Ghuluw
Ghuluw (bahasa Arab: الغلو) adalah sebuah sikap yang keluar dari sikap moderat dalam beragama dan berlebihan terhadap hak para nabi dan imam. Ghuluw dianggap sebagai kecenderungan menyimpang dalam agama-agama yang selalu ada dalam sejarah umat manusia. Beberapa contoh bentuk ghuluw diantaranya: Meyakini adanya sifat ketuhanan pada diri seorang nabi atau imam, mengimani seseorang sebagai anak Allah, mengimani kenabian Imam Ali atau imam Syiah, dan mengimani seseorang sebagai Imam Mahdi selain Imam Mahdi yang dijanjikan.
Tujuan dan motif politik, keterbelakangan intelektual, kecintaan yang ekstrim, fanatisme buta, dan adanya faktor-faktor yang berpengaruh di kalangan umat Islam yang menyebabkan terjadinya penyimpangan intelektual dianggap sebagai faktor-faktor yang memunculkan keyakinan yang ghuluw di kalangan umat Islam. Para imam Syiah as ketika menolak keyakinan-keyakinan sesat kaum ghulat (mereka yang ghuluw) dengan mengajukan argumentasi dan dalil-dalil, juga dengan menjelaskan akar kemunculan ghuluw dan tujuan serta konspirasi mereka, menekankan kepada kelompok Syiah untuk menjauhi mereka.
Dalam hadits-hadits, kaum Ghulat diperkenalkan sebagai orang-orang kafir dan musyrik. Mereka diperkenalkan dengan gelaran-gelaran khusus seperti disebut sebagai makhluk Allah yang paling buruk. Para ulama Syiah dengan berpedoman pada riwayat-riwayat seperti itu, mereka keras dan tegas dalam menghadapi kaum ghulat dan akidah-akidah ghuluw mereka yang menyimpang. Ghuluw telah dibahas dalam ilmu kalam, ilmu Rijal dan pengenalan firkah-firkah. Para fukaha juga telah membahas ghuluw dan hukum orang-orang yang mempunyai keyakinan-keyakinan ghuluw tersebut. Menurut fatwa mereka, setiap keyakinan berlebihan yang mengarah pada pengingkaran terhadap salah satu keyakinan pokok agama, maka termasuk dalam kekufuran. Orang-orang yang meyakini demikian akan terhukumi kafir dan hukum sebagai orang-orang kafir dibebankan kepada mereka.
Defenisi dan Kedudukan
Ghuluw secara istilah adalah seseorang beragama yang menampakkan hal-hal yang melampaui apa yang telah ditetapkan agama baginya.[1] Selain itu, dalam pengertian ghuluw yang lain juga disebutkan bahwa ghuluw adalah melampaui batas dan keluar dari sikap moderat dan berlebihan terhadap hak para nabi dan imam.[2] Kata ghuluw secara etimologi berarti berlebihan dan melampaui batas.[3]
Al-Qur'an telah berbicara terkait dengan ghuluw dalam dua ayat dan menetapkan pelarangannya.[4] Dalam sumber-sumber riwayat Syiah dan Sunni dan juga dalam riwayat yang berbeda-beda, klaim dan bentuk keyakinan yang mengandung sikap ghuluw telah dijelaskan dan umat Islam telah diperingatkan untuk tidak melakukannya.[5] Demikian pula ghuluw adalah diantara isu-isu yang telah diteliti oleh para teolog Muslim terkait tentang sifat dan bentuk-bentuknya.[6]
Dengan sebagian dari ghuluw berkaitan dengan sifat-sifat dan keutamaan para imam yang maksum as dan sebagian lainnya berkaitan dengan keadaan individu mereka, yang dibawa oleh kaum ghulat ke tingkat pribadi yang memiliki sifat ketuhanan, maka dari sini ilmu kalam memiliki kewajiban dengan bersandar pada dalil-dalil yang meyakinkan, untuk memberikan batasan yang jelas dari ruang lingkup sifat-sifat ghuluw ini sehingga akidah-akidah yang berlebihan tersebut bisa dikategorikan sebagai bentuk ghuluw dan siapapun penganutnya bisa terkonfirmasi sebagai kaum ghulat[7] Ilmu rijal juga termasuk diantara ilmu-ilmu yang terdampak oleh fenomena ghuluw dan para ulama ilmu rijal telah membahas terkait hal tersebut.[8] Dikatakan bahwa melakukan penelitian terhadap kondisi para perawi dalam sanad hadis-hadis sebagai salah satu fungsi dari ilmu rijal maka menjadi salah satu tugas dari para ulama ilmu rijal untuk memastikan dan mengidentifikasi perawi-perawi yang memiliki akidah ghuluw dalam sanad-sanad periwayatan.[9]
Dalam ilmu mengenal firkah-firkah Islam juga, ketika membahas terkait firkah-firkah yang menganut keyakinan ghuluw atau kelompok ghulat maka juga dibahas terkait dengan ghuluw dan bentuk-bentuknya.[10] Fukaha juga membahas mengenai ghuluw dan hubungannya dengan kekafiran dan hukum-hukum yag berkaitan dengan mereka yang menganut akidah-akidah ghuluw.[11]
Bentuk-bentuk Ghuluw
Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an, hadis dan catatan sejarah, para ulama Islam telah menyebutkan contoh-contoh sikap ghuluw terhadap nabi dan imam.[12] Beberapa contohnya adalah sebagai berikut:
Ghuluw dalam Uluhiyat
Yang termasuk ghuluw dalam Uluhiyat diantaranya sebagai berikut:
- Keyakinan bahwa Tuhan adalah seorang manusia:[13] Menurut Surat al-Maidah ayat 17 dan 72, meyakini sifat ketuhanan pada Nabi Isa al-Masih merupakan klaim berlebihan yang dimasukkan Al-Qur'an sebagai bentuk ghuluw dan dianggap sebagai kekafiran.[14] Demikian pula pada keyakinan Imam Ali as sebagai Tuhan dalam sekte Sabaiyah (pengikut Abdullah bin Saba),[15] sifat ketuhanan Imam Shadiq as dalam sekte Khattabiyah,[16] adalah contoh bentuk ghuluw lainnya yang telah terkategorikan bentuk kekafiran. Firkah Itsnainiyah adalah contoh lain dari jenis ghuluw ini.[17] Menurut keyakinan mereka, Nabi Muhammad dan Imam Ali as keduanya adalah Tuhan. Segolongan di antara mereka yang menganggap ketuhanan Nabi Muhammad saw sebagai yang pertama dikenal sebagai Mimiyyah dan kelompok lain yang menganggap ketuhanan Imam Ali as sebagai yang pertama dikenal sebagai 'Ainiyyah.[18]
- Keyakinan bahwa manusia mempunyai ketuhanan yang sama dengan Allah:[19] Keyakinan terhadap tafwidh (pendelegasian) dianggap sebagai salah satu contoh ghuluw dalam jenis ini.[20] Tafwidh dalam arti tertentu adalah keyakinan bahwa Allah swt menciptakan Nabi Muhammad saw dan Imam Ali as lalu Dia meninggalkan urusan-urusan seperti penciptaan, kematian dan kehidupan, serta rezeki para hamba kepada keduanya.[21]
- Keyakinan terhadap inkarnasi Tuhan [Catatan 1] dalam pribadi manusia atau menyatu dengan-Nya:[22] Kepercayaan sekte Bayani dianggap sebagai bentuk ghuluw.[23] Sekte ini merupakan cabang dari Kisaniyyah yang mengimani inkarnasi Tuhan dan beredarnya ruh Tuhan pada para nabi, Imam Ali dan Muhammad bin Hanafiyah.[24] Pendiri sekte ini adalah Bayan bin Sam'an Tamimi.[25]
Ia meyakini bahwa ruh Allah telah menetap dalam diri Imam Ali as dan mampu memunculkan kekuatan malakuti dari dalam dirinya. Karena itu dengan kekuatan ini Imam Ali mampu memindahkan gerbang Kastil Khaibar dari tempatnya. Kemampuan itu diyakini oleh sekte Bayani bukan berasal dari kekuatan fisik melainkan dengan kekuatan rahmani dan spritual dengan ia menampakkan nur Ilahi.[26] Mereka juga percaya bahwa bagian ketuhanan telah menyatu dalam diri Imam Ali dan bagian yang sama juga menyatu dalam diri Nabi Adam as, yang karena itu dia jadi layak bagi para malaikat bersujud di hadapannya.[27]
- Keyakinan bahwa Tuhan memiliki anak:[28] Disebutkan ada tiga kelompok yang percaya bahwa Tuhan mempunyai anak: 1. Umat Nasrani yang menurut riwayat Al-Qur’an surat at-Taubah ayat 30 meyakini Nabi Isa as sebagai anak Allah;[29] 2. Orang-orang Yahudi yang menurut ayat yang sama menganggap Uzair sebagai anak Allah;[30] 3. Kaum musyrik Arab yang menurut Surat an-Nahl ayat 57 dan Surat as-Shafaat ayat 149, meyakini malaikat sebagai anak-anak perempuan Allah.[31]
Ghuluw dalam Kenabian dan Imamah
Beberapa pemikiran ghuluw mengenai kenabian dan imamah adalah sebagai berikut:
- Kepercayaan terhadap kenabian para imam Syiah:[32] Dalam beberapa sumber, disebutkan dalam pembahasan pengenalan firkah-firkah: sekte Ghurabiyyah, Dzababiyyah dan Mukhataah, yang termasuk di antara kaum Ghulat, menganggap kenabian sebagai haknya Imam Ali. Mereka meyakini, disebabkan oleh banyaknya kemiripan antara Imam Ali dan Nabi Muhammad saw, Jibril membuat kesalahan pada saat turunnya wahyu dan menurunkan wahyu kepada Muhammad yang seharusnya untuk Imam Ali. Kemudian agar Imam Ali as ridha dengan kesalahan malaikat Jibril tersebut, Nabi Muhammad as menikahkan putrinya dengan Imam Ali as.[33]
- Kepercayaan terhadap perkongsian manusia dengan Nabi dalam urusan kenabian:[34] Maqrizi (1422-1364 H), seorang sejarawan Mesir, dalam kitabnya yang berjudul “Al-Mawa'izh wa al-I'tibari fi Dzikr al-Khathath wa al-Atsar” menyebutkan firkah Syarikiyah, Sya’iyah dan Khulwiyah adalah firkah-firkah Syiah Ghulat yang meyakini Imam Ali as dan Nabi Muhammad saw bersekutu dalam urusan kenabian.[35] Akan tetapi di kalangan Syiah ada yang meragukan keberadaan firkah-firkah dengan nama-nama ini.[36]
