Piagam Madinah

Dari wikishia

Piagam Madinah (bahasa Arab: صحيفة المدينة) adalah perjanjian yang mengikat hubungan antar kaum muslimin dan juga yang mengatur hubungan umat Islam dengan kaum Yahudi. Perjanjian ini, adalah salah satu langkah terpenting dari Nabi Muhammad saw yang diambilnya di awal-awal hijrah ke Madinah. Menurut Piagam Madinah Nabi Muhammad saw adalah pemimpin tertinggi yang bisa mengambil keputusan untuk berperang atau berdamai dan juga satu-satunya rujukan dan pengambil keputusan jika terjadi perselisihan di Madinah. Perjanjian ini ditegaskan untuk berperan mempersatukan dan menguatkan kaum muslimin dalam berhadapan dengan musuh.

Isi teks dari Piagam Madinah, pertama kali didokumentasikan dalam kitab Sirah Ibn Hisyam yang dinukil dari riwayat Ibnu Ishaq. Waktu penyusunan perjanjian Madinah ini tidak diketahui dengan jelas, namun berdasarkan referensi catatan sejarah, Piagam Madinah disusun pada bulan kelima atau kedelapan pada tahun pertama hijrah Nabi Muhammad saw. Sebagian sejarawan, menyebut Piagam Madinah disepakati setelah Perang Badar, yaitu tahun 2 H.

Keutamaan dan Kedudukan

Dastur al-Madinah[1] adalah diantara nama perjanjian ini selain Shahifah al-Nabi[2], Shahifah al-Madinah[3], Pesan Madinah[4] dan Undang-Undang Dasar Madinah[5] Adanya perjanjian ini adalah langkah politik Nabi Muhammad saw yang terpenting[6] yang pada satu sisi mengatur hubungan antara kaum muslimin dengan non muslim Madinah, dan pada sisi lain memperat hubungan secara internal kaum muslimin.[7] Oleh karena itu, Piagam Madinah disebut sebagai konvensi yang memuat prinsip-prinsip hubungan internal dan eksternal di pemerintahan Islam yang masih muda.[8] Dan perjanjian ini juga disebut sebagai metode penyelesaian permasalahan yang melampaui zamannya dengan bersumber dari ajaran Islam. Perjanjian ini diakui telah menghasilkan perdamaian abadi di dalam masyarakat.[9]

Sebagian dari peneliti dan sejarawan kontemporer, menyebut Piagam Madinah merupakan dokumen yang sangat penting yang telah dideklarasikan oleh Nabi Muhammad saw.[10] Mereka juga percaya bahwa dokumen bersejarah ini dapat menjadi sumber untuk memahami hubungan masyarakat pada awal sejarah Islam di Madinah.[11]

Menurut Piagam Madinah, Nabi Muhammad saw disepakati memiliki wewenang untuk menyatakan perang atau damai, dan juga satu-satunya yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan di Madinah.[12] Perjanjian ini juga di samping berperan mempersatukan kaum muslimin, juga mencegah komunitas Yahudi di Madinah untuk bekerjasama dengan kaum kafir Quraisy dan musuh Islam lainnya.[13]

Muatan

Diantara poin penting dari Piagam Madinah adalah mengatur hubungan internal kaum muslimin satu sama lain dan bagian lainnya adalah mengatur hubungan kaum muslimin dengan kaum Yahudi.[14]

Berikut teks lengkap dari Piagam Madinah:

