Poligami
Salat Wajib: Salat Jumat • Salat Id • Salat Ayat • Salat Mayit Ibadah-ibadah lainnya Hukum-hukum bersuci Hukum-hukum Perdata Hukum-hukum Keluarga Hukum-hukum Yudisial Hukum-hukum Ekonomi Hukum-hukum Lain Pranala Terkait |
Poligami (bahasa Arab: تعدد الزوجات) berarti seorang pria memiliki beberapa istri dalam satu ikatan pernikahan. Kebolehan poligami dalam syariat Islam merupakan sebuah produk hukum yang sifatnya diakui (imdha'i), dimana dengan berlandaskan pada ayat-ayat dan riwayat-riwayat muktabar serta "sirah qat'i mutasyarri'ah" (telah dipraktikkan oleh kaum muslimin yang hidup di masa maksumin as), dimufakati oleh semua mazhab Islam. Poligami telah dan terus memasyarakat di tengah-tengah umat manusia, juga termasuk hal yang diterima oleh beberapa agama samawi pra Islam.
Dalil paling penting dalam kaitannya dengan hal ini adalah ayat 3 dari surah An-Nisa, dimana berdasarkan ayat ini batas maksimal poligami adalah 4 orang istri dan tentunya dengan syarat bersikap adil terhadap istri-istri.
Kebolehan poligami dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam syariat Islam, berdasarkan atas kemaslahatan individual dan sosial umat manusia dan dengan menilik tabiat, kondisi fisik dan seksualitas laki-laki dan perempuan serta karakter-karakter dan kebutuhan-kebutuhan mereka.
Para penulis muslim telah banyak menelorkan karya-karya tulis berupa buku-buku yang menjelaskan sekaligus memberikan jawaban-jawaban terhadap berbagai keburaman dan kritikan atas produk hukum ini.
Apa itu Poligami?
Poligami secara leksikal berarti seorang laki-laki memiliki beberapa orang istri dan secara hukum, 'urf dan sunnah, merupakan sebuah kondisi yang legal dan termasuk sebuah realitas yang ada dan terus berlangsung di sebagian komunitas umat manusia. [1]
Menurut Murtadha Muthahhari monogami (satu istri) merupakan hal yang paling natural sebuah pasangan suami istri. Dalam monogami yang lebih dominan adalah ruh dan semangat yang sifatnya khusus yakni kepemilikan individual dan privasi dimana tentunya dengan kepemilikan yang lebih khusus untuk sebuah kekayaan yang berbeda. Dalam monogami suami menganggap bahwa perasaan dan kebutuhan seksualnya adalah hanya milik istrinya dan begitu pula istri adalah milik khusus untuk suaminya. [2]
Latar Belakang
Tradisi poligami dalam berbagai komunitas sosial masyarakat memiliki sejarah yang cukup lama dan selalu merupakan sebuah kaidah yang telah membumi. [3] Poligami telah berlaku di kalangan bangsa-bangsa dan kaum yang ada di dunia, seperti Persia kuno, Cina, India dan Mesir[4] dan hal yang diterima oleh berbagai agama samawi pra Islam.
Dalam Al-Kitab
Kitab Taurat mengakui secara resmi hal tersebut, karena dalam kitab Taurat terdapat beberapa ungkapan yang menunjukkan akan kebolehannya, seperti keterangan mengenai kehidupan sebagian nabi dan beberapa tokoh yang dalam kisahnya disinggung mengenai perbuatan pologami mereka. [5] Kebolehan poligami dalam agama Yahudi yang tidak dibatas, berlaku hingga abad ke-11 dan pada abad ini ulama mereka telah melarangnya dan aturan inilah yang berlaku. [6]
Dalam kitab Injil yang empat tidak ditemukan penjelasan dan pemaparan yang jelas tentang kebolehan atau larangan poligami, namun kajian historis menunjukkan kalau sebagian raja-raja Kristen melakukan poligami, [7]kendati pada abad-abad terakhir Gereja telah melarang dan mengharamkannya dan sebagian menganggap bahwa sistem monogami adalah ciri khas umat Kristiani. [8]
Pada Abad Modern
Poligami untuk saat ini masih ada dan merupakan sebuah kaidah di beberapa belahan bumi dan sesuai dengan hasil riset sebagian pakar bahwa pada 67 persen masyarakat berlaku sistem poligami. [9] Namun poliandri (beberapa suami) hanya ada pada sebagian masyarakat tertentu dan pada akhir-akhir ini mulai nampak di sebagian masyarakat terbelakang seperti kabilah-kabilah di Afrika (Konggo dan Nigeria) dan kulit merah Paviosto, Dala yang ada di India dan Cina dan pada sebagian masyarakat lainnya. [10] Poliandri sama sekali tidak diterima dan tidak mendapat legalitas dari syariat dan agama samawi dan juga tidak memasyarakat di bangsa-bangsa yang berperadaban.