- Adanya seseorang yang bukan nabi dan imam namun memperkenalkan dirinya sebagai imam atau nabi:[37] Contohnya, pakar perbandingan mazhab dan firkah-firkah memperkenalkan seseorang bernama Abu Mansur ‘Ijali yang mengklaim setelah kematian Imam Baqir as bahwa Imam Sajjad as memperkenalkannya sebagai penerus dan imam setelah Imam Baqir.[38] Dia kemudian mengatakan bahwa Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain, Imam Sajjad dan Imam Baqir adalah rasul dan nabi, dan dia serta keenam keturunannya setelahnya adalah nabi juga.[39]
- Kepercayaan terhadap mahdawiyat orang selain Mahdi yang dijanjikan: Di antara mereka yang mengaku Imam Mahdi adalah Muhammad bin Hanafiyah.[40] Menurut pakar perbandingan firkah-firkah, Karbiyya (cabang dari Kisaniyyah) percaya bahwa Muhammad bin Hanafiyah adalah Imam Mahdi yang dijanjikan, yang kemudian mengalami kegaiban dan akan muncul pada suatu waktu dan mengisi dunia dengan keadilan setelah sebelumnya penuh dengan kezaliman.[41] Muhammad bin Abdullah bin Hasan dikenal sebagai Nafs Zakiyah.[42]
Menurut laporan pakar firkah-firkah, firkah Mughiriyah (pengikut Mughira bin Sa’id al-Bajali) percaya bahwa Nafs Zakiyah adalah Mahdi yang dijanjikan, dan ketika dia dibunuh, mereka mengatakan bahwa dia tidak mati tetapi hidup dan berada di gunung di Makah yang disebut Alamiyyah. Mereka mengatakan, ia hidup sampai saat kemunculannya.[43]
Ghuluw dalam sifat-sifat dan keutamaan
Ghuluw dalam sifat-sifat dan keutamaan berarti menisbatkan suatu sifat, perbuatan, atau keutamaan pada seseorang yang tidak memilki kelayakan itu.[44] Beberapa kasus sikap ghuluw terhadap pemuka agama, nabi, dan imam maksum adalah sebagai berikut:
- Keyakinan pada ketidak mungkinan Nabi melakukan kelalaian:[45] Menurut para peneliti, konflik utama antara mazhab teologi Qom dan mazhab teologi Bagdad pada abad-abad ketiga dan keempat Hijriyah adalah terkait sifat dan keutamaan yang dinisbatkan kepada Aimmah as khususnya keyakinan akan Nabi bisa lalai atau tidak.[46] Syekh Shaduq meriwayatkan dari gurunya Ibnu Walid al-Qummi bahwa ghuluw derajat pertama adalah mengingkari keimanan terhadap kelalaian Nabi dan orang yang menolak menisbatkan kelalaian terhadap Nabi termasuk golongan orang-orang ghulat.[47]
Diantaranya yang berlawanan dengan pandangan ini, adalah Syekh Mufid mutakallimin maktab Bagdad.[48] Syekh Mufid menentang pandangan kemungkinan Nabi bisa melakukan kelalaian dan menurutnya barangsiapa yang berkeyakinan demikian tidak sempurna dalam beragama dan telah merendahkan martabat Aimmah as.[49] Ia berkeyakinan bahwa tanda ghuluw hanya pada ketika menisbatkan uluhiyat pada Aimmah as dan keqadiman mereka.[50]
- Kepercayaan terhadap ilmu gaib yang mutlak:[51] Sebagian kelompok Syiah meyakini ilmu ghaib para imam maksum dan berpendapat bahwa di samping ilmu kaidah-kaidah umum Islam, mereka juga mempunyai ilmu tentang segala hal termasuk peristiwa-peristiwa kecil di dunia dan apa yang telah dan sedang terjadi.[52] Syekh Mufid menganggap bahwa mengaitkan ilmu ghaib kepada para imam adalah bentuk ghuluw dan yang meyakininya termasuk kaum Ghulat. Karena menurutnya sifat ini hanya diperuntukkan bagi Allah swt.[53] Meski demikian, sebagian berkeyakinan bahwa yang termasuk ghuluw jika meyakini bahwa kepemilikan ilmu ghaib Maksumin as berdiri dengan sendirinya dan terlepas dari pengajaran Ilahi, sehingga menurut keyakinan ini jika meyakini kepemilikan semua ilmu dan makrifat para nabi dan Aimmah as atas izin dan pengajaran Allah swt maka tidak termasuk ghuluw terlebih lagi jika tetap meyakini bahwa ilmu ghaib secara mutlak haknya kekhususan Allah swt.[54]
- Kepercayaan bahwa para pemimpin agama akan hidup selamanya dan tidak mengalami kematian:[55] Noubakhti dalam kitab Firaq al-Syiah mengacu pada salah satu sekte dengan klaim ghuluw yang disebut sekte Basyiriyah. Pengikut firkah ini percaya bahwa Imam Musa Kazim as belum meninggal dunia dan ia adalah Imam Mahdi yang dijanjikan yang sedang mengalami masa kegaiban. Dan di masa kegaibannya ia menunjuk Muhammad bin Basyir (pendiri firkah ini) sebagai washi dan wakilnya serta menyerahkan cincin, ilmu dan semua yang dibutuhkan umat dalam urusan dunia dan agama sepenuhnya kepadanya.[56] Selain itu menurut Nubakhti, sekelompok Kisaniyyah meyakini bahwa Muhammad bin Hanafiyah tidak mati melainkan masih hidup dan bersemayam di sebuah gunung bernama Gunung Ridhwa yang terletak di antara Makah dan Madinah.[57]
Bentuk Ghuluw Lainnya
Bentuk ghuluw lainnya yang disnibatkan kepada orang-orang selain Nabi dan Imam:
Ghuluw terkait dengan khalifah
Dalam beberapa sumber Sunni terdapat riwayat atau pernyataan tentang keutamaan ketiga khalifah yang menurut sebagian ulama dilebih-lebihkan.[58] Misalnya dalam kitab Tarikh Bagdad terdapat sebuah riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw yang menyebutkan bahwa pada malam Mi’raj terlihat di atas arsy, setelah tulisan Laa ilaha illahlah wa Muhammad Rasulullah, tertulis nama Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman.[59] Ni’matullah Shalihi Najaf Abadi menyebut sanad riwayat ini lemah dan muatannya mengandung keyakinan yang ghuluw.[60]
Tentang ilmu Umar bin Khattab, mereka berkata, jika ilmu seluruh dunia ditempatkan pada salah satu ujung timbangan dan ilmu Umar di ujung yang lain, maka ilmunya lebih unggul dan lebih berat.[61] Demikian pula mereka berkata, bahwa pada tahun 20 H yaitu pada periode Kekhalifahan Umar bin Khattab di Madinah terjadi gempa bumi. Umar kemudian mencambuk tanah dan berkata, “Dengan izin Allah, tenanglah!.” Seketika itu juga, bumi menjadi tenang dan tidak ada lagi gempa bumi di Madinah sejak tahun itu.[62] Beberapa peneliti menganggap isi klaim dari riwayat tersebut berlebihan.[63] Terkait dengan sejumlah sahabat yang lain begitupun dengan khalifah juga terdapat klaim berlebihan yang dinisbatkan kepada mereka.[64] Abdul Husain Amini dalam kitab al-Ghadir mencantumkan beberapa klaim tersebut dengan mengutip sumber-sumber Sunni dan menganggapnya bahwa itu ghuluw.[65]
Penakwilan Al-Qur'an yang mengandung ghuluw
Dikatakan bahwa salah satu kasus penafsiran yang tidak dibenarkan dan berlebihan adalah penggunaan ayat-ayat Al-Qur'an untuk membuktikan reinkarnasi.[66] Menurut Baladzuri, seorang sejarawan abad kedua dan ketiga Hijriah, dalam kitab Ansab al-Asyraf, kaum Ghulat percaya pada reinkarnasi. Dari ayat 8 Surah Al-Infatar, yang menyebutkan: فِي أَيِّ صُورَةٍ ما شاءَ رَكَّبَكَ "Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu," [67] mereka gunakan untuk membuktikan reinkarnasi. [68] Fakhru Razi juga mengatakan dalam tafsirnya bahwa salah satu ayat yang dikemukakan oleh mereka yang mengatakan reinkarnasi untuk membuktikan pemikiran mereka adalah Surah al-An’am ayat 38.[69] Ia menganggap penggunaan ayat ini untuk mendukung keyakinan tersebut tidak dibenarkan dan tidak sah.[70]
Terkadang, untuk mengungkapkan keutamaan yang berlebihan yang disematkan pada sebagian individu, disajikan penafsiran dan penakwilan Al-Qur'an yang tidak tepat.[71] Dari penukilan Abdul Husain Amini, dari kitab ‘Umdah al-Tahqiq karya Ibrahim Ibn ‘Amir ‘Ubaidi, seorang fakih Maliki Abad ke 11 H, dalam tafsir huruf Muqatha’ah ‘Alif lam mim’,ayat pertama surah Al-Baqarah menafsirkan maksud dari Alif adalah Abu Bakar, maksud dari Lam adalah Allah dan maksud dari Mim adalah Muhammad saw.[72] Menurut Amini, klaim dan penafsiran tersebut adalah bentuk ghuluw.[73]
Ismail Haqi Bursawi, salah seorang mufasir bermazhab Hanafi yang wafat pada tahun 1137 H, dalam kitab tafsirnya yang berjudul Ruh al-Bayan, dalam tafsir وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ; Dan pada hari itu, delapan malaikat akan mengangkat arsy Tuhanmu di atas mereka semua”,[74] Sebuah riwayat dinukil dari Nabi yang menjelaskan bahwa mereka ada empat di dunia saat ini, dan pada hari Kiamat. , Allah akan mengukuhkannya dengan empat orang lainnya.[75] Ia kemudian mengutip beberapa orang yang mengatakan bahwa keempat orang tersebut adalah Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal, yang dianggap sebagai pembawa syarah.[76] Para peneliti menganggap cara penakwilan ayat ini sebagai bentuk ghuluw.[77]
Keyakinan dihapuskannya keutamaan Aimmah as dari Al-Qur'an