  1. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ini adalah piagam dari Muhammad Rasulullah saw, untuk kalangan mukminin dan muslimin yang berasal dari Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri, dan berjuang bersama mereka.[15] [15]
  2. Sesungguhnya mereka satu umat, berbeda dari komunitas manusia lain.[16]
  3. Kaum muhajirin dari Quraisy sesuai keadaan kebiasaan mereka bahu membahu membayar uang tebusan darah di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara baik dan adil di antara mukminin. Bani Auf, Bani Sa’idah, Bani Al-Hars, Bani Jusyam, Bani An-Najjar, Bani ‘Amr bin ‘Auf, Bani Al-Nabit dan Bani Al ‘Aus sesuai dengan keadaan kebiasaan mereka bahu membahu membayar uang tebusan darah di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.[17]
  4. Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang di antara mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau uang tebusan darah.[18]
  5. Seorang mukmin tidak diperbolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya tanpa persetujuan dari padanya. Orang-orang mukmin yang bertakwa harus menentang orang di antara mereka yang mencari atau menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka. Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran membunuh orang kafir. Tidak boleh pula orang beriman membantu orang kafir untuk membunuh orang beriman.[19]
  6. Jaminan Allah satu. Jaminan perlindungan diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak bergantung kepada golongan lain. Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang mukminin tidak terzalimi dan ditentang olehnya.[20]
  7. Orang-orang mukmin membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orang orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus. Orang musyrik Yatsrib (Madinah) dilarang melindungi harta dan jiwa orang musyrik Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman. Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali terbunuh rela menerima uang tebusan darah. Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya. Tidak dibenarkan orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya pada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang memberi bantuan dan menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan mendapat kutukan dari Allah pada hari kiamat, dan tidak diterima dari padanya penyesalan dan tebusan.[21]
  8. Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut ketentuan Allah Azza Wa Jalla dan keputusan Muhammad SAW. Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.[22]
  9. Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga kebebasan ini berlaku bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga.[23] Kaum Yahudi Bani Najjar, Bani Hars, Bani Sa’idah, Bani Jusyam, Bani Al ‘Aus, Bani Sa’labah, Bani Jafnah, Bani Sa’labah dan Bani Syutaibah diperlakukan sama seperti Yahudi Bani ‘Auf. Kerabat Yahudi di luar kota Madinah sama seperti mereka (Yahudi). Tidak seorang pun dibenarkan untuk berperang, kecuali seizin Nabi Muhammad saw. Ia tidak boleh dihalangi untuk menuntut pembalasan luka yang dibuat orang lain.[24]
  10. Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan Muslimin) bantu-membantu dalam menghadapi musuh piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasehat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat kesalahan sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya. Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan. Sesungguhnya Yatsrib (Madinah) itu tanahnya haram (suci) bagi warga piagam ini. Orang yang mendapat jaminan diperlakukan seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak khianat. Tidak boleh jaminan diberikan kecuali seizin ahlinya.
  11. Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung piagam ini, yang di khawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut ketentuan Allah Azza Wa Jalla, dan keputusan Muhammad saw. Sesungguhnya Allah paling memelihara dan memandang baik isi piagam ini. Sungguh tidak ada perlindungan bagi Quraisy Mekkah dan juga bagi pendukung mereka. Mereka pendukung piagam ini bahu membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib (Madinah). Apabila pendukung piagam diajak berdamai dan pihak lawan memenuhi perdamaian serta melaksanakan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan kewajiban masing masing sesuai tugasnya. Kaum Yahudi Al ‘Aus, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya.
  12. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan memandang baik isi piagam ini. Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar bepergian aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad saw adalah Utusan Allah.[25]

Sanad dan Sumber Referensi

Teks lengkap Piagam Madinah pertama kali didokumentasikan oleh Ibn Hisyam[26] yang diriwayatkan oleh Ibn Ishaq (w. 151 H), dengan tidak menyertakan sanad. Lalu kemudian dinukil dari para perawi seperti Suhaili[27], Ibn Sayyidin Nas[28] dan Ibn Katsir[29].

Abu Ubayd dan Ibn Zanjuwih juga mengutip teks lengkap Piagam Madinah beserta sanadnya dari Ibn Shahab Zuhri (w. 124 H)[30].

Keraguan dan adanya kemungkinan teks lengkap Piagam Madinah direkayasa telah dikesampingkan; karena dari sisi gaya bahasa dinilai sangat mirip dengan surat-surat dan perjanjian-perjanjian Nabi Muhammad saw yang telah terdokumentasikan.[31]

Waktu Penulisan

Ada berbagai pendapat tentang waktu penulisan Piagam Madinah. Dalam banyak sumber, awal kedatangan Nabi di Madinah dianggap sebagai waktu penulisannya. Dalam kitab Tarikh al-Khamis disebutkan waktu penulisan perjanjian antara Nabi Muhammad saw dengan kaum Yahudi Madinah pada bulan kelima tahun pertama Hijriyah.[32] Ibnu Hisyam menyebut Piagam Madinah disepakati sebelum akad persaudaraan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar.[33] Oleh karena itu, dengan akan persaudaraan yang terjadi pada bulan kelima[34] atau bulan kedelapan[35] maka waktu penulisan Piagam Madinah dapat diketahui.

