu adalah; Allah swt telah menjanjikan kemenangan kepada Nabi saw atas perang Khaibar. Jika orang-orang Ghatafan bersedia mundur kembali maka mereka akan diberi hasil bumi Khaibar selama setahun (sebagian menyebutkan setengahnya).
Uyainah tidak menerima tawaran itu. Namun pada malam sebelum Rasulullah saw menyerang Khaibar, orang-orang Ghatafan mendengar teriakan gaib yang memberitahu bahwa keluarga dan harta mereka di daerah Haifa telah diserbu. Sebab itu mereka langsung meninggalkan Khaibar.[22]
Strategi Yahudi Khaibar
Ketika Yahudi Khaibar mengetahui bahwa Rasulullah saw hendak datang ke tempat mereka, Harits Abu Zainab menyarankan supaya orang-orang Khaibar menaruh pasukan di luar benteng dan bersiap menghadapi peperangan. Namun, merasa benteng-benteng di sana sangat kokoh, mereka lebih memilih tinggal di dalamnya.[23]
Masuknya Pasukan Islam ke Khaibar
Dengan ijin Allah swt, penduduk Khaibar tidak mengetahui dengan persis waktu kedatangan Rasulullah saw dan pasukannya. Kaum muslimin berhasil melewati benteng Syaq dan Nuthat dan mendekati Khaibar di malam hari. Sebelum melanjutkan perjalannanya, Rasulullah saw berdoa dan meminta kaum muslimin juga membaca doa yang sama.
Begitu sampai di Manzilah, Rasulullah saw berhenti dan menunjuk lokasi sebagai sebagai masjid lalu salat di sana. Di kemudian hari tempat itu menjadi Masjid Khaibar. Begitu pagi tiba orang-orang Yahudi Khaibar dikejutkan dengan keberadaan Rasulullah saw bersama pasukannya di kampung mereka. Mereka langsung berlarian dan berlindung di balik benteng-benteng yang ada di sana.[24]
Rasulullah saw bertitah kepada para pasukannya supaya tidak membunuh wanita dan anak-anak.[25]Di hari itu kaum muslimin bertempur melawan Yahudi di benteng Nuthat hingga malam.
Rasulullah saw lalu memindahkan pangkalan militernya karena letaknya terlalu berdekatan dengan kawasan musuh dan kondisi tanahnya basah. Beliau menyeru pada pasukannya untuk pergi ke tempat bernama Raji'. Rasulullah saw juga memerintahkan pasukan untuk menebang sebagian pohon kurma yang ada di Khaibar. [26]
Jalannya Perang
Awal Pertempuran
Di hari pertama pertempuran 50 pihak Islam mengalami luka-luka. Selama tujuh hari tujuh malam Rasulullah saw menjadikan Raji' sebagai pangkalannya. Setiap hari beliau selalu menyertai kaum muslimin bertempur menghadapi Yahudi.
Pada malam ke-6 seorang Yahudi bernama Samak, warga Nuthat, menemui Rasulullah saw. Dia meminta perlindungan kepada kaum muslimin dan bersedia menunjukkan arah menuju benteng. Menurut keterangannya, Nuthat yang merupakan gudang penyimpanan makanan dan peralatan perang, saat itu kondisinya sedang mengkhawatirkan. Penduduknya banyak yang meninggalkan benteng karena merasa takut dan cemas. Setelah mendapat keterangan tersebut, paginya pasukan Islam menuju ke sana dan berhasil menaklukkan benteng Nuthat. Akhirnya, Yahudi tersebut masuk Islam. [27]
Penaklukan Benteng Na'im
Diceritakan bahwa benteng Naim merupakan benteng pertahan Khaibar pertama yang berhasil dikuasai Rasulullah saw. Benteng ini memiliki banyak rintangan berlapis yang harus ditembus. Untuk dapat menggempurnya Rasulullah saw menerjunkan segenap barisan pasukannya. Menghadapi itu Yahudi menghujani kaum muslimin dengan anak panah.