Muhammad Jawad Masykur (w. 1374H), seorang sejarawan dan profesor di Universitas Teheran, dalam bukunya tentang sejarah Syiah dan firkah-firkah Islam, mengatakan bahwa sebagian dari kelompok Syiah Ghulat meyakini terjadinya distorsi pada Al-Qur'an yang ada. Mereka mengatakan bahwa kompilasi dan pengumpulan Al-Quran yang dilakukan masa Utsman telah menghilangkan banyak ayat-ayat di dalamnya, termasuk ayat-ayat yang berkaitan dengan keutamaan Ali bin Abi Thalib as dan keluarganya. Menurut mereka ayat-ayat tersebut telah diubah dan dihilangkan.[78] Masykur menekankan keyakinan ini adalah sebagai bentuk ghuluw.[79]
Muhammad Hasan Ahmadi, seorang peneliti bidang ilmu hadis dan Al-Qur'an, dalam artikelnya "Kaum Ghulat dan Pemikiran Tahrif Al-Qur'an" mengkaji para perawi yang ada dalam sanad periwayatan tahrif Al-Qur'an dari sumber-sumber Syiah atas dasar ghuluw atau tidak ghuluw. Dalam penelitiannya tersebut ia menemukan ada 13 perawi yang diyakini telah memberi pengaruh ghuluw.[80] Dia percaya bahwa dari jumlah total hadis yang dilaporkan mengenai distorsi Al-Qur'an, sebagian besar (hampir dua pertiga) di antaranya diriwayatkan melalui kaum Ghulat.[81]
Bentuk ghuluw terhadap kitab-kitab
Kitab Sahih Bukhari adalah salah satu sumber hadits yang muktabar di kalangan Sunni, yang disebutkan di dalamnya sejumlah klaim-klaim berlebihan dari kaum Ghulat.[82] Dalam uraian kitab ini, mereka mengatakan bahwa Sahih Bukhari sama kedudukannya dengan Al-Qur'an. Jika berada pada musim wabah Tha’un, jika kitab ini dibaca di rumah-rumah maka penghuni rumah akan terlindungi dari wabah Tha’un. Begitupun, barang siapa yang membaca kitab ini sampai tuntas, maka permohonan atas hajat-hajatnya akan dikabulkan Allah swt.[83] Mereka juga mengatakan bahwa jika kitab ini ada di setiap rumah, maka akan mengundang turunnya rahmat dan keberkahan yang berkesinambungan. Diyakini pula bahwa Sahih Bukhari adalah kitab yang paling sahih di muka bumi setelah Al-Qur'an.[84] Juga terdapat kata-kata yang ghuluw tentang kitab al-Muwaththa' karya Malik bin Anas, yang disebutkan bahwa selain Al-Qur'an tidak ada di muka bumi ini, kitab yang lebih sahih dari al-Muwaththa.[85]
Selain itu, mengenai Kitab al-Kafi, salah satu sumber hadis terpercaya di kalangan Syi'ah, klaim bahwa seluruh riwayatnya benar dan shahih telah dianggap berlebihan oleh ulama seperti Ni’matullah Shalihi Najafabadi.[86] Shalihi Najafabadi juga mengatakan bahwa pernyataan yang telah menyebutkan kitab al-Kafi telah diperlihatkan kepada Imam Mahdi afs di masa kegaibannya dan ia merespon bahwa cukuplah al-Kafi bagi Syiah kami,[87] dengan bersandar pada penjelasan Allamah Majlisi[88] dan Muhaddits Nuri[89] sebagai pernyataan yang tidak berdasar dan ghuluw.[90]
Keyakinan-keyakinan ghuluw terhadap ulama
Terkait dengan ulama-ulama juga terkadang oleh sebagian orang menisbatkan klaim-klaim dan karamah-karamah yang ghuluw kepada mereka. [91] Misalnya, mereka mengatakan bahwa Nabi Khidir mendatangi Abu Hanifah setiap pagi selama lima tahun dan mempelajari hukum-hukum Islam darinya.[92] Mereka juga mengklaim bahwa Nabi Muhammad saw telah mengatakan, “Semua nabi bangga padaku, dan aku bangga pada Abu Hanifah.”[93] Menurut Abu Zahra, seorang sejarawan dan fakih dari Mesir pada abad ke-14 H, kefanatikan terhadap Abu Hanifah sedemikian rupa sehingga sebagian orang menganggapnya hampir setara dengan kedudukan para nabi dengan mereka meyakini bahwa Taurat memberi kabar gembira mengenai kedatangannya dan Nabi telah menyebutkan namanya dan menubuatkan kedatangannya untuk mempimpin dan membimbing umat.[94] Perkataan serupa juga telah diriwayatkan dinisbatkan kepada imam fikih yang empat mazhab dan sejumlah ulama Sunni lainnya.[95] Abdul Husain Amini dalam kitab Al-Ghadir mengumpulkan beberapa dari pernyataan-pernyataan tersebut[96] dan ia menekankan pernyataan-pernyataan tersebut ghuluw dan dibuat-buat.[97]
Penisbatan ghuluw atas Syiah
Sejumlah ulama mengaitkan keyakinan-keyaklinan ghuluw pada Syiah, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:[98]
- Abu Umar bin Muhammad bin Abd Rabbih salah seorang ulama Ahlusunah pada abad ke-4 H, dalam kitab ‘Aqd al-Faraid mengkomparasikan antara Syiah dan Yahudi dan menyebutkan bahwa kelompok Syiah sama dengan Yahudi yang menjadikan Jibril sebagai musuh sebab meyakini bahwa yang seharusnya wahyu diturunkan kepada Imam Ali as tetapi secara salah telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.[99]
Untuk menjawab pernyataan tersebut, dikatakan oleh peneliti firkah-firkah bahwa yang memiliki keyakinan demikian adalah firkah-firkah dari Syiah Ghulat yaitu Dzababiyah, Gharabiyah dan Makhthaa.[100] Sayid Muhsin Amini mengatakan bahwa menisbatkan firkah-firkah tersebut kepada Syiah adalah klaim tanpa dasar sebab menurutnya firkah-firkah tersebut tidak ada dalam literatur Syiah.[101]
Ia berpendapat bahwa keberadaan firkah-firkah tersebut sengaja dibuat dengan tujuan dan maksud untuk membuat citra yang buruk pada firkah-firkah Syiah.[102]
- Abu Muhammad Utsman bin Abdullah al-‘Iraqi, salah seorang ulama Hanafi abad ke 5 H, dalam karyanya yang berjudul al-Farq al-Muftarqa, menganggap Imamiyah dan Zaidiyah adalah sama dan mengatakan bahwa mereka adalah kaum Ghulat yang terkadang menganggap Imam Ali sebagai Tuhan, terkadang sebagai nabi, dan terkadang sebagai sekutu dalam urusan kenabian.[103] Selain itu, Ibnu Taimiyah juga menuduh kaum Syiah ghuluw dengan mengatakan bahwa sekelompok Syiah beriman pada ketuhanan dan sebagian lainnya beriman pada kenabian Imam Ali.[104]
Menjawab tuduhan ini disebutkan bahwa sekelompok kecil dari kaum Ghulat memang berkeyakinan demikian namun dalam periwayatan Syiah mereka adalah kelompok yang dikecam dan ditolak oleh para Imam Syiah. Oleh karena itu, tidaklah benar jika keyakinan kelompok kecil yang ditolak ini dikaitkan dengan seluruh Syiah, terutama dengan Syiah Imamiyah.[105] Dalam fikih Imamiyah, keyakinan bahwa Imam Ali adalah Tuhan dan bahwa ia adalah seorang nabi, adalah sama derajatnya dengan pengingkaran terhadap Allah swt dan kenabian Nabi Muhammad saw. Yang artinya itu adalah bentuk kekafiran sehingga yang meyakini demikian akan terhitung sebagai orang kafir.[106]
- Abdullah Ali Qamisi, seorang penulis dan peneliti dari Wahabi, mengatakan dalam kitabnya yang berjudul “al-Shara’ bain al-Islam wa al-Watsaniyah” bahwa sekelompok kaum Syiah berpendapat bahwa kewajiban dan larangan merupakan sindiran terhadap orang-orang yang patut dianggap sebagai sahabat atau musuh. Akibat keyakinan ini, mereka menganggap hal-hal yang haram sebagai halal dan meninggalkan hal-hal yang wajib.[107] Para penulis studi firkah-firkah mengaitkan keyakinan ini dengan kaum Ghulat yang disebut dengan sekte Manshuriyah (pengikut Abu Manshur Ijali).[108] Abu Manshur dalam riwayat yang dikutip Rijal Kasyi, ia dilaknat sebanyak tiga kali oleh Imam Shadiq as karena pemikirannya yang ghuluw.[109]
- Sekelompok ulama Sunni menganggap akidah seperti bada’, raja’ah, kemaksuman, dan ilmu gaib Nabi serta para imam maksum, yang termasuk dalam keyakinan Syiah, adalah hal yang dilebih-lebihkan.[110] Para ulama Syiah tidak menganggap akidah ini sebagai hal yang ghuluw, dan untuk membuktikannya mereka mempunyai dalil dari Al-Qur'an, Sunnah dan akal.[111]
- Beberapa orang percaya bahwa sifat-sifat seperti kemaksuman, ilmu ghaib, kepemilikan alam semesta, dan beberapa sifat luar biasa yang dikaitkan dengan para imam Syiah adalah bentuk ghuluw dan mereka percaya bahwa para imam hanyalah ulama yang terkemuka, bertakwa, saleh serta berpengetahuan luas tentang Syariah.[112] Pandangan ini didasarkan pada teori “Ulama Abrar” yang menjadi terkenal.[113] Asal muasal teori ini disebutkan berasal dari perkataan Abdullah bin Abi Ya’fur bahwa tafsir dari “Ulamau Aabrar wa Atqiya Aushia; ulama abrar dan manusia-manusia yang bertakwa [114] ditujukan kepada Aimmah as.[115] Mereka juga mengatakan bahwa sebagian ulama Syiah, khususnya ulama Madrasah Qom pada abad ketiga dan keempat Hijriah, menentang setiap pengaitan sifat-sifat luar biasa kepada para imam dan menganggap mereka sekadar anggapan para ulama bahwa mereka individu-individu yang berbudi luhur dan saleh.[116] Kritik telah dilontarkan terhadap teori ini; Termasuk fakta bahwa kitab ini tidak memiliki dokumen sejarah apa pun.[117] Juga, ada yang mengatakan bahwa kata "Alim" dalam literatur beberapa sahabat Aimmah as berarti ilmu yang diilhami para Imam, dan kata "Abrar" dan "Atqiyya" setara dengan makna yang sama yaitu ‘ishma atau kemaksuman.[118]
Sikap ghuluw terhadap perawi hadis