Poligami dalam Islam
Dalam Islam, poligami merupakan suatu hal yang diterima dan diakui berdasarkan dalil-dalil ijtihadi Alquran, hadis, ijma' para fuqaha mazhab-mazhab Islam dan telah dipraktikkan oleh kaum muslimin (sirah qat'i). [11]Dalam beberapa ayat Alquran telah disinggung masalah pologami [12]dimana ayat yang paling penting adalah surah An-Nisa ayat 3 yang dalam pandangan para mufasir tenar menganggap bahwa kandungannya berisi tentang kebolehan poligami hingga 4 istri dengan tetap menjaga syarat-syaratnya. [13]Dalam berbagai referensi hadits dari kalangan Syiah dan Ahlusunnat juga menjelaskan persoalan ini. [14]
Beberapa Argumen Fuqaha tentang Kebolehannya
Para faqih dengan melihat ayat-ayat dan riwayat-riwayat, menjelaskan pembahasan ini di bagian paling awal kitab-kitab fikih tetapi hingga abad kelima mereka tidak menerangkan secara argumentatif mengenai kebolehan poligami dan keharaman lebih dari empat istri dan mereka hanya menjelaskan dalam bentuk fatwa semata. [15]Syaikh Thusi (abad kelima) adalah seorang fakih yang paling awal yang berargumen dan beristidlal dengan ijma' dan riwayat terkait pembahasan nikah dalam kitabnya al-Khilāf dan beliau menganggap bahwa dilalah dari ayat tiga surah An-Nisa tidak cukup untuk hukum ini dan paska beliau juga hingga Allamah Hilli, sama sekali tidak lagi disebutkan dalam kitab fikih manapun selain kedua dalil ini dan beliau disamping berargumen dengan ijma' dan riwayat, juga terkait dengan hukum persoalan tersebut bersandar pada ayat ketiga dari surah An-Nisa[16], "Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat."(QS. An-Nisa:3), yakni Allah Swt berbicara kepada kaum muslim laki-laki dan Dia membolehkan mereka untuk menikahi lebih dari satu istri atau berpoligami, dengan syarat mereka mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.[17] Paska Allamah Hilli juga seperti Syahid Tsani dan Muhaqqiq Karaki dan lain-lain berargumen dengan dalil-dalil ini. [18]
Oleh karena itu, para faqih dengan berpegang pada mantuq (redaksi) ayat ini yang menjelaskan kebolehan poligami dan juga terhadap riwayat-riwayat yang tidak membolehkan beristri lebih dari empat, telah membuktikan kebolehan berpoligami. [19] Selain itu, para faqih dan mufassir menganggap ayat ini sebagai argument paling penting terkait batasan maksimal poligami (maksimal 4). [20]
Maslahat Individual dan Sosial
Kebolehan poligami dengan syarat-syarat yang dituturkan oleh syariat Islam, berdasarkan kemaslahatan individual dan sosial umat manusia dan dengan menilik tabiat dan kondisi fisik dan seksual laki-laki dan perempuan serta kekhususan-kekhususan dan juga kebutuhan-kebutuhan mereka. Dengan keberadaan dan eksistensi poligami yang sudah cukup lama berlaku di tengah-tengah umat-umat terdahulu, mayoritas ilmuan dan pakar menganggap bahwa ada banyak faktor yang melatari hal tersebut yang diasumsikan sebagai falsafah poligami antara lain adalah kondisi geografis, air dan udara, masalah ekonomi dan kondisi fisik perempuan dan laki-laki dan juga mereka menganggap bahwa penyakit bulanan kaum hawa dan ketidak siapan mereka untuk dinikmati oleh laki-laki saat sakit (bulanan), mandul, perempuan tidak produktif lagi, sebagai faktor dan alasan menikah lagi dengan wanita lain. [21] Namun yang paling banyak adalah karena meningkatnya kuantitas perempuan atas laki-laki yang merupakan akibat dari banyaknya korban peperangan, berbagai insiden di kalangan laki-laki dan ketahanan tubuh kaum wanita dalam melawan berbagai bentuk penyakit. [22]