Guna melindungi Rasulullah saw para prajurit Islam menjadikan diri mereka sebagai tameng. Di hari itu Rasulullah saw memberikan bendera putihnya kepada dua orang dari pihak Muhajirin (menurut riwayat Ibnu Ishaq, mereka adalah Abu Bakar dan Umar) kemudian kepada seorang dari pihak Anshar. Namun sayangnya masing-masing dari mereka gagal mengemban tugas.
Rasulullah saw bersabda, " Besok akan kuserahkan panji kepada seseorang yang Allah swt dan Rasul-Nya mencintainya. Allah akan memenangkan kaum muslimin lewat tangannya…". Pagi harinya, Rasulullah saw memanggil Imam Ali as yang saat itu sedang sakit mata. Dengan mukjizatnya beliau menyembuhkannya lalu meyerahkan panjinya kepadanya.[28]
Terbunuhnya Harits Saudara Marhab
Terjunnya Harits bersama pasukannya ke medan perang membuat pasukan Islam kocar-kacir. Hanya Imam Ali as yang tetap bertahan mengahadapinya. Imam Ali as berhasil membunuhnya sehingga pasukan Harits berlarian dan berlindung ke balik benteng lalu menutup gerbangnya.[29] Mendapat kenyataan itu, Marhab, saudara Harits yang merupakan jagoan Yahudi keluar seraya meneriakkan syair.
Terbunuhnya Marhab
Menurut sebagian riwayat, atas ijin Rasulullah saw, Muhammad bin Musallamah berduel menghadapi Marhab hingga berhasil membunuhnya dengan pedangnya,[30]sebagian menyebutkan dia hanya berhasil melukainya. Kemudian pertempuran dilanjutkan oleh Imam Ali as hingga Marhab terbunuh.[31]
Namun banyak riwayat lain menyebutkan, sejak awal Imam Ali as berduel dengan Marhab dan mengalahkannya sehingga benteng dapat dikuasai.[32]Sebagian sejarawan Ahlusunah terkemuka lebih menerima riwayat versi kedua.[33]
Penaklukan Benteng Qamush
Dikabarkan, benteng Qamush merupakan benteng terbesar, terkokoh, dan terkuat di Khaibar. Rasulullah saw telah menyerahkan panji kemenangan kepada Imam Ali as. Begitu Imam Ali as berhasil membunuh Marhab, dengan mudah benteng tersebut berhasil dikuasai.[34]
Menurut riwayat Abu Rafi', Imam Ali as diserang seseorang di dekat gerbang benteng hingga tameng beliau terjatuh. Sebagai ganti tamengnya Imam Ali as segera menjebol gerbang yang ada di dekatnya. Dengan tameng baru itu Imam melanjutkan pertempurannya hingga berhasil merobohkan pertahanan benteng. Setelah benteng berhasil ditaklukkan, Imam segera mengirimkan kabar tersebut kepada Rasulullah saw.[35]
Menurut riwayat, orang yang menyerang Imam Ali as itu adalah Marhab.[36] Dikatakan, karena begitu besar dan beratnya, setelah pertempuran selesai, gerbang yang digunakan Imam Ali as sebagai tameng tadi hanya mampu diangkat oleh 40 atau 70 orang. [37]
Para perawi sepakat bahwa penaklukan Khaibar yang dilakukan Imam Ali as merupakan satu dari sekian banyak keutamaan dan jasa besar beliau.[38] Begitu para jagoan Yahudi dan pasukan penjaga benteng Nai'm berhasil disingkirkan maka jalan untuk menaklukkan seluruh Khaibar menjadi mudah. [39]
Pengepungan dan Penaklukan Benteng Nuthat
Di Nuthat juga terdapat benteng Sha'ab bin Mu'adz. Di dalamnya terdapat persediaan bahan makanan, ternak, barang-barang kebutuhan dan 500 prajurit. Kaum muslimin mengepung benteng Nuthat dan bertempur selama 10 hari. Ketika mereka, terlebih orang-orang dari kabilah bani Aslam, menjadi lemah karena lapar, Rasulullah saw memohon kepada Allah swt supaya menganugerahkan kemenangan atas benteng terbesar dan terkaya itu kepada kaum muslimin.
