Ismail bin Imam Ja'far Shadiq as

Prioritas: a, Kualitas: b
tanpa navbox
Dari wikishia
Keturunan Imam
Ismail bin Ja'far Shadiq as
NamaIsmail
Terkenal denganImam ke-7 dari kelompok Syiah Ismailiyah
AyahImam Ja'far Shadiq as
IbuFatimah binti Husain
Tempat TinggalMadinah
Anak-anakMuhammad • Ali
Wafat143 H atau 145 H
Tempat DimakamkanDi pemakaman Baqi

Ismail bin Ja'far (bahasa Arab: اسماعيل‌ بن‌ جعفر) (w. 143 atau 145 H) adalah putra sulung Imam Ja'far Shadiq as. Ismailiyah mengakui dia atau Muhammad putranya sebagai imam setelah Imam Shadiq as. Namun bagi Imamiyah dan juga berdasarkan sejumlah hadis dari Nabi Muhammad saw bahwa Musa bin Ja'far as lah yang menjadi imam setelah Imam Ja'far Shadiq as. Keyakinan pada keimamahan Ismail mengawali perpecahan dan terpisahnya para pengikut Ismail dari Imamiyah yang kemudian dikenal dengan nama firqah Ismailiyah.

Mengenai kepribadian Ismail terdapat perbedaan pendapat. Sebagian ulama dengan bersandar pada riwayat, meyakini ia memiliki hubungan dengan Syiah Ghulat. Namun Ayatullah Khui dengan meneliti riwayat-riwayat tersebut dan kaitannya dengan riwayat lain, menyimpulkan bahwa Ismail adalah seorang yang mulia dan mendapatkan belas kasihan ayahnya.

Ismail meninggal dunia pada saat Imam Shadiq as masih hidup. Ia dimakamkan di Pemakaman Baqi. Imam Shadiq as turut dalam prosesi pemakaman jenazahnya yang dilakukannya secara terbuka dengan maksud untuk disaksikan banyak orang agar syubhat keimamahan dan kebangkitannya menjadi hilang. Demikian pula sesuai dengan riwayat mengenai waktu kematiannya menjadi bantahan terhadap sebagian Syiah yang meyakininya sebagai imam, dengan kematiannya dimasa Imam Shadiq as masih hidup menunjukkan bahwa ia bukan imam pelanjut Imam Shadiq as.

Kehidupan dan Keluarga

Ismail adalah putra Imam Shadiq as hasil dengan pernikahannya dengan Fatimah cucu Imam Sajjad as.[1] Tanggal kelahirannya tidak ditemukan dalam catatan sejarah. Namun dengan bersandar pada tahun kelahiran Imam Kazhim as pada tahun 127 H[2] atau 128 H[3] dengan perbedaan usia sebanyak 25 tahun antara Imam Kazhim as dengan Ismail[4] maka diperkirakan ia lahir pada tahun-tahun awal abad kedua Hijriyah.[5]

Ali bin Muhammad Alawi 'Amri menyebut tahun wafatnya Ismail adalah 138 H.[6] Sementara menurut Tabari, penulis kitab Tarikh Tabari ia masih hidup pada tahun 140 H.[7] Tahun-tahun 143 H[8] dan 145 H[9] disebut-sebut sebagai tahun-tahun kematian Ismail.

Keturunan Ismail berlanjut melalui putranya Muhammad dan Ali.[10] Muhammad memiliki dua putra dengan nama Ismail Tsani dan Ja'far Akbar.[11] Sementara keturunan Ali bin Ismail dilanjutkan oleh putranya yang bernama Muhammad.[12]

Anak cucu Ismail kemudian tersebar dibanyak daerah seperti Khurasan, Nisyabur, Samara[13], Damaskus[14], Mesir[15], Ahwaz, Kufah, Baghdad[16]. Yaman[17], Shaur[18] Halb[19] dan Qom[20].

