Tauhid

Prioritas: aa, Kualitas: b
Dari wikishia

Tauhid (bahasa Arab: التوحيد) berarti mengesakan Tuhan. Tauhid merupakan pokok keyakinan yang paling mendasar dan syiar terpenting Islam. Ajaran pertama yang dijelaskan oleh Nabi Islam saw untuk masyarakat adalah keyakinan tentang keesaan Tuhan, yang dituangkan dengan kalimat La Ilaha Illallah (tidak ada Tuhan selain Allah). Semua ajaran-ajaran keyakinan, akhlak dan fikih Islam bermuara kepada tauhid. [1] Kaum muslimin setiap hari dalam azan dan salat mereka, bersaksi akan keesaan Allah Swt.

Dalam tauhid nazari (teoritis) yang mencakup keyakinan tauhid kepada Allah. Seperti Allah memiliki Dzat Tunggal, tidak ada serupa dan padanan bagi-Nya (tauhid dzati/pengesaan Tuhan dalam dzat), dalam perbuatan-Nya juga tidak membutuhkan kepada selain-Nya dan semua eksistensi yang ada justru membutuhkan-Nya (tauhid af'ali/perbuatan). Adapun tauhid amali (amal dan perbuatan kita dalam menegakkan keesaaan Tuhan) juga hanya Allah sematalah yang layak untuk disembah dan sudah semestinya kaum Muslimin melaksanakan amalan-amalan agamanya hanya untuk Allah semata (tauhid af'ali) dan meminta bantuan hanya kepada-Nya. Menurut perspektif Syiah, bahkan sifat-sifat Allah juga tak lain adalah (identik) dengan Dzat Allah itu sendiri (tauhid sifat/pengesaan Tuhan dalam sifat).

Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran mengisyaratkan tentang tauhid dan kedudukan Allah Swt. Menurut Al-Quran, keyakinan tauhid merupakan akar fitrah manusia. Seluruh para nabi menyerukan tauhid dan upaya terbesar mereka adalah menghapus syirik, dan praktek-praktek kesyirikan, bahkan sejatinya tujuan pengutusan para nabi adalah untuk melawan kesyirikan dan mengembalikan kepada penyembahan Tuhan Yang Esa. Sebagian kaum Muslimin, dengan tafsir-tafsir tidak populer tentang makna ibadah mengklaim bahwa sebagian sikap-sikap yang marak dari kaum Muslimin bertentangan dengan tauhid. Pemikiran ini dikritik oleh mayoritas ulama Syiah dan Ahlusunah, bahkan merupakan pandangan yang tertolak.


Makna Tauhid

Tauhid berarti keesaan Tuhan, adalah pondasi utama akidah di dalam Islam.[1] Menurut umat Islam, Tuhan adalah satu-satunya pencipta dunia dan tidak ada sekutu bagi-Nya.[2] Tauhid dalam hadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi saw. dan para Imam maksum as, termasuk Imam Ali as dan Imam Shadiq as, dimaknai dengan arti bersaksi yang kandungannya adalah "Tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Tunggal dan tidak ada sekutu bagi-Nya.”[3] Kata Tauhid juga digunakan pada tema-tema ilmu kalam (teologi) yang berkaitan dengan keesaan Tuhan, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Menanggapi pertanyaan tentang makna tauhid, Imam Shadiq as dan Imam Ridho as dalam sebagian pembahasan ilmu kalam membawa argumen dengan menegasikan sifat-sifat manusia dari Tuhan.[4] Ada tiga pendekatan mengenai tauhid yang berbeda dalam tiga pendekatan teologi, irfan (mistis) dan falsafah; Tauhid secara teologis didasarkan pada konsep penerimaan keesaan Tuhan. Tauhid filosofis berarti iman yang timbul dari keyakinan berdasarkan akal terhadap keesaan Tuhan, dan tauhid secara ilmu irfan didasarkan pada syuhud (intuisi) dan mencapai keesaan Tuhan.[5] Tauhid dalam filsafat adalah tentang keesaan Wajib al-Wujud sebagai sebuah konsep, tetapi dalam ilmu irfan, ini bukan tentang konsep, tetapi tentang hakikat tauhid, yakni Tuhan itu sendiri, yang merupakan entitas tunggal, sedangkan makhluk lain hanyalah mendapat manfaat dari-Nya. [6] Usaha dari filosof adalah membuktikan tauhid, tetapi upaya urafa adalah intuisi dan pencapaian batin dari tauhid. Namun, kitab Hikmah Muta’aliyah yang dinisbatkan kepada penulisnya, yakni Mulla Sadra Shirazi dianggap sebagai usaha kombinasi dari Al-Qur'an, irfan, dan burhan (pembuktian), serta intuisi mistik yang diungkapkan di dalamnya bersamaan dengan argumen.[7]


Kedudukan Tauhid dalam Agama Islam

Ajaran tauhid merupakan poros ajaran Islam dan merupakan pesan terpenting Al-Quran. Masalah ini terlihat dari afirmasi Al-Quran dan riwayat-riwayat, sampai-sampai kurang lebih sepertiga ayat-ayat Al-Quran berkaitan dengan masalah tauhid. Menurut legitimasi Al-Quran, semua pesan para nabi adalah keyakinan terhadap tauhid. [2]

Agama Islam mengenalkan tauhid sebagai pilar utama ketuhanan dan sumber kehidupan sejati dan menyebut syirik (menyekutukan-Nya) sebagai sebuah dosa tak terampuni:

﴾إِنَّ اللّهَ لاَ یغْفِرُ أَن یشْرَکَ بِهِ وَیغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِکَ لِمَن یشَاء وَمَن یشْرِکْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَی إِثْمًا عَظِیمًا﴿
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar." [3]

Dalam sebuah riwayat dari Amirul Mukminin as, tauhid merupakan dasar untuk makrifat kepada Allah Swt. [4]

Menurut sejarah juga, dakwah Nabi Islam saw, sejak permulaan memiliki dua aspek tabligh. aspek pertama adalah menyeru penghambaan semata-mata kepada Allah yang Esa dan aspek keduanya adalah menyingkirkan penyembahan berhala dan segala keyakinan yang beraromakan kemusyrikan. Seluruh ajaran dan syariat didasarkan pada ajaran dua aspek ini. Kalimat pertama Rasulullah saw kepada masyarakat Mekah di awal permulaan dakwah secara terang-terangan juga mengandung dua aspek tauhid ini: Kesaksian akan keesaan Tuhan dan menjauhi syirik. [5] Para utusan yang dia kirim ke kota-kota dan kabilah-kabilah juga diperintahakan – sebelum perkataan apapun - dan mengajak masyarakat untuk bersaksi dan menerima keesaan Allah Swt. [6]

Urgensitas dan kedudukan poros keyakinan tauhid di tengah-tengah kaum muslimin menyebabkan sebagian ulama menggunakan tauhid sebagai tanda seseorang muslim dan titik perbedaan mereka dengan para pengikut agama selainnya; dengan demikian kaum muslimin disebut dengan ahli tauhid. [7]

Tauhid dalam Al-Quran

Urgensitas pokok tauhid dalam Al-Quran sebagai konten asli wahyu Rasulullah saw tak lain adalah pendeklarasian keesaan Tuhan[8] dan untuk menghilangkan segala klaim non-tauhid juga diisyaratkan bahwa pemberi wahyu semua para nabi meyakini satu Tuhan (yaitu Allah Swt). [9]

