Peristiwa Ifk

Dari wikishia

Peristiwa Ifk (Bahasa Arab:حادثة الإفك; hāditsat al-ifk) adalah sebuah peristiwa yang pernah terjadi di permulaan Islam dan diabadikan oleh ayat 11-26 surah al-Nur. Peristiwa ini terjadi pada tahun 5 Hijriah di Madinah. Dalam peristiwa ini, menurut riwayat Ahlusunah, sekelompok warga menuduh Siti Aisyah, salah seorang istri Rasulullah saw, berbuat mesum. Melalui ayat-ayat tersebut, Allah mencela mereka karena telah melakukan tuduhan dan menyebarkan hoaks. Menurut sebuah riwayat yang lain, orang yang telah dituduh berbuat mesum tersebut adalah Siti Mariyah al-Qibthiyyah, istri Rasulullah saw yang lain, dan ibunda Ibrahim.

Definisi

Al-ifk disebutkan untuk sesuatu yang telah berubah dari bentuk asli dan naturalnya. Tuduhan dan kebohongan juga disebut al-ifk karena menyeleweng dari kebenaran dan terbalik dari kenyataan yang ada.[1]

Ayat-ayat Ifk

Dari ayat 11 hingga 26 surah al-Nur, Alquran menyebutkan peristiwa tuduhan terhadap salah seorang muslim dan mencerca para penuduh. Menurut penjelasan ayat-ayat ini, orang yang tertuduh adalah salah seorang masyhur dan berasal dari keluarga Rasulullah saw, dan para penuduh berasal dari sekelompok masyarakat.[2]

Ayat-ayat tersebut, di samping mengancam para penuduh dengan siksa yang sangat pedih, juga melarang Muslimin mempercaya berita-berita hoaks semacam itu tanpa alasan dan konfirmasi terlebih dahulu.[3] Di penghujung ayat-ayat itu, Allah dengan keras melarang masyarakat untuk menuduhkan perbuatan mesum kepada wanita-wanita suci, dan membebaskan wanita-wanita ini dari tuduhan-tuduhan semacam itu.[4]

Peristiwa Pertama: Menuduh Siti Aisyah

Menurut mayoritas ahli tafsir dan sejarawan, ayat-ayat tersebut menyinggung sebuah peristiwa yang terjadi pada tahun 5 Hijriah. Dalam peristiwa ini, sekelompok sahabat Rasulullah saw yang menurut pengakuan referensi-referensi Islam berasal dari kalangan kaum munafikin menuduh Siti Aisyah, istri Rasulullah saw, telah berbuat mesum. Alquran melalui ayat-ayat tersebut menyebut tuduhan kepada wanita-wanita yang bersih termasuk dosa besar. Ahlusunnah menilai ayat-ayat ini sebagai sebuah keutamaan untuk Siti Aisyah.[5]

Kronologi kisah diriwayatkan dari Siti Aisyah sendiri dan disebutkan dalam banyak kitab referensi sejarah Islam dalam bentuk yang serupa. Menurut riwayat ini, dalam perjalanan pulang dari Perang Bani Mushthaliq, pasukan Rasulullah saw berhenti di sebuah tempat. Siti Aisyah keluar dari rombongan untuk buang air. Tiba-tiba kalungnya hilang. Ia pun sibuk mencarinya. Rombongan yang tidak mengetahui Siti Aisyah sedang tidak berada di tempat berangkat dan membawa serta tandu karena mengira bahwa ia masih berada di dalam. Setelah melihat rombongan pergi, ia menetap di tempat tersebut hingga seseorang yang bernama Shafwan bin Mu’aththal tiba. Ia menyerahkan unta kepada Siti Aisyah dan mengiringinya hingga sampai kepada rombongan. Menurut riwayat ini, Siti Aisyah yang sakit setelah melakukan perjalanan itu memahami bahwa perlakukan Rasulullah saw terhadap dirinya berubah. Setelah beberapa waktu, ia mengetahui isu tentang hubungannya dengan Shafwan tersebar luas di kalangan masyarakat. Tidak lama berselang, beberapa ayat turun mencerca para penyebar isu itu. Rasulullah saw membacakan ayat-ayat tersebut kepada masyarakat luas.[6]

Para Penuduh

Bisa dipahami dari banyak ayat, para penuduh terhadap Siti Aisyah adalah sekelompok masyarakat Madinah. Nama sebagian dari mereka disebutkan dalam buku-buku referensi sejarah. Salah seorang dari mereka adalah Abdullah bin Ubay yang dikenal sebagai dedengkot kelompok munafikin di Madinah. Sumber-sumber referensi menjelaskan perannya yang signifikan dalam peristiwa ini.[7] Hassan bin Tsabit, Hamnah binti Jahsy, dan Musaththah bin Atsatsah termasuk kelompok penuduh yang disebutkan dalam buku-buku referensi sejarah. Sesuai perintah Rasulullah saw, mereka telah menjalani hukuman had.[8] Sebagian buku referensi menyebutkan nama Abdullah bin Ubay termasuk orang yang telah dihukum.[9] Akan tetapi, sebagian buku referensi sama sekali tidak menyebutkan namanya.[10]

