Hadis Yaum al-Dar

Prioritas: aa, Kualitas: b
Dari wikishia
Hadis Yaum al-Dar
Nama lainHadis Yaumul Indzar, Hadis Asyirah, Baiat Asyirah
TemaPembuktian kepemimpinan langsung dan ke-washian Imam Ali as
Diriwayatkan dariNabi saw
Sumber SyiahAl-Tharaif (Sayid Ibnu Thawus)
Sumber AhlusunahTarikh al-Umam wa al-Muluk (Thabari)

Hadis Yaum al-Dar (bahasa Arab:حدیث یوم الدار) yang juga dikenal sebagai Hadis Yaum al-Indzar dan Hadis Asyirah, adalah riwayat dari Nabi Muhammad saw di mana beliau meminta kerabatnya untuk menerima dakwahnya dan memeluk Islam, serta dalam hadis ini beliau menegaskan kekhilafahan dan ke-washian Ali bin Abi Thalib as. Menurut laporan dari sumber-sumber sejarah, hadis, dan tafsir, hadis ini disampaikan setelah tahun ketiga kenabian, sesuai dengan ayat 214 Surah Asy-Syu'ara yang dikenal sebagai Ayat Indzar, di mana Nabi diperintahkan untuk mengajak kaum kerabatnya kepada Islam.

Hadis ini merupakan salah satu bukti yang digunakan oleh para teolog Imamiyah untuk membuktikan kekhilafahan langsung dan wasiat Imam Ali (as).

Teks Hadis

Terjemahan Teks Hadis
Nabi saw bersabda: Sesungguhnya ini adalah saudara, washi dan penggantiku di antara kalian, maka dengarkan dan patuhilah ia. [1]

قالَ رَسولُ اللّهِ(ص): إِنَّ هَذَا أَخِی وَ وَصِیی وَ خَلِیفَتِی فِیکُمْ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِیعُوا

Pentingnya Hadis

Hadis Yaum al-Dar adalah salah satu bukti tekstual dalam membuktikan kekhilafahan langsung Imam Ali (s dan telah banyak dirujuk oleh para ulama dan teolog Syiah.[2] Imam Ali as sendiri juga merujuk pada hadis ini dalam menghadapi para penentangnya. Di zaman modern, salah satu Ulama yang membahas secara rinci hadis ini dan berbagai versinya adalah Allamah Amini dalam bukunya Al-Ghadir.[3]

Syekh Mufid dalam penafsiran makna "Maula" dalam Hadis Ghadir dan dalam membuktikan kekhilafahan dan kepemimpinan Imam Ali as juga merujuk pada Hadis Yaum al-Dar. Menurutnya, seperti halnya teolog Syiah lainnya, masalah kepemimpinan dan kekhilafahan Ali as tidak hanya diangkat dalam peristiwa Ghadir, tetapi juga disebutkan secara tegas dalam beberapa kesempatan lainnya, salah satunya adalah Yaum al-Dar. Menurutnya, sebagian besar ahli hadis dari kalangan Ahli Sunah dan Syiah menggagap hadis ini mustafidh (hampir menvapai mutawatir).[4]

Hadis ini juga dijadikan bukti untuk menunjukkan kewajiban ketaatan kepada Imam.[5]

Pengenalan Makna

Kata yaum dalam bahasa Arab berarti hari, namun kadang-kadang juga digunakan untuk merujuk pada peristiwa. Ketika terjadi suatu peristiwa penting, kata ini sering digunakan bersama dengan peristiwa tersebut untuk membentuk frasa. Sebagai contoh, sejarawan menggunakan frasa "Yaum al-Jamal" yang berarti "Peristiwa Jamal" atau "Perang Jamal," seperti yang dilakukan oleh Baladzuri dan lainnya.[6]

Banyak sejarawan mengatakan bahwa hari pembunuhan Utsman disebut oleh masyarakat sebagai "Yaum al-Dar" karena pada hari itu rumahnya dikepung dan ia dibunuh.[7]

Makna dari "Yaum al-Dar" adalah "Peristiwa Rumah Nabi," karena yang dimaksud dengan "al-dar" dalam hadis ini adalah rumah Nabi saw.[8] Sejarawan dan mufasir menggunakan istilah seperti "Yaum al-Dar" yang berarti peristiwa rumah Nabi saw, "Bad' al-Da'wah" yang berarti awal dakwah, dan "Yaum al-Indzar" yang berarti peristiwa peringatan, untuk merujuk pada peristiwa ini.[9]