Setelah melewati pertempuran sengit selama dua hari, atas pertolongan Allah swt, paginya di hari ketiga benteng Sha'ab bin Mu'adz berhasil ditaklukkan. Orang-orang Yahudi lari meninggalkan benteng Na'im, Nuthat dan Sha'ab bin Mu'adz menuju benteng Zubair yang merupakan benteng sangat kokoh dan tinggi. [40]
Benteng ini juga dikepung selama 3 hari. Hingga seorang Yahudi menemui Rasulullah saw untuk meminta perlindungan dan bersedia menunjukkan jalan untuk menguasai benteng. Setelah bertempur hebat, kaum muslimin berhasil menaklukkan benteng terakhir yang ada di Nuthat. [41]
Ketenangan Kaum Muslimin dan Perpindahan Pangkalan
Penduduk Nuthat merupakan Yahudi paling berani di Khaibar. Setelah menaklukkan benteng Nuthat, pihak Islam lebih merasa tenang dalam menghadapi peperangan dan gerilya dari pihak Yahudi. Rasulullah saw memerintahkan untuk memindahkan pangkalan militer yang ada di Raji' ke tempat semula yaitu Manzilah.
Setelah itu rombongan berangkat ke benteng Syaqq yang memiliki beberapa lapis benteng. Setelah melalui pertempuran yang berat, pihak Islam berhasil menaklukkan benteng Sumran dan disusul benteng Nizar serta menawan penghuninya. [42]
Permohonan Damai dari Pihak Yahudi
Benteng Nizar adalah tempat terakhir berlangsungnya pertempuran di Khaibar. Begitu benteng ini dikuasai pihak Islam, semua pengungsi Yahudi yang berasal dari benteng Nuthat dan Syaqq kembali melarikan diri ke benteng lainnya, di antaranya ke benteng Qamush, Wathih, dan Salalim. Mereka menutup seluruh gerbang yang ada.
Melihat itu Rasulullah saw memutuskan untuk menggunakan ketapel besar. Setelah terkepung selama 14 hari, akhirnya pihak Yahudi merasa putus harapan. Mereka mengajukan perdamaian kepada Rasulullah saw.
Kinanah bin Abi Huqaiq, pimpinan benteng Salalim, meski sangat mahir memanah, dia memerintahkan anak buahnya untuk tidak membidikkan anak panah. Sejenak kemudian dia bersama beberapa orang Yahudi dari benteng Kutaibah (yang berjumlah lebih dari 2000 orang termasuk anak-anak dan wanita) mengadakan perdamaian dengan Rasulullah saw. Rasulullah saw menerimanya dan menjamin keselamatan mereka, sedangkan mereka menyerahkan harta, emas, perak dan baju perang mereka kepada pihak Nabi saw. Wathih dan Salalim adalah benteng Khaibar terakhir yang berhasil ditaklukkan.
Isi Perjanjian Damai
Dalam kesepakatan perjanjian damai antara kedua belah pihak ditetapkan, para prajurit Yahudi yang ada di dalam benteng akan dibiarkan selamat. Mereka bersama istri dan anak-anak harus meninggalkan wilayah Khaibar dan menyerahkan harta, tanah, senjata, baju dan peralatan perang kepada Rasulullah saw. [43]
Penemuan Harta Karun
Ketika Rasulullah saw menemukan harta dan perhiasan yang disembunyikan Kinanah dan saudaranya di benteng Kutaibah, mereka mengakuinya. Beliau lalu memberikan harta itu kepada dua orang Islam sebagai dana Kisas atas terbunuhnya keluarga mereka. Di samping itu, karena pihak Yahudi tadi mengkhianati perjanjian, sesuai kesepakatan, maka harta mereka akan disita. Adapun istri dan anak-anak mereka akan ditawan. [44]
Durasi Perang Khaibar
Tidak seperti yang dibayangkan, Yahudi Khaibar akhirnya berhasil dikalahkan dan menyerah kepada Rasulullah saw. Ini merupakan kekalahan kedua bagi pihak Yahudi [45] setelah mengalami pertempuran dan pengepungan kurang lebih sebulan.[46] Karenanya, tahun ke-7 H/628 dinamakan tahun al-Istighlab (kemenangan). [47]
Rasulullah saw dan Para Sahabatnya Diracun
Sebagian pendapat menyebutkan, setelah penaklukkan Khaibar, Zainab binti Harits (istri Sallam bin Misykam, tokoh Yahudi) ingin membalas dendam kepada Rasulullah saw dan muslimin atas terbunuhnya ayah, paman dan suaminya. Dia berpura-pura baik dengan memberikan hadiah daging (beracun) kepada Rasulullah saw.
