Sayid Ibnu Thawus

Prioritas: a, Kualitas: b
Dari wikishia
Sayid Ibnu Thawus
Makam Sayid Ibnu Thawus di kota Hillah, Irak
Makam Sayid Ibnu Thawus di kota Hillah, Irak
Informasi Pribadi
Nama LengkapSayid Radhiyuddin Ali bin Musa bin Ja'far bin Thawus
Terkenal denganSayid Ibnu Thawus
LakabRadhiyuddin
Garis keturunanImam Hasan Mujtaba as
LahirHari kamis 15 Muharram tahun 589 H/1193
Tempat lahirHillah, Irak
Tempat tinggalHillah • Baghdad
Wafat/SyahadahHari senin 5 Dzulkaidah 664/1266
Tempat dimakamkanHillah, Irak
Kerabat termasyhurSyaikh al-Thusi
Informasi ilmiah
Guru-guruWarram bin Abi Firas al-Hilli • Ibnu Nama al-Hilli • Fakhar bin Ma'd al-Musawi
Murid-muridSadiduddin Hilli (ayah Allamah Hilli) • Allamah HilliHasan bin Dawud Hilli
Karya-karyaAl-Iqbal li Shalihi al-'AmalMahj al-Da'awat wa Manhaj al-Ibadatal-Luhuf 'ala Qatla al-Thufuf
Kegiatan Sosial dan Politik
SosialKepemimpinan para sayid di daerahnya


Sayid Radhiyuddin, Ali bin Musa bin Ja'far bin Thawus,(bahasa Arab:السيد رضي الدين، علي بن موسى بن جعفر بن طاووس) yang masyhur dengan Sayid Ibnu Thawus (السيد ابن طاووس) (l. 589/1193 - w. 664/1266), termasuk salah seorang ulama Syiah dan penulis buku seperti Al-Muhimmāt wa al-Tatimmāt, Kasyf al-Mahajjah li Tsamarati al-Mahajjah, Mishbāh al-Zāir wa Junāhu al-Musafir, al-Malhuf 'ala Qatla al-Thufuf, yang masyhur dengan al-Luhuf dan Muhaj al-Da'awat wa Manhaj al-Ibadat. Ia merupakan keturunan Imam Hasan al-Mujtaba as dan Imam Sajjad as dan guru para pemuka ulama seperti Allamah Hilli dan Syaikh Yusuf Sadidudin, ayah Allamah Hilli. Karya Sayid Ibnu Thawus memiliki pengaruh yang signifikan dalam kebudayaan dan pemikiran Syiah. Kitab doa-doanya yang ia susun sangatlah marak dan demikian juga sebagian karya sejarahnya, seperti buku al-Luhuf menjadi rujukan.

Sayid Ibnu Thawus tidak menerima jabatan pemimpin kaum Alawi pada masa kekhilafahan Abbasiyyah, namun mau memangku jabatan tersebut pada masa Hulaku Khan. Ia populer dengan Jamāl al-Ārifīn (keelokan orang-orang arif) karena perangai akhlak mulia, ketaqwaan dan penjagaan diri, tingkatan keshufian dan keramat-keramatnya.

Kelahiran dan Wafat

Abul Qasim Ali bin Musa bin Ja'far bin Muhammad bin Thawus Hilli, bergelar Radhiyuddin, lahir pada hari Kamis, pertengahan bulan Muharram tahun 589 H/1193 di kota Hillah, Irak. [1] Dan wafat pada hari Senin, 5 Dzulkaidah 664 H/1266, di usia ke-75 tahun di Hillah. Meskipun dalam kitab Falāh al-Sāil wa Najāh al-Masāil disebutkan bahwa dia sendiri mengawasi penggalian kuburnya di samping pusara Amirul Mukminin as[2] hanya saja menurut Kantor Perwakafan Syiah Irak makamnya yang diziarahi terletak di kota Hillah.

