Ahmad
Ahmad (bahasa Arab: أحمد) adalah nama paling menonjol diantara nama-nama Nabi Islam saw yang disebutkan juga di dalam Alquran. Kata "Ahmad" digunakan sekali di dalam Alquran untuk menamakan Nabi Islam saw, yaitu ketika Nabi Isa as memberi kabar gembira akan kedatangan seorang nabi pada periode-periode berikutnya.
Leksikologi
Dilihat dari tata bahasa Arab, dengan bersandar pada kesimpulan yang umum bahwa kata "Ahmad" merupakan bentuk Af'al Tafdhil derivasi dari akar kata "Hamd", maka konsep sifat Tafdhil (pengutamaan, pengunggulan) dari kata "Mahmud" yang berarti "lebih terpuji/paling terpuji" atau kata "Hamid" yang berarti "lebih pemuji/paling pemuji" adalah muncul darinya. Dilihat dari sisi kaidah pembuatan Af'al Tafdhil dalam ilmu Sharaf, terkhusus menurut pandangan mazhab Basrah, maka kemungkinan kedua lebih kuat daripada kemungkinan pertama. Akan tetapi bagi ulama yang menjauh dari kaidah sharaf, yang menyoroti masalah ini, maka kemungkinan pertama lebih bisa diterima. [1]Sebagian ulama terdahulu yang tidak berdasar pada kaidah tata bahasa melainkan bersandar pada teks-teks riwayat seperti hadis nabi yang mengatakan, "Pada hari kiamat dibukakan/dilebarkan pujian-pujian untuk Nabi saw, dimana pujian tersebut tidak pernah dibukakan kepada seseorang sebelumnya dan beliau dengan pujian-pujian itu memuji Tuhannya" mengedapankan pahaman 'paling pemuji' atas 'paling terpuji'. [2]
Ahmad di dalam Alquran, Riwayat dan Sastra Arab
Kata "Ahmad" dimuat sekali di dalam Alquran untuk menamakan Nabi Islam saw [3], yaitu ketika Nabi Isa as memberikan kabar gembira akan kedatangan seorang nabi pada periode-periode setelahnya.
Perlu dicatat bahwa tulisan-tulisan di atas batu-batu yang ditemukan di gunung "Shafa" yang terletak di bagian utara jazirah Arabia terlihat pula nama-nama yang mirip dengan Ahmad, yang menurut para peneliti merupakan bentuk singkatan dari nama-nama yang dikombinasi dengan nama Allah.
Ibnu Qayim al-Jauzi menyatakan bahwa semua nama-nama Nabi saw bukanlah 'alam-'alam atau sekedar nama murni yang diperuntukan hanya mengenal orang yang dinamai, akan tetapi merupakan bentuk-bentuk sifat dan nama-nama derivatif yang melazimkan pujian dan kesempurnaan kepada orang yang dinamai. [4] Meskipun contoh gamblang dari pandangan semacam ini tidak ditemukan pada tulisan-tulisan klasik, namun secara praktis terdapat juga pandangan serupa di kalangan kaum Muslimin pada masa-masa terdahulu.
Terkait ke-'alaman nama Ahmad mesti dikatakan bahwa setiap kali penulis mencoba menulis nama lain selain nama Muhammad untuk Nabi Islam saw, nama Ahmad senantiasa disebutkan terlebih dahulu. Teks riwayat yang paling terkenal mengenai hal ini adalah hadis Jubair bin Muth'im yang dikutip dari Nabi saw yang berbicara tentang lima nama dari nama-nama Nabi saw, yang mana nama Muhammad dan Ahmad lebih banyak disebutkan. Penelitian terhadap sanad-sanad riwayat menunjukkan bahwa periwayatan hadis ini lebih dikenal melalui jalan Zuhri dari Muhammad bin Jubair dari Jubair bin Muth'im. [5] Namun, ada kandungan mirip dengan kandungan di atas dengan perbedaan tipis, telah diriwayatkan melalui jalan Jakfar bin Abi Wahsyiah dan Atabah bin Muslim dari Nafi', putra lain dari Jubair bin Muth'im, dari ayahnya.[6]
Hadis di atas juga diriwayatkan dengan silsilah sanad A'masy dan Mas'udi dari Amr bin Murrah dari Abu Ubaidah dari Abu Musa Asy'ari dari Nabi saw [7] dan dengan silsilah sanad Hammad bin Salamah dari Ashim dari Zar bin Hubaisy dari Hudzaifah atau silsilah sanad Abu Bakar bin Ayasy dari Ashim dari Abu Wail dari Hudzaifah dari Nabi saw.[8] Berdasarkan pada sanad-sanad di atas dapat disimpulkan bahwa konten hadis tersebut telah dibicarakan oleh beberapa sahabat sejak paruh pertama abad ke-1 H, namun pada generasi-generasi awal abad ke-2 H, penukilan hadis tersebut yang tadinya dari person ke person lain menjadi lebih luas dan melebar.