Kepribadian

Menurut Ayatullah Khui ahli rijal Syiah (1278-1371 HS) mengenai sosok Ismail terdapat dua jenis riwayat. Dalam beberapa riwayat, ia dipuji dan di riwayat lain disebutkan kesalahan-kesalahannya.[21] Berdasarkan riwayat yang kesalahan-kesalahannya disebutkan ia disebut menjalin hubungan dengan Syiah Ghulat seperi Mufadhal bin Umar dan Bassam Shairafi yang dengan adanya hubungan tersebut ia mendapat kecaman dari Imam Shadiq as.[22] Begitu juga ia disebut pulang pergi ke tempat pesta yang menyebabkan keraguan tentang otoritas moralnya.[23] Ayatullah Khui menyebut riwayat-riwayat mengenai kesalahan Ismail memiliki cacat dan kelemahan pada sanadnya sehingga tidak diterima. Sementara riwayat yang memujinya lebih bisa diterima yang dimana pada riwayat-riwayat tersebut disebutkan Ismail adalah sosok yang memiliki kepribadian yang mulia dan mendapatkan kasih sayang ayahnya.[24]

Namun diluar itu, sebagian menyebutkan Ismail memiliki hubungan dengan Khattabiyah yang memiliki peran dalam pembentukan sekte Ismailiyah. Menurut mereka Abu al-Khattab dan Ismail pada masa hidup Imam Shadiq as saling bantu membantu untuk membangun pondasi akidah yang membentuk asas Ismailiyah.[25] Dikatakan tidak ditemukan adanya dalil dan hujjah dari klaim tersebut.[26]. Begitu juga Louis Massignon ahli Islam dari Prancis menganggap Abu al-Khattab sebagai bapak spiritual Ismail.[27] Akan tetapi Qadhi Nu'man salah seorang fakih Ismailiyah (283 - 363 H) tidak mengakui adanya peran Abu al-Khattab dalam pembentukan Ismailiyah dan menyebutnya sebagai ahli bid'ah yang mendapat laknat dari Imam Shadiq as.[28]

Hubungan dengan Manshur Abbasi

Muhammad bin Jarir al-Thabari, seorang sejarawan abad ke-3 Hijriyah menukil bahwa pada tahun 140 H, Manshur Abbasi berangkat haji ke Makkah. Beberapa dari Alawiyun seperti Muhammad Nafs Zakiyah dan Ibrahim, putra-putra Abdullah Mahdh dan rombongan dari Khurasan yang merupakan pengikutnya juga berkumpul di Makah. Sebagian dari mereka memutuskan untuk meneror Manshur namun Muhammad menentang rencana tersebut. Rencana tersebut disampaikan oleh Ismail kepada Manshur dan ia menangkap Abdullah dan meminta anak-anaknya untuk menjauhinya. Abdullah kemudian dipenjarakan dan hartanya dijual.[29]

Klaim Keimamahan Ismail

Pandangan Imamiyah

Ulama Imamiyah menolak kesahihan (kebenaran) nash (teks) mengenai keimamahan Ismail dan menyebut riwayat-riwayat tersebut tidak kuat untuk diterima dan memberikan bantahan.[30] Imamiyah bersandar pada beberapa riwayat seperti ]]Hadis Lauh]][31] dan Hadis Jabir[32] yang berisi tentang penjelasan Nabi Muhammad saw yang menyebutkan nama-nama dua belas imam dan didalamnya disebut Imam setelah Imam Ja'far Shadiq as adalah putranya yang bernama Musa al-Kazhim, bukan Ismail. Demikian pula Imam Shadiq as dalam beberapa pertemuan berkali-berkali menegaskan kepada sahabat-sahabatnya mengenai keimamahan Musa bin Ja'far sepeninggalnya. Dalam kitab-kitab seperti al-Kafi[33], al-Irsyad[34], A'lam al-Wara[35] dan Bihar al-Anwar[36] terdapat bab mengenai nash-nash keimamahan Musa bin Ja'far as yang secara berurutan pada masing-masing kitab ada 16, 46, 12, dan 14 riwayat yang dinukilkan mengenai ini.[37]

Penegasan Kematian Ismail

Menurut sebuah riwayat dari Zurarah bin A'yan, setelah kematian Ismail dan sebelum penguburannya, Imam Shadiq as memberi kesaksian kepada sekitar tiga puluh sahabat dekatnya tentang kematian putranya.[38] Dia secara terbuka memandikan, mengkafani, menyalati dan memakamkan jenazah putranya tersebut[39] serta memerintahkan haji dilakukan atas namanya[40]. Tujuan Imam melakukan semua itu secara terbuka adalah mematahkan keyakinan atas keimamahan Ismail karena sebagian menganggap Ismail adalah imam setelah Imam Ja'far Shadiq as.[41]. Sekarang, menurut keyakinan beberapa Ismailiyah, Ismail tidak mati, dan klaim kematiannya dengan ditampakkan bertujuan untuk menipu orang-orang agar menyelamatkan hidupnya dan orang-orang di sekitarnya.[42]

