Khotbah Qashiah

Prioritas: a, Kualitas: b
Dari wikishia


Khotbah Qâshi'ah (bahasa Arab:الخطبة القاصعة) adalah khotbah Nahjul Balaghah yang terpanjang dan di dalamnya terdapat kutukan terhadap kefanatikan dan sikap mementingkan diri sendiri. Khotbah ini disampaikan di akhir pemerintahan Imam Ali as di Kufah, yang mengandung muatan moral dan sosial untuk menghindarkan masyarakat dari fanatisme yang tidak semestinya dilakukan dan perselisihan di antara kabilah.

Ali bin Abi Thalib as dalam khotbahnya membahas larangan fanatisme negatif dan memperkenalkan Iblis sebagai makhluk pertama yang mengungkapkan fanatisme kesukuan dan ras. Dalam khotbah Qâshi’ah, persatuan di antara umat adalah hal yang dipuji dan juga pentingnya mencapai kemuliaan martabat dan upaya untuk mengalahkan musuh, serta menghindari perpecahan dan perselisihan.

Terjemahan dan deskripsi khotbah ini telah diterbitkan secara terpisah dari buku Nahjul Balaghah itu sendiri. Penomoran khotbah ini berbeda-beda dalam beberapa versi dari buku Nahjul Balaghah.

Informasi Umum

Nomor Khotbah dalam beberapa Salinan Nahjul Balaghah

Nomor Khotbah[1] Nama Salinan
192 Al-Mu’jam Al-Mufahrest Wa Shubhi Shâlih
234 Faidh al-Islâm Wa Ibnu Maitsam Bahrâni
191 Syarhu Khu’i Wa Mula Shâlih Mâzandarâni
185 Syeikh Muhammad ‘Abduh
273 Mula Fathullah kâsyâni
238 Syarhu Ibni Abi Al-Hadîd
190 Fi Dzilâl Nahj Al-Balâghah (Muhammad Jawâd Mughniah)

Menurut para pemberi syarah kitab Nahjul Balaghah, khotbah Qâshi’ah merupakan khotbah Imam Ali as yang terpanjang. Khotbah ini mengandung nasihat dan larangan; Di antaranya adalah larangan bersikap sombong dan fanatisme yang marak di kalangan pemuda Kufah pada masa itu.[2] Diceritakan juga bahwa Imam Ali as sedang menunggangi onta, ketika menyampaikan khotbah ini.[3]

Susunan khotbah Qâshi’ah berbeda-beda dengan apa yang di tulis dalam berbagai buku Nahjul Balaghah; Dalam Nahjul Balaghah versi Syeikh Muhammad Abduh, khotbah tersebut bernomor 185, di dalam Syarah Muhammad Jawad Mughniah bernomor 190, Syarah Sayid Abul Qasim Khui dan Mullasalih Mazandarani bernomor 191, Al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfâdz Nahj Al- Balâghah dan salinan versi Subhi Shâlih bernomor 192, Nahj al-Balâghah karya Faidz al-Islam dan Ibnu Maitsam Bahrâni bernomor 234, Syarah Ibnu Abi al-Hadid bernomor 238, dan Syarah Mula Fathullah Kâshâni, khotbah tersebut bernomor 273.[4]

Alasan Pemberian Nama Qâshi'ah

Para penyusun syarah Nahjul Balaghah telah menyebutkan beberapa alasan penamaan khotbah ini; Ibnu Maitsam Bahrâni dan Qutbuddin Rawandi diantara mereka yang pernah mengatakan sebagai berikut:

  1. Qash’un bermakna tempat makanan di dalam lambung pertama (dikenal dengan rumen) unta. Ketika seekor unta mengunyah makanannya, ia memasukkan makanan itu ke dalam rumen lalu mengeluarkan kembali ke mulutnya, kemudian mengunyahnya dan menelannya kembali. Khotbah ini disebut juga Qash’un karena nasehat dan larangannya diulang-ulang dari awal sampai akhir.
  2. Qash’un juga digunakan dalam arti membunuh dan menghancurkan, dan khotbah Qash’un berarti pembunuh dan penghancur Iblis.
  3. Salah satu makna dari Qash’un adalah kehinaan dan kerendahan, dan khotbah ini merendahkan dan menghinakan orang-orang yang sombong.[5]