Berdasar pada apa yang telah disebutkan di atas tampaknya harus diterima bahwa asumsi adanya nama untuk Nabi saw lebih dari satu nama terkhusus nama Ahmad, sudah ada sejak pertengahan abad ke-1 H. Hal ini tidak jauh dari harapan dan dapat dicerna secara utuh ketika melihat makna lahiriah kalimat Alquran: إسمه أحمد; namanya Ahmad.
Beredarnya Nama Ahmad di Kalangan Arab Sebelum Islam
Di antara sebagian ulama abad-abad pertengahan Islam ada keyakinan bahwa tak seorang pun sebelum Nabi Islam saw diberi nama Ahmad. Hal ini menunjukkan adanya hikmah Allah supaya seseorang tidak keliru dengan Ahmad yang telah dikabarkan oleh Nabi Isa as sebagai berita gembira.[9] Namun, ada beberapa contoh penyebaran nama Ahmad ini di kalangan Arab sebelum Islam. Contoh-contoh ini -yang periwayatannya dilihat dari sisi keabsahan dan ketelitian pencatatannya harus dikategorikan kepada beberapa tingkatan- antara lain adalah: Abu Amr Ahmad bin Hafsh bin Mughirah Makhzumi, Ahmad bin Ghajyan, Ahmad bin Tsumamah Thai, Ahmad bin Dauman dan Ahmad bin Zaid [10], demikian juga terdapat suku-suku dengan nama "Banu Ahmad" di kalangan kabilah-kabilah Hamedan, Thai' dan selainnya [11] dan terdapat pula nama Ahmad dalam bentuk kunyah seperti Abu Ahmad, Abd bin Jahsy. [12]
Dengan adanya latar belakang ini dan penggunaan Ahmad sebagai nama Nabi saw, sampai akhir dekade abad ke-1 H, nama Ahmad tidak menyebar sebagaimana menyebarnya nama-nama serumpunnya, yaitu Muhammad, Mahmud dan Hamid. [13]
Pemberian Nama dengan Nama Ahmad dalam Sejarah Islam
Contoh penamaan dengan Ahmad pada paruh pertama abad ke-1 H yang dilaporkan oleh Waqidi sangat diragukan. Berdasarkan riwayat ini, anak keempat dari Ja'far bin Abi Thalib dari Asma binti Umais bernama Ahmad. [14] sementara sebagian besar sumber hanya mengisyartakan kepada 3 anak dari anak mereka berdua dengan nama Abdullah, 'Aun dan Muhammad. [15] Jumlah anak yang lahir dari pernikahan ini mencapai 8 orang tapi diantara mereka tidak ada yang bernama Ahmad.
Dalam kelahiran-kelahiran Islam, Ahmad bin Amr bin Tamim, ayah Khalil sastrawan tersohor mazhab Basrah (L 170 H/786), adalah orang pertama yang bernama Ahmad. Mengingat bahwa Khalil meninggal pada usia 74 tahun [16] dan kelahirannya atas dasar ini sekitar tahun 96 H/715, maka penamaan ayahnya dapat diprediksikan terjadi pada kuartal ketiga dari abad ke-1 H. Seorang bernama "Ahmad ibnu Hamwaih" yang dianggap sebagai sahabat Imam Ali bin Husain as[17], jika percaya pada laporan itu, juga harus dijadikan contoh lain selain Ahmad ayah Khalil. Dan tak lama setelahnya bisa diangkat pula seseorang bernama "Ahmad bin Muhammad Hadrami" yang dianggap sebagai salah satu sahabat Imam Baqir as (L. 114 H/732). [18]
Penekanan pada sosok ayah Khalil sebagai orang pertama pada era Islam yang diberi nama "Ahmad", terlihat dalam sumber-sumber klasik Islam, [19] dan dalam kasus ini terkadang terlihat pula klaim kesepakan pendapat. [20] Catatan-catatan ini menegaskan satu poin historis bahwa pada zaman-zaman kuno sekalipun, para penulis Islam tidak menemukan bukti bahwa pada paruh pertama abad ke-1 H orang-orang yang terlahir muslim diberi nama Ahmad.
