Istri-Istri Nabi saw

Prioritas: b, Kualitas: b
tanpa referensi
Dari wikishia
Istri-istri Nabi saw
Khadijah al-Kubra sa (27 sebelum Hijrah/595)
Saudah (sebelum Hijrah/sebelum 622)
Aisyah (1, 2, atau 4 H/622, 623, atau 625)
Hafsah (3 H/624)
Zainab (binti Khuzaimah) (3 H/624)
Ummu Salamah (4 H/625)
Zainab (binti Jahsy) (5 H/626)
Juwairiyah (5 H atau 6 H/626 atau 627)
Ummu Habibah (6 atau 7 H/627 atau 628)
Mariyah (7 H/628)
Shafiyah (7 H/628)
Maimunah (7 H/628)

Istri-istri Nabi saw (bahasa Arab: أزواج النبي) adalah para wanita yang dinikahi oleh Nabi saw. Para ulama kaum Muslimin berbeda pendapat mengenai jumlah istri-istri Nabi saw. Sebagian mereka meyakini tiga belas istri dan sebagian lagi meyakini lima belas. Dan juga ada pandangan-pandangan lain terkait masalah ini. Perbedaan ini muncul dari dihitung dan tidak dihitungnya para budak dalam barisan istri-istri Nabi saw. Pernikahan Nabi saw dilakukan dalam rangka menjalankan tugas beliau (menyiarkan agama Islam) dan atau dengan motivasi-motivasi seperti menarik dukungan suku-suku dan ras-ras besar Arab, menumpaskan pemikiran-pemikiran keliru jahiliyah, menguatkan posisi sosial para wanita yang terpuruk dan menghibur mereka serta membebaskan para tawanan.

Di dalam Al-Qur'an, istri-istri Nabi saw dikenang dengan gelar "Ummahat al-Mu'minin" (ibu-ibu orang-orang yang beriman), dan dimuat hukum-hukum dan perintah-perintah khusus berkenaan dengan mereka. Hidup sederhana, menjauhi perhiasan dan berkata baik termasuk diantara perintah-perintah Allah swt kepada mereka. Demikian juga kaum Muslimin diperintahkan untuk berbicara dengan istri-istri Nabi dari balik tirai dan setelah Nabi wafat hendaknya tidak menikahi dengan mereka.

Kaum Muslimin percaya akan kesucian para istri Nabi dan tidak memperbolehkan untuk menghina dan merendahkan mereka. Tentu kaum muslimin memiliki kritikan atas perbuatan Aisyah pada kejadian-kejadian yang terjadi paska kepergian Nabi saw.

Posisi

Istri-istri Nabi saw adalah sebutan untuk wanita-wanita Nabi saw yang bergelar Ummahat al-Mu'mini (ibu orang-orang yang beriman) berdasarkan ayat وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.[1] Di dalam Al-Qur'an dimuat hukum-hukum dan perintah-perintah khusus berkenaan dengan mereka.[2]

Keharaman Menghina Istri-Istri Nabi

Fatwa Ayatullah Khamene'i
"Penghinaan terhadap simbol-simbol kultus Ahlusunah, termasuk penghinaan terhadap istri Rasulullah saw, Aisyah, adalah haram. Hukum ini meliputi istri seluruh nabi, terutama penghulu para nabi, Nabi Muhammad saw."[3]

Semua kaum Muslimin meyakini kesucian istri-istri Nabi saw. Pun demikian sebagian kelompok wahabi menisbatkan kepada Syiah bahwa mereka menudingkan hal-hal yag tidak pantas kepada istri-istri Nabi. Meskipun ulama Syiah dan sebagian Ahlusunah mengkritik perbuatan sebagian istri-istri Nabi paska kepergian beliau misalnya peran Aisyah dalam terwujudnya perang Jamal dan permusuhannya dengan Imam Ali as[4] namun mereka tidak menisbatkan sesuatu yang tidak senonoh kepada salah satu pun dari istri-istri Nabi dan tidak memperbolehkan menghina mereka.[5]

Contohnya Sayid Murtadha teolog Syiah abad ke-5 Hijriah percaya bahwa keternodaan istri-istri Nabi dengan perbuatan keji bertentangan dengan kemaksuman para Nabi; karena menurut keyakinan Imamiyah para Nabi harus terjaga dari segala sesuatu yang membuat masyarakat jijik dan menjauh dari mereka.[6]