Alasan Penyampaian Khotbah

Menurut yang disebutkan dalam Syarhu Nahj al-Balâghah oleh Ibnu Abi al-Hadid dan Ibnu Maitsam Bahrâni, serta Nashir Makarim Syirazi dalam kitabnya Payâm Imam Amirulmukmenin, khotbah Qâshi’ah disampaikan di akhir-akhir kekhilafahan Imam Ali as. Alasan disampaikannya khotbah tersebut adalah karena di antara suku-suku di Kufah, hanya karena kesalahpahaman mereka, terjadi perselisihan dan konflik. Mereka saling berselisih dan menumpahkan darah satu sama lain. Imam Ali as, sambil menunggangi unta betina, pergi menemui masyarakat Kufah dan berdakwah kepada mereka dengan khotbah tersebut.[6]

Kandungan Khotbah

Khotbah Qâshi’ah memiliki kandungan yang unik khususnya dalam permasalahan sosial, teologis dan moral; Di antaranya adanya larangan terhadap fanatisme negatif, nasehat untuk bersikap rendah hati, serta memberikan nasihat mengenai fanatik positif, pujian terhadap persatuan dan larangan pada terjadinya perselisihan dan perpecahan, serta menguji hamba dengan ibadah supaya mereka jauh dari kesombongan dan sikap membanggakan diri.

Fanatik Positif dan Negatif

  • Penolakan terhadap fanatisme: Menurut Ibnu Maitsam Bahrâni, dalam khotbah ini, Imam Ali as memerintahkan para pendengarnya untuk mengambil hikmah dan pelajaran dari akibat sikap Iblis yang karena kesombongan dan kefanatikannya telah membatalkan amalan kebaikannya yang dilakukannya sejak lama.[7] Husain Ali Muntazeri menuliskan komentar, bahwa dalam khotbah ini, Iblis diperkenalkan sebagai makhluk pertama yang mengungkapkan fanatisme kesukuan dan ras, dan dengan demikian, khotbah ini berisikan peringatan, supaya orang-orang takut dari upaya mengikuti jalan Setan.[8]
  • Pujian terhadap sikap rendah hati: Imam Ali as mengatakan dalam khotbah ini bahwa Tuhan menguji manusia dengan berbagai kesulitan untuk membangun kerendahan hati di dalam hati mereka, dan hasilnya dapat menjadi pembuka pintu dan jalan untuk pengampunan manusia.[9] Alasannya. Menurut Husain Ali Montazeri, Tuhan tidak menginginkan semangat egoisme dan kesombongan dalam diri setiap hambanya. [10]
  • Sisi positif fanatisme: menurut Ali Naqi Faidzul Islam, Imam Ali as, setelah mengutuk dan menolak bentuk kefanatikan, akan tetapi di sisi lain, Imam as menjelaskan mengenai fanatik dalam hal-hal yang positif dan bermanfaat; di antaranya fanatik dalam bertoleransi, menunaikan hak sesama, menepati janji, menaati orang baik, tidak menaati penindas, belajar ihsan (berbuat baik) dan meninggalkan kezaliman, menghindari pertumpahan darah, berlaku adil dan bijak terhadap hak setiap manusia, meredam amarah, dan menghindari kerusakan di muka bumi.[11]