Syarat-syarat Poligami
Seluruh agama yang meyakini tentang kebolehan poligami, menawarkan beberapa ketentuan dan syarat. Dalam agama Yahudi, kemampuan finansial seseorang menjadi syarat untuk poligami dan di kalangan umat Yahudi selain kemampuan finansial, ada hal-hal lain yang dianggap sebagai syarat seperti istri pertama mandul atau gila dan bersikap adil terhadap istri-istri. Dalam agama Zoroaster juga ada aturan-aturan semacam ini. [23] Hal yang menjadi syarat-syarat mendasar dalam kacamata seluruh agama adalah adil. Misalnya dalam kitab Taurat disebutkan tentang seorang anak laki-laki yang menikah dengan kanis ayahnya sendiri, pernikahan ulangnya dengan tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban suami istrinya dan memenuhi kebutuhan pangan dan pakaiannya, atau dalam kitab keyakinan Maldive, memerintahkan kepada suami untuk bersikap sama terhadap istri-istrinya. [24]
Para fakih muslim dengan melihat ayat-ayat dan riwayat-riwayat, juga menjelaskan beberapa syarat poligami dalam kitab-kitab Fikih.
- Adil
Satu-satunya syarat yang disepakati oleh seluruh fuqaha sepanjang sejarah dan oleh seluruh mazhab Islam, adalah sikap adil. Mereka dengan bersandar pada surah An-Nisa ayat 3 telah menyebutkan syarat ini dalam berbagai bab-bab kitab Nikah. Kalangan mufasir dan fuqaha menganggap bahwa "Yang demikian itu dapat mencegahmu dengan lebih baik untuk tidak berbuat aniaya." (QS. An-Nisa: 3), sebagai hikmah tasyri' dan mereka meyakini kalau asas disyariatkannya hukum-hukum nikah adalah demi keadilan dan tidak adanya pelanggaran terhadap hak-hak orang lain. [25]
Para mufasir Syiah dan Ahlusunnah menganggap bahwa maksud adil pada ayat yang disebutkan diatas adalah adil dalam sikap eksternal seperti satu ranjang, fasilitas-fasilitas hidup dan nafkah. [26] Dan dalam surah An-Nisa ayat 129 dimana disana disebutkan tentang mustahil bersikap adil terhadap istri-istri, adalah berkenaan dengan hal-hal diluar ikhtiar dan kendali manusia, seperti rasa cinta, karena pada lanjutan ayat disebutkan bahwa karena kalian tidak sanggup bersikap adil terhadap istri-istri, maka jangan kau tujukan kecenderungan hatimu kepada salah satu dari istrimu sehingga yang lain tertinggal. [27]
- Kerelaan Istri
Tidak ada satupun referensi-referensi fikih yang mensyaratkan bahwa suami yang mau menikah kembali harus ada izin dan kerelaan dari istri pertama atau istri-istri sekarang seseorang. Para fuqaha dengan bersandar pada kemutlakan dalil kebolehan poligami, juga tidak mensyaratkan adanya izin dan kerelaan istri pertama untuk kebolehan hukum tersebut, kecuali dalam beberapa hal tertentu seperti menikah dengan keponakan dari istri. Pada hal-hal semacam ini, berdasarkan riwayat-riwayat yang ada[28] izin istri adalah syarat sahihnya pernikahan poligami. [29]