Dengan mempertimbangkan keterlambatan menyebarnya penamaan dengan Ahmad di kalangan Muslimin dan beberapa argumen lain, sejumlah peneliti kontemporer berasumsi bahwa kata "Ahmad" di dalam Alquran seharusnya tidak dianggap sebagai 'Alam tetapi harus dianggap sebagai sifat. Penyimpulan ke-'alaman dari kata ini bermula ketika Nabi saw disamakan dengan Farqalith (Parakletos) yang dijanjikan dalam Injil. [21]
Penggunaan kata "Ahmad" untuk Nabi saw di dalam Alquran sekalipun hanya sekedar sifat, demikian juga sejarah nama ini di kalangan orang Arab, bisa dijadikan motivasi yang memadai untuk penamaan dengan "Ahmad" di kalangan umat Islam. Oleh karena itu, jika sejarah pada waktu tertentu telah menunjukkan penamaan dengan Ahmad di kalangan Arab -persis pada masa perpindahan ajaran kuno ke Islam-, maka sebabnya mesti dicari pada asumsi-asumsi awal Islam. Tanpa melihat laporan khusus, adalah mungkin untuk mengatakan bahwa kaum muslimin pada awal Islam sebagaimana telah menghindar dari menggunakan kunyah Abul Qasim, kunyah Nabi saw [22] atau sekurang-kurangnya dari menggabungkan nama Muhammad dan kunyah Abul Qasim, [23] mereka juga menghindar dari menamai anak-anak mereka dengan "Ahmad". Pemberantasan penghindaran ini dan penyebaran nama Ahmad bahkan dimunculkannya kesunahan nama ini [24] tidak lebih aneh dari pada penghindaran dari penggabungan antara nama dan kunyah Muhammad dengan Abul Qasim pada masa sahabat yang kadang-kadang diberantas pula.[25]
Berkenaan dengan ke-'alaman nama Ahmad untuk Nabi saw harus dipelajari dari beberapa riwayat yang berbicara soal penamaan Nabi saw oleh salah satu pembesar keluarga Nabi. Berdasarkan sebuah riwayat dari Imam Baqir as dijelaskan bahwa pada masa kehamilan, Aminah ibunda Nabi saw mendapat seruan agar supaya anaknya diberi nama Ahmad.[26] Begitu juga dalam riwayat Syiah dimuat bahwa nama Ahmad diberikan oleh Abu Thalib, paman Nabi saw, kepada beliau di hari kesembilan dari kelahirannya. Abu Thalib memberi nama Ahmad kepada beliau karena penduduk langit dan bumi memujinya.[27]
Alhasil, dari pembandingan antara dua nama Ahmad dan Muhammad dilihat dari sisi zaman, sebagian penulis sejarah meyakini bahwa penamaan Nabi saw dengan Ahmad lebih dahulu daripada penamaannya dengan Muhammad, dan dengan mengaitkan nama Ahmad dengan masalah pemberian kabar gembira, mereka mengembalikan penamaan Nabi saw dengan Ahmad kepada masa Al-Masih as.[28] Namun kelompok lain meyakini bahwa penamaan beliau dengan Ahmad dilihat dari sisi zaman adalah terbatas diantara penamaannya dengan Muhammad di Taurat dan penamaannya dengan Muhammad pada masa kehidupannya.[29]
Dengan mengabaikan pandangan historis dan kembali kepada masalah relatifitas ke-'alaman nama-nama Nabi saw di sisi muslimin serta tidak dilupakannya makna sifat dalam nama-nama ini, maka perlu diketahui bahwa terkadang riwayat-riwayat Islam ketika membandingkan dua nama Ahmad dan Muhammad, menekankan makna pengutamaan (tafdhil) dari kata Ahmad. Berdasarkan satu riwayat dari Nabi saw, beliau dinamai Muhammad karena di bumi dipuji dan dinamai Ahmad karena dilangit lebih dipuji.[30]
Bentuk lain dari makna pengutamaan (tafdhil) yang terkandung dalam nama Ahmad disinggung dalam sebuah hadis dari Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ali as dan Ubai bin Ka'ab, dimana pada no.5 disebutkan tentang kelebihutamaan Nabi dibanding nabi-nabi sebelumnya karena bernama Ahmad.[31] Ada riwayat-riwayat lain yang serupa telah dinukil melalui jalan Ibnu Abbas, Jabir dan Abu Hurairah, yang di dalamnya telah diganti penamaan dengan Ahmad dengan kalimat lain.[32] Terkadang nama Ahmad dan Muhammad hanya dipandang sebagai nama-nama asli Nabi saw. Sebagai contoh klasik adalah riwayat Ali as yang menjelaskan bahwa diantara para nabi ada 5 orang yang dipanggil dengan dua nama dan yang terakhir dari mereka adalah Nabi Islam saw yang mempunyai dua nama Muhammad dan Ahmad.[33]
Ahmad dalam Syair
Selain riwayat, harus disinggung pula teks-teks syair peninggalan para penyair dekade-dekade awal abad ke-1 H seperti Hassan bin Tsabit, [34] Ibnu Ziba'ri [35], Imru'ul Qais al-Kindi [36] dan Ka'ab bin Malik.[37] Pada teks-teks tersebut Nabi saw diberi nama Ahmad.[38]
Pemberian Kabar Gembira dengan Ahmad di dalam Kitab-kitab Suci dan Riwayat
Tema mengenai pemberian kabar gembira dengan "Ahmad" selain dinaskan dalam Alquran melalui lisan Nabi Isa as, kitab-kitab suci dan ajaran-ajaran para Nabi terdahulu juga menyinggungnya. Demikian pula, masalah ini disoroti dalam banyak riwayat.