Imam Pertama Syiah
Ali as
Biografi
Peristiwa GhadirLailatul MabitYaum al-DarGaris kehidupan
Warisan
Nahj al-BalaghahGhurar al-HikamKhutbah SyiqsyiqiyyahHaram Imam Ali as
Keutamaan
Keutamaan Ahlulbait AsAyat WilayahAyat Ahlu ZikrAyat Ulil AmriAyat TathirAyat MubahalahAyat MawaddahAyat ShadiqinAyat Syira'Hadis Madinatul ‘IlmiHadis TsaqalainHadis RayatHadis SafinahHadis Kisa'Khutbah al-GhadirHadis ManzilahHadis Yaum al-DarHadis Sadd al-AbwabHadis WishayatKelahiran di KakbahPeristiwa Penghancuran Berhala
Sahabat
Ammar bin YasirMalik al-AsytarAbu DzarUwais al-Qarani'Ubaidillah bin Abi Rafi'Muhammad bin Abu BakarHujr bin 'Adilain


Uraian Jalannya Peristiwa

Dengan turunnya ayat Indzar pada tahun ketiga bi'tsah, Nabi Muhammad saw memerintahkan kepada Ali as untuk menyiapkan makanan dan minuman dengan menu berupa satu paha kambing dan susu, lalu kemudian mengundang semua keturunan Abdul Muththalib untuk hadir karena ia akan menyampaikan pesan penting yang ia dapat dari Allah swt. Ali as dengan penuh ketaatan menjalankan semua perintah tersebut.

Sekitar 40 orang dari keluarga besar Abdul Muthalib berkumpul pada hari yang telah ditentukan. Di antara mereka telah hadir Abu Thalib, Hamzah dan Abu Lahab. Secara alami, sebenarnya makanan yang disajikan tidak mencukupi untuk semua yang hadir, namun hari itu kesemua undangan mendapat bagian sampai mereka kekeyangan dan puas dengan apa yang telah disajikan. Dan anehnya, makanan yang disajikan tidak berkurang sedikitpun.

Merespon kejadian yang tidak biasa tersebut, Abu Lahab berkata, “Ini adalah sihir.” Pernyataan Abu Lahab tersebut memancing pembicaraan yang melenceng dari yang dikehendaki Nabi saw, sehingga sampai majelis tersebut berakhir, Nabi saw tidak mencapai tujuannya. Untuk kedua kalinya, Nabi Muhammad saw meminta Ali as untuk melakukan pertemuan serupa dengan meminta kehadiran mereka kembali. Untuk kedua atau ketiga kalinya, setelah hadirin menyantap makanan yang disajikan, beliau berkata:

«یا بَنِی عَبْدِالْمُطَّلِبِ إِنِّی وَاللَّهِ مَا أَعْلَمُ شَابّاً فِی الْعَرَبِ جَاءَ قَوْمَهُ بِأَفْضَلَ مِمَّا جِئْتُکُمْ بِهِ إِنِّی قَدْ جِئْتُکُمْ بِخَیرِ الدُّنْیا وَالْآخِرَةِ وَ قَدْ أَمَرَنِی اللَّهُ تَعَالَى أَنْ أَدْعُوَکُمْ اِلَیهِ فَأَیکُمْ یؤَازِرُنِی عَلَى هَذا الْأَمْرِ عَلَى أَنْ یکُونَ أَخِی وَ خَلِیفَتِی فِیکُم؟»

"Wahai keturunan Abdul Muthalib, aku bersumpah atas nama Tuhan, tidak ada pemuda dari kalangan bangsa Arab yang akan menyampaikan hal yang lebih baik dari apa yang akan aku sampaikan kepada kalian, atau yang dibawa untuk kaumnya. Aku membawa kebaikan bagi dunia dan akhirat kalian. Tuhan memerintahkan kepadaku untuk mengajak kalian kepadaNya. Sekarang siapa diantara kalian yang akan menolongku yang dengan itu akan menjadi saudaraku dan washiku ditengah-tengah kalian?”

Mendapat tawaran dari Nabi saw, tidak seorangpun yang memberikan jawaban. Ali as yang saat itu adalah yang paling kecil dan berusia paling muda diantara semua yang hadir berkata, “Ya Rasulullah, aku yang akan menolongmu.”