Berlandaskan pada pandangan para fuqaha, jika istri mensyaratkan dalam akad nikahnya bahwa hak talak diwakil atau diserahkan kepadanya (istri) ketika suami hendak menikah dan berpoligami, maka istri bisa menggunakan hak tersebut.[30] Demikian juga, jika pernikahan kembali seorang suami dapat menyebabkan problema kejiwaan berat bagi istri pertama dan membuatnya susah serta tidak sanggup melanjutkan hidup bersama, maka dengan merujuk kepada Hakim Syar'i ia bisa menuntut untuk ditalak. [31]
- Kemampuan Finansial dan Seksual Laki-laki
Dalam literatur-literatur riwayat dan fikih tidak disebutkan syarat-syarat seperti kemampaun keuangan suami dalam memberikan nafkah dan juga kemampuan seksualnya untuk memuaskan istri-istrinya. Dalil-dalil kebolehan poligami dari aspek ini bersifat mutlak. Ketika ketidak mampuan laki-laki pada salah satu dari kedua hal ini dapat menyebabkan kesulitan dan kesusahan bagi para istri, maka menurut keyakinan sebagian fuqaha hal tersebut adalah makruh atau dalam beberapa kasus dianggap haram. [32]
Sebagian fuqaha modern Ahlusunnah menganggap bahwa kemampuan seksual dan finansial adalah syarat poligami, namun menurut mereka hukum ini adalah hukum taklifi dan tidak menyebabkan akad nikah menjadi batal. Satu-satunya faktor yang ketika suami tidak punya kemampuan harta dan seksual, adalah hal tersebut dapat menyebabkan kesusahan dan kesulitan bagi istri. Maka saat itu ini bisa menuntut talak dari pengadilan.[33]
Efek-efek dan Hukum Poligami
Poligami mewujudkan kondisi hak-hak tertentu dimana akan memunculkan efek-efek dan hukum-hukum untuknya dan hal ini akan mempengaruhi hak-hak dan tugas-tugas suami dan istri dan akan berbeda saat dibandingkan dengan hak-hak seorang istri yang hanya memiliki satu pasangan.
Hak Seranjang
Salah satu hak-hak istri adalah hak satu tempat tidur. Ketika seorang laki-laki memiliki beberapa istri maka ia harus membagi rata hak-hak ini. Dalam istilah fikih hak semacam ini disebut Haq Qasam, dalam artian bahwa suami hendaknya membagi waktu-waktu malamnya dengan para istrinya. [34]Dan jika seorang laki-laki memiliki empat orang istri maka setiap malam ia harus menemani salah satu diantara mereka.
Para fakih Syiah dan Ahlusunnah terkait dengan dasar wajibnya Qasam, memiliki pandangan yang sama. Syaikh Mufid adalah fakih yang paling pertama yang membuat satu bab bernama Qasam dalam kitab Nikah dan menjelaskannya[35] dan para fuqaha berikutnya mengikuti jejak beliau. [36] Juga terdapat banyak riwayat yang menunjukkan hal tersebut. [37]
Warisan para Istri
Dalam kacamata para fuqaha, bagian warisan suami dan istri memiliki ukuran yang cukup jelas dari harta yang ditinggal sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surah An-Nisa ayat 11 dan 12. [38] Jika suami tidak memiliki anak maka bagian untuk istri daim-nya adalah seperempat dari harta yang ditinggalkan dan apabila mempunyai anak maka bagiannya adalah seperdelapan dari harta yang ditinggal dan bahkan jika seorang laki-laki memiliki beberapa istri, warisan mereka tetap tidak bertambah dan sebanyak itulah (seper delapan) yang dibagi rata kepada istri-istrinya.[39]
Pengharaman Istri Kelima