Di dalam Alquran
Satu-satunya contoh penggunaan Ahmad di dalam Alquran dikaitkan dengan masalah pemberian kabar gembira, yaitu ketika Nabi Isa Al-Masih as memberikan kabar gembira akan datangannya seorang nabi: َ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقاً لِما بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْراةِ وَ مُبَشِّراً بِرَسُولٍ يَأْتي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ "Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad ".[39]
Di dalam Riwayat
Kabar gembira yang jelas, yang dibawa Alquran melalui lisan Nabi Isa as ini, sejak awal Islam, telah mendorong kaum muslimin untuk mencari sebuah indikasi dari Ahmad di dalam tulisan-tulisan Penjanjian Baru. Hal ini terkadang sampai pada batas dimana mereka berbicara singkat tentang penyebutan nama Ahmad untuk Nabi Islam di dalam Injil.
Contoh terpenting adalah sejumlah hadis yang dinukil dari lisan Nabi saw melalui jalan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Jabir. Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut, nama Nabi saw di dalam Alquran adalah "Muhammad", di Injil "Ahmad" dan di Taurat "Ahbad".[40]
Terkadang ada upaya pula untuk menunjukkan ungkapan yang mengandung 'pemberian kabar gembira dengan Ahmad' dengan kalimat yang sama persis (tentu dengan bahasa Arab). Sebagai contoh, pada riwayat panjang terkait kisah mubahalah, ungkapan yang mengandung 'pemberian kabar gembira' telah dinukil oleh ulama kristen Najran dari "Miftah (dalam sebagian versi, Misbah) Injil keempat" (mungkin maksudnya adalah matan keempat Perjanjian Baru, Injil Yohanes).[41] Ada kemungkinan bahwa riwayat-riwayat ini memiliki ikatan dengan 'pemberian kabar gembira dengan Farqalith (Parakletos)' di dalam Injil Yohanes. Apapun adanya, nas-nas yang dinukil di atas tidak selaras dengan nas-nas pemberian kabar gembira dengan Farqalith.
Demikian juga, berdasarkan pada sebuah riwayat dari Muhammad bin Saad bin Mani' al-Hasyimi, pada abad ke-1 H ada seseorang yang baru masuk Islam bernama Sahal Murisi, budak yang dibebaskan oleh Utsaimah, yang dia sendiri seorang pembaca Injil, ia mengatakan bahwa di sisi pamannya menemukan satu mushaf (kitab suci) yang di dalamnya berbicara tentang Nabi Islam dan menyifatinya demikian: "Dia adalah dari keturunan Ismail dan namanya Ahmad".[42]
Pemberian kabar gembira dalam riwayat ini bisa dikomparasikan dengan pemahaman Islami dari Kitab Kejadian (20:17) tentang 'pemberian kabar gembira dengan Maadmaad', yaitu dengan penjelasan bahwa di konteks pembicaraan mengenai Ismail adalah putra Ibrahim yang disebutkan di dasar Ibrani Alkitab I (Kitab Kejadian: 20:17) digunakan kata susunan "Ma'damad". Kata ini di dalam terjemahan Penjanjian Lama yang beredar diterjemahkan dengan "sangat banyak" atau padanannya dalam bahasa-bahasa lain.[43]
Sebagian ulama muslim meyakini bahwa "Ma'damaad" mengisyaratkan kepada Muhammad. Pada beberapa kitab-kitab langit terdahulu, kata "Madmad" yang terkadang ditulis dengan Mudmud, Midmid (dalam semua tempat ditulis dengan huruf د (Dāl) dan ذ (Dzāl)) dianggap sebagai nama-nama Nabi saw.[44] Bisa jadi kalimat yang dimaksud oleh Sahal Murisi adalah kalimat Kitab Kejadian ini bukan Injil, yaitu dengan menerjemahkan "Ma'damad" dengan Ahmad.
Di dalam Taurat
Pemberian kabar gembira yang terkenal di sisi muslimin abad ke-1 H tidak relevan dengan teks Perjanjian Lama yang dinukil di Taurat. Secara umum kalimat Arabnya dimulai dengan: «عبدی المختارلیس بفظ و لاغلیظ»; Hambaku yang terpilih tidaklah kasar dan tidak pula keras. Hamba yang terpilih ini, yang menjadi kabar gembira, di sebagian riwayat dinamakan Ahmad.[45]
Di dalam Zabur Daud dan Kitab Yesaya
Dalam sebuah riwayat dari Wahab bin Muntabih dijelaskan bahwa pemberian kabar gembira dengan Nabi saw di dalam Zabur Nabi Daud [46] dan riwayat-riwayat lain dalam kitab Yesaya,[47] menggunakan kata "Ahmad".