Beliau dan sebagian sahabatnya, di antarnya Basyar bin Barra', sempat makan beberapa suap daging itu. Tiba-tiba Rasulullah saw menyuruh mereka menghentikan makan. Basyar meninggal keracunan pada saat itu juga (atau setahun kemudian). Sedangkan Rasulullah saw akhirnya meninggal karena daging beracun tersebut.[48]
Jumlah Yang Terbunuh
Dalam pertempuran Khaibar di pihak Islam ada 15 atau 18 orang yang mati syahid. Sedangkan di pihak Yahudi 93 orang yang terbunuh. [49]
Penambahan Kekuatan Militer Islam
Kemenangan pihak Rasulullah saw di Khaibar otomatis menambah kekuatan Islam di segi militer dan pendanaan. Hal itu sekaligus melemahkan kekuatan kafir Quraisy dan sekutunya. [50]
Rampasan Perang
Rasulullah saw menugaskan Farwah bin Amr al-Bayadhi untuk menjaga harta rampasan perang (ghanimah) Khaibar yang didapat dari benteng Syaq, Nuthat dan Kutaibah. Beliau berpesan, sekalipun jika ada yang mengambil benang dan jarum harus segera mengembalikannya. Rasulullah saw membagi ghanimah itu menjadi lima bagian. Satu bagian (Allah swt yang disebut Khumus) beliau sisihkan untuk diberikan kepada istri-istri beliau, Ahlulbait (Ali as dan Fatimah sa), anak keturunan Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdu Manaf, keturunan Muthallib bin Abdu Manaf, sebagian sahabat, anak-anak yatim dan fakir miskin.
Sementara empat bagian lainnya beliau jual.[51] Sedangkan harta yang diperoleh dari Khaibar daerah lain, seperti dari Wathih dan Salalim, karena diperoleh tanpa terjadi pertempuran (Fai'), khusus dimiliki Rasulullah saw. [52]
Pihak Penerima Ghanimah
Setelah memisahkan hak Allah swt dari Harta rampasan dari perang di Khaibar (ghanimah), Rasulullah saw bagikan sisa harta itu kapada orang-orang yang dulu ikut serta dalam Peristiwa Hudaibiyah, baik yang kemudian ikut dalam perang Khaibar atau tidak.[53]
Namun menurut pandangan Waqidi,[54] pendapat yang paling tepat adalah Rasulullah saw memberikan hak kepada sekelompok orang yang andil dalam perang Khaibar meskipun sebelumnya mereka tidak ikut dalam perang Hudaibiyah. Mereka juga mendapat hak dari hasil penjualan barang-barang rampasan.
Jumlah seluruh saham ada 1800, lalu dibagi lagi menjadi 18 bagian, dan tiap sahamnya dikelola oleh petugas. [55]
Setelah seluruh Khaibar berhasil ditaklukkan, sekelompok orang dari kabilah Daus bersama Abu Hurairah dan Thufail bin Amr dan sejumlah orang dari Kabilah Asyja' datang ke Khaibar. Rasulullah saw juga memberikan bagian kepada mereka.[56] Selain itu Rasulullah saw juga memberikan hak kepada orang-orang Yahudi, budak, dan para wanita yang ikut mendukung beliau di perang Khaibar. [57]
Permohonan Yahudi untuk Bertani di Khaibar
Setelah penaklukan Khaibar, Yahudi Khaibar memohon pada Rasulullah saw supaya tetap mengijinkan mereka untuk bertani kurma di tanah Khaibar. Rasul saw mengijinkannya, namun mereka harus menyerahkan setengah dari hasil pertanian Khaibar. Dengan terbentuknya kesepakatan itu Rasulullah saw berjanji akan menjamin keselamatan harta, tanah dan jiwa meraka.[58]
Pernikahan Rasulullah saw dengan Shafiah
Di Khaibar atau di perjalanan pulang dari Khaibar ke Madinah, tepatnya di daerah bernama Shahba', Rasulullah saw mengajak Shafiyah binti Huyay bin Akhtab (salah seorang tawanan) untuk memeluk Islam. Shafiyah bersedia memeluk Islam. Rasulullah saw pun memerdekannya dan menikahinnya. [59]