Demikian pula Ayatullah Khamene'i Pemimpin Tertinggi Negara Republik Islam Iran mengeluarkan fatwa haram menghina simbol kultus Ahlusunah terkait keharaman menodai simbol-simbol Ahlusunah dan istri-istri Nabi saw.[7]

Jumlah

Mengenai jumlah istri-istri Nabi terdapat perbedaan pandangan: Menurut Ibnu Hisyam di buku al-Sirah al-Nabawiyah, jumlah istri-istri Nabi ada tiga belas orang:[8] Khadijah, Saudah, Aisyah, Zainab binti Khuzaimah, Hafshah putri Umar, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, Juwairiyah, Ummu Habibah, Shafiyah, Maimunah, Umrah bin Yazid Kilabi dan Asma binti Nu'man Kindi.[9] Ketika Nabi saw wafat, semua istri-istri beliau selain Khadijah dan Zainab putri Khuzaimah masih hidup.[10]

Dalam sebuah riwayat dari Imam Shadiq as, jumlah istri-istri Nabi saw adalah 15 orang.[11] Ali bin Husain Mas'udi dan Syamsuddin Dzahabi juga meyakini bahwa istri-istri Nabi berjumlah 15 orang.[12]

Dalam sebagian riwayat dijelaskan bahwa jumlah mereka mencapai 18 orang.[13] Tentunya Nabi Muhammad saw 25 tahun -selama Khadijah masih hidup- hanya memiliki satu istri dan setelah Khadijah wafat dan Nabi saw hijrah ke Madinah, beliau memperistri wanita-wanita lain.[14]

Dikatakan bahwa penyebab perbedaan dalam jumlah istri-istri Nabi saw adalah sebagian sejarawan menganggap wanita-wanita yang tidak hidup bersama Rasulullah karena suatu sebab atau para budak beliau sebagai bagian dari istri-istri beliau.[15] Di dalam sumber-sumber referensi disebutkan nama sebagian dari mereka, seperti Mariyah al-Qibthiyah dan Raihanah putri Zaid.[16]

Anak-Anak Keturunan

Dari istri-istri Nabi saw hanya Khadijah dan Mariyah Qibthiyah yang memiliki anak.[17] Mariyah melahirkan Ibrahim.[18] Berdasarkan pendapat yang masyhur, dari Khadijah lahir empat putri; Sayidah Fatimah sa, Zainab, Ummu Kultsum dan Ruqayyah, dan juga lahir dua putra; Abdullah dan Qasim.[19] Tentu sebagian peneliti Syiah berkeyakinan bahwa Zainab, Ummu Kultsum dan Ruqayyah bukan putri-putri Nabi saw dan Khadijah, tetapi anak-anak perempuan dari saudarinya Khadijah yang tumbuh besar di rumahnya.[20]

Filosofi Poligami Nabi saw

Poligami pada masa Nabi saw merupakan perkara yang umum;[21] walaupun demikian dikatakan bahwa Nabi melakukan poligami berdasarkan hikmah dan dalam rangka menjalankan tugas Ilahi (menyiarkan Islam).[22]

Sebagian alasan-alasan poligami Nabi adalah sebagai berikut:

  1. Menarik dukungan suku-suku, kelompok-kelompok besar Arab, menguatkan infiltrasi politik dan sosialnya melalui perjalinan dengan mereka seperti menikah dengan Aisyah.
  2. Menjalankan hukum Ilahi dan menghapus pemikiran keliru kaum jahiliyah seperti menikah dengan Zainab binti Jahsy. Zainab adalah istri Zaid bin Haritsah, anak angkat Nabi. Berdasarkan adat istiadat jahiliyah, orang-orang Arab meyakini anak angkat seperti anak sendiri. Karena itu setelah anak angkat meninggal atau cerai, mereka tidak akan menikah dengan istrinya.
  3. Menguatkan posisi sosial kaum wanita yang terpuruk, seperti para wanita janda dan tawanan. Kebanyakan istri Nabi adalah para wanita janda.
  4. Menghibur para wanita yang terluka perasaan mereka karena menerima Islam, seperti menikah dengan Ummu Habibah.
  5. Menjaga dan menjamin kehidupan para wanita janda yang fakir dan yatim seperti menikah dengan Ummu Salamah dan Zainab binti Khuzaimah.
  6. Menunjukkan keagungan dan kekuatan Islam dan kaum Muslimin seperti menikah dengan Shafiyah.
  7. Melindungi para wanita yang jiwanya dalam bahaya seperti menikah dengan Su'dah.
  8. Membebaskan para tawanan dan budak seperti menikah dengan Juwairiyah binti Harits.[23]