Di dalam Kitab Habakuk (Nabi Habakuk)
Harus dikenang pula 'pemberian kabar gembira dengan Ahmad' yang dinisbatkan kepada nabi Habakuk. Dalam sebuah matan yang diriwayatkan Naufali dari Imam Ridha as pada abad ke-3/9 M, sesuai penukilan Habakuk dimuat demikian: "Allah membawa keterangan (tibyan) dari gunung Faran sementara langit-langit dipenuhi dengan pujian Ahmad dan umatnya..."[48]
Di dalam kitab Habakuk (3:3) dimuat: "Tuhan datang dari Taimun dan Kudus dari gunung Faran, keagungannya menyelimuti langit-langit, sementara bumi dipenuhi dengan pujiannya". Kata "keagungannya" dalam bahasa Ibraninya adalah "Huwu". Terkumpulnya riwayat-riwayat tentang pemberian kabar gembira dengan Ahmad pada tulisan-tulisan dan ajaran-ajaran Ahli kitab di dalam Thabaqat Ibnu Saad [49] menunjukkan perhatian khusus dan menyeluruh ulama muslim abad ke-2 dan ada kemungkinan abad ke-1 H untuk mencari sebuah indikasi atas pemberian kabar gembira dengan Ahmad pada sumber-sumber agama orang-orang terdahulu.
Di dalam Injil Yohanes
Kabar gembira yang ada di dalam Injil Yohanes yang menyinggung tentang diutusnya "Farqalith" (Parakletos) pada satu era setelah Isa Masih terkadang dihubungkan dengan masalah pemberian kabar gembira dengan "Ahmad". Kata "Farqalith" atau "Barqalith" diarabkan dari kata Yunani Paracletus yang artinya pendukung, wakil, penyafaat dan penyelamat, yang dalam kamus gereja berarti penghibur.[50]
Pada beberapa abad, ulama Islam terkadang mengisyaratkan poin ini bahwa Parakletos pada nyatanya adalah bacaan yang dipelesetkan dari kata Pariklutos di Yunani, meskipun kalimat-kalimat mereka dari pemahaman ini kurang memiliki kefasihan bahasa.[51] Pariklutos dalam bahasa bermakna agung, terkenal dan mulia dan pada periode sebelum masehi sering kali digunakan. Dilihat dari sisi makna leksikalnya, kata tersebut dapat dijadikan satu ungkapan dari nama nabi Islam Muhammad atau Ahmad.
Mawardi menegaskan bahwa Farqalith diambil dari satu akar kata yang bermakna Ahmad.[52] Terdapat beberapa pandangan klasik yang menafsirkan "Fariq Litha" atau "Barqalith" dengan orang yang memisahkan kebenaran dari kebatilan.[53] Ibnu Qayyim menegaskan bahwa sebagian orang menyakini kesingkronan Farqalith dengan "Ahmad" yang disebutkan di dalam Alquran.[54]
Catatan Kaki
- ↑ Ibnu Qayim, Zād al-Ma'ād, jld.1, hlm.69 dan seterusnya
- ↑ Qadhi 'Ayadh, al-Syifa', jld.1, hlm.312-313; Suhaili, al-Raudh al-Unf, jld.2, hlm.153; Mulla Ali Qari, Jam'u al-Syamāil, jld.2, hlm.181-182
- ↑ QS. Al-Shaf:6
- ↑ Ibnu Qayyim, Zād al-Ma'ād, jld.1, hlm.66
- ↑ Bukhari, Shahih, jld.3, hlm.201; Muslim bin Hajjaj, Shahih, hlm.1828; Tirmidzi, Sunan, jld.5, hlm.135
- ↑ Ibnu Sa'ad, al-Thabaqāt al-Kabir, jld.1, hlm.65; Hakim Neisyaburi, Mustadrak al-Shahihain, jld.2, hlm.604; Baihaqi, Dalāil al-Nubuwah, jld.1, hlm.155
- ↑ Muslim, Shahih, hlm.1828-1829; Ahmad bin Hanbal, Musnad, jld.4, hlm.395, 404, 407; Baihaqi, Dalāil al-Nubuwah, jld.1, hlm.156-157
- ↑ Ahmad bin Hanbal, Musnad, jld.5, hlm.405; Tirmidzi, al-Samāil, hlm.211-212; Ibnu Sa'ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld.1, hlm.65
- ↑ Qadhi Ayadh, al-Syifa, jld.1, hlm.313
- ↑ Hanya pada riwayat Abu Hasyim Makhzumi, lihat: Ibnu Atsir, Ali, Usd al-Ghabah, jld.1, hlm.22 dan 53; Ibnu Hajar, al-Ishabah, jld.4, hlm.139, Zarqani, Syarh al-Mawāhib al-Ladunniah, jld.3, hlm.158
- ↑ Zarqani, Syarh al-Mawāhib al-Ladunniah, jld.3, hlm.158
- ↑ Ibnu Sa'ad, Kitab al-Thabaqāt al-Kabir, jld.3, hlm.62; Ibnu Atsir, Ali, Usd al-Ghabah, jld.5, hlm.133; Montgomery Watt, hlm. 111 dst
- ↑ Untuk penyebaran nama ini dan perbandingannya, lihat Montgomery Watt, hlm.115-117
- ↑ Ibnu Hajar, al-Ishābah, jld.1, hlm.97
- ↑ Ibnu Saad,Kitab Thabaqāt al-Kabir, jld.4, hlm.22-23; Ibnu Atsir, Ali, Usd al-Ghabah, jld.5, hlm.395; Ibnu Anbah, Umdah al-Thalib, hlm.36
- ↑ Ibnu Nadim, al-Fihrist, hlm.48; Nawawi, Tahdzib al-Asmā wa al-Lughāt, jld.1, hlm.178.