Menurut pandangan fuqaha seluruh mazhab-mazhab Islam dan berdasarkan ke-daruratan ajaran agama, tidak boleh dan haram menikahi secara daim lima orang wanita. [40] Sumber dan dasar utama hukum ini adalah ayat 3 dari surah An-Nisa dan riwayat-riwayat yang dinukil dalam referensi-referensi hadits Syiah dan Ahlusunnah;[41] misalnya Jamil bin Darraj menukil bahwa Imam Shadiq as memerintahkan kepada seorang laki-laki yang hendak menikahi lima orang wanita sekaligus dalam satu akad untuk membebaskan (tidak menikahi) salah satu dari mereka yang diinginkan dan menikahi empat orang sisanya.[42] Dan juga dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa salah seorang sahabat tatkala mau masuk Islam ia memiliki 10 istri. Rasulullah saw memintanya untuk tetap memiliki 4 orang istri dan menceraikan sisanya.[43]
Berdasarkan pandangan populer fuqaha Syiah, hukum ini hanya berlaku khusus untuk nikah Daim dan dalam nikah Mut'ah tidak dibatasi jumlahnya. [44]
Problema Poligami
Poligami Menafikan Hak-hak Istri
Diantara kritikan dan problema atas diterimanya poligami dalam Islam adalah bahwa persoalan ini tidak selaras dengan prinsip dan dasar persamaan hak-hak wanita dan laki-laki (yakni persamaan keduanya dalam sisi kemanusiaan). Kritikan ini bersumber dan berdasarkan pada analisa yang mengatakan bahwa kebolehan poligami itu demi memenuhi kebutuhan seksual laki-laki, padahal poligami dibolehkan berdasarkan ragam kemaslahatan individual dan sosial dan kebolehan semacam ini sama sekali tidak berarti mengesampingkan hak-hak wanita. Bahkan dalam beberapa kasus, keharusan memenuhi hak-hak wanita adalah seorang suami harus menikah lagi. [45] Disamping itu, dalam Islam cukup ditekankan untuk menjaga hak-hak kemanusiaan kaum hawa, seperti berlaku adil diantara istri-istri.
Poligami sebab Menjamurnya Penuhanan Nafsu Seks
Diantara problem paling penting dari poligami adalah kebolehannya telah menimbulkan perbuatan menuhankan nafsu seks. Dalam masalah ini banyak penulis Barat mengambil contoh dan bukti dari adanya tempat-tempat haram (maksiat) dalam kehidupan para penguasa dan raja-raja muslim, namun menurut para peneliti muslim bahwa kait-kait (syarat-syarat) yang disebutkan dalam Islam untuk poligami akan membatasi kebebasan laki-laki seks mania. Secara mendasar pendidikan dan tarbiyah agama dibangun untuk menjaga kesucian, malu dan demi mengontrol hawa nafsu.
Disamping itu, perbuatan-perbuatan tidak layak kalangan laki-laki muslim tidak bisa dinisbatkan kepada Islam. [46]Terlepas dari hal-hal ini, betapa banyak hal-hal yang berkaitan dengan kerusakan yang ditimbulkannya itu hanyalah sebuah cerita hiperbolik. Jikalau statistik poligami di tengah-tengah masyarakat Islam ada di tangan dan dibandingkan dengan pemandangan kerusakan dan kekejian yang ada di negara-negara Barat, maka hal itu tidaklah sebanding. Sebagai contoh di Mesir pada tahun 1948 M hanya sekitar 3 % yang berpoligami dan statistik ini di Suriah pada tahun 1948 M hanya sekitar 1 %.[47]
Catatan Kaki
- ↑ Abdi Pur, hlm. 8.
- ↑ Muthahhari, Majmue-e Ātsār, jld. 19, hlm. 299.
- ↑ Durant, Tarikh Tamaddun, hlm. 5.
- ↑ Montesquieu, Ruh al-Qawānin, hlm. 434-435.
- ↑ Farhat, Ta'addud al-Zaujat fi al-Adyan,hlm. 11-13; Zuhaili, Ta'addud al-Zaujat fi al-Islam, hlm. 7.
- ↑ Liham, Ta'addud al-Zaujat, hlm. 28.
- ↑ Montesquieu, Ruh al-Qawanin, hlm. 434; Liham, Ta'addud al-Zaujat, hlm. 29.