Beberapa referensi sejarah seperti Tarikh Tabari, al-Maghazi dan Ansab al-Asyraf menyebut Nabi Muhammad saw pada awal-awal masuk kota Maidnah telah melakukan perjanjian perdamaian dengan kaum Yahudi[36]. Sementara Baladzuri menyebut peristiwa ini terjadi sebelum turunnya firman Allah Swt yang menjadi sumber perintah berjihad dan sebelum Nabi Muhammad saw memimpin perang apapun.[37]

Sementara sebagian peneliti kontemporer meyakini Piagam Madinah dideklarasikan setelah Perang Badar terjadi yang dengan kemenangan Nabi Muhammad saw beserta sahabatnya pada perang tersebut telah memperkuat posisiya di Madinah. Para peneliti menyebut keluarnya Piagam Madinah pada waktu itu bertujuan untuk mencegah kaum Yahudi di Madinah bekerjasama dengan musuh dalam berhadapan dengan kaum muslimn.[38]

Catatan Kaki

  1. Shalih, Dirāsāt: Ash-Shahīfah Aw Dustur Al-Madinah, Jurnal Minhaj, Vol. 53; Nushūsh Siāsiyyah: Ash-Shahīfah Aw Dustūr Al-Madīnah, Jurnal Qadhaya Islamiyyah Mu'ashirah, Vol. 2.
  2. Syakir, Shahīfah An-Nabi: Nemād-e Qānūngerāyi dar Hukūmat-e Nabawi, Jurnal Ketab-e Qayyim, Vol. 1.
  3. Nidā'un 'Ām: Yuwajjihuhu Maktab Ad-Di'āyah lil Hajj (Al-Madīnah Al-Gharra'), Jurnal Al-Basha'ir, Vol. 144.
  4. Payande, Peymān-e Madīne, Jurnal Ma'aref-e Eslami, Vol. 29: Bakhtiyari, Peymān Nāmeye Madīne, Nemūnei Tārīkhi dar Zamīneye Halle Ekhtelāf, Jurnal Tarikh-e Eslam, Vol. 49.
  5. Shahīfah An-Nabi: Nemād-e Qānūngerāyi dar Hukūmat-e Nabawi, Jurnal Ketab-e Qayyim, Vol. 1; Wase'i, Pisyrafte Madani dar Jāme'eye Ahd-e Nabawi, Jurnal Pazuhesynameye Tarikh-e Eslam, Vol. 12.
  6. Ahmadi Miyanji, Makātīb Ar-Rasūl, jld. 3, hlm.52.
  7. Bakhtiyari, Peymān Nāmeye Madīne, Nemūnei Tārīkhi dar Zamīneye Halle Ekhtelāf, Jurnal Tarikh-e Eslam, Vol. 49, hlm. 55.
  8. Amili, Ash-Shāhīh min Sīrah An-Nabi, jld. 5, hlm. 127, 136.
  9. Bakhtiyari, Peymān Nāmeye Madīne, Nemūnei Tārīkhi dar Zamīneye Halle Ekhtelāf, Jurnal Tarikh-e Eslam, Vol. 49, hlm. 55, 56.
  10. Al-Husna, Sīrāh Al-Mushtafa, hlm. 280.
  11. Ali, Daulah Ar-Rasul fi Al-Madīnah, hlm. 109; Mallah, Hukūmah Ar-Rasūl, hlm. 57.
  12. Ibnu Humaid, Mausū'ah Nadhrah An-Na'īm, jld. 1, hlm. 272.
  13. Ahmadi Miyanji, Makātīb Ar-Rasūl, jld. 3, hlm.53.