Analisis

Riwayat masyhur yang termaktub dalam mayoritas sumber referensi sejarah dan tafsir tersebut menuai kritikan, terutama dari kalangan para penulis Syiah. Sekalipun menegaskan bahwa istri-istri Rasulullah saw terbebaskan dari tuduhan tak senonoh, mereka masih meragukan kejadian peristiwa ifk yang dialami oleh Siti Aisyah tersebut. Menurut mereka, ayat-ayat ifk berhubungan dengan peristiwa lain. Mereka berpandangan, riwayat itu adalah riwayat palsu dan hanya bertujuan untuk merekayasa sebuah keutamaan untuk Siti Aisyah.[11] Banyak alasan yang mereka ajukan untuk pandangan ini. Antara lain adalah problem teks dan sanad: perbedaan banyak redaksi dalam poin-poin parsial kisah, seluruh riwayat kisah berakhir pada Siti Aisyah, dan kelemahan sanad riwayat. Sebagai contoh, menurut sebagian riwayat kisah, Rasulullah saw bermusyawarah dengan Imam Ali bin Abi Thalib as dan Usamah bin Zaid dalam masalah ini. Usamah membela Siti Aisyah dan Imam Ali as menentangnya. Padahal ketika peristiwa itu terjadi, Usamah masih kecil.[12]

Kritik lain untuk riwayat tersebut adalah pertama kali Rasulullah saw terpengaruh oleh isu yang tersebar di tengah masyarakat. Padahal beliau yang maksum tidak akan pernah berprasangka buruk terhadap orang yang tak berdosa.[13]

Kritik berikut adalah hukum qadzf (hukum menuduh seorang muslim berzina). Menurut hukum ini, penuduh yang tidak mampu mendatangkan empat orang saksi harus dihukum. Hukum ini telah diturunkan sebelum peristiwa ifk tersebut. Dalam beberapa ayat surah al-Nur, masyarakat muslim dicerca karena tidak menuntut supaya para penuduh mendatangkan saksi dalam peristiwa tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa Rasulullah saw tidak menjalankan hukum tersebut padahal sudah tersebar di tengah masyarakat selama kurang lebih satu bulan? Mengapa beliau tidak menuntut saksi dari para penuduh, dan tidak pula menjalankan hukum had atas mereka? Hanya saja, menurut beberapa bukti, hukum tersebut belum diturunkan ketika itu, atau turun bersamaan dengan peristiwa ifk.[14]

Peristiwa Lain: Tuduhan Terhadap Mariyah al-Qibthiyyah

Menurut sebagian riwayat lain yang terdapat dalam sebagian kitab referensi Syiah, ayat-ayat ifk turun ketika Siti Aisyah menuduh Mariyah al-Qibthiyyah melakukan hubungan mesum dengan seorang pria yang bernama Juraih al-Qibthi. Menurut riwayat ini, Siti Aisyah berkata kepada Rasulullah saw yang sedang bersedih lantaran kematian Ibrahim, “Mengapa Anda bersedih karena ia meninggal dunia, padahal ia bukan putra Anda. Ia adalah putra Juraih.” Rasulullah saw mengutus Imam Ali as untuk membunuh Juraih. Akan tetapi, beliau mengurungkan niat setelah memahami bahwa Juraih tidak memiliki kemaluan. Dengan demikian, tuduhan hubungan mesum tersebut pun nihil. Riwayat ini pertama kali termaktub dalam kitab Tafsir Ali bin Ibrahim al-Qummi dan diriwayatkan dari Imam Baqir as.[15] Sekalipun demikian, para ahli tafsir Syiah tidak meriwayatkan kisah tersebut dan menilai ayat-ayat ifk tersebut turun berkenaan dengan Siti Aisyah seperti pandangan Ahlusunan.[16]

Para penulis dan peneliti kontemporer Syiah juga berbeda pandangan tentang sebab turun ayat-ayat ifk tersebut. Sebagian peneliti kontemporer menyatakan ayat-ayat ini berhubungan dengan tuduhan terhadap Mariyah.[17] Allamah Murtadha al-‘Amili termasuk kelompok peneliti ini. Salah satu bukti yang mereka ajukan adalah sebagian riwayat sejarah sejalan dengan sebab turun ayat-ayat tersebut.[18]

Analisis

Sebagian kelompok peneliti kontemporer Syiah yang lain menolak hubungan ayat-ayat -ifk tersebut dengan peristiwa tuduhan terhadap Mariyah.[19] Menurut pandangan mereka, kritik terpenting atas penafsiran Mariyah ini adalah kisah ini tidak sejalan dengan kandungan ayat-ayat tersebut. Ayat-ayat ini menyebutkan bahwa pihak penuduh adalah sebuah kelompok. Sedangkan dalam riwayat Mariyah tersebut, hanya Siti Aisyah yang telah melemparkan tuduhan. Dari sisi lain, Rasulullah saw mengeluarkan perintah untuk membunuh seseorang yang tak berdosa hanya berlandaskan kesaksian Siti Aisyah dan tanpa penelitian lebih lanjut. Tentu, tindakan beliau ini tidak bisa diterima.[20]