Pandangan Ismailiyah

Ismailiyah adalah salah satu nama firkah dalam Syiah yang memiliki keyakinan bahwa setelah Imam Shadiq as yang mencapai kedudukan imamah adalah putranya yang bernama Ismail atau cucunya yang bernama Muhammad bin Ismail.[43] Menurut keyakinan Mubarakiyah dan Qaramithah diantara sekte-sekte Ismailiyah, Imam setelah Ja'far bin Muhammad adalah Muhammad bin Ismail karena hakikatnya Ismail adalah pengganti Imam Shadiq as namun karena ia meninggal dunia dimasa ayahnya masih hidup sehingga keimamahan diserahkan Imam Shadiq as kepada Muhammad putranya. Menurut keyakinan mereka setelah keimamahan Hasanain as tidak diperbolehkan keimamahan dipindahkan dari saudara kesaudara yang lain.[44] Sa'ad bin Abdullah al-Asy'ari terhadap pengikut keyakinan ini menyebutnya Ismailiyah Khalishah atau Khattabiyah.[45]

Sebagian dari Ismailiyah juga berkeyakinan Ismail bin Ja'far tidak meninggal dunia melainkan suatu saat akan bangkit sebagai Mahdi al-Mau'ud.[46] Sementara dalam literatur Ismailiyah dan karya Qadhi Nu'man tidak ditemukan nash riwayat yang secara jelas dan tegas mengenai keimamahan Ismail.[47]

Namun Ja'far bin Mansur al-Yaman, seorang pendakwah Ismailiyah, mengumpulkan hadis tentang keimamahan Ismail pada akhir abad ketiga dan awal abad ke-4 Hijriyah, tanpa menyebutkan garis perawi.[48] Demikian pula pada beberapa sumber menyebutkan khalifah-khalifah pertama dari Fatimiyah[catatan 1] pada awalnya memperkenalkan Abdullah Aftah (saudara Ismail) sebagai Imam, bukan Ismail, namun kemudian berpaling dari klaim ini dan memberikan pengakuan pada keimamahan Ismail.[49]

Bada mengenai Ismail

Berdasarkan sebagian riwayat mengenai kematian Ismail telah terjadi bada sehingga masyarakat mengetahui bahwa setelah ayahnya bukan dia yang menjadi Imam.[50] Karena sejumlah kelompok dari Syiah menyakini bahwa Ismail adalah imam setelah Imam Shadiq as sehingga dengan kematiannya dimasa ayahnya masih hidup menjadi terang bahwa bukan dia yang menjadi imam dan imam setelahnya adalah Musa bin Ja'far as.[51] Akan tetapi dalam literatur Ismailiyah riwayat bada telah dikaitkan dengan keimamahan Ismail.[52]

Pemakaman

Ismail meninggal dunia di kawasan bernama 'Uraidh di dekat Madinah dan jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Baqi.[53]. Pada periode kekhalifahan Dinasti Fatimiyah (297-567 H) di makamnya dibuatkan kubah.[54] Makamnya di luar Pemakaman Baqi dengan jarak 15 m dari dinding Baqi posisinya menghadap bagian barat berhadapan dengan pemakaman Aimmah Baqi.[55] Makam Ismail diziarahi penganut Syiah khususnya Ismailiyah.[56] Jamaah haji asal Iran dalam perjalanan ke Madinah, pada umumnya ketika melakukan ziarah di Pemakaman Baqi juga menziarahi makam Imam Zadeh (keturunan Imam) ini dan dalam doa bacaan ziarah mereka juga disebutkan nama putra Imam Ja'far Shadiq as ini.[57]

Menurut Muhammad Shadiq Najami (1315 - 1390 HS) pada tahun 1394 HS ketika dilakukan pembangunan jalan barat Baqi, daerah sekitar makam Ismail dihancurkan dan dikabarkan bahwa jenazahnya ditemukan aman dan tetap utuh setelah berabad-abad. Jenazah Ismail kemudian dipindahkan ke dalam area Pemakaman Baqi dan tempat tu terletak di sisi timur pemakaman para syuhada Harra dan 10 meter dari makam Halimah Sa'diyah.[58]