  14. Ahmadi Miyanji, Makātīb Ar-Rasūl, jld. 3, hlm. 9; Hamidullah, Nameha wa Peymanhāye Seāsiye Hazrat-e Muhammad, hlm. 106-111.
  15. Hamidullah, Nameha wa Peymanhaye Seasiye Hazrat-e Muhammad, hlm. 106-107.
  16. Hamidullah, Nameha wa Peymanhaye Seasiye Hazrat-e Muhammad, hlm. 107.
  17. Hamidullah, Nameha wa Peymanhaye Seasiye Hazrat-e Muhammad, hlm. 107.
  18. Hamidullah, Nameha wa Peymanhaye Seasiye Hazrat-e Muhammad, hlm. 107.
  19. Hamidullah, Nameha wa Peymanhaye Seasiye Hazrat-e Muhammad, hlm. 107.
  20. Hamidullah, Nameha wa Peymanhaye Seasiye Hazrat-e Muhammad, hlm. 109.
  21. Hamidullah, Nameha wa Peymanhaye Seasiye Hazrat-e Muhammad, hlm. 108.
  22. Hamidullah, Nameha wa Peymanhaye Seasiye Hazrat-e Muhammad, hlm. 108.
  23. Hamidullah, Nameha wa Peymanhaye Seasiye Hazrat-e Muhammad, hlm. 108.
  24. Hamidullah, Nameha wa Peymanhaye Seasiye Hazrat-e Muhammad, hlm. 108-109.
  25. Hamidullah, Nameha wa Peymanhaye Seasiye Hazrat-e Muhammad, hlm. 110.
  26. Bayat, Westāqat-e Peymān Nāmeye Madīne, Jurnal Pazuhesye Dini, Vol. 15, hlm. 88-89; Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, jld. 2, hlm. 147-150.
  27. Suhaili, Ar-Raudhul Unf, jld. 4, hlm. 240-243.
  28. Ibnu Sayyidin Nas, 'Uyūn Al-Astar, jld. 1, hlm. 318-320.
  29. Ibnu Katsir, As-Sīrah An-Nabawiyyah, jld. 2, hlm. 320-323.
  30. Abu Ubaid, Kitāb Al-Amwāl, hlm. 260-264; Ibnu Zanjuwih, Kitāb Al-Amwāl, jld. 2, hlm. 466-470.
  31. Umari, As-Sīrah An-Nabawiyah Ash-Shahīhah, jld. 1, hlm. 275; Ma'ruf Al-Hasani, Sīrah Al-Mushtafa, hlm. 280.
  32. Diyar Bakri, Tārīkh Al-Khamīs, jld.1, hlm. 353.
  33. Ibnu Hisyam, As-Sīrah An-Nabawiyyah, jld. 2, hlm. 150.
  34. Ibnu Qutaibah Ad-Dinawari, Al-Ma'ārif, hlm. 152.
  35. Al-Maqrizi, Amtā' Al-Asmā', jld. 1, hlm. 49.
  36. Waqizi, Al-Maghāzi, jld. 1, hlm. 174; Baladziri, Ansāb Al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 334; Baladziri, Futūh Al-Buldān, hlm. 17; Thabari, Tārīkh Al-Umam wa Al-Mulūk, jld. 2, hlm. 479.
  37. Baladzuri, Ansāb Al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 334.
  38. Duri, An-Nizām Al-Islāmiyah, hlm. 21-22; Ali, Tandzimāt Ar-Rasūl Al-Idāriyyah fi Al-Madīnah, Jurnal Majma' Al-Ilmi Al-Iraqi, Vol. 17, hlm. 53, 62.