Catatan Kaki

  1. Qurasyi Banaei, Qamus-e Quran, jld. 1, hlm. 89.
  2. Thabathaba’i, al-Mizan, 1417 H, jld. 15, hlm. 89.
  3. Makarim Syirazi, Tafsir al-Amtsal, 1421 H, jld. 11, hlm. 46.
  4. QS. Al-Nur 24:20-26.
  5. Fahkrurrazi, al-Tafsir al-Kabir, Beirut, jld. 23, hlm. 173; Ibnu Atsir, Usud al-Ghabah, Beirut, jld. 5, hlm. 504.
  6. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut, jld. 2, hlm. 297-302; Ibnu Atsir, Usud al-Ghabah, Beirut, jld. 5, hlm. 504.
  7. Al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 1387 H, jld. 2, hlm. 614.
  8. Al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 1387 H, jld. 2, hlm. 616.
  9. Al-Ya’qubi, Tarikh al-Ya’qubi, Beirut, jld. 2, hlm. 53.
  10. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut, jld. 2, hlm. 302.
  11. Al-‘Amili, al-Shahih min Sirat al-Nabi al-A’zham, 1426 H, jld. 12, hlm. 77, 78, 81, dan 97.
  12. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut, jld. 2, hlm. 307.
  13. Allamah Thabathaba’i, al-Mizan, 1417 H, jld. 15, hlm. 101; Makarim Syirazi, Tafsir al-Amtsal, 1421 H, jld. 11, hlm. 40.
  14. Allamah Thabathaba’i, al-Mizan, 1417 H, jld. 15, hlm. 102; Makarim Syirazi, Tafsir al-Amtsal, 1421 H, jld. 11, hlm. 41.
  15. Al-Qummi, Tafsir al-Qummi, 1367 S, jld. 2, hlm. 99.
  16. Husainiyan Moqaddam, Barresiy-e Tarikhi Tafsiri-ye Hadeseh-ye Ifk, hlm. 166-167.
  17. Yusufi Gharawi, Mausu’at al-Tarikh al-Islami, 1423 H, jld. 3, hlm. 350.
  18. Al-‘Amili, al-Shahih min Sirat al-Nabi al-A’zham, 1426 H, jld. 12, hlm. 320 dan 326.
  19. Subhani, Forugh-e Abadiyyat, 1384 S, hlm. 666; Husainiyan Moqaddam, Barresiy-e Tarikhi Tafsiri-ye Hadeseh-ye Ifk, hlm. 172.
  20. Makarim Syirazi, Tafsir al-Amtsal, 1421 H, jld. 11, hlm. 41.

Referensi

  • Ibn al-Atsir, Ali bin Abil Karam. (n.d.). Usud al-Ghabah fi Maʻrifat al-Shahabah, Beirut: Dar al-Fikr.
  • Ibnu Hisyam, Abdulmalik. (n.d.). Al-Sirah al-Nabawiyyah, riset Mustafa al-Saqa, Ibrahim al-Abyari, dan Abdulhafizh Syalibi, Beirut: Dar al-Ma’rifah.
  • Husainiyan Moqaddam, Husain. (1384 S). Barresiy-e Tarikhi Tafsiri-ye Hadeseh-ye Ifk, Majalah Tarikh-e Eslam dar Ayeneh-ye Pazhuhehsh, edisi 7.
  • Subhani, Ja’far. (1384 S). Forugh-e Abadiyyat, Qom: Bustan-e Ketab.
  • Thabathaba’i, Muhammad Husain. (1417 H). Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, Qom: Daftar-e Entesharat-e Eslami Jamiah Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qom.
  • Al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. (Cet. 2, 1387 H). Tarikh al-Umam wa al-Muluk, riset Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, Beirut: Dar al-Turats.
  • Al-‘Amili, Ja’far Murtadha. (1426 H). Al-Shahih min Sirat al-Nabi al-A’zham, Qom: Dar al-Hadits.
  • Fakhrurrazi, Muhammad bin Umar al-Qurasyi al-Thabarastani. (n.d.). Al-Tafsir al-Kabir, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi.
  • Qurasyi Banaei, Ali Akbar. (Cet. 14, 1384 S). Qamus-e Quran, Tehran: dar al-Kutub al-Islamiyyah.
  • Al-Qummi, Ali bin Ibrahim. (1367 S). Tafsir al-Qummi, Qom: Dar al-Kutub.
  • Makarim Syirazi, Nashir. (1421 H). Tafsir al-Amtsal fi Tafsir Kitabillah al-Munzal, Qom: Madrasah Imam Ali bin Abi Thalib as.
  • Al-Waqidi, Muhammad bin Umar. (1414 H). Al-Maghazi, riset Marceden Jhones, Markaz al-Nasyr li Maktab al-I’lam al-Islami.
  • Al-Ya’qubi, Ahmad bin Abi Ya’qub. (n.d.). Tarikh al-Ya’qubi, Beirut: Dar Shadir.
  • Yusufi Gharawi, Muhammad Hadi. (1423 H). Mausu’at al-Tarikh al-Islami, Qom: Majma’ al-Fikr al-Islami.