- ↑ Thusi, Rijal, hlm.84.
- ↑ Barqi, Rijal, hlm.10; Montgomery Watt, hlm.111.
- ↑ Ibnu Nadim, al-Fihrist, hlm.48.
- ↑ Ibnu Hajar, al-Ishabah, jld.1, hlm.97.
- ↑ Montgomery Watt, hlm.113.
- ↑ Bukhari, Shahih, jld.2, hlm.14; Muslim bin Hajaj,Shahih, hlm.1684-1682
- ↑ Abu Daud Sajistani, Sunan, jld.4, hlm.292; Tirmidzi, Sunan, jld.5, hlm.136-137; Kulaini, al-Kafi, jld.6, hlm.21
- ↑ Khulaini, al-Kafi, jld.6, hlm.19; Zarqani, Syarh al-Mawāhib al-Ladunniah, jld.5, hlm.301.
- ↑ Ibnu Hajar, al-Ishabah, jld.3, hlm.509.
- ↑ Ibnu Sa'ad, Kitab Thabaqāt al-Kabir, jld.1, hlm.61 dan 64; bandingkan dengan: Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.1, hlm.145, yang mengganti Ahmad dengan Muhammad.
- ↑ Kulaini, al-Kafi, jld.6, hlm.34.
- ↑ Suhaili, al-Raudh al-Unf, jld.1, hlm.153
- ↑ Ibnu Qayyim, Jala' al-Afhām, hlm.98 dst
- ↑ Qummi, Tafsir, jld.2, hlm.365; Kulaini, al-Kafi, jld.6, hlm.34; Ibnu Babawaih, 'Ilal al-Syarāyi, jld.1, hlm.127-128 dan Ma'āni al-Akhbār, hlm. 51-52; al-Ikhtishash, dinisbatkan kepada Syekh Mufid, hlm.34.
- ↑ Ahmad bin Hanbal, Musnad, jld.1, hlm.98 dan jld.1, hlm.158; Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, jld.6, jlm.214; Bukhari, Shahih, jld.1, hlm.70.
- ↑ Muslim bin Hajjaj, Shahih, hlm.370-372; Ibnu Babawaih, al-Khishal, jld.1, hlm.292.
- ↑ Ibnu Babawaih, Uyun Akhbār al-Ridha, jld.1, hlm.192; Baihaqi, Dalāil al-Nubuwah, jld.1, hlm.159, dinukil dari Khalil bin Ahmad.
- ↑ Hassan bin Tsabit, Diwān Hassan, jld.1, hlm.270.
- ↑ Ibnu Thaifur, Kitab Baghdad, hlm.53.
- ↑ Ibnu Habib, al-Muhabbar, hlm.186.
- ↑ Ibnu Habib, al-Muhabbar, hlm.272
- ↑ Konten ini juga dimuat dalam sebagian bait-bait syair yang dinisbatkan kepada Abdul Muththalib dan Abu Thalib, lihat: Suhaili, al-Raudh al-Unf, jld.2, hlm.157; Diwān Abi Thalib, riwayat Abu Haffan Mahzami, hlm. 12, 13, 19.
- ↑ QS. As-Shaf: 61
- ↑ Ibnu Babawaih, Ma'āni al-Akhbār, hlm.51; Suyuthi, al-Khashāish al-Kubra, jld.1, hlm.133.
- ↑ Al-Ikhtishash, dinisbatkan kepada Syekh Mufid, hlm.112-113; Ibnu Thawus, Saad al-Sa'ud, hlm. 91 dst, riwayat Abdurrazzaq; Ibnu Thawus, Iqbal al-A'mal, hlm.509, riwayat Abu al-Mufadhdhal dan Ibnu Asynas.
- ↑ Ibnu Saad, Kitab Thabaqāt al-Kabir, jld.1, hlm.64 dan 89.
- ↑ Ibnu Qayyim, Jala' al-Afhām, hlm.99 dst; Ibnu Katsir, al-Fushul fi Sirah al-Rasul, hlm.113-114.