Ghuluw dan memiliki keyakinan yang menyimpang termasuk di antara kasus-kasus yang menjadi dasar penilaian tidak dapat diandalkannya perawi dan kelemahan sanad hadis dalam ilmu rijal.[119] Menurut Sayid Husain Mudarrisi Thabathabai, seorang peneliti ilmu-ilmu Islam, dalam kitab-kitab Rijal Syiah, biasanya mereka yang menganggap Aimmah as sebagai Tuhan akan terhitung sebagai kaum Ghulat di luar kelompok, yang kemudian disematkan kepada mereka gelaran-gelaran seperti fasad al-Madzhab (rusak mazhabnya) atau fasad al-I’tiqad (rusak akidahnya). Sementara kaum Ghulat yang disebut dengan istilah ghulat di dalam kelompok atau mafawdhah mereka dibedakan dengan sebutan Ahl al-Irtifa’, Martafa’ al-Qaul dan Fi haditsihi Irtifa’.[120]
Dikatakan bahwa terkadang ada perbedaan pendapat di antara para ulama Rijal dalam penisbatan ghuluw kepada seorang perawi dan jika keadaan para perawi tersebut tidak jelas maka riwayat yang mereka nukil juga tetap tersimpan sebagai riwayat yang tidak jelas kedudukannya; Kecuali ada dalil yang pasti untuk menolak atau membenarkan riwayat-riwayat tersebut dari tempat lain.[121] Ada yang menganggap akar perbedaan pendapat ini dalam menisbatkan ghuluw kepada pada para perawi berasal dari perbedaan pandangan ulama-ulama rijal terkait defenisi dari ghuluw.[122]
Sebagai contoh dalam Rijal Kasyi disebutkan tentang seseorang bernama Husain bin Ubaidullah Sa’di Muharrir, salah satu ahli hadis Syiah di era Imam Hadi as, yang diusir dari Qom dengan tuduhan memiliki pemikiran ghuluw.[123] Najashi mengatakan bahwa dia dituduh ghuluw tetapi memiliki kitab-kitab yang sahih dan muktabar.[124] Ulama seperti Abu Ali Hairi dan Mamagani tidak menerima tuduhan tersebut dan percaya bahwa tuduhan yang menyebutkan ulama madrasah Qom di abad ketiga dan keempat Hijriah telah mengusirnya atas alasan ghuluw berasal dari seorang perawi yang tidak dapat diandalkan dan dipercaya sehingga menunjukkan kelemahan perawi tersebut. Karena beberapa akidah yang dianggap esensial dalam mazhab pada masa-masa selanjutnya (seperti Sahw al-Nabi) oleh ulama-ulama tersebut dianggap sebagai bentuk ghuluw.[125]
Sayid Abul Qasim al-Khui juga menilai ghuluw mempunyai derajat yang berbeda-beda dan mengatakan bahwa terkadang seseorang yang dirinya memiliki derajat ghuluw yang rendah menganggap orang lain yang memiliki derajat ghuluw yang lebih tinggi dan lebih parah sehingga kemudian menyebutnya ghulat dan melaknatnya.[126]
Ni’matullah Shafari Furusyani seorang peneliti dan anggota dewan direksi Hauzah Ilmiah Qom, meneliti Mu’jam Rijal al-Hadits karya Sayid Abul Qasim Khui dan menyebutkan nama sekitar 120 perawi yang diklaim ghuluw dalam kitab Syiah Rijal.[127] Dia percaya bahwa seorang perawi yang diklaim ghuluw tidak berarti membuktikan bahwa perawi tersebut benar-benar ghuluw.[128]
Penentangan Syiah terhadap fenomena ghuluw
Para imam Syiah, dalam beragam situasi, telah berupaya menentang kemunculan fenomena ghuluw dan pemikiran-pemikiran kaum Ghulat.[129] Dalam artikel “Penelitian bagaimana para Imam menghadapi gerakan kaum Ghulat" disebutkan bahwa metode menangani fenomena ghuluw oleh para Imam Syiah pada awalnya bersifat menjelaskan dan memberikan pencerahan, yang ini diketahui dari hadis-hadis yang diriwayatkan dari mereka.[130] Secara keseluruhan, dalam menghadapi kaum Ghulat, yang Aimmah as lakukan adalah memberikan penjelasan terkait ghuluw, menyatakan kebencian dan berlepas diri dari kaum Ghulat, dan mengingatkan pengikutnnya agar menjauh dari pemikiran-pemikiran ghuluw.[131]
Kemudian pada era Imam Baqir as dan Imam Shadiq as dan bahkan setelah itu, ketika fenomena ghuluw menjadi semakin marak dan firkah-firkahnya semakin bermunculan, metode para imam dalam menghadapi tren ini tidak terbatas lagi pada metode penjelasan dan pengungkapan penyimpangan-penyimpangan kaum Ghulat; Melainkan juga memperkenalkan orang-orang Ghulat itu dan memerintahkan penganut Syiah untuk menolak dan menjauhi mereka.[132]
Sebagai contoh, dalam sebuah riwayat dari Imam Shadiq as terkait tafsir ayat 222 dan 223 Surat Asy-Syuara [catatan 2] dinukilkan bahwa ia memperkenalkan nama tujuh orang dari kaum Ghulat pada masanya yang ia sebut telah turun setan kepada mereka.[133] Juga dalam sebuah riwayat lain, yang diriwayatkan juga dari Imam Shadiq as bahwa ia melaknat Mughirah bin Sa’id (pendiri sekte Ghulat Mughiriyah) karena telah memasukkan hadis palsu ke dalam kitab-kitab sahabat-sahabat Imam Baqir as.[134] Dalam sebuah riwayat yang dimuat dalam kitab Rijal Kasyi, Imam Ridha as menyebutkan nama-nama kaum Ghulat yang telah berdusta atas nama Imam Baqir as, ImamShadiq as, Imam Musa al-Kazhim dan kepada dirinya sendiri.[135]
Dalam riwayat-riwayat tersebut, kaum Ghulat kadang disebut sebagai seburuk-buruknya makhluk Allah[136] dan pada riwayat yang lain disebut sebagai orang kafir dan musyrik.[137] Dalam sebuah riwayat lain juga disebutkan bahwa duduk dan bersama dengan kaum Ghulat dan hadir dalam majelis mereka dapat menyebabkan keluarnya iman, yang dengan itu Aimmah as menetapkan pelarangannya.[138]
Mengikuti para imam, para ulama Syiah juga keras dan tegas dalam melawan kaum Ghulat dan menyangkal keyakinan mereka dengan dalil.[139] Di antara mereka, para peneliti menunjuk pada ulama dan perawi hadis dari madrasah Qom, yang dianggap sebagai markas keilmuan Syiah pada abad 3 H. Dikatakan bahwa mereka bereaksi keras terhadap perluasan dan penetrasi pemikiran dan karya-karya kaum Ghulat dan Mafawdhah dan bagi mereka siapa pun yang menisbatkan hal-hal ekstrim di luar nalar manusia maka akan mendapat vonis sebagai kaum Ghulat dan diusir dari kota.[140] Sebagai contoh, Syekh Shaduq sebagai salah seorang ulama madrasah Qom, menilai Ghulat dan Mafawdhah sebagai kafir dan meyakininya lebih berbahaya dari non muslim seperti Yahudi dan Nasrani serta semua kelompok ahli bid’ah,[141] dan melaknat mereka.[142]
Karya-karya ilmiah juga ditulis oleh madrasah ini dalam menentang fenomena ghuluw, seperti kitab al-Raddu ‘ala al-Ghuluw karya Shafar al-Qummi dan karya dengan tema yang sama karya Yunus bin Abdurrahman al-Qummi, Husain bin Sa’id al-Ahwazi, Muhammad bin Aurmah al-Qummi. Mereka dan begitu juga yang lainnya adalah perawi-perawi Syiah dan sahabat-sahabat Imam Ridha as.[143]
Pandangan ulama-ulama Syiah
Fukaha tidak membahas mengenai hukum ghuluw secara terpisah dan penjelasan hukumnya berada dalam satu pembahasan dengan kekafiran dan hukum orang-orang kafir.[144] Ghuluw yang berupa meyakini ketuhanan dan rububiyah Imam Ali as atau salah satu dari Aimmah as, sama halnya dengan pengingkaran terhadap Allah swt,[145] yang oleh ijma ulama Syiah adalah kekufuran[146] dan barang siapa memiliki keyakinan tersebut adalah kafir yang terhukumi najis.[147]
Para fakih Syiah diantaranya seperti Sayid Muhammad Baqir Shadr dan Sayid Abdul A'la Sabzewari ghuluw yang berupa meyakini tafwidh (tafwidh artinya pendelegasian urusan dari Allah swt kepada Nabi dan Imam serta kewenangannya untuk melakukan apapun tanpa kehendak Tuhan), yang karena ini bertentangan dengan keyakinan pada tauhid, beriman pada inkarnasi Tuhan pada hambanya dan menyatunya Tuhan dengan mereka, yang ini artinya meyakini ketuhanan dan rububiyah ada pada selain Allah swt dan meyakini Allah berjism adalah contoh-contoh bentuk keyakinan yang kufur.[148]
Menurut Sayid Muhammad Baqir Shadr, ghuluw dalam bentuk meyakini kenabian individu lain selain dari Nabi dan atau meyakini seseorang memiliki keutamaan yang melebih Nabi, atau sama derajatnya dengan Nabi sehingga orang tersebut tidak termasuk dalam risalah Nabi, yang karena ini bertentangan dengan syahadat kedua, maka juga terkategorikan kekufuran.[149] Para ahli fikih seperti Syekh Anshari dan Sayid Muhsin Hakim menilai kriteria kekafiran mereka yang ghuluw adalah pengingkaran terhadap pokok-pokok agama.[150] Oleh karena itu, meyakini penyatuan Tuhan dengan hamba dan melebih-lebihkan sifat-sifat yang disematkan kepada para nabi dan imam, seperti keyakinan bahwa nabi dan imam memiliki ikhtiar dalam penciptaan dan pembagian rezeki yang karena penyifatan yang demikian berupa pengingkaran terhadap asas agama, maka hukumnya adalah kekafiran.[151]
Latar belakang dan asal usul