Catatan Kaki

  1. Syekh Mufid, Al-Irsyād, jld. 2, hlm. 209.
  2. Thabari, Dalā'il Al-Imāmah, hlm. 303.
  3. Thabrisi, A'lām Al-Warā, jld. 2, hlm. 6.
  4. Abu Hatim Razi, Az-Zīnah, hlm. 288, berdasarkan penukilan Habibi Madzhairi, Ismā'īl bin Ja'far, hlm. 648.
  5. Habibi Madzhahiri, Dāyiratu Al-Ma'ārif Buzurg-e Eslāmi, jld. 8, hlm. 684.
  6. Umari, Al-Majdī, jld. 1, hlm. 100.
  7. Thabari, Tārīkh Al-Umam wa Al-Mulūk, jld. 7, hlm. 524.
  8. Zirikli, Al-A'lām, jld. 1, hlm. 311.
  9. Subhani, Farhangg-e Aqayed Wa Mazaheb-e Eslami, jld. 7, hlm. 296.
  10. Fakhrurrazi, Asy-Syajarah Al-Mubārakah, hlm. 101.
  11. Fakhrurrazi, Asy-Syajarah Al-Mubārakah, hlm. 101.
  12. Fakhrurrazi, Asy-Syajarah Al-Mubārakah, hlm. 103.
  13. Bukhari, Sirr al-Silsilah al-'Alawiyyah, hlm. 36.
  14. Al-Hamawi, Mu'jam Al-Buldān, jld. 2, hlm. 469.
  15. Al-Hamawi, Mu'jam Al-Buldān, jld. 5, hlm. 142.
  16. Alawi, al-Majdī, hl,. 103.
  17. Dzahabi, Tārīkh al-Islām, jld. 20, hlm. 37.
  18. Dzahabi, Tārīkh al-Islām, jld. 30, hlm. 309.
  19. Dzahabi, Tārīkh al-Islām, jld. 14, hlm. 40.
  20. Lihat Nuri, Khātimah al-Mustadrak, jld. 4, hlm. 485.
  21. Lihat Khu'i, Mu'jam Rijāl al-Hadīts, jld. 3, 124-127.
  22. Kissyi, Rijāl Al-Kissyī, hlm. 245; Khu'i, Mu'jam Rijāl Al-Hadīts, jld. 3, hlm. 125.
  23. Lihat Shaduq, Kamāl al-Dīn, jld. 1, hlm. 70.
  24. Khu'i, Mu'jam Rijāl Al-Hadīts, jld. 3, 127.
  25. Lewis, The Origin Of Isma'ilism, hlm. 42, berdasarkan penukilan Habibi Madzhahiri, Ismā'īl bin Ja'far, jld. 9, hlm. 650.
  26. Habibi Madzhahiri, Dāyiratu Al-Ma'ārif Buzurg-e Eslami, jld. 9, hlm. 650.
  27. Lihat Al-Badawi, Syakhshiyāt Qaliqah, hlm. 19, berdasarkan penukilan Habibi Madzhahiri, Dāyiratu Al-Ma'ārif Buzurg-e Eslami, jld. 9, hlm. 649.
  28. Qadhi Nu'man, Da'ā'im Al-Islām, jld. 1, hlm. 49-50.