Meskipun demikian, sebagian penulis meyakini bahwa poligami Nabi didasari syahwat dan nafsu birahi. Allamah Thabathaba'i menjawab bahwa sirah Nabi saw membuktikan kebalikannya, sebab Nabi selama dua puluh tahun (sepertiga dari umurnya) hanya hidup bersama Khadijah dan pada akhir-akhir umurnya beliau menikah dengan wanita-wanita lain.[24] Demikian juga apabila poligami Nabi dilakukan karena syahwat dan nafsu birahi, maka beliau pasti menikah dengan wanita gadis bukan dengan wanita janda atau sudah tua.[25]

Masih menurut pernyataan Allamah Thabathabai, perilaku Nabi saw dengan para wanita menjadi bukti bahwa beliau tidak meyakini wanita sebagai sarana pemuas syahwat kaum lelaki, tetapi beliau berupaya menyelamatkan mereka dari kehinaan dan kebudakan.[26] Dinukilkan dari Kasyf al-Ghitha bahwa Nabi saw dengan berpoligami hendak menunjukkan contoh menonjol dari berkuarga, istiqomah dan pemeliharaan kesamaan dan keadilan.[27]

Perintah-Perintah Al-Qur'an Kepada Istri-Istri Nabi

Sujumlah ayat-ayat Al-Qur'an turun berkenaan dengan para istri Nabi dan menjelaskan perintah-perintah kepada mereka:

Sanksi dan Balasan Istri-Istri Nabi Berlipat ganda

Berdasarkan ayat يا نِساءَ النَّبِيِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ يُضاعَفْ لَهَا الْعَذابُ ضِعْفَيْنِ وَ كانَ ذلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيراً (۳۰) وَ مَنْ يَقْنُتْ مِنْكُنَّ لِلَّهِ وَ رَسُولِهِ وَ تَعْمَلْ صالِحاً نُؤْتِها أَجْرَها مَرَّتَيْنِ وَ أَعْتَدْنا لَها رِزْقاً كَرِيماً, (wahai istri-istri Nabi! Barangsiapa diantara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azabnya akan dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya. Dan yang demikian itu mudah bagi Allah. Dan barangsiapa diantara kamu tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan kebajikan, niscaya Kami berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki yang mulia baginya),[28] apabila istri-istri Nabi melakukan amal kebajikan maka pahala mereka berlipatganda dan apabila melakukan kekejian maka sanksi mereka berlipatganda pula,[29] sebab mereka memiliki hubungan dengan Nabi saw, maka mereka berada dalam satu posisi dimana mereka menjadi contoh bagi wanita-wanita lain.[30] Para ahli tafsir berdasarkan ayat يا نِساءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّساءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ; (Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan lain, jika kamu bertakwa), meyakini bahwa tanggungjawab mereka lebih berat dibanding wanita lain, sebab tidak rasional ji tanggungjawab sama namun balasan berbeda.[31]

Jika Kamu menghendaki Nabi dan Akhirat Maka Hiduplah Sederhana

Berdasarkan ayat يا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْواجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَياةَ الدُّنْيا وَ زِينَتَها فَتَعالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَ أُسَرِّحْكُنَّ سَراحاً جَمِيلاً (۲۸) وَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَ رَسُولَهُ وَ الدَّارَ الْآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِناتِ مِنْكُنَّ أَجْراً عَظِيماً, (Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, jika kamu menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, maka kemarilah agar kuberikan kepadamu kenikmatan dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu menginginkan Allah dan Rasul-Nya dan negri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik diantara kamu),[32] jika istri-istri Nabi menghendaki Nabi dan akhirat maka harus hidup sederhana dan jika menghendaki dunia maka Nabi harus mencerai mereka dan membayar maskawin mereka.[33] Sebagaimana dimuat di dalam Tafsir Nemuneh, ayat ini turun berkenaan dengan reaksi terhadap ketidakrelaan dan keluhan sebagian istri-istri Nabi saw akan kondisi kehidupan material mereka. Mereka dengan melihat harta rampasan perang yang ada di tangan kaum muslimin, meminta harta dari Nabi. Nabi tidak menuruti permintaan mereka dan satu bulan beliau menjauhi mereka hingga turun ayat-ayat tersebut.[34]