Tafsir Sebagian Ayat Tentang Perang Khaibar
Dikatakan bahwa kabar gembira bagi kaum muslimin yang terdapat dalam ayat yang berbunyi "…kemenangan yang dekat"[60], maksudnya adalah penaklukan Khaibar beserta harta rampasannya yang banyak. [61] Sebagian mufasir juga meyakini bahwa maksud ayat 1-15 surah Al-Fath dan ayat "…dan (begitu pula) tanah yang belum pernah kamu injak". [62] adalah perang Khaibar.[63]
Pengasingan Yahudi Khaibar di Zaman Khalifah Kedua
Di masa Khalifah Kedua, Yahudi Khaibar terlibat dalam pembunuhan seorang muslim. Terlebih lagi, dengan berdalil pada hadis yang katanya dari Rasulullah saw yang isinya, “di Jazirah Arab tidak akan berkumpul dua agama”, Umar mengusir dan mengasingkan Yahudi Hijaz ke Syam, termasuk penduduk Khaibar. Tanah dan perkebunan kurma di sana kembali dibagi-bagi.[64] Sebagian Yahudi Khaibar memilih menuju ke Irak dan Mesir. [65]
Syair Tentang Penaklukan Khaibar
Setelah Khaibar berhasil ditaklukkan, para penyair, di antaranya Hassan bin Tsabit, membuat syair tentang peristiwa tersebut.[66] Syair Hassan bin Tsabit tentang Imam Ali as di Khaibar[67]:
و كان علىّ أرمد العين يبتغى دواء فلمّا لم يحسّ مداويا
شفاه رسول اللّه منه بتفلة فبورك مرقيّا و بورك راقيا
و قال سأعطى الرّاية اليوم صارما كميّا محبّا للإله مواليا
يحبّ إلهى و الإله يحبّه به يفتح اللّه الحصون الأوابيا
فاصفى بِها دون البرية لها علياً وَ سمَّاهُ الوزِيرَ المؤَاخيا
Terjemahan Syair:
Saat itu Ali sedang sakit mata... Dia mencari obat untuk kesembuhannya namun tak menemukan...
Rasulullah saw pun mengobatinya dengan ludahnya... Selamat untuk sosok yang telah disembuhkan dan yang menyembuhkan...
(Rasulullah saw) bersabda: Hari ini akan kuserahkan panji pada seorang pemberani pecinta Allah...
Dia mencintai Tuhanku dan Tuhanku pun mencintainya... Allah swt akan menaklukkan benteng-benteng kukuh lewat perantaranya...
Sebab itu dia memilihnya dibanding manusia lain... Dia menyebutnya Wazir dan Saudaranya...
Catatan Kaki
- ↑ Baladi, hlm. 170-171. Hafiz Wahbah, hlm. 21. Harbi, hlm. 413.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 441-442. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 201, 225. Baladzuri, jld. 1, hlm. 409. Shalah Tijani, 56-57, 92.
- ↑ Shalah Tijani, hlm. 93-94.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 526-563. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 286-288.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 566-568. Ibnu Hisyam, jld. 4, hlm. 266-267. Ibnu Sa'ad, jld. 2, hlm. 92. Watt, hlm. 212, 213.
- ↑ Watt, hlm. 216-218.
- ↑ Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 243, 553. Ibnu Habib, hlm. 115.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 636-637. Sebagian referensi menyebutkan nama lain. Di antaranya, Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 342: Namilah bin Abdullah Laitsi; Ibnu Habib, hlm. 127: Abu Rahm Ghafari Kulsum bin Hashin
- ↑ Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 243, 553. Waqidi, jld. 2, hlm. 649. Ibnu Sa'ad, jld. 2, hlm. 106. Amuli, jld. 17, hlm. 153-154.
- ↑ Ibnu Atsir, jld. 3, hlm. 45.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 689.
- ↑ Ibnu Zanjawaih, jld. 1, hlm. 190.