- ↑ Ibnu Syahrasyub, Manāqib Al Abi Thalib, jld.1, hlm.152; Thabrisi, I'lam al-Wara, hlm.8; Ibnu Qayyim, Jala' al-Afhām, hlm.99 dst; Kaziruni, Nihāyah al-Mas'ul, hlm.140; Ibnu Katsir, al-Fushul fi Sirah al-Rasul, hlm.113-114; Suyuthi, al-Khashāish al-Kubra, jld.1, hlm.133.
- ↑ Rawandi, al-Kharāij wa al-Jarāih, jld.1, hlm.79-80; Ibnu Syubbah, Tarikh al-Madinah, jld.2, hlm.634-635. Untuk pemberian kabar gembira lain dengan Ahmad pada ucapan Musa as, silakan lihat: Suhaili, al-Raudh al-Unf, jld.2, hlm.153; Arbili, Kasyf al-Ghummah, jld.1, hlm.7; Suyuthi, al-Khashāish al-Kubra, jld.1, hlm.133.
- ↑ Ibnu Asakir, Tarikh Madinah Dimasyq, jld.1, jlm.503.
- ↑ Abu Hatim Razi, A'lam al-Nubuwah, hlm.197.
- ↑ Ibnu Babawaih, 'Uyun Akhbar al-Ridha, jld.1, hlm.134; Rawandi, al-Kharāij wa al-Jarāih, jld.1, hlm.75; bandingkan dengan: Ibnu Ribn, al-Din wa al-Daulah, hlm.169; Abu Hatim Razi A'lam al-Nubuwah, hlm.197; Karajaki , Kanz al-Fawāid, hlm.91, dimana pada referensi-referensi terkahir yanh dinukil dari Danial terdapat nama Muhammad.
- ↑ Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubra, jld.1, hlm.103-107.
- ↑ Untuk sejarah penafsiran ini pada terjemahan-terjemahan Arab, silakan lihat: Ibnu Qayyim Jauziyah, Hidayah al-Hayara, hlm.84.
- ↑ Montgomery Watt, hlm.113-114.
- ↑ Mawardi, I'lam al-Nubuwah, hlm.212.
- ↑ Qadhi Ayadh, al-Syifa, jld.1, hlm.321; Ibnu Atsir Mubarak, al-Nihayah, jld.3, hlm.439; Ibnu Qayyim Jauziyah, Hidayah al-Hayara, hlm.84.
- ↑ Ibnu Qayyim, Hidayah al-Hayara, hlm.89-90; Fakhruddin Razi, al-Tafsir al-Kabir, jld.119, hlm.131-134.
Daftar Pustaka
- Abu Daud Sajistani, Sulaiman. Sunan. Riset: Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid. Kairo: Dar Ihya as-Sunnah an-Nabawiyyah.
- Abu Hatim Razi, Ahmad. A'lam an-Nubuwwah. Riset: Shalah Shawi dan Ghulam Ridha A'wani. Teheran: 1356 HS.
- A'hdi Atiq.
- A'hdi Jadid.
- Ahmad bin Hanbal. Musnad. Kairo: 1313 H.
- Al-Ikhtishash. Dinisbatkan kepada Syekh Mufid. Riset: Ali Akbar Ghaffari. Qom: Jamaah al-Mudarrisin.
- Arbili, Ali. Kasyf al-Ghummah. Beirut: 1405 H/1985.
- Baihaqi, Ahmad. Dalāil an-Nubuwah. Riset: Abdul Mu'thi Qal'aji. Beirut: 1405 H/1985.
- Barqi, Ahmad. Rijal. Riset: Jaluddin Muhaddis Armawi. Dilengkapi dengan Rijal Ibnu Daud Hilli. Teheran: 1342 H.
- Bukhari, Muhammad. Shahih, dilengkapi dengan komentar, kairo.
- Diwan Abi Thalib, periwayatan Abu Haffan Mahzami. Najaf: 1356 H.
- Diwan Hassan bin Tsabit. Riset: Walid Arafat. Beirut: 1974.
- Fakhruddin Razi, Muhammad. Tafsir al-Kabir. Kairo: al-Mathba'ah al-Bahiyah.
- Hakim Naisyaburi, Muhammad. Mustadrak as-Shahihain. Hydarabad Dekan. 1334 H.
- Ibnu Anbah, Ahmad. Umdah ath-Thalib. Najaf: 1380 H/1961.
- Ibnu Asakir, Ali. Tarikh Madinah Dimasyq. Oman: Dar al-Basyir.
- Ibnu Atsir, Ali. Usd al-Ghabah. Kairo: 1280 H.
- Ibnu Atsir, Mubarak. An-Nihayah. Riset: Thahir Ahmadi Zawi dan Mahmud Muhammad Thanahi. Kairo: 1383 H/1963.
- Ibnu Babawaih, Muhammad. Al-Khishal riset: Ali Akbar Ghaffari. Qom: 13362 HS.