Jangan Lemah Lembutkan Suaramu

Berdasarkan ayat فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ, (Janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya),[35] istri-istri Nabi dilarang untuk melemah lembutkan suara mereka ketika berbicara dengan para lelaki supaya tidak membangkitkan syahwat.[36]

Ucapkanlah Perkataan Yang Baik

Berdasarkan ayat وَ قُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفاً (dan ucapkanlah perkataan yang baik),[37], istri-istri Nabi diperintahkan untuk berkata dengan perkataan yang pantas yang diridhai oleh Allah dan Rasulullah saw dan disertai dengan kebenaran dan keadilan.[38]

Diamlah Di Rumah Dan Jangan Berhias

Pada ayat وَ قَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَ لا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجاهِلِيَّةِ الْأُولى‏ (Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dahulu), [39]istri-istri Nabi diminta untuk tetap di dalam rumah mereka dan jangan seperti kaum jahiliyah pertama menampakkan lekuk badan dan perhiasan mereka di depan orang lain.[40] Menurut para ahli tafsir, ini adalah satu hukum universal dan meliputi semua wanita muslimah. Penyandarannya kepada para istri Nabi adalah sebagai bentuk penekanan.[41]

Dirikanlah Salat Dan Tunaikanlah Zakat

Berdasarkan ayat أَقِمْنَ الصَّلاةَ وَ آتِينَ الزَّكاةَ وَ أَطِعْنَ اللَّهَ وَ رَسُولَهُ (Laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya),[42], para istri Nabi wajib mengerjakan salat dan membayar zakat serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tentu menurut para mufasir perintah ini tidak dikhususkan kepada mereka dan mencakup semua orang, meskipun para istri Nabi lebih ditekankan dalam perintah ini.[43] Allamah Thabathabai menulis, alasan bahwa hanya hukum salat dan zakat yang disebutkan dalam ayat ini di antara hukum-hukum yang lain adalah bahwa dua hukum ini merupakan rukun ibadah dan transaksi, sementara seluruh perintah yang lain dimuat dibawah ayat وَ أَطِعْنَ اللَّهَ وَ رَسُولَهُ.[44]

Gunakanlah Dengan Baik Waktu Bersama Dengan Nabi

Menurut Allamah Thabathabai, ayat وَاذْكُرْنَ ما يُتْلى‏ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آياتِ اللَّهِ وَ الْحِكْمَةِ, (Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah),[45] bermaksud bahwa para istri Nabi harus menghafal ayat-ayat Allah yang mereka dengar di rumah mereka dan menyimpannya dalam memory mereka serta jangan melampaui jalan yang telah ditentukan Allah kepada mereka.[46]

Sebagian amufasir berkata, maksud dari ayat ini adalah bahwa para istri Nabi saw harus mensyukuri anugerah ini dimana mereka berada di dalam rumah yang Al-Qur'an dan hadis dibacakan di dalamnya.[47]

Perintah-Perintah Al-Qur'an Kepada Kaum Muslimin Dalam Berperilaku Dengan Istri-Istri Nabi

Di dalam Al-Qur'an disebutkan hukum-hukum perlakuan kaum Muslimin dengan para istri Nabi:

Berbicara Dari Balik Tabir

Berdasarkan ayat وَ إِذا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتاعاً فَسْئَلُوهُنَّ مِنْ وَراءِ حِجابٍ ذلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَ قُلُوبِهِنَّ (Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka).[48], setiap kali kaum muslimin memiliki permohonan kepada istri-istri Nabi, mereka harus melakukannya dari balik tirai. Maksud dari balik tirai dalam ayat ini bukan penutup biasa seperti yang dikenakan wanita-wanita lain, akan tetapi merupakan satu hukum tambahan dan khusus untuk para istri Nabi[49] yang turun untuk mencegah para musuh mencari cacat dari para istri Nabi[50] dan untuk menjaga kehormatan mereka.[51]