Implikasi tentang keesaan Allah dalam Al-Quran diungkapkan dengan beragam ungkapan:

  • Penafian segala Tuhan selain Dia: La Ilaha Illa Allah (dan juga: Illa Huwa, Illa Ana, Illa Anta) dan ibarat-ibarat sepadannya: ma min Ilahin Illa Allah (dan juga: man Ilahun ghairu Allah, A ghaira Allah Abghikum Ilahan, A Ilahun ma'a Allahi, ma lakum min Ilahin ghairihi, ma Kâna ma'ahu min Ilahin).
  • Ketunggalan Allah: Huwallahu Ahad (dan juga: innama Huwa Ilâhun Wâhidun, Allahu al-Wâhidu, innama Allahu Ilâhun Wâhidun).
  • Satu Tuhan untuk kesemuanya: Ilâhukum Ilahun Wâhidun (dan juga: Ilahuna wa Ilahukum Wâhidun, Ilâhin Nâsi).
  • Tuhan seluruh Alam: Huwa alladzi fi al-Samâi Ilahun wa fi al-Ardhi Ilahun.
  • Mencela orang-orang yang meyakini banyak tuhan atau keberadaan tuhan selain Allah: A ifkan Alihah dunallahi Turîduun. [10]
  • Legimitasi terhadap keharusan melepaskan keyakinan banyak tuhan: wa la Taj'al ma'a Allahi Ilâhan Âkhar. [11]
  • Menolak klaim Trinitas dan tiga sesembahan: laqad Kafara al-Lazina Qalû inna Allaha Tsâlisun Tsalâtsah. [12]
  • Penafian anak dari Allah: Lam Yalid wa Lam Yûlad. [13]
  • Mencela pandangan yang menyebut para malaikat sebagai putri-putri Allah. [14]
  • Penafian segala bentuk penyerupaan dan penyamaan untuk Allah: Laisa ka Mitslihi Syai'. [15]

Dalam Al-Quran juga diketengahkan poin ini, yaitu dasar seruan semua para nabi dan topik utama wahyu untuk mereka adalah deklarasi keesaan Allah. [16] Al-Quran menuturkan bahasa Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Salih dan Nabi Syu'aib as yang berbicara kepada kaumnya, mâ lakum min Ilahin ghairuh. [17]

Demikian juga dalam rangka mencela orang-orang Kristen yang menyebut Isa as dan ibundanya sebagai Tuhan, Al-Quran mengingatkan bahwa pada hari kiamat kelak, Nabi Isa berlepas diri dari keyakinan ini dan akan mengatakan bahwa dirinya telah menyeru mereka kepada penghambaan Allah dan dengan inilah dia diperintahkan. [18]

Disamping kata Allah dan Ilah, kata Rab dalam Al-Quran juga lebih dipakai dari kata apapun untuk menegaskan akan keesaan Allah, khususnya dalam pengaturan semesta, yakni tauhid rububiyah [19] dan makna-makna yang telah disebutkan dalam ibarat-ibarat seperti Rabbul Âlamin (41 kali), Rabbus Samâwâti wa al-Ardh (10 kali), Rab al-Arsy, Rab al-Samâwâti al-Sab'i, Rab al-Masyriq wa al-Maghrib, Rab al-Masyariq, Rab al-Masyriqain wa Rab al-Maghribain, Rab kulli Syaiin, Rabb an-Nas, [20] adalah resonansi tauhid Al-Quran.

Latar Belakang dan Sejarah Monoteisme dalam Perspektif Al-Quran

Menurut perspektif Al-Quran, monoteisme ada sebagai fitrah manusia, yang ada dari sejak manusia ada; karena manusia pertama yang ada di atas muka bumi itu sendiri adalah seorang nabi yang monoteis. Dari sisi lain, menurut Al-Quran, di masa permulaan penciptaan manusia, semuanya adalah monoteisme dan syirik serta penyelewengan muncul setelahnya, karena mengikuti hawa nafsunya. [21]

Tauhid Fitri

Menurut ayat-ayat Al-Quran dan juga hadits, keyakinan tauhid dalam diri manusia merupakan tendensi fitri. Maksud dari fitri disini adalah bukanlah tendensi pencarian dan tidak membutuhkan pembelajaran dan pendidikan. Ayat fitrah dan ayat mitsaq dan juga surah Al-Ankabut ayat 65 termasuk ayat-ayat yang mana para mufasir menyimpulkannya sebagai kefitrian tauhid. [22]

Dalam banyak riwayat ditegaskan bahwa manusia dalam setiap kondisi dalam merujuk kefitriannya untuk pencipta dunia ini tidak menerima kecuali keesaan. Manusia bahkan jika lahiriahnya musyrik, namun saat ditanya tentang penciptanya, tidak akan memberikan pendapat kecuali tentang keesaan Allah swt. [23]

Tauhid dalam Hadis

Makna yang berkaitan dengan tauhid dalam hadis, khususnya hadis-hadis Ahlulbait as, memiliki sastra yang luas. Di tengah-tengah ini semua, pidato tauhid Imam Ali as pun sangatlah populer dalam mengajarkan hakikat tauhid. Sejumlah hadis yang dijelaskan didalam tafsir dan penjelasan ayat-ayat tauhid Al-Quran mengetengahkan poin-poin ajaran tauhid, dan dalam sebagian tempat menjelaskan tentang argumentasi keesaan Allah dan maksud dari keesaan itu sendiri.

Penafian ajaran-ajaran non tauhid dan sikap-sikap non monoteis serta kesyirikan juga termasuk topik hadis-hadis ini. Kedudukan keyakinan terhadap tauhid dalam agama juga dijelaskan dalam banyak hadis. Berdasarkan hadits-hadits ini, beberapa pakar hadis menyusun karya dalam topik tauhid dengan nama serupa dan dengan memperhatikan keluasan hadis-hadis tauhid. Dalam makalah ini hanya cukup menyebutkan beberapa contoh saja.

Menurut hadis, keyakinan akan tauhid merupakan amal hati terbaik dan muwahhid (orang yang mengesakan Tuhan) terjauhkan dari azab dan termasuk orang yang paling dikasihi disisi Allah adalah La Ilaha Illa Allah. Imam Ridha as dalam sebuah hadis masyhur, Silsilah al-Dzahab, berkata, jika kalimat ini dipraktekkan dengan syarat (meyakini wilayahnya), maka akan menjadi tempat pelindung dan benteng keamanan Allah. Pada dasarnya pondasi agama adalah ma'rifah kepada Allah, yakni mengesakan-Nya dan ma'rifah ini juga merupakan awal dari ibadah kepada Allah. [24]

Makna Keesaan

Hadis-hadis Amirul Mukminin as dan para imam lainnya banyak yang menjelaskan dan menerangkan maksud dari keesaan. Penafian kesatuan bilangan dan I'tibari (artifisial) serta penafsiran Esa dengan keabsolutan dzat dan tidak ada keserupaan dari satu sisi, dan dari sisi lain juga menegaskan akan keluasan keesaan hak Allah yang tak akan mampu dijangkau pemahaman akal. Penjelasan tauhid dan penafian kesatuan bilangan dalam penjelasan Imam Ali as dituturkan sebagai berikut: Satu dapat dijelaskan menjadi empat bagian, dua bilangannya tidak dapat digunakan untuk Allah dan dua lainnya dapat dibenarkan.