Persatuan dan Perpecahan

  • Memuji persatuan: Dalam khotbah Qâshi’ah disebutkan tentang pentingnya mencapai harkat dan martabat serta kemuliaan, mengalahkan musuh, menjaga kesehatan, keberkahan dan kehormatan: menghindari persengketaan dan perpecahan, menekankan persatuan dan kesatuan, dan mendorong orang lain untuk melakukan hal tersebut.[12] Ibnu Maitsam Bahrâni mengatakan bahwa Imam Ali as telah mengajarkan pada persatuan dan kesatuan di dalam agama sebagai penyebab kebahagiaan dunia dan akhirat.[13]
  • Faktor-faktor perselisihan dan perpecahan: Berdasarkan khotbah Qâshi’ah, kita harus belajar dari bangsa-bangsa di masa lalu, bagaimana perpecahan menjadi penyebab kemunduran dan kepunahan mereka. Dalam kaitan ini, sebab-sebab perpecahan telah dikemukakan sebagai berikut: saling menyimpan dendam di dalam hati, menanam benih kemunafikan di dalam dada, saling memecah belah dan berhenti saling membantu.[14]

Menguji Hamba dengan Ibadah

Beberapa pokok teologis khotbah Qâshi’ah adalah sebagai berikut: Allah swt, karena kesombongan dan keangkuhan hamba-hamba-Nya, menguji mereka dengan hal-hal yang tidak mereka ketahui.[15] Selain itu, alasan kemiskinan para nabi adalah bahwa jika para nabi Allah swt itu adalah orang-orang yang kaya dan berkuasa dan semua orang harus otomatis atau terpaksa mengagungkan dan menghormati mereka, maka ujian itu akan tidak bernilai dan pahala akan kosong, serta akan besar kemungkinannya bahwa amalan yang mereka perbuat tidak dilandasi dengan keikhlasan[16] demikian pula, jika Kakbah berada di tengah taman yang penuh dengan buah-buahan, bukannya di tengah gurun tanpa air dan rumput, maka pahala mengunjunginya akan kecil dan ujiannya tidak berarti.[17]

Berdasarkan apa yang disampaikan dalam khotbah tentang hikmah ibadah adalah karena kesombongan telah banyak merasuki hati setiap manusia, maka disyariatkan kepada mereka ibadah seperti salat, zakat, dan puasa,  supaya manusia memiliki sikap rendah hati dan hilangnya keangkuhan.[18]

Pendidikan Nabi saw dan Imam Ali as

Dalam khotbah ini, Imam Ali menggambarkan bagaimana Nabi saw dididik dan mengatakan bahwa ketika Nabi saw disapih, Allah Swt memerintahkan malaikat terbesar dari para malaikat-Nya untuk menemaninya siang dan malamm agar mengajarinya akhlak yang terpuji. [19] Imam Ali as juga menjelaskan bagaimana Imam as berada di bawah bimbingan dan tarbiah Nabi saw dan bagaimana dirinya menjadi orang ketiga yang beriman kepada Islam, setelah Nabi dan istrinya.[20]

Menurut Ibnu Maitsam Bahrâni, dari khotbah Imam Ali as ini dapat diperoleh beberapa hal penting, seperti kedekatannya dengan Nabi saw,[21] dan kedudukan istimewanya di sisi Nabi saw;[22] juga, ketaatan Imam Ali as terhadap Nabi.[23]

Mukjizat Pohon yang Bergerak

Dalam khotbah Qâshi’ah disebutkan salah satu mukjizat Nabi saw atas permintaan para pembesar Quraisy. Menurutnya, Nabi saw setelah ramalan tentang perang Badar[24] dan Khandaq[25] menyuruh sebuah pohon untuk mencabut akarnya dan pergi kepadanya. Namun, walaupun dengan mukjizat ini pun, kaum Quraisy tidak beriman kepada Nabi saw.[26]

Sumber-sumber Khotbah lainnya

Menurut penulis kitab Mashâdir Nahj al-Balâghah, sebelum Sayid Radhi, sebagian ulama memasukkan khotbah ini ke dalam kitab mereka; Diantaranya, Sayid Ibnu Thawus, dalam kitab Al-Yaqîn, Kulaini dalam al-Kafi (bagian khotbah), dan Syekh Shaduq dalam kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih (bagian khotbah).[27] Diantara ulama Ahlusunah seperti Zamakhsyari di dalam jilid pertama kitan Rabî’ al-Abrâr, dan Mâwardi di dalam kitabnya A’lâm an-Nubuwwah telah menuliskan sebagian khutbah tersebut.[28]