- ↑ Abdul Fattah, Ta'addud al-Zaujat fi al-Islam, hlm. 359; Liham, Ta'addud al-Zaujat, hlm. 29
- ↑ Dirin, Rohi be Suye Mardum Syenasi, hlm. 70.
- ↑ Montesquieu, hlm. 434-435.
- ↑ Najafi, Jawāhir al-Kalaām, jld.30, hlm. 2; Karaki, Jāmi' al-Maqāshid, jld. 12, hlm. 373; Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jld. 5, hlm. 7; Muthahhari, Majmue-e Atsār, jld. 19, hlm. 303, 357
- ↑ Lihat: surah At-Tahrim: 1; surah Al-Ahzab: 32 dan 50
- ↑ Syaikh Mufid, al-Muqni'ah, hlm. 517; Thabathbai, al-Mizan, jld. 4, hlm. 166-167
- ↑ Hurr Amili, Wasail al-Syiah, jld. 14, hlm. 398; Baihaqi, al-Sunan al-Kubra jld. 17, hlm. 181-182.
- ↑ Abdi Pur, Ta'addud Zaujat, hlm. 11
- ↑ Abdi Pur, Ta'addud Zaujat, hlm 11
- ↑ Allamah Hilli, Mukhtalaf al-Syiah, jld. 7, hlm. 82
- ↑ Karaki, Jami' al-Maqashid, 1411 H, jld. 12, hlm. 374; Thabathabai, Riyadh al-Masail, 1412 H, jld. 10, hlm. 217; Najafi, Jawahir al-Kalam, 1367 HS, jld. 30, hlm. 3.
- ↑ Allamah Hilli, Qawaid al-Ahkam 1419 H, jld. 7, hlm. 347; Thabathabai,Riyadh al-Masail, 1412 H, jld. 10, hlm. 217.
- ↑ Syaikh Mufid, Al-Muqni'ah, 1410 H, hlm. 46.
- ↑ As-adi, Khanivadeh wa Huquq, 1387 HS, hlm. 316-323; Thabathabai, Ta'addud Zaujat wa Maqame Zan dar Islam, hlm. 40; Zuhaili, Ta'addud al-Zaujat fi al-Islam, 2000 M, jld.9, hlm. 6670-6673.
- ↑ Muthahhari, Majmue-e Atsar, 1377 HS, jld.19, hlm. 333-334.
- ↑ Muthahhari, Majmue-e Ātsār, 1377 HS, hlm. 337, 340-341.
- ↑ Montesquieu, 1349 HS, hlm. 347-348.
- ↑ Thabathabai, 1393 H, jld. 4, hlm. 182; Zuhaili, Ta'addud al-Zaujāt fi al-Islam, hlm. 25
- ↑ Thabrisi, Majma' al-Bayan, 1415 H, jld. 3, hlm. 11; Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, 1374 HS, jld. 3, hlm. 255.
- ↑ Mufid, 1410, jld. 7, hlm. 491; Thabrisi, 1365 HS, jld. 7, hlm. 421; Thabathabai, 1412 H, jld. 5, hlm. 101.
- ↑ Thusi, Tahdzib al-Ahkām, 1365 HS, jld. 7, hlm. 332.
- ↑ Syahid Tsani, al-Raudhah al-Bahiyah, 1410 H, jld. 7, hlm. 289; Najafi, Jawāhir al-Kalam, 1367 HS, jld. 29, hlm. 357.
- ↑ Imam Khumaini, Tahrir al-Wasilah, 1390 HS, jld. 2, hlm. 302-303.
- ↑ Butir 13 Hukum perdata Iran
- ↑ Najafi, Jawāhir al-Kalam, 1367 HS, jld. 29, hlm. 35-36; Khu'i, Mabāni al-Urwah al-Wutsqa, 1404 H, jld. 1, hlm. 12-13.
- ↑ Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1418 H, jld. 9, hlm. 6670.
- ↑ Muhaqqiq Hilli, Syarāyi' al-Islam, 1409 H, jld. 2, hlm. 566; Najafi, Jawāhir al-Kalam, 1367 HS, jld. 31, hlm. 148
- ↑ Mufid, al-Muqni'ah, 1410 H, hlm. 516.