Keturunan

Nasab Ibnu Thawus sampai kepada Imam Hasan al-Mujtaba as dengan 13 perantara. Ia masyhur dengan Ibnu Thawus karena salah satu dari kakeknya yakni Abu Abdillah, Ahmad bin Muhammad memiliki wajah yang rupawan, namun kakinya - seperti burung merak - tidak ada keselarasan dengan ketampanan wajahnya dan karena inilah ia masyhur dengan Thawus. [3] Ayahnya, Musa bin Ja'far juga termasuk salah seorang perawi hadis besar, yang telah menulis riwayat-riwayatnya dalam kertas dan setelah itu anaknya mengumpulkan tulisan-tulisan tersebut dan memublikasikannya dengan nama Firqah al-Nadzir wa Bahjat al-Khathir mimma Rawahu Walidi Musa bin Ja'far. Ibunya juga putri Warram bin Abi Farras, salah seorang pemuka ulama Imamiah. [4] Neneknya dari pihak ayah juga merupakan cucu Syaikh Thawus dan karena inilah terkadang Sayid mengatakan, kakekku Warram bin Abi Farras dan terkadang mengatakan, Jaddi al-Syaikh al-Thusi, Syaikh Thusi memiliki dua putri; kakek Sayid Ibnu Thawus, suami salah satu dari mereka. Dengan bertolak dari sisi neneknya Ummul Kultsum putri Imam Sajjad as yang bersambung dengan Imam Husain as[5] , maka ia juga disebut dengan Dzul Hasabain (orang yang memiliki dua silsilah mulia). [6] Putrinya, Fatimah juga telah mampu menghafal Alquran sebelum usia sembilan tahun dan ayahnya dan saudara-saudaranya mengizinkannya untuk meriwayatkan Amali Syaikh Thusi. [7]

Pendidikan

Buku Al-Yakin
Buku Falah Al-Sail
Buku Mahj Al-Da'awat
Buku Jamal Al-Usbu'

Sayid Ibnu Thawus memulai pendidikannya di kota Hillah, ia menimba ilmu-ilmu dasar dari ayah dan kakeknya sendiri, Warram bin Abi Farras. Sebagaimana yang telah ia tuturkan sendiri, dalam sekejap ia telah populer dalam ilmu fikih dan setelah dua setengah tahun menimba ilmu fikih, maka ia melihat dirinya tidak membutuhkan pengajar lagi. [8] Setelah itu untuk beberapa waktu ia tinggal di Baghdad dan di situ, ia juga menimba ilmu dan belajar kembali. [9]

Para Pengajar dan Murid

Para Pengajar Ibnu Thawus

adalah sebagai berikut:

  1. Ayahnya, Musa bin Ja'far
  2. Kakeknya, Warram bin Abi Farras al-Hilli
  3. Ibnu Nama' al-Hilli
  4. Fakhkhar bin Ma'ad al-Musawi

Para muridnya

adalah sebagai berikut:

  1. Sadiduddin Hilli (ayah Allamah Hilli) [10]
  2. Allamah Hilli[11]
  3. Hasan bin Dawud Hilli[12]
  4. Abdul Karim bin Ahmad Thawus[13]
  5. Ali bin Isa Irbili

Kehidupan Sosial dan Politik

Perjalanan ke Kazhimain dan Baghdad

Ibnu Thawus dalam perjalanan pertamanya dari Hillah bertolak menuju Kazhimain. Menurut riwayat, perjalanan ini dilakukan karena ia melarikan diri dari saran pernikahan dengan putri Nasiruddin Nasir bin Mahdi, menteri khalifah an-Nasir Abbasiyyah, yang disarankan oleh ayah dan ibunya sendiri. Ia sendiri menyebut alasan keengganan pernikahan ini karena takut terseret dalam perkara dunia. [14] Namun, setelah beberapa waktu menetap di Kazhimain akhirnya ia pun menerima pernikahan tersebut dan pergi ke Baghdad dan menetap di Baghdad selama 15 tahun. Masa perjalanan Ibnu Thawus ke Baghdad tidak diketahui secara mendetail. Menurut laporan, ia ada di Baghdad pada tahun 602 H/1205, dan menurut riwayat lainnya perjalanannya ke Baghdad sekitar tahun 620 H/1223. [15]