Ghuluw adalah suatu pemikiran menyimpang yang menurut beberapa peneliti, selalu ada sepanjang sejarah umat manusia.[152] Dikatakan bahwa dalam agama-agama pra-Islam, menurut pengisahan Al-Qur'an, terdapat kasus-kasus ghuluw terhadap fenomena alam, manusia, nabi, dan malaikat.[153] Beberapa peneliti menyebut titik tolak dan awal munculnya fenomena ghuluw dan aliran-aliran Ghulat dalam Islam terjadi pada masa Abdullah Bin Saba.[154] Mereka berpendapat demikian karena dalam catatan kitab-kitab sirah dan sejarah, tanda-tanda atau fenomena ghuluw sangat jarang ditemukan pada masa kehidupan tiga imam pertama Syiah. Mereka berkeyakinan bahwa pasca kesyahidan Imam Ketiga yang memicu munculnya gerakan kebangkitan Tawwabin, terjadinya penindasan dan kezaliman yang menimpa Ahlulbait, gerakan-gerakan perlawanan dari Zaidiyah, Kisaniyyah dan Khawarij serta adanya kondisi budaya dan sosial, memunculkan benih-benih pemikiran ghuluw seperti keyakinan akan sifat uluhiyah Imam Ali as atau meyakini menyatunya sebagian dzat Tuhan dalam diri Imam Ali as.[155]
Ibnu Abi al-Hadid dalam syarah Nahj al-Balaghah menganggap asal muasal praktik ghuluw dalam Islam bermula di tanah Irak dan Kufah. Dalam penjelasannya ia mengatakan, bahwa kondisi kultural dan karakteristik penduduk Irak berbeda dengan Hijaz. Menurutnya keberadaan para pemikir dan cendekiawan, tradisi dialog dan debat terbuka dalam membahas beragam persoalan, keberadaan pengikut mazhab-mazhab yang berbeda, pandangan agama-agama lokal seperti agama Mani dan Mazdak serta beraneka ragam akidah dan kepercayaan tumbuh dan berkembang di Irak, sehingga inilah yang menjadi penyebab penduduk di Irak lebih cenderung ghuluw karena dipengaruhi oleh agama-agama dan tradisi ritual yang berbeda-beda tersebut. Sebagai contoh, ketika mereka melihat mukjizat dan karamah dari Imam Ali, maka mereka cenderung ghuluw terhadapnya; Sementara penduduk tanah Hijaz, meskipun menyaksikan karamah dan mukjizat Nabi, tidak membuat mereka ghuluw terhadap nabi.[156]
Kamal Mustafa al-Syaibi, seorang penulis Irak dan profesor filsafat di Universitas Bagdad, dalam bukunya yang berjudul Al-Shilatu baina al-Tashawuf wa al-Tasyayyu, telah mengidentifikasi asal muasal fenomena ghuluw pada Syiah di Kufah.[157] Ia berkeyakinan, penduduk Kufah dalam memperbaiki kesalahan dan kezaliman mereka terhadap hak Imam Ali as, maka mereka cenderung ghuluw dalam mengungkapkan kecintaan maupun permusuhan terhadap musuh-musuh Imam Ali as.[158]
Sementara Rasul Ja’farian sembari menyangkal keberadaan pemikiran-pemikiran ghuluw di masa Imam Ali as, ia berpendapat bahwa fenomena ghuluw secara serius baru muncul setelah pertengahan abad pertama dan sebagian besarnya terjadi pada selang waktu tahun-tahun 66 H, yaitu setelah kebangkitan Mukhtar.[159] Sebagian lain berpandangan bahwa kemunculan pertama pemikiran ghuluw sudah bermula sejak masa hidup Rasulullah saw yaitu terjadi sesaat pasca wafatnya Ibrahim, putra Nabi Muhammad saw.[160] Menurut para sejarawan, gerhana matahari terjadi bersamaan dengan kematian Ibrahim, dan orang-orang mengira bahwa gerhana matahari terjadi karena meninggalnya putra Nabi tersebut.[161] Pandangan ini ditentang dan dilarang oleh Nabi Muhammad saw.[162]
Syekh Mufid, mengacu pada riwayat yang menyebutkan Umar bin Khattab menyangkal kematian Nabi Muhammad saw dan mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw sama halnya Nabi Musa as, yang hanya menghilang dari kaumnya sendiri dan kembali setelah empat puluh hari.[163] Bersandar pada peristiwa ini, Syekh Mufid menyebut kemunculan benih-benih pemikiran ghuluw setelah wafatnya Nabi bermula dari peristiwa ini.[164]
Faktor-faktor Penyebab
Melalui penyelusuran sejarah dan studi sumber-sumber riwayat, para peneliti telah menyebutkan satu per satu faktor-faktor yang menjelaskan kemunculan ghuluw terutama di dunia Islam dan Syiah.[165]
Beberapa faktor tersebut adalah sebagai berikut:
- Motif politik: Salah satu faktor utama kemunculan ghuluw, terutama terhadap para imam Syiah, adalah motif dan tujuan politik yang bertujuan hendak menjauhkan umat dari imam-imam Syiah. Mereka dituduh dan direndahkan posisinya di tengah-tengah masyarakat sehingga masyarakatpun menjauh dari mereka.[166] Penguasa dalam hal ini turut mendukung tersebarnya pemikiran-pemikiran ghuluw tersebut. Dengan memasukkan pemikiran-pemikiran ghuluw ke tengah-tengah masyarakat dan memfasilitasi pengaruh kaum ghulat di kalangan umat Islam, mereka menyebarkan ghuluw.[167]
- Keterbelakangan intelektual: hal-hal seperti ketidaktahuan dalam memahami hakikat penghambaan, ketakjuban terhadap karamah para nabi dan imam, serta ketidakmampuan mengkaji dan mengenali hadis-hadis yang dipalsukan telah disebutkan sebagai faktor-faktior yang mendasari kemunculan fenomena ghuluw.[168] Ahmad bin Ali Tabarsi dalam kitab al-Ihtijaj menyebutkan bahwa menurutnya kepercayaan ghuluw disebabkan oleh ketidaktahuan.[169]
- Cinta yang ekstrim: Mencintai secara berlebihan merupakan salah satu faktor kecenderungan pemikiran dan keyakinan ghuluw.[170] Dalam sebuah riwayat dari Imam Sajjad as, yang disebut telah mengatakan: “Kaum Yahudi dikarenakan kecintaannya yang kuat kepada Uzair dan Nasrani karena kecintaannya yang besar kepada Nabi Isa as, maka keduanya mereka yakini sebagai putra-putra Allah swt. Kebiasaan ini juga telah menyebar di sekitar kita dan menyebabkan beberapa orang memiliki kecenderungan ghuluw terhadap kami”.[171]
- Motivasi duniawi: Menurut Hasan bin Musa Nubakhti dalam Firaq al-Syiah, pada masa Imam Sadiq as, seseorang bernama Muhammad bin Abi Zainab, yang dikenal dengan nama Abu al-Khattab, mengklaim bahwa Imam Sadiq as adalah Tuhan dan dia sendiri telah dipilih sebagai nabi. Dengan pemikiran ghuluw ini, ia mendapatkan pendukung.[172] Dikatakan mereka dengan mengacu pada syariat berupaya memberikan jalan untuk membolehkan dosa dan meninggalkan kewajiban dalam lingkungan Islam, sehingga kemewahan dan kesenangan mereka seolah mendapatkan pembenaran syariah.[173] Contoh lain dari motivasi semacam ini telah dikemukakan dalam riwayat Imam Hasan Askari as, yang di dalamnya ia memperkenalkan dua tokoh besar di zamannya, bernama Muhammad bin Nasir Fahri dan Hasan bin Muhammad al-Qummi, sebagai orang licik yang dengan pemikiran ghuluwnya telah mengambil harta dari para pengikutnya.[174]
- Peran tokoh yang berpengaruh: Menurut Shalihi Najafabadi, beberapa dari kaum Ghulat menuangkan pemikiran mereka yang menyimpang dan berlebihan dalam bentuk hadis dan menghubungkannya dengan para Imam as. Mereka telah menugaskan sebuah kelompok sebagai agen-agen yang berpengaruh untuk memperkenalkan diri mereka sebagai pendukung para imam. Setelah mendapatkan kepercayaan dari para sahabat para imam, para sahabat para imam akan tertarik dan meminjam kitab-kitab mereka dengan tujuan ingin menyalin berita mereka, lalu memasukkan berita palsu mereka ke dalam kitab-kitab yang ditranskrip tersebut dan mengembalikan kitab aslinya kepada pemiliknya. Kitab-kitab yang ditranskrip ini diperbanyak, maka tersebarlah periwayatan-periwayatan palsu tersebut.[175]
Ada juga yang berpendapat bahwa pengaruh orang-orang dari penganut Yudaisme dan Kristen, yang juga terjebak dalam pemikiran ghuluw yang menyebarkannya kepada umat Islam untuk menciptakan penyimpangan, adalah salah satu dari faktor-faktor yang menyebabkan munculnya pemikiran dan kecenderungan ghuluw dalam umat Islam.[176]
- Adanya mitos-mitos: Adanya mitos dan pemujaan terhadap pahlawan adalah salah satu faktor yang menyebabkan dibuatnya cerita yang dilebih-lebihkan tentang beberapa tokoh agama dan pemuka kaum.[177]
- Fanatisne buta: Fanatisme semacam ini telah menjadi salah satu faktor utama munculnya pemikiran ghuluw di berbagai komunitas, khususnya di kalangan umat Islam.[178]
Catatan Kaki
- ↑ Ibnu 'Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, jld. 4, hlm. 330
- ↑ Syekh Mufid, Tashih al-I'tiqadat, hlm. 109
- ↑ Tharihi, Majma' al-Bahrain, kata "غلا"
- ↑ QS. An-Nisa [4] : 171; al-Maidah [5] : 77
- ↑ Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 2, hlm. 427; Nahj al-Balaghah, hikmah no 469, hlm. 558; Thabarsi, al-Ihtijaj, jld. 2, hlm. 438
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Syekh Shaduq, al-I'tiqadat, hlm. 97; Syekh Mufid, Tashih al-I'tiqadat, hlm. 109; Ibnu Taimiyah, Minhaj al-Sunnah, jld. 2, hlm. 435
- ↑ Shafari Furusyani, Jaryan Syenasi-ye Ghuluw, hlm. 114
- ↑ Rezai, Ta'ammuli dar Ghuluw, hlm. 106
- ↑ Rezai, Ta'ammuli dar Ghuluw, hlm. 106
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Syahrestani, al-Milal wa al-Nihal, jld. 1, hlm. 203 & 220
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 4, hlm. 80 & jld. 30, hlm. 102