- ↑ Baladzuri, hlm. 28.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 685-687. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 357.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 684-685.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 634, 640.
- ↑ Ya'qubi, jld. 2, hlm. 56.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 634, 637, 640-641, 701-703.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 639-640. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 344.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 640-642.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 650. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 344.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 650-652.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 637-638.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 637; Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 343-344; Bakri, jld. 2, hlm. 522.
- ↑ Ibnu Abi Syaibah, jld. 8, hlm. 526.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 643-645. Amuli, jld. 17, hlm. 139-141.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 644-648.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 648-649, 652-654. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 349. Biladhuri, jld. 2, hm. 86, 92-93. Ibnu Hazm, hlm. 213.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 654.
- ↑ Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 348. Khalifah bin Khayath, hlm. 38.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 655-656.
- ↑ Ahmad bin Hanbal, jld. 4, hlm. 52. Muslim bin Hajjaj, jld. 5, hlm. 194-195. Thabari, Tarikh, jld. 3, hlm. 12-13. Mufid, jld. 2, hlm. 12-13. Mufid, jld. 2, hlm. 126-127. Shalihi Syami, jld. 5, hlm. 126-127.
- ↑ Nuruddin Halabi, jld. 3, hlm. 55.
- ↑ Ya'qubi, jld. 2, hlm. 56. Bakri, jld. 2, hlm. 522.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 655. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 349-350. Muqaddasi, hlm. 83.
- ↑ Muqrizi, jld. 1, hlm. 310.
- ↑ Mufid, jld. 2, hlm. 128-129. Baihaqi, jld. 4, hlm. 212. Ibnu Syahrasyub, jld. 2, hlm. 78, 125-128. Amuli, jld. 18, hlm. 7-27.
- ↑ Ibnu Babawaih, jld. 2, hlm. 369. Mufid, jld. 1, hlm. 124. Amuli, jld. 18, hlm. 29-34.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 564, 657-658.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 662. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 345-346.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 2, hlm. 666-667.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 648, 668.
- ↑ Waqidi, jld.2, hlm. 669-671. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 347, 351-352. Baladzuri, jld. 1, hlm. 421.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 671-673. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 351. Baladzuri, hlm. 23-24.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 2, hlm. 676.
- ↑ Baladzuri, hlm. 23. Mufid, jld. 1, hlm. 125.
- ↑ Mas'udi, hlm. 256.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 2, hlm. 677-678. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 352-353. Baladzuri, jld. 1, hlm. 639. Ya'qubi, jld. 2, hlm. 56-57.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 700. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 357-358. Ibnu Sa'ad, jld. 2, hlm. 107.
- ↑ Shalah Tijani, hlm. 60-61, 94.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 680-682, 690, 693-696. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 363, 365-366. Ibnu Sa'ad, jld. 2, hlm. 107-108. Ibnu Zanjawiah, jld. 1, hlm. 187.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 670-671. Ibnu Farra', hlm. 200-201. Sahmudi, jld. 4, hlm. 1209-1210. Shalihi Syami, jld. 5, hlm. 143.
- ↑ San'ani, jld. 5, hlm. 372. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 364.
- ↑ Waqidi. jld. 2, hlm. 684.
- ↑ Abu Yusuf, hlm. 23. Waqidi, jld. 2, hlm. 689. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 364. Ibnu Adam, hlm. 37-39. Ibnu Zanjawaih, jld. 1, hlm. 188-190. Baladzuri, hlm. 26-28 (tentang pembagian hak dan kelompok kaum muslimin). Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 364-365. Baladzuri, jld. 2, hlm. 689-690 (tentang sikap Abu Bakar, Umar dan Utsman menyangkut hak waris bagian ghanimah). Waqidi, jld. 2, hlm. 697-699.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 683. Amuli, jld. 18, hlm. 95-98.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 684-687. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 356-357.
- ↑ Abu Yusuf, hlm. 50-51. Shan'ani, jld. 8, hlm. 99. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 352, 371. Abu Ubaid, hlm. 97-98. Ibnu Zanjawaih, jld. 3, hlm. 1066-1068.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 673-675, 707-708. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 354.