Hubungan Sayid dengan Kekhilafahan Abbasiyyah

Radhiyuddin Ibnu Thawus selama tinggal di Baghdad bersahabat dengan Ibnu Alqami, menteri masyhur Abbasiyyah, yang bermazhab Syiah dan dihormati serta mendapat perhatian khalifah al-Muntashiru Billah, sebagaimana khalifah memberinya sebuah rumah di Baghdad untuknya. [16] Pada masa kekhalifahan Abbasiyyah ini direkomendasikan untuknya supaya mengemban urusan pemerintah, namun Ibnu Thawus menolak semuanya dengan tegas. Menurut penuturannya pada masa ini, bahkan jabatan fatwa, pemimpin kelompok Alawi dan bahkan wazir dan pembantu khalifah juga telah direkomendasikan untuknya, namun ia tidak menerimanya. [17]

Menjadi Pemimpin Syiah

Pada tahun 661 H/1263, saat Hulaku Khan menawarkan jabatan pemimpin kaum alawi kepadanya, maka ia menerima jabatan tersebut, meski menurut sebagian riwayat, ia menerima jabatan ini dengan paksaan dan ia terpaksa mengemban jabatan tersebut kurang lebih selama empat tahun, sampai akhir hayatnya. [18]

Populer dengan Kezuhudan dan Ketaqwaan

Allamah Hilli (726 H/1326) mengenai Sayid Ibnu Thawus mengatakan, “Radhiyuddin Ali memiliki keramat, dimana sebagian darinya ia katakan sendiri kepadaku dan sebagian lainnya diucapkan oleh ayahku dan saya mendengar darinya.” [19] Allamah Majlisi mengatakan, "Sayid Naqib (pemimpin alawi), muwatsaq (terpercaya), zahid (orang yang zuhud) dan jamal al-Arifin (keelokan orang-orang arif)." [20] Muhaddits Qummi mengatakan, Sayid Radhiyuddin Abul Qasim, adalah orang mulia, orang yang bertaqwa, orang yang zuhud, yang beruntung, pemimpin orang-orang arif, lentera orang yang menghidupkan malam, pemilik keramat, Thawus alu Thawus (merak keluarga merak). [21] Ibnu Thawus juga dianggap sebagai pemilik keramat.

Karya Tulis

Ibnu Thawus kurang lebih memiliki 50 karya, sementara mayoritasnya adalah dalam bab doa dan ziarah. Ia memiliki perbendaharaan ilmu yang kaya, kurang lebih 1500 kitab ada di situ dan digunakannya dalam penulisan buku-bukunya.

Ideologi

Tendensi Ibnu Thawus lebih mendominasi tentang masalah spiritual dan maknawi seorang mukmin dan mayoritas tulisannya juga tentang masalah ini dan sekumpulan besar doa dan ratapan-ratapan Syiah termaktub dalam karyanya. [22]

Fatalisme

Sebagian penulis dengan mengkaji karya-karya Ibnu Thawus berbicara tentang tendensinya akan fatalisme dan afirmasi akan nasib dan takdir yang sudah ditentukan jauh-jauh hari sebelumnya. Keyakinan akan istikharah dan menggunakannya berkali-kali dalam kehidupan pribadinya, penulisan buku astronomi, banyaknya karya-karya doa (doa termasuk cara merubah takdir) termasuk bukti-bukti doa ini. [23] Berdasarkan perspektif ini, notifikasi sejarah Ibnu Thawus juga memiliki warna ideologi Fatalisme, sebagaimana yang ada dalam buku Luhufnya menegaskan akan pengetahuan Imam Husain as tentang waktu dan cara kesyahidannya dan sejak awal sudah ditentukan dengan hasil kebangkitannya. [24]