  29. Thabari, Tārīkh Al-Umam wa Al-Mulūk, jld. 7, hlm. 524.
  30. Lihat Shaduq, Kamāl Ad-Dīn, jld. 1, hlm. 70-71.
  31. Kulaini, Al-Kāfī, hlm. 527-528.
  32. Thabrisi, A'lām Al-Warā, jld. 2, hlm. 182.
  33. Kulaini, Al-Kāfī, jld. 1, hlm. 307-311.
  34. Mufid, Al-Irsyād, jld. 16, hlm. 216-222.
  35. Thabrisi, A'lām Al-Warā, jld. 2, hlm. 7-16.
  36. Majlisi, Bihār Al-Anwār, jld. 48, hlm. 12-29.
  37. Tim Penulis, Majmu'e-e Maqalat-e Sire wa Zamane Emam Kazem, jld. 2, hlm. 79, 81.
  38. Nu'mani, al-Ghaibah, hlm. 328.
  39. Nu'mani, al-Ghaibah, hlm. 328.
  40. Ibn Syahrasyub, Al-Manāqib, jld. 1, hlm. 266.
  41. Lihat Thabrisi, A'lām Al-Warā, jld. 1, hlm. 546; Ibn Syahrasyub, Al-Manāqib, jld. 1, hlm. 266.
  42. lihat Syahrestani, Al-Milal wa An-Nihal, jld. 1, hlm. 226; Juwaini, Tarikh-e Jahan Gusyai, jld. 3, hlm. 146.
  43. Mufid, Al-Fushūl Al-Mukhtārakh, hlm. 306.
  44. Mufid, Al-Fushūl Al-Mukhtārakh, hlm. 306.
  45. Asy'ari, Al-Maqālāt wa Al-Firaq, hlm. 81.
  46. Asy'ari, Al-Maqālāt wa Al-Firaq, hlm. 79.
  47. Habibi Madzhahiri, Dāyirah Al-Ma'ārif Buzurg-e Eslami, jld. 9, hlm. 650.
  48. Ja'far bin Manshur Al-Yaman, Sarā'ir wa Asrār An-Nuthaqā' , hlm. 256.
  49. Ibn Hazm, Jamharah Ansāb Al-'Arab, hlm. 59.
  50. Shaduq, Kitāb al-Tauhīd, hlm. 336.
  51. Subhani,Al-Badā' 'Ala Dhau' Kitāb wa As-Sunnah, hlm. 131.
  52. Ja'far Bin Manshur Al-Yaman, Sarā'ir wa Asrār An-Nuthaqā' , hlm. 246-247.
  53. Alawi, Al-Majdī, hlm. 99-100.
  54. Mathari, At-Ta'rīf Bimā Ansat Al-Hijrah, hlm. 121.
  55. Najmi, Tarikh-e Haram-e A'imme-e Baqi' , hlm. 289-290.
  56. Ayyasyi, Al-Madīnah Al-Munawwarah Fī Rihlah Al-Ayyasyi, hlm. 175.
  57. Lihat Safarname-e Hajj-e Farhad Mirza Mu'tamad Ad-Daulah, hlm. 158.
  58. Najmi, Tarikh-e Haram-e A'imme-e Baqi' , hlm. 300-302.