- ↑ QS. Al-Fath: 18
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 684. Shan'ani, jld. 5, hlm. 372. Baladzuri, jld. 1, hlm. 254.
- ↑ QS. Al-Ahzab: 27.
- ↑ Ibnu Abi Syaibah, jld. 8, hlm. 519. Thabari, Jami', tentang ayat ini.
- ↑ Abu Yusuf, hlm. 89. Waqidi, jld. 2, hlm. 654, 695-699. Yusuf, hlm. 89. Waqidi, jld. 2, hlm. 654, 695-699, 716-721. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 371-372. Baladzuri, hlm. 23-26.
- ↑ Jawad Ali, jld. 6, hlm. 525.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 701. Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 355-356.
- ↑ Mufid, al-Irsyad fi Ma'rifah Hujajillah 'ala al-'Ibad, hlm. 70.
Daftar Pustaka
- Muhammad Ibrahim Ayati. Tārikh-e Payambar-e Islam. Teheran: cet. Abul Qasim Garji, 1366 HS.
- Ibnu Adam. Kitab al-Kharaj. Kairo: cet. Ahmad Muhammad Syakir, tanpa tahun.
- Ibnu Abi Syaibah. Al-Mushannif fi al-Ahādits wa al-Ātsār. Bairut: cet. Said Liham, 1409 H/1989.
- Ibnu Babawaih. Kitab al-Khishāl. Qom: cet. Ali Akbar Ghifari, 1362 HS.
- Ibnu Haik. Shifatu Jazirah al-Arab. Bagdad: cet. Muhammad bin Ali Akwa', 1989.
- Ibnu Habib. Kitab al-Muhabbar. Hyderabad Dekkan: cet. Elza Lekhten Shtiter, 1361 H/1942. Beirut: cet. Offset, tanpa tahun.
- Ibnu Hazm. Jamharah Ansāb al-Arab. Beirut: 1403 H/1983.
- Ibnu Khurdadzbih.
- Ibnu Zanjawaih. Kitab al-Amwāl. Riyadh: cet. Syakir Dzaib Fayyadh, 1406 H/1986.
- Ibnu Sa'ad, Beirut.
- Ibnu Syahrasyub. Manāqib Āli Abi Thalib. Najaf: 1956.
- Ibnu Farra'. Al-Ahkām as-SulthāniahBeirut: cet. Muhammad Hamid Faqi, 1408 H/1988.
- Ibnu Hisyam. As-Sirah an-Nabawiyah.Kairo: cet. Musthafa Saqa, Ibrahim Abyari dan Abdul Hafidh Syalabi, 1355 H/1936.
- Abu Raihan Biruni. Al-Ātsār al-Bāqiyah.
- Qasim bin Salam Abu Ubaid. Kitab al-Amwāl. Beirut: cet. Muhammad Khalil Haras, 1408 H/1988.
- Ya'qub bin Ibrahim Abu Yusuf. Kitab al-Kharaj. Beirut: 1399 H/1979.
- Ahmad bin Hanbal. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal. Beirut: Daru Shadir, tanpa tahun.
- Abdullah bin Abdul Aziz Bakri. Mu'jam Ma Ustu'jima min Asmā al-Bilād wa al-Mawādhi'. Beirut: cet. Musthafa Saqa, 1403 H/1983.
- Atiq Baladi. Mu'jam al-Ma'ālim al-Jughrafiyah fi as-Sirah an-Nabawiyah. Mekkah: 1402 H/1982.
- Atiq Baladi. Mu'jam al-Ma'ālim al-Hijaz. Mekah: 1398-1402 H/1978-1982.
- Ahmad bin Yahya Baladzuri. Ansāb al-Asyrāf. Damaskus: cet. Muhammad Firdaus 'Adhmu, 1966.
- Ahmad bin Yahya Baladzuri. Kitab Futuh al-Buldān. Leiden: cet. Dakhwaih, 1866. Frankfurt: Cet. Offset, 1413 H/1992.
- Ahmad bin Husain Baihaqi. Dalāil an-Nubuwwah. Beirut: cet. Abdul Mu'thi, 1405 H/1985.
- Jawad Ali. Al-Mufashshal fi Tārikh al-Arab Qabla al-Islam. Bairut: 1976-1978.