Daftar Pustaka

  • Abu Ubaid, Qasim bin Salam. Kitāb Al-Amwāl. Riset Muhammad Khalil Harras. Beirut: 1408 H.
  • Ad-Daghma, Muhammad Rakan. Al-Ahkām Al-Fiqhiyyah Al-Muta'alliqah bi Ad-Daulah wa Al-Muwāathanah min Khilāl Shahīfah Al-Madīnah Al-Munawwarah. Jurnal Dirasāt, Vol. 30, 2003.
  • Ahmadi Miyanji, Ali. Makātīb Ar-Rasūl: Mushahhahah wa Munaqqahah wa Mazīdah. Tehran: Dar Al-Hadits, 1419 H.
  • Al-Hasani, Hasyim Ma'ruf. Sīrah Al-Mushtafa. Qom: 1975.
  • Ali, Shalih Ahmad. Daulah Ar-Rasūl fi Al-Madīnah: Dirāsah fi Takwīniha wa Tandzīmiha. Beirut: 2001.
  • Ali, Shalih Ahmad. Tandzimāt Ar-Rasūl Al-Idāriyyah fi Al-Madīnah. Jurnal Al-Majma' Al-Ilmi Al-'Iraqi, Vol. 17, 1388 H.
  • Bahktiyari, Syahla, dan Zahra Nazarzadeh. Peymān Nāmeye Madīne: Nemūnei Tārikhi dar Zamīneye Halle Ekhtelāf. Jurnal Tarikh-e Eslam. Vol: 49, 1391 HS/2012.
  • Baladzuri, Ahmad bin Yahya. Ansāb Al-Asyrāf. Riset Mahmud Firdaus Azm. Damaskus: 1996-2000.
  • Baladzuri, Ahmad bin Yahya. Futūh Al-Buldān. Riset Michael Jan de Goeje. Leiden: 1866, Frankfurt: 1413 H/1993.
  • Bayat, Ali, dan Qadariyah Tajbakhsy. Wetsāqāt Peymān Nāmeye Madīne. Jurnal Pazuhesye Dini, Vol: 15, 1386 HS/2007.
  • Diyar Bakri, Husain bin Muhammad. Tārikh Al-Khamīs fi Ahwāl Anfus Nafīs. Kairo: 1283 H.
  • Duri, Abdul Aziz. An-Nidzam Al-Islāmiyyah. Beirut: 2008.
  • Hamidullah, Muhammad. Majmū'ah Al-Watsā'iq As-Siāsiyyah li Al-'Ahd An-Nabawi wa Al-Khilāfah Ar-Rāsyidah. Beirut: 1407 H.
  • Ibnu Hisyam, Abdul Malik. As-Sīrah An-Nabawiyyah li Ibni Hisyām. Riset Mushtafa Saqa, Ibrahim Abyari, dan Abdul Hafiz Syalbi. Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Arabi.
  • Ibnu Humaid, Shalih bin Abdullah dan Abdurrahman bin Muhammad bin Malluh. Mausū'ah Nadhrah An-Na'īm fi Makārim, Akhlāq Ar-Rasūl Al-Karīm. Jeddah: Dar Al-Wasilah, 1426 H.
  • Ibnu Katsir, Ismail bin Umar. As-Sīrah An-Nabawiyyah. Riset Mushtafa Abdul Wahid. Kairo: 1383-1386 H.
  • Ibnu Qutaibah Dinawari, Abdullah bin Muslim. Al-Ma'ārif. Riset Tsarwah Ukasyah. Kairo: 1960 H.
  • Ibnu Sayyidin Nas, Muhammad bin Muhammad. 'Uyūn Al-Atsar fi Funūn Al-Maghāzi wa Asy-Syamā'il wa As-Sair. Riset Muhammad 'Aid Al-Khatrawi dan Muhyiddin Mastu. Madinah: 1413 H.
  • Ibnu Zanjuwih, Hamid bin Mukhlid. Kitāb Al-Amwāl. Riset Syakir Dzaib Fayyadh. Riyadh; 1986 H.
  • Mallah, Hasyim Yahya. Hukūmah Ar-Rasūl. Bahhdad: 1423 H.
  • Maqrizi, Ahmad bin Ali, Amtā' Al-Asmā'. Riset Mahmud Muhammad Syakir. Kairo: Lajnah At-Ta'lif wa At-Tarjumah wa An-Nasyr.
  • Nidā'un 'Ām: Yuwajjihuhu Maktab Ad-Di'āyah lil Hajj (Al-Madīnah Al-Gharra'). Jurnal Al-Basha'ir, Vol. 144, 1357 H.
  • Nushūsh Siāsiyyah: Ash-Shahīfah Aw Dustūr Al-Madīnah. Jurnal Qadhaya Islamiyyah Mu'ashirah, Vol. 2, 1418 H.
  • Payande, Abul Qasem. Peymān-e Madīne. Jurnal Ma'aref Eslami, Vol: 29, 1357 HS/1978.
  • Shalih, Ali. Dirāsāt: Ash-Shahīfah Aw Dustūr Al-Madīnah: At-Ta'sīs li Al-'Alāqah Ma'a Al-Ākhar. Jurnal Minhaj, Vol. 53, 1430 H.
  • Suhaili, Abdurrahman bin Abdullah. Ar-Raudh Al-Anf fi Syarh As-Sīrah An-Nabawiyyah li Ibni Hisyām. Riset Abdurrahman Wakil. Kairo: 1387-1390 H.
  • Syakir, Muhammad Kazim, dan Muhammad Husain Luthfi. Shahīfah An-Nabi: Nemād-e Qānūngerāyi dar Hukūmat-e Nabawi. Jurnal Ketab-e Qayyim, Vol. 1, 1390 HS/2011.
  • Thabari, Muhammad bin Jarir. Tārīkh Al-Umam wa Al-Mulūk. Riset Muhammad Abul Fadhl ibrahim. Beirut: Dar At-Turats, 1387 H.
  • Umari, Akram. As-Sīrah An-Nabawiyyah Ash-Shahīhah. Doha: 1411 H.
  • Waqidi, Muhammad bin Umar. Al-Maghāzi. Riset Marsden Jones. London: 1966.
  • Wase'i, Sayyid Ali Reza. Pisyrafte Madani dar Jāme'eye Ahd-e Nabawi. Jurnal Pazuhesy Nameye Tarikh-e Eslam, Vol. 12, 1392 HS/2013.