Nabi saw berkata:

إِنَّ هَذَا أَخِی وَ وَصِیی وَ خَلِیفَتِی فِیکُمْ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِیعُوا

“Inilah saudara, washi dan khalifahku di tengah-tengah kalian. Dengarkanlah perkataannya dan taatilah perintahnya.” [10]

Kesemua yang hadir lantas berdiri, dan sambil tertawa mengejek mereka berkata kepada Abu Thalib, “Muhammad memerintahkan, untuk kamu taat kepada puteramu dan mendengarkan perkataannya.”

Di kalangan para ahli sejarah dan ahli tafsir, peristiwa di atas dinamakan Yaum al-Dār yaitu hari dimana keluarga dan sanak kerabat Nabi Muhamad saw berkumpul di rumahnya . Atau biasa juga disebut dengan nama Bad'u al-Da'wat (hari dimulainya dakwah) dan Yaum al-Indzār. Hadits ini sangat terkenal dan diriwayatkan oleh banyak ahli sejarah dan ahli tafsir. [11]

Perbedaan Mengenai Hadis

1.Perbedaan mengenai tempat peristiwa: sesuai dengan semua referensi, Nabi saw dalam peristiwa ini memberi peringatan kepada keluarganya. Tetapi tejadi perbedaan dalam sumber-sumber mengenai kalimat Nabi saw, tempat dakwah dan peringatan tersbut. Oleh sebab itu, sebagian riwayat yang dinukil dari Ahlusunnah, Nabi saw setelah turunnya ayat pergi ka atas bukit Shafa dan berteriak, memperingatkan masyarakat serta menyeru mereka kepada Islam.[12] Atas dasar ini, mayoritas sumber-sumber Syiah dan sejumlah besar sumber-sumber Ahlusunnah menyebut rumah Nabi saw sebagai tempat dakwah dan kejadian penunjukan Imam Ali as sebagai wasi dan khalifah beliau.

2.Perbedaan mengenai kalimat dan redaksi riwayat: Sesuai catatan dan penyimpulan Allamah Amini[13] selain satu bentuk redaksi yang disebut, ada 6 bentuk redaksi lain dinukil dalam sumber-sumber.

  • «مَن یبَایعُنی عَلی اَنْ یکونَ اَخی وَ صاحِبی وَ ولیکمْ مِنْ بَعْدی؟»

"Siapa yang membaitku maka akan menjadi saudaraku, temanku dan wali kalian setelahku?" [14] Dalam penukilan ini, kata Khalifati tidak ada, tapi kata Waliyyikum dimuat yang dalam penukilan pertama kata ini tidak disebut. Dapat dikatakan bahwa penukilan ini, dengan melihat makna 'Wali' dan 'wilayat' (perwalian), dapat menguatkan penukilan pertama.

  • «أَیکمْ ینْتَدِبُ أَنْ یکونَ أَخِی وَ وَزِیرِی وَ وَصِیی وَ خَلِیفَتِی فِی أُمَّتِی وَ وَلِی کلِّ مُؤْمِنٍ.... اللَّهُمَّ امْلَأْ جَوْفَهُ عِلْماً وَ فَهْماً وَ حُکماً ثُمَّ قَالَ لِأَبِی طَالِبٍ یا أَبَا طَالِبٍ اسْمَعِ الْآنَ لِابْنِک وَ أَطِعْ فَقَدْ جَعَلَهُ اللَّهُ مِنْ نَبِیهِ بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَی.»

"Siapakah di antara kalian yang hendak menjadi saudarku, menteriku, wasiku, khalifahku pada umatku dan wali setiap orang mukmin..... Ya Allah isilah hatinya ilmu, pemahaman dan hikmah. Kemudian ia berkata kepada Abu Thalib, hai Abu Thalib! Sekarang dengarkan anakmu dan taatlah padanya, sungguh Allah telah menjadikan dia di sisi nabi-Nya seperti kedudukan Harun di sisi Musa...".[15] Penukilan ini disamping menguatkan penukilan kedua, juga memberikan isyarat kepada Hadis Manzilah dan memberikan penekanan akan kepemimpinan Ali as secara langsung.

  • «مَنْ یؤَاخِینِی وَ یوَازِرُنِی وَ یکونُ وَلِیی وَ وَصِیی بَعْدِی وَ خَلِیفَتِی فِی أَهْلِی وَ یقْضِی دَینِی.»

"Siapa yang akan menjadi saudarakau, menteriku, waliku, wasiku setelahku dan khalifahku pada keluargaku dan menunaikan piutangku."[16] penukilan ini dapat melengkapi semua ibarat penukilan yang pertama.