Larangan Menikahi Istri-Istri Nabi Saw

Berdasarkan ayat وَ لا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْواجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَداً (dan tidak boleh pula menikahi istri-istrinya selama-lamanya setelah (Nabi wafat) ),[52] dilarang untuk menikah dengan istri-istri Nabi saw paska wafatnya, sebab mereka menduduki ibu spiritual bagi orang-orang yang beriman.[53] Terkait alasan larangan ini terdapat beberapa kemungkinan, antara lain adalah:

  • Mencegah penghinaan kepada Nabi saw: Sebagian orang berkeinginan untuk menikahi istri-istri Nabi saw sepeninggal beliau sehingga dengan cara ini dapat mencoreng reputasi beliau.
  • Mencegah untuk disalah gunakan: Jika menikah dengan istri-istri Nabi saw boleh, maka ada kemungkinan bahwa orang-orang tertentu dengan pernikahan ini akan mendapatkan posisi sosial khusus dan akan menyalahgunakannya. Atau dengan alasan bahwa ia telah mengetahui sesuatu dari dalam rumah Nabi saw dan ajarannya, lalu berupaya menyimpangkan agama.[54]
  • Menikah dengan istri-istri Nabi tidak dibolehkan dengan alasan bahwa mereka nanti di surga akan kembali menjadi istri-istri beliau.[55]

Maskawin Istri-Istri Nabi

Berasaskan riwayat-riwayat, kadar maskawin para istri Nabi saw adalah 500 Dirham.[56] Maskawin yang Nabi saw tentukan untuk istri-istri dan juga menurut Syekh Shaduq untuk putri-putrinya[57] disebut Mahar Sunnah.[58] Tentu, berdasarkan riwayat yang dinukil Syekh Shaduq dari Imam Baqir as, maskawinnya Ummu Habibah (istri Nabi) adalah 4000 Dirham.[59] Dikatakan bahwa Imam Baqir as dalam riwayat ini mengecualikan maskawin ini dengan penjelasan bahwa Najjasi, penguasa Etiopia, yang saat itu menjadi wakil Nabi untuk malamar Ummu Habibah, menentukan maskawin itu dan dia sendiri yang membayarnya dan Nabi saw tidak menentangnya.[60]

Cara Perlakuan Nabi saw Kepada Para Istrinya

Menurut pernyataan Muhammad Husain Haikal (W. 1376 H), penulis Mesir, Nabi saw memandang para istrinya memiliki kedudukan khusus yang tidak diketahui di kalangan Arab.[61] Sesuai sebagian ayat-ayat Al-Qur'an, beliau mengharamkan sebagian yang mubah bagi dirinya sendiri demi keridhaan sebagian istrinya. Misalnya berkenaan dengan sebab turunnya ayat یا أَیهَا النَّبِی لِمَ تُحَرِّ‌مُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَک تَبْتَغِی مَرْ‌ضَاتَ أَزْوَاجِک ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّ‌حِیمٌ (Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu? Engkau ingin menyenangkan hati-hati istrimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang),[62] dimuat bahwa ayat ini turun setelah Nabi mengharamkan minuman air madu yang dibuat oleh Zainab binti Jahsy demi keridhaan Hafshah.[63]

Demikian juga Nabi berlaku adil di antara para istrinya. Terdapat laporan-laporan tentang pembagian harta secara sama di antara mereka. Di antaranya, Muhammad bin Umar Waqidi melaporkan bahwa Nabi setelah perang Khaibar memberikan delapan puluh wasaq (wadah) kurma dan dua puluh wasaq gandum kepada masing-masing istrinya.[64] Juga beliau membagi waktu malamnya di antara mereka. Dan ketika perang atau perjalanan, beliau membawa salah seorang istrinya sesuai hasil undian, padahal menurut ayat 51 surah Al-Ahzab beliau boleh menunda giliran masing-masing dari istrinya sesuai keinginannya.[65]

Monografi

Banyak buku ditulis dalam bahasa Arab dan Persia mengenai istri-istri Nabi oleh ulama Syiah dan Ahlusunah. Antara lain adalah:

  • Al-Muntakhab Min Kitab Azwaj al-Nabi, karya Zubair bin Bakkar (W. 256 H). Buku ini diteliti oleh Sukainah Syihabi dan diterbitkan oleh Muassasah al-Risalah Beirut pada tahun 1403 H.
  • Zaujat al-Nabi, karya Said Ayyub (L. 1363 H) warga Mesir yang beralih mazhab ke mazhab Syiah [66]
  • Azwaj al-Nabi, karya Muhammad bin Yusuf Shalihi Dimasyqi
  • Zaujat al-Nabi wa Auladuhu, karya Amir Mahya al-Khayyami (terbit 1411 H)
  • Sabuk-e Zendegi Rasul-e Khuda ba Hamsaranesh, karya Farzaneh Hakim Zadeh. Buku ini ditulis dengan sudut pandang mengambil contoh dari perlakuan Nabi kepada para istrinya.[67]

Catatan Kaki

  1. Q.S. Al-Ahzab: 6
  2. Sebagai contohnya silakan lihat surah Al-Ahzab: 28-34 dan 53-54
  3. Surat kabar Resalat, 11 Mehr 1389 S, hlm. 3
  4. Lihat: Husaini Fairuzabadi, Sab'ah min al-Salaf, hlm. 258-269
  5. Milan Nurani, Barresi Didgah-e Ulama-e Syiah dar Maured-e Hamsaran-e Peyambar, hlm. 56-58
  6. Sayid Murtadha, Amali, jld. 1, hlm. 503
  7. [1], Respon Dunia Islam Terhadap Fatwa Baru Ayatullah Khomenei, surat kabar Resalat, 11 Mehr 1389 S, hlm. 3
  8. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld. 2, hlm. 643
  9. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld. 2, hlm. 648
  10. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld. 2, hlm. 647
  11. Syekh Shaduq, al-Khishal, jld. 2, hlm. 419
  12. Mas'udi, Muruj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 23; Dzhabi, Tarikh al-Islam, jld. 1, hlm. 592
  13. Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak ala al-Shahihain, jld. 4, hlm. 4
  14. Thabathabai, al-Mizan, jld. 4, hlm. 195
  15. Abu al-Qasim Zadeh, Kankoshi Darboreye 'Ilale Ta'addud-e Hamsaran-e Peyambar, hlm. 84
  16. Lihat. Dzahabi, Tarikh al-Islam, jld. 1 hlm. 598
  17. Haikal, Hayatu Muhammad, hlm. 205
  18. Haikal, Hayatu Muhammad,hlm. 205
  19. Moqrizi, Imta' al-Asma', jld. 5, hlm. 334
  20. Ja'far Murtadha, al-Shahih min Sirah al-Nabi al-A'zham, jld. 2, hlm. 212
  21. Haikal, Hayatu Muhammad, hlm. 205
  22. Abul Qasim Zadeh, Kankashi Darboreye Ilale Ta'addud-e Hamsaran-e Peyambar, hlm. 84
  23. Silakan lihat Thabathabai, al-.Mizan, jld. 4, hlm. 196-197
  24. Thabathabai, al-Mizan, jld. 4, hlm. 195
  25. Thabathabai, al-Mizan, jld. 4, hlm. 195
  26. Silakan lihat Thabthabai, al-Mizan, jld. 4, hlm. 196-197
  27. Abul Qasim Zadeh, Kankoshi Darboreye ‘Ilale Ta'addude Hamsarane Peyambar, hlm. 84
  28. Q.S Al-Ahzab: 30-31
  29. Thabathabai, al-Mizan, jld. 16, 307
  30. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 17, hlm. 288
  31. Thabathabai, al-Mizan, jld. 16, hlm. 308
  32. Q.S Al-Ahzab: 28-29
  33. Thabathabai, al-Mizan, jld. 16, hlm. 307
  34. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 17, hlm. 378-379
  35. Q.S Al-Ahzab:32
  36. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 17, hlm. 289
  37. Q.S Al-Ahzab:32
  38. Makarim Syirazi, Tafsir Numuneh, jld. 17, hlm. 289
  39. Q.S Al-Ahzab: 33
  40. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 17, hlm. 290
  41. Contohnya bisa dilihat: Makarim Syirazi, Tafsir Namuneh, jld. 17, hlm. 290; Thabathabai, al-Mizan, jld. 16, hlm. 308
  42. Q.S Al-Ahzab: 33
  43. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 17, hlm. 291
  44. Thabathabai, al-Mizan, jld. 16, hlm. 309
  45. Q.S Al-Ahzab:34
  46. Thabathabai, al-Mizan, jld. 16, hlm. 313
  47. Mughniyah, Tafsir al-Kasyif, jld. 6, hlm. 218
  48. Q.S. Al-Ahzab: 53
  49. Makarim Syirazi, Tafsir Numuneh, jld. 17, hlm. 401
  50. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 17, hlm. 403
  51. Makarim Syirazi, Tafsir Numuneh, jld. 17, hlm. 398
  52. Q.S Al-Ahzab: 53
  53. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 17, hlm. 204
  54. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 17, hlm. 404
  55. Qurtubi, al-Jami' Li Ahkam al-Quran, jld. 14, hlm. 229
  56. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 100, hlm. 347-348; Syekh Shaduq, al-Muqni, hlm. 302; Syahid Tsani, jld. 5, hlm. 344
  57. Syekh Shaduq, al-Muqni, hlm. 302
  58. Syahid Tsani, al-Raudhah al-Bahiyyah, jld. 5, hlm. 344
  59. Syekh Shaduq, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jld. 3, hlm. 473
  60. Mas'udi, Pazuheshi Darbareye Mahr-e sunnah (Mahre Mohammadi), hlm. 113
  61. Haikal, Hayatu Muhammad, hlm. 279
  62. Q.S. Al-Tahrim: 1
  63. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 24, hlm. 271-274
  64. Waqidi, al-Maghazi, jld. 2, hlm. 693
  65. Abidini, Shiveye Hamsardari-e Peyambar be Gozaresy-e Quran, hlm. 172
  66. [2], Mustabahirin:Said Ayyub, Majma'Jahani Shiahshenasi
  67. [3], Nahveye Barkhorde Peyambar ba Hamsanaranesh Ulgu Baraye Bashar Daureye Mu'aser, Warta Iqna