- Ibnu Babawaih, Muhammad. Ilal asy-Syarāyi. Najaf: 1385 H/1966.
- Ibnu Babawaih, Muhammad. Ma'wni al-Akhbār. Riset: Ali Akbar Ghaffari. Qom: 1361 HS.
- Ibnu Babawaih, Muhammad. Uyun Akhbār ar-Ridha. Najaf: 1390 H/1970.
- Ibnu Habib, Muhammad. Al-Mahabbar. Riset: Elza Likhten Shtiter. Hyderabad Dekkan: 1361 H/1942.
- Ibnu Hajar, Ahmad. Al-Ishābah. Kairo: 1328 H.
- Ibnu Hajar, Ahmad. Lisan al-Mizan. Hydarabad Dekan: 1329 H.
- Ibnu Hisyam, Abdul Malik. As-Sirah an-Nabawiyah. Riset: Thaha Abdurrauf Sa'ad. Beirut: 1975.
- Ibnu Katsir, Ismail. Al-Fushul fi Sirah ar-Rasul. Beirut: 1405 H/1985
- Ibnu Nadim. Al-Fihrist.
- Ibnu Qayyim Jauziyah, Muhammad. Jala'u al-Afhām. Beirut: 1405 H/1985
- Ibnu Qayyim Jauziyah, Muhammad. Hidayah al-Hayari. Riset: Saifuddin Katib. Beirut: 1400 H/1980.
- Ibnu Qayyim Jauziyah, Muhammad. Zad al-Ma'ad dar Hasyiyah Syarh al-Mawāhib.
- Ibnu Ribn, Ali. Ad-Din wa ad-Daulah. Riset: Adil Nawaihad. Beirut: 1402 H/1982.
- Ibnu Sa'ad, Muhammad. Kitab ath-Thabaqāt al-Kubra. Riset: Zakha dkk. Liden: 1904-1915.
- Ibnu Syahr Asyub, Muhammad. Manāqib Al Abi Thalib. Qom: percetakan Ilmiah.
- Ibnu Syaibah, Umar. Tarikh al-Madinah. Riset: Fahim Muhammad Syaltut. Hijaz: 1399 H/1979
- Ibnu Thaifur, Ahmad. Kitab Baghdad. Riset: Muhammad Zahid Kautsari. Kairo: 1368 H/1949.
- Ibnu Thawus, Ali. As-Su'ud. Najaf: 1369 H/1950.
- Ibnu Thawus, Ali. Iqbal al-A'māl. Teheran: 132 H.
- Karajaki, Muhammad. Kanz al-Fawāid. Tabriz: 1322 H.
- Kaziruni, Muhammad. Nihayah al-Mas'ul, Tarjumeh Kuhan Parsi. Riset: Muhammad Jakfar Yahaqqi. Teheran: 1366 HS.
- Kulaini, Muhammad. Al-Kafi. Riset: Ali Akbar Ghaffari. Teheran: 1391 H.
- Mawardi, Ali. A'lam an-Nubuwah. Riset: Muhammad Mu'tashim Billah. Beirut: 1407 H.
- Montgomery Watt, W., “His Name Is Ahmad”, The Muslim Word, New York, 1953, vol. XLIII.
- Mulla Ali Qari. Jam'u asy-Syamāil. Kairo: 1318 H.
- Muslim bin Hajjaj. Shahih. Riset: Muhammad Fuad Abdul Baqi. Kairo: 1955.
- Nawawi, Yahya. Tahdzib al-Asma' wa al-Lughat. Kairo: 1927.
- Qadhi Ayyadh. Asy-Syifa. Riset: Ali Muhammad Bajawi. Beirut: 1977.
- Qummi, Ali. Tafsir. Najaf: 1387 H.
- Qurtubi, Muhammad. Al-Jami' li Ahkam al-Quran. Beirut: 1966.
- Rawandi, Qutbuddin. Al-Kharāij wa al-Jarāih. Qom: 1409 H.
- Suhaili, Abdurrahman. Ar-Raudh al-Anf. Riset: Abdurrahman Wakil. Kairo: 1387 H/1961.
- Suyuthi. Ad-Durr al-Mantsur. Kairo: 1314 H.
- Suyuthi. Al-Khashāish al-Kubra. Beirut: 1405 H/1985.
- Thabrisi, Fadhl bin Hasan. I'lām al-Wara. Najaf: 1390 H.
- Thusi, Muhammad. Rijal. Najaf: 1380 H/1961.
- Tirmidzi, Muhammad. Asy-Syamāil, dilengkapi dengan komentar Bajuri. Kairo: 1344 H.
- Tirmidzi, Muhammad. Sunan. Riset: Ahmad Muhammad Syakir dkk. Kairo: 1357 H/1938.
- Zarqani, Muhammad. Syarh al-Mawāhib al-Ladunniyah. Kairo: 1329 H.