Dua ibarat pertama adalah satu bilangan, dengan arti satu di hadapan dua sampai seterusnya, satu sebuah jenis dengan arti spesies dari sebuah jenis (atau bagian dari sebuah spesies). Dua lainnya adalah satu dengan arti tidak ada sepadan dan sekutu, satu dengan arti hakikat tak tersusun (basit), yang tidak dapat dilihat di luar, dalam akal, khayalan dan juga tidak dapat dibagi. Imam as menjelaskan bagian akhir dengan topik ihda al-Ma'na dan menambahkan, kazalika Allah Rabbuna. Sebagaimana dalam surah Al-Maidah ayat 73, dimana topik tersebut menolak Trinitas Nasrani, merupakan bukti akan penafian satu bilangan Allah. [25]

Ungkapan Wâhid la min 'Adad, dalam hadis Imam Ali as [26] dan Ahadun la bi Ta'wîlin 'Adadin dalam penjelasan Imam Ridha as [27] merupakan legimitasi lain akan penafian segala bentuk bilangan dari keesaan Allah.

Argumentasi Tauhid

Argumentasi keesaan Tuhan, khususnya dalam rangka membahas dengan para penentang juga terlihat dalam hadis. Dalam hadis, lebih dari apapun memperhatikan tauhid rububi dan mengambil kesimpulan keesaan sang pengatur dari keteraturan penciptaan, koneksi keteraturan dan keserasian perkara. [28] Dalam petuah panjang Amirul Mukminin kepada putranya yang mendekati argumentasi ini, menunjukkan akan keesaan Allah,

﴾لو کان لربّک شریک لاتَتک رُسُله و لرایتَ آثارَ مُلکِه و سُلطانِه﴿
Jika seandainya ada sekutu bagi Tuhanmu, maka utusan-utusannya akan mendatangimu dan engkau akan melihat bekas-bekas peninggalan kekuasaannya). [29]

Kelaziman adanya kesepadanan untuk Tuhan adalah munculnya tanda-tanda kekuatan dan kekuasaan kesepadanan tersebut dan terlihatnya kinerja-kinerjanya, dan yang lebih penting dari itu adalah adanya para nabi dari sisinya, sementara tidak ada satupun di alam semesta ini, yang keluar dari penisbatan Tuhan yang Esa, sehingga dapat diklaimkan akan bukti adanya Tuhan lain.

Tauhid Dzati


Tauhid Dzati merupakan tahapan pertama tauhid yang berarti keyakinan akan keesaan dzat Allah swt. Dzat Allah tidak berbilang dan tidak menerima dualisme, yang tidak memiliki sepadan dan serupa. [30]

Riwayat tauhid Dzat ada dua makna: salah satunya adalah simpel (basith) dan tidak memiliki bagian, dimana disebut dengan ahadiyyat dzat (Unity of the Essensi) dan lainnya adalah tidak memiliki padanan dan serupa, yang disebut dengan wahdaniyyat dzat (Onenes of Essensi). [31]

Tauhid dzat dalam terminologi teologi, filsafat, dipakai untuk dua makna:

  1. Allah SWT adalah satu dan tidak ada sepadan bagi-Nya serta tidak bisa diasumsikan dua untuk-Nya. Para teolog menamakan tingkat tauhid ini sebagai tauhid dzat dan menafikan segala bentuk serupa dan sepadan untuk dzat Allah. Tauhid ini disebut dengan tauhid wahidi. Dengan kata lain, tauhid wahidi yakni tauhid dalam Wajibul Wujud dan pentingnya satu wujud serta penafian segala bentuk kesyirikan, serupa dan sepadan dari Allah.
  2. Dzat Allah simpel (basith) dan tidak tersusun. Bagian tauhid ini juga disebut dengan tauhid ahadi. Dengan kata lain, tauhid ahadi yakni menafikan segala bentuk susunan rasional luar dan khayalan dari Allah serta menetapkan wujud-Nya yang Basith (tak tersusun) untuk Allah swt.

Dalam Al-Quran dalam surah Tauhid diisyaratkan kalimat ahad dalam ayat pertama dengan tauhid ahadi, yakni ke-basithan dzat Allah dan di akhir surah dengan ibarat wa lam Yakun lahu Kufwan Ahad, dan sama sekali tidak ada serupa dan sepadan bagi-Nya; menegaskan tauhid wahidi dan penafian sekutu bagi Allah. [32]

Tauhid Sifat

Tauhid sifat berarti dzat Ilahi itu sendiri, dan tidak terpisahkan. Menurut mazhab Syiah, sifat Allah bukanlah hakikat yang berbeda dari dzat-Nya sehingga dzat tersebut disifati dengannya, namun semua sifat-sifat merupakan entitas satu sama lain dan juga entitas dzat, yakni, hakikat ilmu-Nya bukan selain qudrat-Nya, bahkan seluruh keberadaan-Nya adalah ilmu dan seluruh keberadaan qudrah dan sifat-sifat dzat lain-Nya dan semua sifat-Nya adalah entitas satu sama lain.

Penjelasannya adalah dalam makhluk semisalnya dalam sifatnya, manusia yang tidak memiliki kehendak kerja, maka harus ditambahkan kehendak dalam dzatnya sehingga berkehendak. Yakni pertama-tama adalah jiwa manusia dan tidak ada kehendak, setelah itu terealisasikan kehendak dan jiwa memiliki kehendak. Namun Allah tidaklah demikian, dan tidak ada satu hal pun yang ditambahkan dalam dzat-Nya, sehingga sifat tersebut muncul dalam diri Allah. [33]

Disebutkan dalam khutbah Imam Ali as bahwa dzat Allah tidak menerima sifat. [34] Poin ini dengan penjelasan lebih, terlihat dalam khutbah tauhidiyyah Amirul Mukminin dalam Nahjul Balaghah: "Awal agama adalah mengenal Allah (ma'rifatuhu), dan kesempurnaan mengenal-Nya adalah membenarkan-Nya, kesempurnaan membenarkan-Nya ialah mengesakan-Nya, kesempurnaan mengesakan-Nya ialah mensucikan-Nya, dan kesempurnaan mensucikan-Nya ialah menafikan sifat-sifat-Nya." [35]

Sejumlah teolog Asy'ari meyakini bahwa sifat Allah terpisah dari dzat-Nya, pada saat yang sama, dzat Ilahi qodim dan tidak diciptakan, perspektif ini disebut dengan qodim delapan. Sejatinya, pendapat ini melazimkan keyakinan beberapa Tuhan, yang kontras dengan ajaran-ajaran tauhid. [36]

Tauhid Af'al (Tauhid Perbuatan)

Maksud dari tauhid af'al adalah Allah dalam melakukan perbuatan-Nya tidak membutuhkan bantuan, penolong dan teman di luar dari dzat-Nya, Dia independen dan esa dalam melakukan setiap perbuatan: Berdasarkan tauhid af'ali, tidak ada satu eksistensi pun di dunia yang memiliki kekuatan berefek dan melakukan suatu pekerjaan kecuali dengan kekuatan yang diberikan oleh Allah kepadanya; semua kinerja, gerak, aksi dan efek berujung pada dzat suci-Nya. Sebagaimana tidak ada sekutu dalam dzat-Nya, Dia juga tidak memiliki sekutu dalam perbuatan yang mencakup penciptaan, rububiyyah, malikiyyah dan hakimiyyah takwini.