Daftar Pustaka

  • Abedini, Ahmad. Syiwe-e Hamsardari-e Payambar Be Guzaresy-e Qur'an. Majalah Bayyinat. Vol: 52, 1385 S/2007.
  • Abul Qasim Zade, Majid & Mehri Kazem Nezad. Kunkasyi Darbare-e Elal-e Te'addud-e Hamsaran-e Payambar. Majalah Ma'refat. Vol: 108, 1385 HS/2007.
  • Amili, Ja'far Murtadha. Ash-Shahīh Min Sīrah an-Nabī al-A'dzham. Qom: Muassese-e Elmi Wa Farhanggi-e Dar al-Hadits. Cet. 1, 1426 H.
  • Dzahabi, Muhammad bin Ahmad. Tārīkh al-Islām Wa Wafayāt al-Masyāhīr Wa al-A'lām. Riset: Umar Abd al-Salak Tadammuri. Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi. Cet. 2, 1413 H.
  • Esteqbal-e Jahan-e Eslam Az Estefta-e Jadid-e Ayatullah Khamene'i. Surat Kabar Resalat.
  • Haikal, Muhammad Husain. Hayāh Muhammad Shallā Allāh 'Alaih Wa Ālih Wa Sallam. Kairo: Dar al-Kutub.
  • Hakim Naisyaburi, Muhammad bin Abdullah. Al-Mustadrak 'Alā al-Shahīhain. Riset: Mushtafa Abdul Qadir 'Atha. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1411 H.
  • Husaini Fairuz Abadi, Sayyid Murtadha. Sab'ah Min al-Salaf. Riset: Sayid Murtadha Ridhawi. Qom: Muassasah Dar al-Hijrah. Cet. 1, 1417 H.
  • Ibn Hisyam, Abdul Malik bin Hisyam. Al-Sīrah al-Nabawiyyah. Riset: Mushtafa al-Saqa, Ibrahim al-Abyari, & Abdul Hafidz Syalbi. Beirut: Dar al-Ma'rifah.
  • Majlisi, Muhammad Baqir. Bihār al-Anwār al-Jāmi'ah Li Durar Akhbār al-A'immah al-Athhār. Beirut: Dar Ihya' at-Turats al-'Arabi. Cet. 2, 1403 H.
  • Makarim Shirazi, Nashir. Tafsīr-e Nemune. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah. Cet. 32, 1374 HS/1995.
  • Maqrizi, Ahmad bin Ali. Amtā' al-Asmā' Bi Mā Li al-Nabī Min al-Ahwāl Wa al-Amwāl Wal Hifdah Wa al-Matā'. Riset: Muhammad Abdul Hamid a.l-Namisi. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah. Cet. 1, 1420 H.
  • Mas'udi, Abdul Hadi. Pazuhesyi Darbare-e Mahr al-Sunnah (Mehr-e Muhammadi) Dar Tahkim-e Khanewade Az Negah-e Qur'an Wa Hadis. Oleh Muhammad Rey Syahri. Penerjemah: Hamid Reza Syeikhi. Qom: Sazman-e Cap Wa Nasyr-e Dar al-Hadits. Cet. 2, 1389 S/2010.
  • Mas'udi, Ali bin Husain. Murūj al-Dzahab Wa Ma'ādin al-Jauhar. Qom: Entesyarat-e al-Syarif al-Radhi, 1380 S/2001.