- Muhammad bin Musa Hazimi Hamedani. Al-Amākin aw Ma Ittafaqa Lafdhuhu wa Iftaraqa Musammahu min al-Amkinah. Riyadh: cet. Muhammad Jasir, tanpa tahun.
- Hafidh Wahbah. Jazirah al-Arab fi al-Qarn al-'Isyrin. Kairo: 1375 H/1956.
- Ibrahim bin Ishaq. Kitab al-Manāsik wa Amākin Thuruq al-Hajj wa Ma'ālim al-Jazirah. Riyadh: cet. Muhammad Jasir, 1401 H/1981.
- Khalifah bin Khayyath. Tārikh Khalifah bin Khayyath. Beirut: cet. Musthafa Najib Fawaz dan Hikmat Kasyali Fawaz, 1415 H/1995.
- Salam Syafi'i Mahmud. Hushun Khaibar fi al-Jahiliyah wa 'Ashr ar-Rasul (saw). Iskandariah: 1409 H/1989.
- Ali bin Abdullah Sahmudi. Wafa al-Wafa bi-Akhbār Dār al-Musthafa. Beirut: cet. Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, 1404 H/1984.
- Muhammad bin Yusuf Shalihi Syami. Subul al-Huda wa al-Rasyād fi Sirah Khair al-'Ibād. Beirut: cet. Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Muawadh, 1414 H/1993.
- Shalah Tijani. At-Tartibāt al-Māliyah fi Tārikh Ghazwah Khaibar: Bawā'itsuha wa Natāijuha. Majalah al-Muwarrikh al-Arabi, jld. 1, Maret 1997.
- Abdurrazzaq bin Hammam Shan'ani. Al-Mushannif. Beirut: cet. Habiburrahman A'dhami, 1403 h/1983.
- Thabari. Tarikh. Bairut.
- Muhammad Hasan Thusi. Mishbāh al-Mutahajid. Beirut: 1411 H/1991.
- Ja'far Murtadha Amuli. Ash-Shahih min Sirah an-Nabi al-A'dham saw. Qom: 1385 HS.
- Harry st. John Bridger Philby. Ardh al-Anbiya: Madāin Shalih. Dialihkan ke bahasa Arab oleh Umar Disrawi. Bairut: 1962.
- Zakaria bin Muhammad Qazwini. Ātsār al-Bilād wa Akhbār al-'Ibād. Beirut: 1404 H/1984.
- Ahmad bin Ali. Nihāyah al-Arab fi Ma'rifah Ansāb al-Arab. Beirut: 1405 H/1984.
- Mujmal al-Tawārikh wa al-Qishash. Teheran, cet. Muhammad Taqi Bahar, Kalalah Khawar, 1318 HS.
- Mas'udi. At-Tanbih.
- Muslim bin Hajjaj. Al-Jāmi' ash-Shahih. Beirut: Darul Fikr, tanpa tahun.
- Mufid, Muhammad bin Muhammad. Al-Irsyād fi Ma'rifah Hujajillah 'ala al-'Ibād. Penerjemah: Amir Khan Buluki, Tadhib. Qom: 1388 HS.
- Mufid, Muhammad bin Muhammad. Al-Irsyād fi Ma'rifah Hujajillah 'ala al-'Ibād. Penerjemah: Rasuli Mahalati. Teheran: cet. Islamiah, tanpa tahun.
- Muqaddasi.
- Ahmad bin Ali Maqrizi. Amtā' al-Asmā' bima li an-Nabi saw min al-Ahwāl wa al-Amwāl wa al-Hafadah al-Mata’. Beirut: cet. Muhammad Aabdul Hamid, 1420 H/1999.
- Ali bin Ibrahim Nuruddin Halabi. As-Sirah al-Halabiyah. Beirut: cet. Abdullah Muhammad Khalili, 1422 H/2002.
- Muhammad bin Umar Waqidi. Kitab al-Maghāzi. London: cet. Marsden Jones, 1966. Kairo: cetakan Offset, tanpa tahun.
- Yaqut Hamawi.
- Ya'qubi. Tarikh.
- William Montgomery Watt. Muhammad at Madina. Karachi: 1981.