Tauhid af'ali bukan berarti menafikan hukum kausalitas atau menafikan pengaruh sebab akibat. Menurut pendapat Syiah, tauhid af'ali bukan berarti Allah menciptakan sebuah fenomena secara langsung dan dengan tanpa perantara sebab akibat, diri-Nya menjadi pengganti semua illat dan sebab, namun dengan arti saat penciptaan suatu hal membutuhkan sebab, sebab tersebut juga diciptakan oleh Allah sendiri dan tidak membutuhkan satu hal di luar dari dzat-Nya.

Tauhid af'ali terbagi dalam cabang tauhid penciptaan, tauhid tasyri'i dan takwini.

Tauhid af'ali ditegaskan dan diisyaratkan dalam banyak ayat Al-Quran, seperi surah Al-Ra'd ayat 16, surah al-An'am: 103 dan 164, surah al-A'raf: 54, surah Yusuf: 40.

Tauhid Ibadah

Tauhid ibadah termasuk manifestasi tauhid nazari dan dalam arti tidak ada sesuatu yang layak disembah kecuali Allah SWT dan tidak ada Tuhan dan sesembahan selain-Nya. Dengan demikian, seluruh hamba harus melaksanakan ibadahnya hanya semata-mata untuk Allah dan dengan perintah-Nya. Bagian ini sejatinya merupakan hasil alami pembagian tauhid; karena selama keberadaan kita berasal dari Allah, ikhtiyar wujud kita juga ada di tangan-Nya, aksi independen di dunia dari-Nya, hak memerintah dan pemberi undang-undang hanya semata-mata milik-Nya, maka tidak ada tempat penyembahan lain lagi untuk selain-Nya. Segala bentuk campur tangan motivasi selain Ilahi dalam ibadah akan menyebabkan berkurangnya nilai dan kedudukan bahkan menyebabkan kebatilan ibadah. Menurut Al-Quran, tujuan pengutusan para nabi adalah supaya para hamba melaksanakan ibadah secara ikhlas untuk Allah semata. [37]

Al-Quran telah mengetengahkan tauhid ibadah dalam pelbagai ayat: seperti pada ayat 102 surah Al-An'am, ayat 2-5 surah Al-Hamd, ayat 25 surah Al-Anbiya.

Batasan Tauhid

Setelah melihat tingkatan tauhid, muncul pertanyaan manakah dari tingkatan ini yang menjadi pokok keyakinan Islam dan syarat kemusliman seseorang? Apakah keyakinan terhadap keesaan Allah bagi seorang muwahhid sudah cukup?

Dengan mencermati dan mengkaji ayat-ayat Al-Quran, menurut Al-Quran seorang muwahhid adalah orang yang meyakini Allah SWT sebagai Tuhan dan juga sebagai khaliq (pencipta), juga pengatur semesta, pengatur syariat, Dzat yang disembah. Keyakinan ketuhanan dan keesaan dalam ketuhanan yang diakhir tahapan adalah tauhid uluhiyyah dan mencakup semua tahapan qalbi (hati), dengan demikian dalam Islam, La Ilaha Illallah[38] merupakan syiar tauhid dan jalan kebahagiaan dan kesuksesan.

Dengan ibarat lain, tauhid dalam tahapan sebelumnya meskipun hal lazim, namun tidaklah cukup, bahkan seseorang harus sampai pada tahap keyakinan bahwa tidak ada sesembahan selain Allah dan penyembahan hanya semata-mata untuk-Nya dan dalam praktek juga tidak menyembah selain-Nya. Ini adalah batas tauhid. Oleh karenanya, selama tauhid seseorang tidak sampai pada tauhid uluhiyyah, maka tauhid orang tersebut belum sampai pada yang diharapkan. [39]

Namun pembagian syirik khofi (samar), seperti penyembahan hawa nafsu, menyembah kedudukan dan riya', meskipun menurut akhlak sangatlah dicela, namun tidak menyebabkan keluarnya seseorang dari lingkup islam. [40]

Syirik

Sebagaimana tauhid juga memiliki tingkatan dan derajat, syirik juga memiliki tingkatan dan terdapat jenis-jenis syirik di hadapan tauhid yang telah diserukan oleh para utusan Ilahi.

Syirik Nazari

Syirik nazari memiliki bermacam bagian, diantaranya adalah: Syirik Dzati. Syirik dzati adalah orang yang mengklaimkan Tuhan lain yang sejajar dengan Allah SWT. Sebagian ajaran mengklaim akan dualisme atau Trinitas atau beberapa keqodiman azali independen dari selain-Nya dan menganggap dunia memiliki multidasar, multiaksis dan multifokal.

Keyakinan terhadap multisumber alam merupakan syirik dzati dan merupakan lawan dari tauhid dzati. Keyakinan semacam ini menyebabkan keluarnya seseorang dari lingkup ahli tauhid dan ranah Islam. Islam menolak syirik dzati dari segala bentuk dan jenisnya.

Syirik Sifat: Syirik, satu sifat yang sama sekali tidak pernah diketengahkan di kalangan masyarakat karena tidak detailnya masalah. Syirik dalam sifat khusus untuk sebagian kalangan para cendekiawan yang berfikir tentang masalah demikian, namun tidak memiliki kecakapan dan pendalaman yang cukup. Asy'ariyah salah seorang teolog Islam terimbas jenis syirik ini. Jenis syirik ini juga syirik samar dan tidak menyebabkan keluarnya seseorang dari Islam.

Syirik dalam Penciptaan: Sebagian maktab ideologi meyakini Allah sebagai dzat tanpa padanan dan serupa dan menyebut-Nya sebagai pokok tunggal alam, namun sebagian makhluk ikut campur dengan-Nya dalam penciptaan. Semisalnya keyakinan Allah sebagai penanggung jawab penciptaan keburukan, cela dan kekurangan dan ringkasnya semua peristiwa dan kejadian yang tidak diinginkan, bahkan semua urusan adalah ciptaan sebagian makhluk.

Kesyirikan jenis ini termasuk syirik dalam penciptaan dan pelaku, lawan dari tauhid af'ali. Islam juga tidak menerima syirik semacam ini. Namun syirik dalam penciptaan juga memiliki tingkatan, dimana diantaranya adalah syirik khofi, bukan syirik secara terang-terangan, dengan demikian tidak menyebabkan keluarnya seseorang dari lingkup ahli tauhid dan ranah Islam.

Syirik Praktis

Bagian ini termasuk syirik ibadah, syirik yang ikut campur secara langsung dalam lingkup kinerja manusia dan dalam arti kesyirikan dalam penyembahan dan ibadah. Sebagian manusia dalam tahap penyembahan, terkadang menyembah kayu, batu, besi, hewan, bintang, matahari, pepohonan atau lautan. Jenis syirik ini sangatlah banyak dan sampai sekarang ini dapat ditemui di sudut-sudut dunia. Syirik ini adalah syirik dalam penyembahan dan lawan dari tauhid ibadah.