  • «وَ إِنَّ اللَّهَ لَمْ یبْعَثْ نَبِیاً إِلَّا وَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَهْلِهِ أَخاً وَ وَزِیراً وَ وَارِثاً وَ وَصِیاً وَ خَلِیفَةً فِی أَهْلِهِ فَأَیکمْ یقُومُ فَیبَایعُنِی عَلَی أَنَّهُ أَخِی وَ وَارِثِی وَ وَزِیرِی وَ وَصِیی وَ یکونُ مِنِّی بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَی إِلَّا أَنَّهُ لَانَبِی بَعْدِی؟»

"Allah swt tidak mengutus sorang nabi kecuali mengangkat dari keluarganya sorang saudara, menteri, pewaris, wasi dan khalifah pada keluarganya, siapa di antara kalian yang berdiri dan berbaiat kepadaku maka ia menjadi saudaraku, pewarisku, menteriku, wasiku dan posisinya di sisiku akan menjadi seperti Harun di sisi Musa hanya saja tidak ada nabi setelahku".[17] Penukilan ini juga dapat melengkapi semua ibarat penukilan pertama. Selain itu, ia juga secara tegas menjelaskan hadis Manzilah.

  • «فَأَیکمْ یبَایعُنِی عَلَی أَنْ یکونَ أَخِی وَ صَاحِبِی وَ وَارِثِی....»

"Siapa di atara kalian yang membaiatku maka ia akan menjadi saudara, teman dan pewarisku….".[18] Dalam penukilan ini kata Khalifati tidak dimuat, tapi kata Waritsi dimuat.

  • «أَنَا أَدْعُوکمْ إِلَی کلِمَتَینِ خَفِیفَتَینِ عَلَی اللِّسَانِ ثَقِیلَتَینِ فِی الْمِیزَانِ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَ أَنِّی رَسُولُ اللَّهِ فَمَنْ یجِبْنِی إِلَی هَذَا الْأَمْرِ وَ یؤَازِرْنِی عَلَیهِ وَ عَلَی الْقِیامِ بِهِ یکنْ أَخِی وَ وَصِیی وَ وَزِیرِی وَ وَارِثِی وَ خَلِیفَتِی مِنْ بَعْدِی.»

"Aku menyeru kalian kepada dua kalimat, ringan di mulut dan berat di mizan (timbangan amal): bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku utusan Allah, barangsiapa menjawab seruanku ini, membantu aku padanya dan siap menegakkan, maka ia menjadi saudara, wasi, wazir, pewaris dan khalifahku setelahku.."[19] Penukilan ini juga menegaskan bahwa Ali as khalifah Nabi saw secara lansung.

Urgensi Hadis

Hadis ini termasuk dalil naqli penetapan kepemimpinan Imam Ali as secara langsung. Para ulama dan kalam Imamiyah sangat bersandar pada hadis ini.[20] Imam Ali as sendiri saat menghadapi para penentang berdalih dengan hadis ini. Di masa kini, termasuk Allamah Amini dalam kitabnya yang masyhur al-Ghadir mengkaji secara mendetail hadis ini dan berbagai penukilan tentanngnya.[21]

Syaikh Mufid dalam menafsirkan 'wilayat' pada hadis Ghadir dan dalam menetapkan khilafah dan kepemimpinan Imam Ali as bersandar pada hadis Yaun al-Dar. Dia seperti halnya para teolog yang lain meyakini bahwa masalah wilayat dan kepemimpinan Ali as tidak hanya dikemukakan pada peristiwa al-Ghadir tetapi pada moment-moment lain juga disebutkan, salah satunya Yaum al-Dar. Menurutnya, jumhur ulama hadis Ahlusunnah dan Syiah menukil hadis ini secara mustafidh.[22]