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 25, hlm. 346; Shadr, Buhuts fi Syarh al-'Urwah al-Wutsqa, jld. 3, hlm. 306
- ↑ Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 25, hlm. 346
- ↑ Thabathabai, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, jld. 5, hlm. 149 & jld. 6, hlm. 69
- ↑ Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 25, hlm. 286
- ↑ Syahrestani, al-Milal wa al-Nihal, jld. 1, hlm. 210
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Shafari Furusyani, Ghaliyan, (Kavusyi dar Jaryanha va Barayandeha), hlm. 143
- ↑ Shafari Furusyani, Ghaliyan, (Kavusyi dar Jaryanha va Barayandeha), hlm. 143
- ↑ Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 25, hlm. 346
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Syekh Shaduq, al-I'tiqadat, hlm. 100-10; Shadr, Buhuts fi Syarh al-'Urwah al-Wutsqa, jld. 3, hlm. 306-307
- ↑ Syekh Shaduq, al-I'tiqadat, hlm. 100-101
- ↑ Shadr, Buhuts fi Syarh al-'Urwah al-Wutsqa, jld. 3, hlm. 306
- ↑ Ghafar, Syubhah al-Ghuluw inda al-Syiah, hlm. 129
- ↑ Baghdadi, al-Firaq baina al-Firaq, hlm. 255
- ↑ Esfarayeni, al-Tabshir fi al-Din, hlm. 32
- ↑ Tha'imah, al-Ghuluw wa al-Firaq al-Ghaliyah baina al-Islamiyin, hlm. 227; Ghafar, Syubhah al-Ghuluw inda al-Syiah, hlm. 129
- ↑ Ghafar, Syubhah al-Ghuluw inda al-Syiah, hlm. 129
- ↑ Haidari, Ghuluw, Haqiqat va Aqsam-e an, hlm. 13
- ↑ Thabrisi, Majma' al-Bayan, jld. 6, hlm. 453
- ↑ Thabrisi, Majma' al-Bayan, jld. 6, hlm. 453
- ↑ Thabrisi, Majma' al-Bayan, jld. 6, hlm. 453; Thabathabai, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, jld. 12, hlm. 275
- ↑ Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 25, hlm. 346
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Tha'imah, al-Ghuluw wa al-Firaq al-Ghaliyah baina al-Islamiyin, hlm. 241; Shafari Furusyani, Ghaliyan (Jaryanha va Barayandeha), hlm. 145-148
- ↑ Maqrizi, al-Mawaizh wa al-I'tibar fi Dzikr al-Khithath wa al-Atsar, jld. 4, hlm. 184
- ↑ Maqrizi, al-Mawaizh wa al-I'tibar fi Dzikr al-Khithath wa al-Atsar, jld. 4, hlm. 184
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Amin, A'yan al-Syiah, jld. 1, hlm. 23
- ↑ Shafari Furusyani, Ghaliyan (Jaryanha va Barayandeha), hlm. 101
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Asy'ari Qummi, Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-Mushalin, hlm. 19
- ↑ Asy'ari Qummi, al-Maqalat wa al-Firaq, hlm. 46-47; Shafari Furusyani, Ghaliyan (Jaryanha va Barayandeha), hlm. 101
- ↑ Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 2, hlm. 201; Mudarrisi Thabathabai, Maktab dar Farayand-e Takamul, hlm. 60
- ↑ Noubakhti, Firaq al-Syiah, hlm. 29; Asy'ari, Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-Mushalin, hlm. 19
- ↑ Noubakhti, Firaq al-Syiah, hlm. 62
- ↑ Noubakhti, Firaq al-Syiah, hlm. 62-63; Subhani, Buhuts fi al-Milal wa al-Nihal, jld. 7, hlm. 15
- ↑ Shadr, Buhuts fi Syarh al-'Urwah al-Wutsqa, jld. 3, hlm. 306
- ↑ Syekh Shaduq, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jld. 1, hlm. 360
- ↑ Shafari Furusyani, Jaryan Syenasi Ghuluw, hlm. 122
- ↑ Syekh Shaduq, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jld. 1, hlm. 360
- ↑ Shafari Furusyani, Ghaliyan (Kvusyi dar Jaryanha va Barayandeha), hlm. 35
- ↑ Syekh Mufid, Tashih al-I'tiqadat, hlm. 135
- ↑ Syekh Mufid, Tashih al-I'tiqadat, hlm. 136
- ↑ Haidari, Ghuluw, Haqiqat va Aqsam-e an, hlm. 37
- ↑ Thabathabai, Risalah fi Ilm al-Nabi wa al-Imam bi al-Ghaib, hlm. 47; Shafari Furusyani, Ghaliyan (Kavusyi dar Jaryanha va Barayandeha), hlm. 35
- ↑ Syekh Mufid, Awail al-Maqalat, hlm. 67
- ↑ Haidari, Ghuluw, Haqiqat va Aqsam-e an, hlm. 37
- ↑ Syekh Mufid, Tashih al-I'tiqadat, hlm. 131-134
- ↑ Noubakhti, Firaq al-Syiah, hlm. 83
- ↑ Noubakhti, Firaq al-Syiah, hlm. 29
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Hakim Neisyaburi, al-Mustadrak ala al-Shahihain, jld. 3, hlm. 86; Neisyaburim Shahih Muslim, jld. 7, hlm. 116; Khatib Baghdadi, Tarikh Baghdad, jld. 10, hlm. 263
- ↑ Khatib Baghdadi, Tarikh Baghdad, jld. 10, hlm. 263
- ↑ Shalihi Najafabadi, Ghuluw (Dar Amadi dar Jaryanha va Barayandeha), hlm. 39-49
- ↑ Hakim Neisyaburi, al-Mustadrak ala al-Shahihain, jld. 3, hlm. 86
- ↑ Fakhr Razi, al-Tafsir al-Kabir, jld. 21, hlm. 433; Suktawari, Muhadharah al-Awail, hlm. 168
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke Syafi'i Syahrudi, Guzideh'i jami' az al-Ghadir, hlm. 733; Shafari Furusyani, Ghaliyan, (Kavusyi dar Jaryanha va Barayandeha), hlm. 39-40
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Amini, al-Ghadir, jld. 11, hlm. 103-195; Ibnu Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, jld. 5, hlm. 503; Noubakhti, Firaq al-Syiah, hlm. 52
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Amini, al-Ghadir, jld. 11, hlm. 71-101
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 2, hlm. 201; Fakr razi, al-Tafsir al-Kabir, jld. 12, hlm. 526
- ↑ QS. Al-Infithar [82] : 8
- ↑ Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 2, hlm. 201
- ↑ Fakhr Razi, al-Tafsir al-Kabir, jld. 12, hlm. 526
- ↑ Fakhr Razi, al-Tafsir al-Kabir, jld. 12, hlm. 526
- ↑ Untuk contoh silakn lihat ke: Haqi Barusawi, Tafsir Ruh al-Bayan, jld. 10, hlm. 139; Amini, al-Ghadir, jld. 8, hlm. 49
- ↑ Amini, al-Ghadir, jld. 8, hlm. 48-49
- ↑ Amini, al-Ghadir, jld. 8, hlm. 49
- ↑ QS. Al-Haaqah [69] : 17
- ↑ Haqi Barusawi, Tafsir Ruh al-Bayan, jld. 10, hlm. 139
- ↑ Haqi Barusawi, Tafsir Ruh al-Bayan, jld. 10, hlm. 139
- ↑ Shafari Furusyani, Ghaliyan, (Kavusyi dar Jaryanha va Barayandeha), hlm. 42
- ↑ Masyku, Tarikh-e Syieh va Firaqha-ye Islami Ta Qarn-e Charum-e Hijri, hlm. 154
- ↑ Masyku, Tarikh Syieh va Firaqha-ye Islami ta Qarn-e Charum-e Hijri, hlm. 154
- ↑ Ahmadi, Ghaliyan va Andisyeh Tahrif-e Quran, hlm. 194-195
- ↑ Ahmadi, Ghaliyan va Andisyeh Tahrif-e Quran, hlm. 220
- ↑ Asad Haidar, al-Imam al-Shadiq wa al-Madzahib al-Arba'ah, hlm. 80-81
- ↑ Qasimi, Qawaid al-Tahdits, hlm. 250
- ↑ Qasimi, Qawaid al-Tahdits, hlm. 250
- ↑ Suyuthi, Tanwir al-Hawalik, hlm. 7-8
- ↑ Shlihi Najafabadi, Ghuluw (Dar Amadi bar Afkar va Aqaid-e Ghaliyan dar Din), hlm. 59
- ↑ Ghafari, al-Kafi (bagian muqaddimah), jld. 1, hlm. 25
- ↑ Allamah Majlisi, Mirah al-'Uqul, jld. 1, hlm. 22
- ↑ Nuri, Mustadrak al-Wasail, jld. 3, hlm. 533
- ↑ Shalihi Najafabadi, Ghuluw (Dar Amadi bar Afkar va Aqaid-e Ghaliyan dar Din), hlm. 59-61
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Asad Haidar, al-Imam al-Shadiq wa al-Mazahib al-Arba'ah, jld. 1, hlm. 316; Amini, al-Ghadir, jld. 11, hlm. 127, 137, 170 * & 195
- ↑ Asad Haidar, al-Imam al-Shadiq wa al-Mazahib al-Arba'ah, jld. 1, hlm. 316
- ↑ Amini, al-Ghadir, jld. 11, hlm. 128
- ↑ Abu Zahra, Abu Hanifah, Hayatuhu wa 'Ashruhu-Arauhu va Fiqhuhu, hlm. 7
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Amini, al-Ghadir, jld. 11, hlm. 127, 137, 170 & 195
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Amini, al-Ghadir, jld. 11, hlm. 127, 137, 170 & 195
- ↑ Amini, al-Ghadir, jld. 11, hlm. 195
- ↑ Shafari Furusyani, Ghaliyan, (Kavusyi dar Jaryanha va Barayandeha), hlm. 317
- ↑ Ibnu Abdu Rabbih, 'Aqd al-Farid, jld. 2, hlm. 250
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Maqrizi, al-Mawaizh wa al-I'tibar fi Dzikr al-Khithath wa al-Atsar, jld. 4, hlm. 184; Shafari Furusyani, Ghaliyan, (Kavusyi dar Jaryanha va Barayandeha), hlm. 317
- ↑ Amin, A'yan al-Syiah, jld. 1, hlm. 23
- ↑ Amin, A'yan al-Syiah, jld. 1, hlm. 23
- ↑ Iraqi, al-Firaq baina Ahli al-Zig wa al-Zindiqah, hlm. 30
- ↑ Ibnu Taimiyah, Minhaj al-Sunnah, hlm. 187
- ↑ Shafari Furusyani, Ghaliyan, (Kavusyi dar Jaryanha va Barayandeha), hlm. 318
- ↑ Thabathabai Yazdi, al-'Urwah al-Wutsqa, jld. 6, hlm. 325; Shadr, Buhuts fi Syarh al-'Urwah al-Wutsqa, jld. 3, hlm. 306; Sabzawari, Muhdzib al-Ahkam, jld. 1, hlm. 382
- ↑ Qamishi, al-Shira' baina al-Islam wa al-Watsniyah, jld. 1, hlm. «ح», (bagian muqaddimah)
- ↑ Untuk Contoh silakan lihat ke: Asy'ari QUmmi, al-Maqalat wa al-Firaq, hlm. 47-48
- ↑ Syekh Thusi, Ikhtiyar Ma'rifah al-Rijal, jld. 1, hlm. 304
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Jarullah, al-Wasyi'ah fi Naqd 'Aqaid al-Syi'ah, hlm. 92-93 & 118; Qamishi, al-Shira' baina al-Islam wa al-Watsniyah, jld. 1, hlm. «و & «ب» (bagian muqaddimah); Shaibi, al-Shillah baina al-Tashawuf wa al-Tasyayu', jld. 1, hlm. 121
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Amin, Naqdh al-Washi'ah, hlm. 375-376 & 406-410
- ↑ Untuk Contoh silakan lihat ke: Mudarrisi Thabathabai, Maktab dar Farayand-e Takamul, hlm. 73-75 & 227-228