Demikian juga, ucapan dan tindakan yang menunjukkan pensucian, pengagungan, sanjungan dan pujian dzat sempurna secara mutlak dan tidak butuh secara mutlak kepada selain Allah adalah syirik. Pensucian mutlak dari segala kekurangan dan kelemahan, kebesaran mutlaknya, semua sanjungan dan pujian hanya semata untuk-Nya, semua daya dan kekuatan yang tegak dengan-Nya adalah dzat-Nya. Deskripsi semacam ini baik secara lisan ataupun praktis – untuk selain Allah adalah syirik.[41]

Syirik praktis juga memiliki tingkatan. Tingkatan tertinggi yang menyebabkan seseorang keluar dari kancah Islam adalah syirik dalam penyembahan dan disebut juga dengan syirik terang-terangan. Namun ada juga jenis syirik samar, yang mana Islam dalam agenda tauhid praktisnya sangat memeranginya. Dengan demikian, segala bentuk riya, penyembahan hawa nafsu dan cinta kedudukan, jabatan, harta dan individu dikategorikan sebagai syirik. Namun, jenis syirik samar ini tidak menyebabkan seseorang keluar dari Islam.

Batasan Tauhid dan Syirik

Sebagaimana yang telah diutarakan, batasan bertauhid seseorang adalah keyakinan terhadap tauhid ketuhanan, yang juga mencakup tahapan-tahapan sebelumnya.

Sesuai dengan definisi tauhid, jika mengklaimkan sekutu bagi Allah dalam penciptaan dan perwujudan para makhluk dan atau dalam sifat-sifatNya, seperti penciptaan, pemberian rezeki dan hal-hal lainnya, maka kita telah mengasumsikan padanan bagi Allah, sehingga kita telah melakukan kesyirikan.

Dengan memperhatikan analisis makna tauhid, maka kita dapat mengetahui tolok ukur dan batasan tauhid serta syirik sebagai ketergantungan atau keindependenan untuk eksistensi selain Allah. Yakni mengasumsikan eksistensi sejajar dengan Allah, baik dari aspek kekuatan, ilmu dan sifat-sifat lainnya yang sifatnya independen dan tidak bergantung dengan Allah. Adapun asumsi dimana Allah adalah dzat yang menciptakan dan diri-Nyalah yang memberikan ilmu dan kekuatan kepada mereka, itu tidak akan menyebabkan kesyirikan; karena mereka meskipun memiliki kekuatan dan ilmu namun bergantung dan makhluk Allah dan tidak dikategorikan sebagai sekutu bagi dzat Allah.

Tidak memperhatikan tolok ukur detail tauhid dan syirik menyebabkan terlontarkannya pelbagai perspektif dalam masalah ini. Asy'ariyah menganggap jika seseorang mengklaim pokok kausalitas atau pengaruh supra natural menyebabkan kesyirikan. Kelompok wahabi juga berkeyakinan jika seseorang baik manusia atau kausalitas tabiat dan non tabiat selain Allah itu memiliki pengaruh, maka itu adalah syirik atau mengatakan jika manusia mengklaim sebagian perkara seperti penyembuhan penyakit atau menunaikan hajat untuk selain Allah, maka itu termasuk kesyirikan.

Dengan memperhatikan tolok ukur tersebut, maka kita dapat mengetahui bahwa ucapan ini tidaklah dibenarkan; karena selain analisis rasional menentang hal tersebut, riwayat-riwayat juga menafikannya.

Al-Quran, yang mana merupakan ajaran tauhid, dalam pelbagai ayat, menisbahkan sebagian perbuatan dan pengaruh kepada manusia, para malaikat dan sesuatu. Bahkan sebagian perkara yang luar biasa, seperti penciptaan, menghidupkan orang-orang mati, mengabarkan perihal yang gaib dan menyembuhkan penyakit yang dinisbatkan kepada seseorang (Nabi Isa as):

﴾ وَ إِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ بِإِذْني‏ فَتَنْفُخُ فيها فَتَكُونُ طَيْراً بِإِذْني‏ وَ تُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَ الْأَبْرَصَ بِإِذْني‏ وَ إِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتى‏ بِإِذْني‏﴿
"…dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku dan, kemudian kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yangsebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah), waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, …" [42]

Sebagaimana yang kita lihat, dalam ayat ini, kekuatan menghidupkan dan menyembuhkan bahkan penciptaan dinisbatkan kepada Nabi Isa as, dari sisi lain ditegaskan dengan kalimat bi iznihi (dengan seizin-Nya) sehingga menjadi jelas bahwa Nabi Isa as tidak melakukan perihal ini secara independen, bahkan bergantung dan butuh kepada Allah SWT. Menurut ayat ini dan ayat-ayat lainnya, klaim terhadap seorang manusia seperti nabi atau para imam as yang memiliki kekuatan melakukan hal yang luar biasa, tidaklah dikategorikan sebagai syirik.

Ustad Muthahhari menulis:

Sejatinya, bahwa batasan tauhid dan syirik terkait pada Allah, manusia dan dunia adalah darinya dan menuju kepadaNya. Batasan tauhid dan syirik dalam tauhid nazari adalah darinya (inna lillahi). Setiap hakikat dan setiap eksistensi selama diyakini zat, sifat dan perbuatan, dengan khislat dan huwiyat berasal dari-Nya, maka keyakinan ituadalah benar dan sesuai dengan realita. Dengan perspektif tauhid, hal itu bukanlah syirik walaupun diyakini hakikat tersebut memiliki pengaruh aspek supranatural ataukah tidak.
Karena Tuhan bukan hanya Tuhan supranatural, Tuhan langit, Tuhan malakut dan jabarut semata, tetapi Tuhan Alam semesta. Dia dekat dengan tabiat dan memiliki kebersamaan dan qoyyumiyah(kekal, tetap dan stabil), yang tidak memberikan aspek ketuhanan kepada supranatural dan aspek supranatural… dunia dalam aspek pandangan Islam memiliki esensi "dari-Nya".

Al-Quran dalam beberapa ayat menisbahkan perbuatan-perbuatan mukjizat seperti menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang yang buta sedari kecil kepada para nabi, namun disertai dengan menambahkan kalimat "bi iznihi". Kalimat ini menunjukkan esensi perbuatan ini "dari-Nya", sehingga seseorang tidak beranggapan para nabi memiliki independensi dari dirinya. Jadi, batasan tauhid nazari dan syirik nazari adalah "dari-Nya". Keyakinan terhadap adanya eksistensi dimana wujudnya tidak dari-Nya adalah syirik. Keyakinan akan pengaruh eksistensi, yang mana pengaruhnya bukan dari-Nya juga syirik, baik berpengaruh, ataupun pengaruh diluar tabiat, seperti penciptaan semua langit, bumi dan atau karya kecil yang tidak penting, seperti membolak-balik daun.

Makna Ibadah

Menurut pokok tauhid, ibadah untuk selain Allah tidak diperbolehkan dan akan menyebabkan seseorang keluar dari Islam. Ibadah berarti tunduk, mengungkapkan khusyu' dan kerendahan. [43] Tauhid ibadah berarti tidak memiliki kondisi (ketaatan dan pasrah) di hadapan makhluk lain dan tidak ada perintah lainnya.

Berdasarkan ini, setiap ketataan dan kepasrahan bukanlah ibadah. Namun, dalam sebagian hal, ketundukan kepada makhluk adalah wajib, seperti patuh terhadap orang tua dan mentaati mereka. Ketaatan semacam ini karena perintah Allah sejatinya dianggap ketaatan dari Allah.

Namun, segala hal yang disandingkan di sisi Allah, yakni sejajar dengan-Nya adalah syirik. Dengan demikian ziarah kubur, meminta bantuan dan bertawasul kepada para wali dan imam, meyakini syafaat, dengan bepedoman bahwa tidak ada independensi dari dirinya, maka tidak dikategorikan sebagai syirik.