Tradisionalisme

Tendensi Ibnu Thawus dalam penulisan sekumpulan hadis dan dari sisi lain ketidakpeduliannya akan ilmu teologi dan fikih merupakan akar-akar tendensi yang beberapa waktu kemudian mencapai puncaknya pada kelompok Akhbari. Ibnu Thawus jarang mengulas ilmu fikih dan enggan mengeluarkan fatwa. Dirinya sendiri menganggap keengganan menjawab pertanyaan-pertanyaan fikih karena perselisihan yang terjadi di tengah-tengah para ulama Syiah terkait masalah-masalah seputar fikih dan ketakutannya mengungkapkan pendapat karena bisa jadi salah atau berdasarkan hawa nafsu. Kitab fikih yang tersisa darinya hanya dua saja, yang hanya terkait masalah hukum-hukum salat. Menurut Etan Gholbarg adapun buku-buku tersebut bertemakan hati mukmin merupakan hasil tendensi dan kecintaannya terhadap perkara spiritual. [25] Ibnu Thawus juga tidak memiliki pendapat yang mendukung terkait ilmu teologi, terkhusus ia sangat menentang pemikiran Mu'tazilah. Menurut Ibnu Thawus untuk sampai pada makrifat Ilahi tidak butuh pada kesukaran-kesukaran yang diperoleh dari ilmu Teologi, ia berpendapat makrifah Ilahi merupakan hasil hidayah dan ilham Allah swt serta perkara fitrah, dan bukan dari cara pemikiran rasional dan teologi. [26]

Ideologi Sosial – Politik Ibnu Thawus

Sayid Ibnu Thawus meski memiliki kedudukan tinggi di masyarakat, pada masa hidupnya ia banyak menolak untuk memangku jabatan politik. Demikian juga dalam wasiat-wasiatnya kepada keturunannya, ia menganggap kerjasama dengan para penguasa akan menyebabkan terjauhkan dari Allah swt dan mewanti-wanti anak-anaknya untuk tidak mendekati para penguasa. [27] Meski demikian, sebagaimana yang dituturkan, dirinya sendiri setelah penguasaan Mongol atas Baghdad bekerjasama dengan pemerintahan Mongol dan menerima jabatan pemimpin kaum Alawi pada masa tersebut. Sebuah masalah dimana sebagian orang menganggapnya sebagai hasil dari paksaan dan sebagian lain menganggap kerjasama Ibnu Thawus dengan Mongol dalam rangka upayanya untuk menghilangkan keburukan mereka dari masyarakat. [28] Sebagian para penulis, berdasarkan apa yang dikemukakan dalam tulisan-tulisan Ibnu Thawus, memperkenalkannya sebagai orang yang mengisolir diri[29] , yang lebih condong ke arah zuhud dan irfan dan berbaur dan bertemu dengan masyarakat menyebabkan jauh dari Tuhan. Dalam wasiatnya ia menganjurkan anak-anaknya supaya menjauhi perbauran dengan masyarakat dan hal ini menyebabkan jauh dari Allah swt. [30] Keyakinan khususnya akan bab Amar Ma'ruf dan nahi munkar, yang menurutnya hanya perlu dalam hati manusia, merupakan salah satu aspek ideologinya, yang menunjukkan pengisolasian diri dan asketisme.