Catatan Kaki

  1. Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 2, hlm. 319; Amini, Al-Ghadir, jld.3, hlm. 238
  2. Syekh Mufid, Risalah fi Ma'na al-Maula, hlm. 39 & 40; Syekh Mufid, Al-Fushul al-Mukhtarah, hlm. 96; Nabathi Bayadhi, Al-Sirath al-Mustaqim, jld. 1, hlm. 29; Sayid Ibn Thawus, Al-Tharaif, jld. 1, hlm. 21
  3. Amini, Al-Ghadir, jld. 2, hlm. 279-280
  4. Syekh Mufid, RIsalah fi Ma'na al-Maula, hlm. 39 & 40
  5. perlu sumber
  6. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 2, hlm. 237; Dzahabi, Tarikh al-Islam, jld. 3, hlm. 484
  7. Ibnu Thaqthaqi, Al-Fakhri, hlm. 104; Tsaqafi, Al-Gharat, jld. 1, hlm. 180; Ibnu Abi Al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, jld. 2, hlm. 166; Allamah Hilli, Nahj al-Haq, hlm. 302; Syekh Mufid, Al-Fushul Al-Mukhtarah, hlm. 96; Ibnu Muzahim, Waq'ah Shiffin, hlm 55.
  8. Ibnu Atsir, Al-Kamil fi al-Tarikh, jld. 2, hlm. 278; Halabi, Al-Sirah al-Halbiyyah, jld. 1, hlm. 461; Thabarsi, Majma' al-Bayan, jld. 7, hlm. 206.
  9. Ibn Atsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, jld. 3, hlm. 39;Thabarsi, Majma' al-Bayan, jld. 7, hlm. 322
  10. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Mulk, jld. 2, hlm. 279.
  11. Silahkan lihat, Ibnu Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 2, hlm. 60-63; Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld 3, hlm. 50-54, Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'ān al-'Azhim, jld 6, hlm. 151-153; Thabarsi, Majma' al-Bayān, jld. 7, hlm. 206; Bahrāni, al-Burhān fi Tafsir al-Qur'an, jld. 4, hlm. 186-189; Furāt Kūfi, Tafsir Furāt Kūfi, hlm. 300; Suyūthi, al-Durr al-Mantsūr, jld. 5, hlm. 97; Huskāni, Syawāhid al-Tanzil, jld. 1, hlm. 542-543; Ibnu Hisyām, al-Sirah al-Nabawiyah, jld. 1, hlm. 262
  12. Fahrurrazi, jld.24, hlm.536
  13. silahkan lihat: Amini, jld.2, hlm.279-280
  14. Amini, jld.3, hlm.398, dinukil dari sumber-sumber Ahlusunnah seperti Hafiz bin Mardawaih
  15. Sulaim bin Qais, jld.2, hlm.779, hadis no.6
  16. Tsa'labi, hlm.163
  17. Amini, jld.2, hlm.283
  18. Ahmad bin Hanbal, jld.1, hlm.159; Thabari, jld.1, hlm.217; Hafiz Nasai, hlm. 18; Ganji Sayfii, hlm.89
  19. Ibnu Abi Hatim, jld.9, hlm.282, hadis no.16011-16015; Baghawi, jld.3, hlm.400; Ibnu Taimiyah, jld.4, hlm.80
  20. Mufid, Risalah fi Makna al-Maula, hal. 39, dan 40; al-Fushul al-Mukhtārah, hal. 96; Nabathi Bayadhi, jld.1, hlm.325 dan jld.2, hlm.29; Ibnu Thawus, jld, 1, hlm. 21; Arbili, jld.1, hlm. 61
  21. Amini, jld.2, hlm. 179-180
  22. Mufid, Risalah fi Makna al-Maula, hlm. 39 dan 40

Daftar Pustaka

  • Muhammad bin Jarir al-Tabari,Tārikh al-Imam wa al-Muluk, Beirut, Dār Qāmūs al-Hadits, tanpa tahun.
  • Ibn Atsir, Al-Kāmil fi al-Tārikh, Beirut, Dār Sādr, 1399 H.
  • Ismail bin Katsir Syāmi, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Beirut, Dār Ahyā al-Turāt al-Arabi, 1413 H
  • Ibnu Hisyām, al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut, al-Maktbah al-'Alamiyah, tanpa tahun.
  • Thabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma' al-Bayān fi Tafsir al-Qur'an, Beirut, Dār al-Kutub al-Alamiyah Mansyurāt Muhammad Ali Baidhun, 1419 H.
  • Bahrāni, Sayyid Hasyim, al-Burhān fi Tafsir al-Qur'an, Tehran, Bunyād Bitsat, 1416 H.
  • Furat Kufi, Abul Qasim Furat bin Ibrahim, Tafsir Furat Kufi, Tehran, Penerbit dan Percetakan Kementerian Irsyad Islami, 1410 H.
  • Suyuti, Jalaluddin, al-Durr al-Mantsur, Qom, KItabkhaneh Ayatullah Mursyi Najafi, 1404 H.
  • Haskani, Ubaidallah bin Ahmad, Syawāhid al-Tanzil Liqawa'id al-Tafdhil, Tehran, Penerbit dan Percetakan Kementerian Irsyad Islami, 1411 H.