Terjemahan dan Syarah

Khotbah Qâshi’ah, selain terdapat dalam terjemahan menyeluruh dalam kitab Nahj al-Balâghah, juga mempunyai terjemahan secara terpisah dari kitab tersebut, seperti buku Riwâyâti az sargozasht e insân dar hamâwardi ba Iblis (Narasi sejarah manusia dan perselisihan dengan Iblis); Terjemahan Khotbah Qâshi’ah, penerjemah: Kelompok Penerjemah Yayasan Nahj al-Balâghah.[29]

Berikut adalah beberapa diantara syarah khotbah Qâshi’ah:

  1. Dars Ha e Az Nahjul Balâgheh (Hikmah dari Nahj al-Balâghah); pemberi syarah atas khotbah Qâshi’ah  adalah Husein Ali Montazeri.[30]
  2. Syarh e khotbah Qasea oleh Mulla Abdul Karim bin Muhammad Yahya Qazvini, salah satu ulama abad kesebelas dan kedua belas.[31]
  3. Istekbâr Dar Negah Imâm Ali (Kesombongan di mata Imam Ali as); Terjemahan dan refleksi khotbah Qâshi’ah, yang disusun oleh Yadullah Ehsâni.[32]
  4. Syarhi Bar Khotbah Qasea Hazrat Ali as (Sebuah komentar tentang khotbah Qâshi’ah Imam Ali as); Solusi komprehensif dalam persatuan dan keserasian Islam serta mengatasi musuh di dalam dan di luar, Gholam Mossein Kumaili.[33]

Catatan Kaki

  1. Muhammadī & Dasyti, al-Mu‘jam al-Mufahras li-Alfāz Nahj al-Balāghah, hlm. 512.
  2. Ibn Maitsam, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 4, hlm. 235-236; al-Husainī al-Khatīb, Masādir Nahj al-Balāghah, jld. 3, hlm. 56-57.
  3. al-Husainī al-Khatīb, Mashādir Nahj al-Balāghah, jld. 3, hlm. 57.
  4. Muhammadī & Dasyti, al-Mu‘jam al-Mufahras li-Alfāz Nahj al-Balāghah, hlm. 512.
  5. Rāwandī, Minhāj al-Barā‘ah fī Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 2, hlm. 227; Ibn Maitsam, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 4, hlm. 234.
  6. Ibn Abī al-Hadīd, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 13, hlm. 167-168; Ibn Maitsam, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 4, hlm. 233-234; Makārim Syīrāzī, Payām-e Imām Amīr al-Mu’minīn, jld. 7, hlm. 352.
  7. Ibn Maitsam, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 4, hlm. 241.
  8. Muntazeri, Darshā-i Az Nahj al-Balāghah... Majalah Pāsdār-e Eslām. No. 84, hlm. 17.
  9. Nahj al-Balāghah, penerjemah: Ja‘far Syahīdī, hlm. 216.
  10. Muntazeri, Darshā-i Az Nahj al-Balāghah... Majalah Pāsdār-e Eslām. No. 84, hlm. 29.
  11. Faidh al-Islām, Terj. wa Syarh Nahj al-Balāghah, Khutbah 234, jld. 4, hlm. 801.
  12. Makārim Syīrāzī, Payām-e Imām Amīr al-Mu’minīn, jld. 7, hlm. 455 wa 462.
  13. Ibn Maitsam, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 4, hlm. 302.
  14. Nahj al-Balāghah, penerjemah: Ja‘far Syahīdī, hlm. 218; Makārim Syīrāzī, Payām-e Imām Amīr al-Mu’minīn, jld. 7, hlm. 456.
  15. Nahj al-Balāghah, penerjemah: Ja‘far Syahīdī, hlm. 211; Makārim Syīrāzī, Payām-e Imām Amīr al-Mu’minīn, jld. 7, hlm. 436-438.
  16. Nahj al-Balāghah, penerjemah: Ja‘far Syahīdī, hlm. 215.
  17. Nahj al-Balāghah, penerjemah: Ja‘far Syahīdī, hlm. 216.
  18. Nahj al-Balāghah, penerjemah: Ja‘far Syahīdī, hlm. 217.
  19. Nahj al-Balāghah, penerjemah: Ja‘far Syahīdī, hlm. 222; Makārim Syīrāzī, Payām-e Imām Amīr al-Mu’minīn, jld. 7, hlm. 496.
  20. Nahj al-Balāghah, penerjemah: Ja‘far Syahīdī, hlm. 222; Makārim Syīrāzī, Payām-e Imām Amīr al-Mu’minīn, jld. 7, hlm. 496.
  21. Ibn Maitsam, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 4, hlm. 312.
  22. Ibn Maitsam, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 4, hlm. 313.
  23. Ibn Maitsam, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 4, hlm. 314.
  24. Nahj al-Balāghah, penerjemah: Ja‘far Syahīdī, hlm. 503, catatatn kaki 3. 58.
  25. Nahj al-Balāghah, penerjemah: Ja‘far Syahīdī, hlm. 503, catatatn kaki 3. 59.
  26. Nahj al-Balāghah, penerjemah: Ja‘far Syahīdī, hlm. 223-224; Makārim Syīrāzī, Payām-e Imām Amīr al-Mu’minīn, jld. 7, hlm. 512-516.
  27. al-Husainī al-Khatīb, Mashādir Nahj al-Balāghah, jld. 3, hlm. 57-58.
  28. al-Husainī al-Khatīb, Mashādir Nahj al-Balāghah, jld. 3, hlm. 58.
  29. Link.
  30. Link.
  31. Ustadi, Ketabnane-e Nahj al-Balāghah, hlm. 33.
  32. Link.
  33. Link.