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Kadivar, Qiraat-e Faramusy Syudeh, hlm. 576
- ↑ Syekh Thusi, Ikhtiyar Ma'rifah al-Rijal, jld. 1, hlm. 247
- ↑ Mudarrisi Thabathabai, Maktab dar Farayand-e Takamul, hlm. 73-74
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Kadivar, Qiraat-e Faramusy Syudeh, hlm. 576-578
- ↑ Anshari, Ulama-e Abrar; Didgahi ke hic Mustanadi-e Tarikhi Nadarad, site kateban.com
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Rezai, Shafari Furusyani, Tabyin-e Ma'nai Istilah-e Ulama-e Abrar ba Ta'kid bar Jaryanat-e Fikri-e Ashab-e Aimmeh, hlm. 77
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Najjasyi, Rijal al-Najjasyi, hlm. 156; Khu'i, Mu'jam Rijal al-Hadits, jld. 20, hlm. 149-150
- ↑ Mudarrisi Thabathabai, Maktab dar Farayand-e Takamul, hlm. 63-64
- ↑ Shafari Furusyani, Ghaliyan, (Kavusyi dar Jaryanha va Barayandeha), hlm. 339
- ↑ Shafari Furusyani, Ghaliyan, (Kavusyi dar Jaryanha va Barayandeha), hlm. 339-340
- ↑ Syekh Thusi, Ikhtiyar Ma'rifal al-Rijal, jld. 1, hlm. 512
- ↑ Najjasyi, Rijal al-Najjasyi, hlm. 42
- ↑ Hairi, Muntaha al-Maqal, jld. 3, hlm. 49-53; Mamaqani, Tanqih al-Maqal, jld. 22, hlm. 227
- ↑ Khu'i, Mu'jam Rijal al-Hadits, jld. 20, hlm. 150
- ↑ Shafari Furusyani, Ghaliyan, (Kavusyi dar Jaryanha va Barayandeha), hlm. 345
- ↑ Shafari Furusyani, Ghaliyan, (Kavusyi dar Jaryanha va Barayandeha), hlm. 345
- ↑ Untuk contoh silakn lihat ke: Syekh Thusi, Ikhtiyar Ma'rifah al-Rijal, jld. 1, hlm. 224; Syekh Shaduq, al-Khishal, jld. 2, hlm. 402
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Nahj al-Balaghah, hikmah no. 429, hlm. 558; Syekh Shaduq, 'Uyun Akhbar al-Ridha, jld. 1, hlm. 116; Ahmad bin Hanbal, Musnad, jld. 1, hlm. 215
- ↑ Ahmadi Kuca'i, Barresi-e Cegunegi- Taqabul-e Aimmeh ba Jaryanhay-e Ghaliyan az Agaz ta Durey-e Imam Shadiq, hlm. 103
- ↑ Ahmadi Kuca'i, Barresi-e Cegunegi- Taqabul-e Aimmeh ba Jaryanhay-e Ghaliyan az Agaz ta Durey-e Imam Shadiq, hlm. 103-104
- ↑ Syekh Shaduq, al-Khishal, jld. 2, hlm. 402
- ↑ Syekh Thusi, Ikhtiyar ma'rifah al-Rijal, jld. 1, hlm. 224
- ↑ Syekh Thusi, Ikhtiyar ma'rifah al-Rijal, jld. 1, hlm. 302
- ↑ Hur 'Amili, Itsbat al-Hudah, jld. 3, hlm. 746
- ↑ Hur 'Amili, Itsbat al-Hudah, jld. 3, hlm. 746
- ↑ Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 25, hlm. 370; Kassyi, Ikhtiyar Ma'rifah al-Rijal, jld. 1, hlm. 191-192
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Shafari Furusyani, Ghaliyan, (Kavusyi dar Jaryanha va Barayandeha), hlm. 361; Mudarrisi Thabathabai, Maktab dar Farayand-e Takamul, hlm. 83-84
- ↑ Mudarrisi Thabathabai, Maktab dar Farayand-e Takamul, hlm. 84
- ↑ Syekh Shaduq, al-I'tiqadat, hlm. 97
- ↑ Syekh Shaduq, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jld. 1, hlm. 190
- ↑ Jabbari, Maktab Haditsi Qum, hlm. 393-394
- ↑ Rezai, Taamul-e dar ma'na-e Ghuluw, hlm. 104
- ↑ Kasyif al-Ghitha, Kasyf al-Ghitha an Mubhamat al-Syari'ah al-Gharra, jld. 2, hlm. 355, jld. 4, hlm. 199
- ↑ Hakim, Mustamsik al-'Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hlm. 386
- ↑ Syekh Shaduq, al-I'tiqadat, hlm. 97; Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 4, hlm. 80; Thabathabai Yazdi, al-'Urwah al-Wutsqa, jld. 6, hlm. 325
- ↑ Shadr, Buhuts fi Syarh al-'Urwah al-Wutsqa, jld. 3, hlm. 306; Sabzawari, Muhdzib al-Ahkam, jld. 1, hlm. 382
- ↑ Shadr, Buhuts fi Syarh al-'Urwah al-Wutsqa, jld. 3, hlm. 306
- ↑ Syekh Anshari, Kitab al-Thaharah, jld. 5, hlm. 150; Hakim, Mustamsik al-'Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hlm. 386
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 4, hlm. 80; Hakim, Mustamsik al-'Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hlm. 386
- ↑ Shalihi Najafabadi, Ghuluw (Dar Amadi bar Afkar va 'Aqaid-e Ghaliyan da Din), hlm. 19
- ↑ Shafari Furusyani, Ghaliyan, (Kavusyi dar Jaryanha va Barayandeha), hlm. 33-31
- ↑ Shaibi, al-Shillah bain al-Tashawuf wa al-Tasayu' , hlm. 133; Razavi, Pazuhesyi Piramun-e Ghuluw va Jaryan Ghaligiri dar Syi'eh, hlm. 42
- ↑ Valavi, Tarikh-e Kalam va Mazahib-e Eslami, hlm. 72-73; Shaibi, Tasyayu' va Tashawuf ta Agaz-e Sadeh Davazdahum-e Hijri, penerjemah Ali ridha Dzakawati, hlm. 20
- ↑ Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, jld. 7, hlm. 50-51
- ↑ Shaibi, al-Shillah bain al-Tashawuf wa al-Tasayu' , hlm. 132
- ↑ Shaibi, al-Shillah bain al-Tashawuf wa al-Tasayu' , hlm. 132
- ↑ Ja'fariyan, Barresi-e can Rivayat-e Tarikhi dar Bab-e Ghaliyan 'Ashr-e Khelafat-e Emam Ali (as), hlm. 25
- ↑ Shalihi Najafabadi, Ghuluw (Dar Amadi bar Afkar va 'Aqaid-e Ghaliyan da Din), hlm. 64
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 1, hlm. 452; Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 79, hlm. 91
- ↑ Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 1, hlm. 452; Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 79, hlm. 91
- ↑ Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 1, hlm. 452; Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 2, hlm. 207
- ↑ Syekh Mufid, al-Fushul al-Mukhtarah, hlm. 240
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Shalihi Najafabadi, Ghuluw (Dar Amadi bar Afkar va 'Aqaid-e Ghaliyan da Din), hlm. 77-78; Haidari, Ghuluw, Haqiqat va Aqsam-e an, hlm. 21-25
- ↑ Shalihi Najafabadi, Ghuluw (Dar Amadi bar Afkar va 'Aqaid-e Ghaliyan da Din), hlm. 77; Haidari, Ghuluw, Haqiqat va Aqsam-e an, hlm. 21
- ↑ Asad Haidar, al-Imam al-Shadiq wa al-Mazahib al-Arba'ah, jld. 1, hlm. 234
- ↑ Haidari, Ghuluw, Haqiqat va Aqsam-e an, hlm. 21
- ↑ Thabarsi, al-Ihtijaj, jld. 2, hlm. 489
- ↑ Razavi, Pazuhesyi Piramun-e Ghuluw va jaryan Ghaligiri dar Syi'eh, hlm. 47
- ↑ Syekh Thusi, Ikhtiyar Ma'rifah al-Rijal, jld. 1, hlm. 120
- ↑ Noubakhti, Firaq al-Syiah, hlm. 44
- ↑ Shalihi Najafabadi, Ghuluw (Dar Amadi bar Afkar va 'Aqaid-e Ghaliyan da Din), hlm. 102-103
- ↑ Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 25, hlm. 317; Haidari, Ghuluw, Haqiqat va Aqsam-e an, hlm. 23-24
- ↑ Shalihi Najafabadi, Ghuluw (Dar Amadi bar Afkar va 'Aqaid-e Ghaliyan da Din), hlm. 11-12
- ↑ Ghulat az Nazar-e Syekh Mufid, site ensani.ir
- ↑ Haji Zadeh dan lain-lain, Risyeha va 'Ilal-e Peydayesy-e Ghuluw dar 'Ashr-e Aimmeh (as), hlm. 114
- ↑ Haji Zadeh dan lain-lain, Risyeha va 'Ilal-e Peydayesy-e Ghuluw dar 'Ashr-e Aimmeh (as), hlm. 118
Daftar Pustaka
- Ghulat az Nazar-e Syekh Mufid. Site ensani.ir, dilihat 20 Aban 1402 S.
- Abu Zahrah, Muhammad. Abu Hanifah Hayatuhu wa 'Ashruhu Arauhu wa Fiqhuhu. Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, tanpa tahun.
- Ahmadi Kuca'i, Majid. Barresi-e Cegunegi- Taqabul-e Aimmeh ba Jaryanhay-e Ghaliyan az Agaz ta Durey-e Imam Shadiq. Tarikh-e Farhangg va Tamaddun-e Islami, vol. 10, 1392 S.
- Ahmadi, Muhammad Hasan. Ghaliyan va Andisyeh Tahrif-e Quran. Jurna Ulum-e Hadis, vol. 2, bulan Syahrivar 1389 S.
- Allamah Majlisi, Muhammad Baqir. Bihar al-Anwar. Beirut: Yayasan al-Wafa, 1403 HS.
- Allamah Majlisi, Muhammad Baqir. Mirah al-UqulTeheran: Dar al-Kutub al-Islamiah, 1404 HS.
- Amin, Abdul Husain. al-Ghadir. Qom: Markaz al-Ghadir, 1416 HS.
- Amin, Sayid Muhsin. A'yan al-Syiah. Beirut: Dar al-Ta'arif li al-Mathbu'at, tanpa tahun.
- Amin, Sayid Muhsin. Naqdh al-Wasyi'ah. Beirut: Yayasan al-A'lami li al-Mathbu'at, 1403 HS.
- Anshari, Hasan. Ulama-e Abrar; Didgahi ke hic Mustanadi-e Tarikhi Nadarad. Site kateban.com, diakses 6 Khurdad 1396 S, dilihat 22 Aban 1402 S.
- 'Asy'ari Qummi, Sa'ad bin Abdull. al-Maqalat wa al-Firaq. Riset: Muhammad Jawad Masykur. Teheran: Perusahaan Penerbitaan Ilmi va Farhanggi, 1360 S.
- 'Asy'ari, Abu al-Hasan. Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-Mushalin. Jerman: Franz Steiner, 140 HS.
- Baghdadi, Abdul Qadir bin Thahir. al-Firaq bain al-Firaq. Perpustakaan dan Percetakan Muhammad Ali Shabih wa Auladuh, 1977 M.
- Baladzuri, Ahmad bin Yahya. Ansab al-Asyraf. Beirut: Dar al-Fikr, 1417 HS.
- Dzahabi, Syamsuddin. Mizan al-I'tidal. Beirut: Dar al-Ma'rifah li al-Mathbu'at wa al-Nashr, cet. 1, 1382 HS.
- Fakhr Razi, Muhammad bin Umar. al-Tafsir al-Kabir. Beirut: Dar al-Turats al-Arabi, 1420 HS.
- Ghafar, Abdul Rasul. Syubhah al-Ghulu inda al-Syi'ah. Beirut: Dar al-Mahajjah al-Baidha, 1415 HS.
- Ghafari, Ali Akbar. al-Kafi. (bagian muqaddimah). Penyusun: Muhammad bin Ya'qub Kulaini. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiah, cet. 4, 1407 HS.
- Haidar, Asad. al-Imam al-Shadiq wa al-Mazahib al-Arba'ah. Beirut: Dar al-Ta'arif, 1422 HS.