Seseorang seperti Ibnu Taimiyah dan orang-orang yang mengikutinya, seperti kelompok Wahabi meyakini segala bentuk ketundukan dan kekhusyu'an kepada selainnya diartikan sebagai ibadah[44] ; dengan demikian dapat dikatakan bahwa segala bentuk tawasul, mengambil berkah, ziarah kubur, meminta syafa'at disamakan dengan menyembah seseorang selain Allah Swt dan dianggap syirik.

Argumentasi Tauhid

Para teolog telah mengetengahkan beragam argumentasi untuk membuktikan tauhid, dan yang paling populer adalah dua argumentasi:

Argumentasi yang berlandaskan pada Wajibul Wujud

Jika diasumsikan ada dua Wajibul Wujud, setiap darinya selain harus memiliki persamaan juga harus memiliki perbedaan dengan selainnya, sehingga diantara keduanya ada perbedaan. Dengan demikian, setiap keduanya harus tersusun dari dua bagian, dimana salah satunya adalah bagian persamaan dan satunya lagi adalah bagian yang beda, yang membedakan setiap segala sesuatu darinya. Namun setiap wujud yang tersusun tidak akan bisa menjadi Wajibul Wujud, karena membutuhkan bagian-bagiannya dan menjadi akibat darinya. Dengan demikian, tidak benar dikatakan adanya dua Wajibul Wujud. [45]

Argumentasi Tamanu' (saling menjatuhkan)

Argumentasi Tamanu' termasuk argumentasi populer untuk membuktikan tauhid rububi Allah. Argumentasi ini terinspirasi dari surah Al-Anbiya ayat 22, yang mana Allah swt berfirman,﴾ لَوْ كانَ فيهِما آلِهَةٌ إِلاَّ اللَّهُ لَفَسَدَتا ﴿"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa". Tujuan asli argumentasi ini adalah membuktikan keesaan pengatur semesta, bukan keesaan dzat atau tauhid dalam penciptaan-Nya, meskipun tiga masalah ini tidak saling terpisahkan.

Uraian argumentasi menurut tulisan Ayatullah Jawadi Amuli adalah sebagai berikut[46] :

Jika diasumsikan Tuhan semesta lebih dari satu, maka sudah pasti para Tuhan pengatur dalam dzat dan wujudnya harus independen dari selainnya, karena ketidakindependenan merupakan hal yang tidak sesuai dengan ketuhanan dan demikian juga dalam hakikat dzat juga harus saling berbeda supaya terjadi banyak, bukan satu dzat terangkap, dan ketika dalam esensi dzat saling berbeda, maka sifat dzati mereka juga harus berbeda, karena sifat dzati Allah adalah entitas dzat-Nya dan natijahnya adalah ilmu dan irodah dari setiap pengatur selain ilmu dan kehendak selainnya dan tatanan ilmu dan maqom pengaturan setiap darinya harus saling berbeda dan karena sistem pengaturan mengikuti sistem ilmu, sistem pengaturan dan di luar setiap darinya akan berbeda dengan selainnya; maka hasilnya adalah adanya sejumlah Tuhan asumsi dengan sistem pengaturan yang saling berbeda dan beragam dunia dan saling berbeda serta jenis masyarakat manusia yang tidak terkoordinir di luar dan alam realita, sementara kenyataannya sekumpulan sistem alam terkoordinir, satu dan koheren.

Dalil Naqli

Dengan memperhatikan ayat-ayat Al-Quran dan beragam riwayat, maka menjadi jelas akan adanya dalil-dalil naqli yang banyak dan menegaskan tauhid. Para teolog dan muhadis telah menulis buku-buku tersendiri, diantaranya adalah kitab Al-Tauhid.

Tauhid dalam Filsafat

Tauhid atau mengesakan Allah – setelah terbuktikan wujudnya, yang termasuk pembahasan teolog pertama dalam makna khusus – termasuk salah satu masalah terpenting dalam filsafat Islam.

Para filosof memilih beragam cara dalam menjelaskan dan membuktikan tauhid, yang menunjukkan pengembangan dan penyempurnaan metode serta beragam aspek penelitian dan kajian dalam hal ini.

Dalam filsafat Islam, setiap dari tiga tingkatan tauhid, yakni tauhid dzati, tauhid sifat dan tauhid af'ali dikaji dan diberikan beragam argumentasi. Semisalnya, menurut filsafat (seperti Ibnu Sina) [47] dengan berpedoman bahwa Allah adalah Wajibul Wujud bi dzat, maka menafikan tauhid sama halnya dengan melazimkan pertentangan dan kontradiksi.

Ungkapan Wajibul Wujud dan pembuktian tauhid dengan metode argumentasi Ibnu Sina, sangat marak di zaman setelahnya, sampai-sampai selain para filosof, mayoritas teolog Syiah juga memakai metode tersebut. [48] Suhrawardi juga mengetengahkan argumentasi Ibnu Sina yang menunjukkan keesaan wajibul Wujud dan menggunakan ungkapan Wajibul Wujud dan juga membuktikan keesaan Wajibul Wujud dengan berpegang pada kaidah, صِرْفُ الشیءِ لایتثنّی ولایتکرّر "Sirfu Sya'i la Yatatsanna wa la Yatakar". [49] Demikian juga, filsafat memperhatikan ke-bashitan dzat Allah dan ketidaktersusun-Nya, yang berarti keesaan dalam tauhid dzat. [50]

Mulla Shadra[51] , dengan inovasi kaidah Basit al-Hakikah (non-composite, simple reality) "Basit al-Hakikah kullu Asy'ya wa laisa bi Syai'in minha" mengargumentasikan bahwa dzat hakikat ini adalah basith, murni yang sempurna dan bepedoman bahwa hakikat murni dan basith dalam realita seluruh hal, maka tidak tersisakan selainnya untuk hakikat ini, sehingga menjadi dua bagi-Nya.

Dalam masalah tauhid sifat yakni entitas dzat dan sifat, juga diketengahkan beberapa hal dalam filsafat dan pandangan Syiah yang diterima. Para filosof setelah Ibnu Sina, mengetengahkan tauhid sifat dari aspek kontras pandangan filsafat dengan pendapat masyhur teolog dalam masalah ini. Khajah Nasiruddin Thusi[52] menjelaskan pendapat Asy'ari, yang mendasarkan penambahan sifat pada dzat, yang mengakibatkan penerimaan qodim delapan. Dari sisi lain diketengahkan pendapat Mu'tazilah yang mendasarkan pada penggantian dzat dari sifat dan menjelaskan pendapat filsafat dihadapan dua pendapat masyhur teolog ini.

Shadruddin Syirazi[53] mengembalikan pandangan filsafat sebelum dia (Ibnu Sina, Farabi dan Syaikh Isyraq) dengan pokok dasar pendapatnya (Basit al-Hakikah) dan mengaplikasikannya dengan pendapat tersebut.

Demikian juga dalam tauhid af'ali, filsafat menegaskan bahwa tidak ada pelaku dan pengaruh apapun selain Allah dan semua perbuatan bersandar kepada-Nya, dengan tanpa menyandarkan wujud sebagian eksistensi kepada selain-Nya. Dengan demikian, pemuncul pertama atau kedua tidak memiliki arti bagi-Nya, bahkan semuanya bersumber dari Allah. Dengan demikian, tauhid perwujudan berujung pada tauhid wujud dan tauhid perbuatan berujung pada tauhid dzat, karena penciptaan merupakan cabang dari wujud. Dan sumber pengaruh dan pengaruh sumber, kedua-duanya adalah wujud[54] ; Filsafat Hikmah Muta'aliyah, biasanya menjelaskan pembahasan ini dengan idiom-idiom irfan dan lebih dekat dengan metode dan cara mereka. [55]

Tauhid Irfan

Masalah tauhid dalam irfan saling berkaitan dengan masalah yang pelik wahdat syakhshi (particular Unity).