Catatan Kaki

  1. Kammunah, Mawārid al-Ithāf, jld. 1, hlm. 107-108.
  2. Ibnu Thawus, Falāh al-Sāil wa Najāh al-Masāil, jld.1, hlm.74
  3. Qummi, al-Kuna wa al-Alqāb, jld. 1, hlm. 341.
  4. Raudhah al-Jannat, Khansari, jld. 4, hlm. 325.
  5. Shahid Gholpaigani, Rahnamaye Sa'adat, hlm. 14.
  6. Sayid Ibnu Thawus, Kasyf al-Mahajjah, hlm. 294.
  7. Muhaddatsāt Syiah, hlm. 285.
  8. Ibnu Thawus, Kasyf al-Mahajjah, hlm. 185.
  9. Gholbarg, Ketabkhaneh Ibnu Thawus, hlm. 23-24.
  10. Ibnu Thawus, Kasyf al-Mahajjah, hlm. 185.
  11. Ibid.,
  12. Ibid.,
  13. Ibid.,
  14. Kasyf al-Mahajjah, hlm.
  15. Gholbarg, Ketabkhaneh Ibnu Thawus, hlm. 22.
  16. Ibid., hlm. 23 dan 25.
  17. Kasyf al-Mahajjah, hlm. 168-169.
  18. Ibid., hlm. 31-32.
  19. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 107, hlm. 63, 64.
  20. Ibid.,
  21. Qummi, al-Fawāid al-Raudhah, jld. 1, hlm. 542.
  22. Ja'fariyan, Adab Doa dar Syiah, hlm. 214.
  23. Shadiqi Kasyani, Tarikh Negari Ibnu Thawus, hlm. 99-100.
  24. Ibid.,
  25. Gholbarg, Ketabkhaneh Ibnu Thawus, hlm. 43.
  26. Lihat: Ibnu Thawus, Kasyf al-Mahajjah, hlm. 52, 60.
  27. Kasyf al-Mahajjah, hlm. 172.
  28. Muntazar Qaim dan Arab Ja'fari, Sayid Ibnu Thawus wa Masalah Suquth Baghdad, hlm. 106.
  29. Shadiqi Kasyani, Tarikh Negari Ibnu Thawus, hlm. 25.
  30. Ibnu Thawus, Kasyf al-Mahajjah, hlm. 157-158.

Daftar Pustaka

  • Agha Bozorgh, Thabaqat A'la, al-Syiah (abad 7), Beirut, 1972 M.
  • Ahmad bin Ali bin Anbah, Jamaluddin, al-Fushul al-Fakhriyyah, terj. Sayid Jalaluddin Muhaddis Urmawi, Nasyr Ilmi wa Farhanggi, 1404 H.
  • Gharawi Naini, Nahlah, Muhadditsat Syiah, Doneshgah Tarbiat Mudarris, Tehran (cet. 2), 1428 H.
  • Gholbarg Etan, Ketabkhaneh Ibnu Thawus, terj. Ali Qarai dan Rasul Ja'fariyan, Qom, Ketabkhaneh Ayatullah al-udzma Mar'asyi Najafi.
  • Ibnu Thawus, Ali bin Musa, Falāh al-Sail wa Najāh al-Masāil, Qom, Bustan Kitab, 1406 H.
  • Ja'fariyan Rasul, Adab Doa dar Syiah, Majallahnomeh Mufid, no 5.
  • Kammunah Huseini, Abd al-Razaq, Mawarid al-Ithaf fi Nuqaba al-Asyraf, Najaf Asyarf, Nasyr al-Adab, 1388 H.
  • Majlisi, Muhammad Baqir, Kitab al-Ijazat dar Bihar al-Anwar, Beirut, Nasyr Muassasah Wafa', cet. 3, 1403 H.
  • Muhammad bin Nu'man, Syaikh Mufid, al-Muqni'ah, Muassasah al-Nasyr al-Islami, 1410 H.
  • Qummi, Abbas, al-Kuna wa al-Alqāb, Najaf Asyraf, Nasyr Haidariyyah, 1389 H.
  • Qummi, al-Fawāid al-Raudhah fi Ahwāl Ulama al-Mazhab al-Ja'fariyyah, penerjemah dan riset. Nashir Baqiri Bidhendi, Qom, Nasyr Bustan Kitab, 1427 H.
  • Sayid bin Thawus, Ali bin Musa, Hasy al-Mahajjah, terj. Asadullah Mubsyiri, Tehran, Nasyr Farhang Islami, cet. 1, 1409 H.
  • Syahidi Golpaighani, Sayid Muhammad Baqir,Rahnemaye Sa'adat (terjemahan Kasyf al-Mahajjah), Tehran, Nasyr Sa'di, 1382 H.