Daftar Pustaka

  • Al-Husainī al-Khatīb, Sayyid ‘Abd al-Zahrā’. Mashādir Nahj al-Balāghah wa Asānīduh. Beirut: Dār al-Adhwā’, 1405 H.
  • Faydh al-Islām, Sayyid ‘Alī Naqī. Tarjamah wa Syarh Nahj al-Balāghah. Tehran: Mu’assese-e Chāp wa Nasyr-e Ta’līfāt-e Faydh al-Islām, Entishārāt Faqīh, 1379 HS/2000.
  • Ibn Maitsam Bahrānī, Maitsam bin ‘Alī. Syarh Nahj al-Balāghah. Tehran: Daftar-e Nashr al-Kitāb, 1381 H.
  • Makārim Syīrāzī, Nāshir. Payām-e Imām Amīr al-Mu’minīn (a.s). Tehran: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, 1386 HS/2007.
  • Muhammadī, Sayyid Kāzim dan Muhammad Dasytī. Al-Mu‘jam al-Mufahras li-Alfādzh Nahj al-Balāghah. Qom: Mu’assasah Amīr al-Mu’minīn (as) li-Tahqīq, 1375 HS/1996
  • Muntazerī, Husain ‘Alī. Darshā-ī Az Nahj al-Balāghah: Khutbah 234 (Qāshi‘ah). Bagian Pertama. Majalah Pāsdār-e Eslām. No. 84, Āzar 1367 HS/1988.
  • Nahj al-Balāghah. Penerjemah: Sayyid Ja‘far Syahīdī. Tehran: ‘Ilmī wa Farhangī, 1377 HS/1998.
  • Rāwandī, Qathb ad-Dīn. Minhāj al-Barā‘ah fī Syarh Nahj al-Balāghah. Riset: Sayyid ‘Abd al-Lathīf Kūhkamarī. Qom: Maktabah Āyatullāh al-Mar‘asyī al-‘Āmmah, 1406 H (Berdasarkan versi yang tersedia di CD perpustakaan Ahlul-Bayt (as), edisi kedua).
  • Ustādī, Reza. Kitābnāme-e Nahj al-Balāghah. Tehran: Bunyād-e Nahj al-Balāghah, 1359 HS/1980.