Tauhid Af'ali

Menurut irfan, dalam tingkatan sair suluk, ketika seseorang melewati tingkat ma'rifah al-nafs dan masuk dalam lembah tauhid, dia mengetahui dan melihat tingkat pertama tauhid, yaitu tauhid af'ali. Jadi istilah tauhid af'ali menurut para arif yakni melihat dan mendapatkan setiap fenomena yang bersumber dari Allah dan semua hal sejatinya adalah perbuatan-Nya dan sebab yang tak lebih hanya sebuah sarana semata.

Tauhid Sifat

Saat manusia naik ke tingkat yang lebih tinggi dan mendapatkan kemampuan dalam maqom ini dan melanjutkan sair dan suluknya, maka dia akan sampai pada maqom tauhid sifat. Tauhid sifat ini berbeda dengan tauhid sifat yang dijelaskan dalam istilah filsafat. Mereka mengatakan bahwa manusia sampai pada batas dimana pun dia melihat sifat kesempurnaan maka itu bersumber dari Allah.

Dalam tingkat sebelumnya, urafa melihat bahwa setiap perbuatan dari Allah, dalam tingkat ini seorang arif melihat setiap sifat adalah kesempurnaan dari Allah; yakni melihat bahwa tidak ada yang benar-benar memiliki ilmu kecuali Allah. Ilmu selainnya merupakan manifestasi dari ilmu Ilahi.

Ilmu hakiki milik Allah dan hanya Dia-lah yang memiliki ilmu hakiki. Ilmu-ilmu lain merupakan setitik bayangan dari ilmu tak terbatas Ilahi. Semua kemampuan merupakan manifestasi dari kekuatan Allah, yang termanifestasikan dalam penciptaan dan jika tidak, maka kekuatan bersumber dari-Nya.

Jadi, tauhid dengan sifat ini berarti bahwa seorang arif melihat semua sifat sempurna merupakan sifat Allah dan apa yang dilihat dalam penciptaan merupakan bayangan, naungan dan manifestasi dari sifat asli tersebut.

Tauhid Dzati

Tahap tauhid terakhir yang diketengahkan oleh para arif adalah tauhid dzati, dimana di kalangan arif disebut dengan wahdatul wujud. Manusia dalam perjalanan kesempurnaannya sampai pada batas mengetahui ekistensi hakiki hanya terbatas pada Allah semata.

Adapun apa yang ada di alam wujud, kesemuanya adalah manifestasi dan gambar dari wujud-Nya. Tentunya ungkapan gambar bukanlah ungkapan yang tepat; namun diketengahkan hanya untuk pendekatan logika saja. Para arif mengatakan, ketika manusia sampai pada tingkatan tauhid tertinggi, apa yang mereka lihat, seolah-olah melihat ke cermin, dimana wujud Allah termanifestasikan disitu. Kastrah (majemuk) yang dilihat di dunia ini, adalah kastrah cermin. Cermin beragam dan cahaya yang termanifestasi dalam semua cermin ini adalah satu cahaya, cermin bukanlah cahaya, namun penunjuk cahaya tersebut.

﴾اللَّهُ نُورُ السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكاةٍ فيها مِصْباحٌ ﴿"Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus". (QS. An-Nur: 35).

Ini adalah tingkatan tertinggi yang diraih oleh manusia dalam perspektif tauhid.

Memahami apa yang telah diklaimkan oleh para pemuka ini dan menuangkannya ke dalam bentuk lafaz-lafaz yang biasa adalah pekerjaan yang tidak mudah dan ucapan para arif dalam hal ini sejak dahulu mendapat kritikan oleh para teolog, fakih dan filosof.

tentunya dengan berbaik sangka kepada orang-orang yang menjelaskan pandangan mereka dalam karya-karya mereka secara benar, akhlak mereka adalah akhlak Islam, dan perangai mereka selaras dengan kadar syariat, maka kita berhak berprasangka baik, bahwa mereka tidak membual tentang klaiman semacam ini.

Namun, ketidakfasihan lafaz-lafaz telah membuat apa yang mereka nukil tidak jelas bagi kita. Orang-orang yang membuktikan dalam buku-buku mereka bahwa Allah bukan jism (tubuh) dan tidak beringkarnasi dalam jism, ketika mereka berkata: Kita tidak melihat selain Allah, ini bukan berarti bahwa apa yang kita lihat adalah Allah; Bahkan maknanya adalah bahwa dalam cermin-cermin ini kita melihat keindahan yang kita cintai.

Orang-orang yang kehidupannya penuh dengan penghambaan dan ketaatan kepada Allah, jika mengklaim diri mereka demikian, kita berhak melihat mereka dengan prasangka baik dan berkata bahwa ucapan mereka memiliki makna yang tinggi, yang mana kita tidak memahaminya dengan baik; akan tetapi hal itu bukan berarti kita berprasangka baik kepada setiap manusia yang sembarangan pandangan.

Dalam riwayat juga telah ada isyarat seperti hal ini, bahkan di kalangan para sahabat Rasulullah saw dan para Imam suci as, ada orang-orang yang memahami suatu hal, namun tidak dapat mengatakan, bahkan kepada teman terdekatnya sekalipun. [56]

Pandangan Dunia Tauhid (Divine Unity)

Para filosof muslim abad akhir dalam pendekatan baru mengetengahkan tatanan pandangan dunia tauhid Islam menyerupai pandangan dunia di hadapan pandangan dunia Ateis, ilmiah dan filsafat.

Ustad Muthahhari dalam menyifati pandangan dunia tauhid menulis sebagai berikut:

Pandangan dunia tauhid yakni memahami bahwa dunia muncul dari sebuah kehendak yang bijaksana dan tatanan eksistensi tegak berdasarkan kebaikan, rahmat dan menghantarkan eksistensi menuju kesempurnaan yang selayaknya. Pandangan dunia tauhid yakni dunia adalah sebuah kutub dan satu poros. Pandangan dunia tauhid yakni dunia memiliki perjalanan dari-Nya (inna lillah) dan menuju-Nya (wa inna ilahi rajiun).
Dari satu sisi, eksistensi dunia sampai pada kesempurnaan dengan tatanan keselarasan dan menuju satu markas. Penciptaan eksistensi bukanlah sia-sia dan dengan tanpa tujuan. Dunia diatur dengan sebuah serangkaian tatanan pasti. Pandangan dunia tauhid memberikan kehidupan, spirit dan tujuan. Karena telah meletakkan manusia dalam rute kesempurnaan yang tidak berhenti dalam batasan tertentu dan senantiasa maju ke depan. Pandangan ini, akan memberikan kegembiraan dan keceriaan kepada manusia.
Tujuan-tujuan luhur dan suci diketengahkan dan membentuk orang-orang yang siap berkorban. Pandangan dunia tauhid satu-satunya pandangan yang disitu dapat ditemukan makna komitmen dan tanggung jawab seorang manusia di hadapan selainnya. Sebagaimana bahwa hanya pandangan dunia yang menyelamatkan manusia dari keterjerumusan dalam lembah horor nihilisme. [57]