- Haidari, Sayid Kamal. Ghuluw, Haqiqat va Aqsam-e an. teheran: Penerbit Mas'ar, 1391 S.
- Hairi, Abu Ali. Muntaha al-Maqal fi Ahwal al-Rijal. Qom: Yayasan Alulbait, 1416 HS
- Hakim Neisyaburi, Muhammad bin Abdullah.al-Mustadrak al-Shahihain. beirut: Dar al-Ma'rifah, tanpa tahun.
- Hakim, Sayid Muhsin. Mustamsik al-'Urwah al-Wutsqa. Qom: Dar al-Tafsir, 1391 HS.
- Haqi, Barusawi. Ismail. Tafsir Ruh al-Bayan. Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun.
- Hazi Zadeh, Yadullah dan lain-lain. Riseyeha va 'Ilal-e Peydayesy-e Ghuluw dar "ashr-e Aimmeh (as). Tarikh-e Farhangg-e Tamaddun-e Islai, vol. 12, 1392 S.
- Hur 'Amili, Muhammad bin Hasan. Itsbat al-Hudah li al-Nushush wa al-Mu'jizat. Beirut: Yayasan al-A'lami li al-Mathbu'at, 1425 HS.
- Ibnu Abdu Rabbih, Ahmad bin Muhammad. 'Aqd al-Farid. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1407 HS.
- Ibnu Abi al-Hadid, Abdul Hamid bin Hibbatullah. Syarh Nahj al-Balaghah. Qom: Perpustakaan Ayatullah Mar'asyi Najafi, 1363 S.
- Ibnu 'Asyur, Muhammad Thahir. Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir. Beirut: Yayasan al-Tarikh al-Arabi, 1420 HS.
- Ibnu Atsir, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad. al-Kamil fi Tarikh. Beirut: Dar Shadir, cet. 1, 1385 HS.
- Ibnu Hanbal, Ahmad bin Muhammad. Musnad Ahmad. Beirut: Yayasan al-Risalah, 1416 HS.
- Ibnu Sa'ad, Muhammad bin Sa'ad. al-Thabaqat al-Kubra. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1410 HS.
- Ibnu Taimiyah, Taqi al-Din Abu al-Abbas. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah fi Naqd Kalam al-Syiah al-Qadariyah. Universitas al-Imam bin Muhammad Saud al-Islamiah, cet. 1, 1406 S, tanpa tempat.
- Iraqi, Utsman bin Abdullah. al-Firaq al-Muftariqah baina Ahli al-Zig wa al-Zindiqah. Ankara: Tanpa penerbit, 1961 M.
- Isfarayeni, Syahfur bin Thahir. al-Tabshir fi al-Din. Kairo: Perpustakaan al-Azhariyah li al-Turats, tanpa tahun.
- Ja'fariyan, Rasul. Barresi-e can Rivayat-e Tarikhi dar Bab-e Ghaliyan 'Ashr-e Khelafat-e Imam Ali (as). Pazuhesyha-e Tarikhi, vol. 4, 1390 S.
- Jarullah, Muhammad Ridha. Maktab Haditsi Qum. Qom: Penerbit Zair, 1384 S.
- Kadivar, Muhsin. Qiraat-e Faramusy Syudeh. Jurnal Madreseh, vol. 3, Urdibehest, 1385 S.
- Kasyif al-Ghitha, Ja'far. Kasyf al-Ghitha an Mubhamat al-Syari'ah al-Gharra. Qom: Kantor Tabligat Islami Hauzah Ilmiah Qom: 1420 HS.
- Khatib Bahgdadi, Ahmad bin Ali. Tarikh Baghdad au Madinah al-Islam. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1417 HS.
- Khu'i, Sayid Abu al-Qasim. Mu'jam Rijal al-Hadits. Qom: Kantor Ayatullah al-Udhma Khu'i, 1409 HS.
- Mamaqani, Abdullah. Tanqih al-Maqal fi Ilm al-Rijal. Qom: Yayasan Alulbait, 1431 HS.
- Maqrizi, Taqiyuddin. al-Mawaidz wa al-I'tibar fi Dzikr al-Khithath wa al-Atsar. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1418 HS.
- Masykur, Muhammad Jawad. Tarikh Syieh va Ferqehay-e Eslami ta Qarn-e Charum-e Hijri. Teheran: Penerbit Syarqi, 1379 S.
- Mudarrisi Thabathabai, Sayid Husain. Maktab dar Farayand-e Takamul. Penerjemah: Izdepanah. Penerbit: Kavir, 1398 S.
- Nahj al-Balaghah. Editor: Subhi Shalihi. Qom: Markaz al-Buhuts al-Islami, 1408 HS.
- Najafi, Muhammad Hasan. Jawahir al-kalam. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi. Cet. 7, 1362 S.
- Najjasyi, Abu al-Abbas Ahmad bin Ali. Rijal al-Najjasyi. Riset: Sayid Musa Musa Syubairi Zanjani. Qom: Yayasan al-Nashr al-Islami, 1407 HS.
- Neisyaburi, Muslim bin Hajjaj. Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, tanpa tahun.
- Noubakhti, Hasan bin Musa. Firaq al-Syiah. Beirut: Penerbit Dar al-Adhwa, tanpa tahun.
- Nuri, Husain. Mustadrak al-Wasail. Beirut: Yayasan Alulbait, 1408 HS.
- Qamishi, Abdullah. al-Shira' bain al-Islam wa al-Watsniyah. Kairo: Cet. 2, 1402 HS, tanpa penerbit.
- Qashimi, Jamaluddin. Qawaid al-Tahdits min Funun Musthalah al-Hadits. Beirut: Dar al-Nafais, 2006 M.
- Razavi, Sayid Muhammad. Pazuhesyi Piramun-e Ghuluw va Jaryan-e Ghaligiri dar Syi'eh. Jurnal Safineh, vol. 13, 1385 S.
- Rezai, Muhammad Ja'far dan Ni'matullah Shafari Furusyani. Tabyin-e Ma'na-e Istilahi-e Ulama-e Abrar ba Ta'kid bar Jaryanat-e Fikri Ashab-e Aimmeh. Andisyeh Nuin Dini, vo. 31, musim dingin 1391 S.
- Rezai, Muhammad Ja'far. Taamul-e da Ghuluw. dalam jurnal Haft-e Aseman, vol. 46, bulan Syahrivar 1389 S.
- Sabzawari, Sayid Abdul A'la. Muhdzib al-Ahkam. Qom: Dar al-Tafasir, tanpa tahun.
- Saktawari, Ali Dadah Alauddin. Muhadharah al-Awail. Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1398 HS.
- Shadr, Muhammad Baqir. Buhuts fi Syarh al-'Urwah al-Wutsqa. Qom: Majma' a-Syahid Ayatullah Shadr al-Alami, 1408 HS.
- Shafari Furusyani, Ni'matullah. Ghaliyan, (Kavusyi dar Jaryanha va Barayandeha). Masyhad: Astan-e Quds Razavi, 1378 S.
- Shafari, Furusyani. Ni'matullah. Jaryan Syenasi Ghulu. Ulum-e Hadis, vo. 1, musim gugur, 1375 S.
- Shaibi, Kamil Musthafa. Tasayu' va Tashawuf ta Agaz Sadeh Davazdahum-e Hijri. Penerjemah Ali Ridha Dzakawati. Teheran: Amir Kabir, cet. 5, 1386 S.
- Shaibi, Musthafa Kamil. al-Shillah bain al-Tashawuf wa al-Tasayu' . Beirut: Dar al-Andalus, 1982 M>
- Shalihi, Najafabadi, Ni'matullah. Ghuluw (Dar Amadi bar Afkar va Aqaid-e Ghaliyan dar Din). Teheran: Penerbit Kavir, 1384 S.
- Subhani, Ja'far. Buhuts fi al-Milal wa al-Nihal. Qom: Yayasan al-Nashr al-Islami, tanpa tahun.
- Suyuthi, Abdul Rahman. Tanwir al-Hawalik Syarh ala Muwatha Malik. Kairo: Perpustakaan al-Masyhad al-Husaini, tanpa tahun.
- Syafi'i Syahrudi, Muhammad Hasan. Guzideh'i Jami' az al-Ghadir. Yayasan Mirats Nabawi, 1430, tanpa tempat.
- Syahrestani, Muhammad bin Abdul Karim. al-Milal wa al-Nihal. Qom: Penerbit al-Syarif al-Razi, cet. 3, 1364 S.
- Syekh Anshari, Murtadha. Kitab al-Thaharah. Qom: Kongres Internasional Syekh Anshari, 1415 HS.
- Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad. al-Fushul al-Mukhtarah. Riset: Ali Mir Syarifi. Qom: Kongres Syekh Mufid, 1413 HS.
- Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad. Awail al-Maqalat. Beirut: Dar al-Mufid, cet. 2, 1414 HS.
- Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad. Tashih al-I'tiqadat Qom: Kongres Syekh Mufid, cet. 2, 1414 HS.
- Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali. al-I'tiqadat. Qom: Kongres Syekh Mufid, 1414 HS.
- Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali. al-Khishal. Riset: Ali Akbar Ghafari. Qom: Jamiah Mudarrisin, 1362 S.
- Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali. Man La Yahdhuruhu al-Faqih. Riset: Ali Akbar Ghafari. Qom: Kantor Penerbit Islami berafiliasi dengan Jamiah Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qom, cet. 2, 1413 HS.
- Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali. 'Uyun Akhbar al-Ridha. Beirut: Yayasan al-A'lami li al-Mathbu'at, 1404 HS.
- Syekh Thusi, Muhammad bin Hasan. Ikhtiyar Ma'rifal al-Rijal. Masyhad: Yayasan al-Nashr Universitas Masyhad, cet. 1, 1409 HS.
- Thabarsi, Ahmad bin Ali. al-Ihtijaj ala Ahli al-Lujaj. Masyhad: Penerbit Murtadha, cet. 1, 1403 HS.
- Thabathabai Sayid Muhammad Husain. al-Mizan fi Tafsir al-Quran. Beirut: Yayasan al-A'lami li al-Mathbu'at, 1393 HS.
- Thabathabai Yazdi. Sayid Muhammad Kazhim. al-Urwah al-Wutsqa. Qom: Yayasan al-Nashr al-Islami, cet. 1, 1417 HS.
- Thabrisi, Fadhl bin Hasan. Majma' al-Bayan. Beirut: Yayasan al-A'lami li al-Mathbu'at, 1415 HS.
- Tha'imah, Shabir Abdul Rahman. al-Ghulu wa al-Firaq al-Ghaliyah bain al-Islamiyin. Kairo: Perpustakaan Mabduli, 2009 M.
- Tharihi, Fakhruddin. Majma' al-Bahrain. Beirut: Yayasan al-Tarikh al-Arabi, 1428 HS.
- Valavi, Ali Muhammad. Tarikh-e Kalam va Mazahib-e Islami. Teheran: Penerbit Bi'tsat, 1394 S.