Daftar Pustaka

  • Alawi, Ali bin Muhammad. Al-Majdī fī Ansāb Ath-Thālibīn. Riset Al-Mahdawi. Qom: Maktabah An-Najafi, 1409 H.
  • 'Asy'ari, Sa'd bin Abdullah. Al-Maqālāt wa Al-Firaq. Entesyarat-e Ilmi wa Farhanggi, 1360 HS/1401 H.
  • Ayyasyi. Al-Madīnah Al-Munawwarah fī Rihlah Al-Ayyasyī. Riset Muhammad Mahzun. Kuwait: Dar Al-Arqam, 1406 H.
  • Baladzuri, Ahmad bin Yahya. Jumal min Ansāb Al-Asyrāf. Riset: Suhail Zakkar wa Riyadh Az-Zirkili. Beirut: Dar Al-Fikr, 1417 H.
  • Bukhari, Sahl bin Abdullah. Sirr Al-Silsilah Al-'Alawiyyah. Entesyarat-e Asy-Syarif Ar-Radhi, 1413 H.
  • Dzahabi, Muhammad bin Ahmad. Tārīkh Al-Islām wa Wafayāt Al-Masyāhīr. Riset Umar Abdussalam. Beirut: Dar Al-Kitab Al-'Arabi, 1410 H.
  • Fakhrurrazi. Asy-Syajarah Al-Mubārakah fī Ansāb Ath-Thālibiyyah. Qom: Mansyurat-e Maktabe-e Ayatullah Mar'asyi Najafi, 1409 H.
  • Farhad Mirza. Safarname-e Farhad Mirza. Editor Ghulam Reza Majd Thabathabai. Tehran: Muassese-e Matbuati-e Ilmi, 1366 HS/1407 H.
  • Habibi Madzhahiri, Mas'ud. Isma'il bin Ja'far Dar Dāyirah Al-Ma'ārif Buzurg-e Eslami. Tehran: Tanpa tahun.
  • Humawi, Yaqut bin Abdullah. Mu'jam Al-Buldān. Beirut: Dar Shadir, 1995.
  • Ibn Hazm, Ali. Jamharah Ansāb Al-'Arab. Beirut: 1403 H.
  • Ibn Syahr Asyub, Muhammad. Al-Manāqib. Qom: Nasyr-e 'Alame, 1379 H.
  • Ja'far bin manshur Al-Yaman. Sarā'ir wa Asrār An-Nuthaqā' . Riset: Mushtafa Ghalib. Beirut: 1404 H.
  • Juwaini, Atamalek bin Muhammad. Tarekh-e Jahan Gusya'i. Editor: Muhammad Qazwini. Tehran: Dunya-e Ketab, 1385 HS/1427 H.
  • Khu'i, Sayyid Abul Qasim. Mu'jam Rijāl Al-Hadīts. Qom: Nasyr-e Asar-e Syi'e, 1410 H.
  • Kissyi, Muhammad bin Umar. Rijāl Al-Kissyi-Ikhtiyār Ma'rifah Ar-Rijāl. Rangkuman Muhammad bin Thusi. Editor Hasan Mushtafawi. Masyhad: Muassese-e Nasyr-e Danesygah-e Masyhad, 1409 H.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Al-Kāfī. Editor Ali Akbar Ghaffari & Muhammad Akhundi. Tehran: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, 1407 H.
  • Majlisi, Muhammad Baqir. Bihār Al-Anwār. Beirut: Dar Ihya' At-Turats Al-Arabi, 1403 H.
  • Mathari, Muhammad bin Ahmad. At-Ta'rīf Bimā Anasat Al-Hijrah min Ma'ālim Dār Al-Hijrah. Riset Sulaiman Rahili. Riyadh: Darah Al-Malik Abdul Aziz, 1426 H.
  • Mufid, Muhammad bin Muhammad. Al-Fushūl Al-Mukhtārah. Editor Ali Mir Syarifi. Qom: Konggere-e Syekh Mufid, 1413 H.
  • Mufid, Muhammad bin Muhammad. Al-Irsyād fī Ma'rifah Hujajillah 'ala Al-'Ibād. Qom: Konggere-e Syekh Mufid, 1413 H.
  • Najmi, Muhammad Shadiq. Tarikh-e Haram-e A'imme-e Baqi' . Qom: Masy'ar, 1380 HS/1422 H.
  • Nu'mani, Muhammad bin Ibrahim. Al-Ghaibah. Editor Ali Akbar Ghaffari. Tehran: Nasyr-e Shaduq, 1397 H.
  • Nuri, Mirza Husain. Khātimah Al-Mustadrak. Qom: Alu Al-Bait, 1415 H.
  • Qadhi Nu'man Maghribi, Muhammad. Da'ā'im Al-Islām. Qom: Muassese-e Alu Al-Bait Alaihis Salam, 1385 H.
  • Shaduq, Muhammad bin Ali. At-Tauhīd. Riset Hasyim Husaini Tehrani. Tehran, 1398 HS/1440 H.
  • Shaduq, Muhammad bin Ali. Kamāl Ad-Dīn wa Tamām An-Ni'mah. Editor Ali Akbar Ghaffari. Tehran: Eslamiyye, 1395 HS/1437 H.
  • Subhani, Ja'far. Al-Badā' 'ala Dhau' Al-Kitāb wa As-Sunnah. Qom: Muassasah Al-Imam Ash-Shadiq, 1392 HS/1434 H.
  • Syahrestani, Muhammad bin Abdul Karim. Al-Milal wa An-Nihal. Riset Muhammadā Badran. Qom: Asy-Syarif Ar-Radhi, 1364 HS/1405 H.
  • Thabari, Muhammad bin Jarir. Tārīkh Al-Umam wa Al-Mulūk. Beirut: Dar At-Turats, 1387 H.
  • Thabrisi, Fadhl bin Hasan. A'lām Al-Warā bi A'lām Al-Hudā. Qom: Alu Al-Bait, 1417 H.
  • Tim Penulis. Majmu'e-e Maqalat-e Hemayesy-e Sire wa Zaman-e Emam Kazem Alaihis Salam. Qom: Markaz-e Mudiriyat-e Hauzeha-e Ilmiyye, 1392 HS/1434 H.


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "catatan", tapi tidak ditemukan tag <references group="catatan"/> yang berkaitan