Catatan Kaki

  1. Muthahhari, Asyenai ba Qur'an, jild. 2, hlm. 98.
  2. Q.S. Al-Anbiya: 25.
  3. Q.S. An-Nisa: 48)
  4. Tuhaf al-Uqul, hlm. 61, cet. Islamiyah.
  5. Ya'qubi, jild. 2, hlm. 24.
  6. Seperti Muad bin Jabal dalam perjalanannya ke Yaman, rujuklah Ya'qubi, jild. 2, hlm. 76, 81.
  7. Semisalnya rujuklah, Asy'ari, hlm. 146; Mufid, hlm. 51.
  8. Rujuk Q.S. Al-Kahf: 110; Q.S. Al-Anbiya: 108.
  9. Q.S. Al-Syura: 3.
  10. Q.S. Al-Shaffat: 86, juga rujuklah surah Al-An'am: 91; Maryam: 81; Q.S.Al-Anbiya: 34; Q.S.Yasin]]: 74; Q.S. Al-Hijr: 96; Qaf: 26; Q.S. Al-Mukminun: 117.
  11. Q.S. Q.S. Al-Dzariyat: 51; rujuklah juga Q.S. Al-Nahl: 51; Q.S. Al-Qashash: 88; Q.S. Al-Isra': 22 dan 129.
  12. Q.S. Al-Maidah: 73.
  13. Q.S. Al-Ikhlash: 3; Q.S. Al-Shaffat: 152; Q.S. Al-Nisa: 171; Q.S. Al-An'am: 100-101; Q.S. Maryam: 35, 88, 91, 92; Q.S. Al-Mukminun: 91; Q.S. Al-Zukhruf: 15, 81; Q.S. Al-Baqarah: 116; Q.S. Yunus: 68; Q.S. Al-Isra': 111; Q.S. Al-Kahf: 4; Q.S. Al-Anbiya: 26; Q.S. Al-Furqan: 2; Q.S. Al-Zumar: 4; Q.S. Al-Jin: 3.
  14. Rujuk Q.S. Al-Nahl: 57; Q.S. Al-Shaffat: 149; Q.S. Al-Isra': 140.
  15. Q.S. Al-Syura: 11.
  16. Rujuk Q.S.Al-Anbiya': 25.
  17. Q.S.Al-A'raf: 59, 65, 73, 85;Q.S. Hud: 50, 61, 84.
  18. Lihat Q.S. Al-Maidah: 116-117.
  19. Semisalnya rujuk Q.S.Al-An'am: 164.
  20. Rujuk Abdul Baqi, di bawah kata Rab.
  21. Q.S. Al-Baqarah: 213; demikian juga lihatlah, Al-Mizan, dibawah kata ayat ini.
  22. Untuk lebih detail, lihat Mishbah Yazdi, Ma'arif Qur'an, Khuda Shenasi; demikian juga lihat, Tafsir Nemuneh, jild. 16, hlm. 385.
  23. Semisalnya surah Al-Ankabut: 61; Surah Lukman: 25; Surah Al-Zumar: 38; Surah Al-Zukhruf: 9; lihat juga, Baghawi, jild. 3, hlm. 474.
  24. Ibn Babawaih, hlm. 34, 35, 57.
  25. Ibid., hlm. 83, 84; Qadhi Said Qummi, jild. 2, hlm. 15-16.
  26. Rujuk Ibn Babawaih, hlm. 70.
  27. Ibid., hlm. 37.
  28. Ibid., hlm. 244, 250.
  29. Nahjul Balaghoh, surat 31.
  30. Q.S.Al-Syura: 11; Surah Tauhid: 4.
  31. Shaduq, Kitab al-Tauhid, hlm. 83 dan 144.
  32. Al-Ilahiyyat, jild. 1, hlm. 355.
  33. Mishbah Yazdi, Ma'arif Qur'an, Khuda Shenasi.
  34. Rujuklah, Kulaini, jild. 8, hlm. 139; Ibn Babawaih, hlm. 56.
  35. Nahjul Balaghah, khutbah 1, hlm. 39.
  36. Rujuklah, Ibn Babawaih, hlm. 140, 144; Allamah Majlisi, jild. 4, hlm. 62.
  37. Q.S. Al-Bayyinah: 5.
  38. Q.S. Muhammad: 19; Surah Al-Shaffat: 35.
  39. Mishbah Yazdi, Khuda Shenasi dar Qur'an, hlm. 76.
  40. Saidi Mehr, Omuzesh Kalam-e Islami, jild. 1, hlm. 162 dan 163.
  41. Muthahhari, Jahan Bini Tauhidi, jild. 2, hlm. 80, dengan sedikit ringkasan dan perubahan.
  42. Q.S. Al-Maidah: 110
  43. Ibnu Mandzur, 1408 Q, jild. 9, hlm. 10; Syartuni, 1374, jild. 3, hlm. 461.
  44. Ibnu Taimiyah, 1983 M, jild. 5, hlm. 247.
  45. Nashiruddin Thusi, Tajrid al-I'tiqad, bagian Ilahiyyat; Subhani, Ja'far, al-Ilahiyyat ala Dhau'i al-Kitab wa al-Sunnah wa al-'Aql, jild. 2, hlm. 29.
  46. Jawadi Amuli, Tauhid dar Qur'an, hlm. 74.
  47. Ibnu Sina, 1363 S, hlm. 4-5; Ibid., 1376 S, hlm. 60.
  48. Seperti rujuklah, Suhrawardi, jild. 1, hlm. 35, 392-393; Allamah Hilli, hlm. 35; Mir Damad, 1376 S, hlm. 267.
  49. Lihatlah, Majmu'eh Mushannifat, jild. 2, hlm. 121-124.
  50. 1376 S, hlm. 58-59; Ibid., 1403, jild. 3, hlm. 40-47.
  51. 1337 S, Safar Sewwum (tiga), jild. 1, hlm. 100-104; Ibid., 1346 S, hlm. 37-38.
  52. Hlm. 45-53.
  53. Mulla Shadra, Asfar, Safar Sewwum (tiga), jild. 1, hlm. 120-121; Ibid., 1346 S, hlm. 38-39.
  54. Shadruddin Syirazi, 1337 S, Safar Awwal (pertama), jild. 2, hlm. 324-325; Zanuzi, hlm. 269-270; Sabzewari, 1357 S, hlm. 336-337; Ibid., 1416-1422, jild. 3, hlm. 621-622.
  55. Ibid.
  56. Mishbah Yazdi, Ma'arif Qur'an, Khuda Shenasi, pelajaran 11.
  57. Muthahhari, Majmu'eye Atsar, jild. 2, hlm. 83.

Daftar Pustaka

  • Al-Qur'an
  • Ibnu Babuwaih, al-Tauhid, cet. Hasyim Huseini Tehrani, Qom, 1375 S.
  • Ibnu Taimiyah, Ahmad, al-tadmariyyah, 1416 Q, pen. Muhammad bin 'Audah al-Saudi, Riyadh, Maktabah al-Abidkan, cet. keempat.
  • Ibnu Faris.
  • Saidi Mehr, Muhammad, Omuzesy-e Kalame Islami, Qom, Thaha, 1383.
  • Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi, Khuda Shenasi dar Qur'an, Qom, Mu'assasah Omuzesyi wa Pazuhesyi Imam Khomeini, 1384.