  • Milan Nuri, Muhammad Ja'far. Barresi-e Didgah-e Ulama-e Syi'e Dar Maured-e Hamsaran-e Payambar Shallā Allāh 'Alaih Wa Ālih Wa Sallam. Majalah Siraj Munir. Vol: 35, 1398 S/2019.
  • Mughniyah, Muhammad Jawad. Tafsīr al-Kāsyif. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah. Cet. 1, 1424 H.
  • Mushtabshirin: Sa'id Ayyub. Site Shia Studies (http://shiastudies.com/fa/53784). Diakses tanggal 2020.
  • Nahwe-e Barkhur-e Payambar (saw) Ba Hamsaranasy Ulgu Baraye-e Basyar-e Daure-e Mu'asher. Site IQNA (https://iqna.ir/fa/news/3670295/%D9%86%D8%AD%D9%88%D9%87-%D8%A8%D8%B1%D8%AE%D9%88%D8%B1%D8%AF-%D9%BE%DB%8C%D8%A7%D9%85%D8%A8%D8%B1%D8%B5-%D8%A8%D8%A7-%D9%87%D9%85%D8%B3%D8%B1%D8%A7%D9%86%D8%B4-%D8%A7%D9%84%DA%AF%D9%88-%D8%A8%D8%B1%D8%A7%DB%8C-%D8%A8%D8%B4%D8%B1-%D8%AF%D9%88%D8%B1%D9%87-%D9%85%D8%B9%D8%A7%D8%B5%D8%B1-%D8%A7%D8%B3%D8%AA). Diakses tanggal 6 Desember 2017.
  • Qurthubi, Muhammad bin Ahmad. Al-Jāmi' Li Ahkām al-Qur'ān. Tehran: Nasher Khusru, 1364 HS/1986.
  • Sayid Murtadha, Ali bin Husain. Al-Āmālī Li al-Murtadhā. Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1988 H.
  • Syahid Tsani, Zainuddin bin Ali. Al-Raudhah al-Bahiyyah Fī Syarh al-Lum'ah al-Damisyqiyyah. Riset: Sayyid Muhammad Kalantar. Qom: Ketab Furusyi-e Dawari. Cet. 1, 1410 H.
  • Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali. Al-Khishāl. Qom: Entesyarat-e Jame'e-e Mudarrisin-e Qom, 1403 H.
  • Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali. Al-Muqni'. Muassasah al-Hadi 'Alaih as-Salam, 1415 H.
  • Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali. Man Lā Yahdhuruh al-Faqīh. Riset: Ali AKbar Ghaffari. Qom: Daftar-e Entesyarat-e Eslami Wabaste Be Jame'e-e Mudarrisin-e Hauze-e Ilmiyye-e Qom. Cet. 2, 1413 H.
  • Thabathaba'i, Sayid Muhammad Husein. Al-Mīzān Fī Tafsīr al-Qur'ān. Qom: Daftar-e Entesyarat-e Eslami-e Jame'e-e Mudarrisin-e Hauze-e Ilmiyye-e Qom, 1417 H.
  • Waqidi, Muhammad bin Umar. Kitāb al-Maghāzī. Riset: Marsden Jones. Beirut: Muassasah al-A'lami. Cet. 3, 1409 H.