- ↑ Sallar, 1414 H, hlm. 155; Ibnu Idris, 1410 H, jld. 2, hlm. 607; Bahrani, 1376 HS, jld. 24, hlm. 588; Anshari, 1415 H, hlm. 470-471; Jaziri, 1420 H, jld. 4, hlm. 228.
- ↑ Bahrani, al-Hadāiq al-Nādhirah, jld. 24, hlm. 588-589; Hurr Amili, Wasāil al-Syiah, 1403 H, jld. 15, hlm. 80.
- ↑ Mufid, 1410 H, hlm. 687; Najafi, 1367 HS, jld. 39, hlm. 196.
- ↑ Imam Khomaini, Tahrir al-Wasilah, jld. 2, hlm. 396-397
- ↑ Allamah Hilli, 1419 H, jld. 3, hlm. 41; Karaki, 1411 H, jld. 12, hlm. 373; Syahid Tsani, 1413 H, jld. 7, hlm. 347.
- ↑ Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, 1376 H, jld. 7, hlm. 181-184; Ibnu Qudamah, al-Mughni, 1416 H, jld. 7, hlm. 436; Hurr Amili, Wasāil al-Syiah, 1403 H, jld. 14, hlm. 399-404.
- ↑ Hurr Amili, Wasail al-Syiah, jld. 14, hlm.403
- ↑ Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, jld. 7, hlm.181
- ↑ Karaki, 1411 H, Jāmi' al-Maqāshid, jld. 12, hlm. 379; Syahid Tsani, Masālik al-Afhām, 1413 H, jld. 7, hlm. 348; Najafi, Jawāhir al-Kalam, 1367 HS, jld. 30, hlm. 8.
- ↑ Silakan merujuk: Thabathabai, Al-Mizān, jld. 4, hlm. 189-190; Muthahhari, Majmue-e Ātsār, hlm. 349.
- ↑ Silakan merujuk: Thabathabai, al-Mizān, jld. 4, hlm. 189-190; Muthahhari, Majmue-e Ātsār, hlm. 349.
- ↑ Silakan merujuk: Zuhaili, jld. 7, hlm. 173; Referensi bagian makalah ini: http://lib.eshia.ir/23019/7/3619.
Daftar Pustaka
- Ibnu Idris Hilli, Muhammad, Kitāb al-Sarā'ir, Qom: Muassasah Nasyr-e Islami, 1410 H.
- Ibnu Barraj, Abdul Aziz. Al-Muhadzdzab. Qom: Nasyr Islami, 1406 H.
- Ibnu Hamzah, Muhammad bin Ali. Al-Wasīlah Ilā Nail al-Fadhīlah. Qom: Maktabah Ayatullah Najafi, 1408 H.
- Ibnu Zuhrah, Sayid Hamzah bin Ali. Ghun-yah al-Nuzū'. Qom: Muassasah Imam Shadiq as, 1417 H.
- Ibnu Arabi, Muhammad bin Abdullah. Ahkām Alquran. Riset: Muhammad Abdul Qadir Atha, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1416 H.
- As'adi, Sayid Hasan. Khānevādeh va Huqūq-e ān (Keluarga dan Hak-haknya). Masyhad: Be Nasyr, 1387 HS.
- Anshari, Murtadha. Kitāb al-Nikāh. Qom: al-Mu'tamar al-'Alami, 1415 H.
- Bahrani, Yusuf. Al-Hadā'iq al-Nādhirah. Qom: Muassasah al-Nasyr al-Islami, Tanpa Tahun.
- Baihaqi, Ahmad bin Husain. Al-Sunan al-Kubrā. Beirut: Dar al-Fikr, 1376 H.
- Jaziri, Abdurrahman. Al-Sunnah Ta'addud al-Zaujāt. Majallah al-Azhar, No. 9, 1360 H.
- Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh 'alā al-Mazāhib al-Arba'ah. Riset: Ibrahim Muhammad Ramadhan. Beirut: Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, 1420 H.
- Jauhari, Ismail bin Hammad. Al-Shihāh Tāj al-Lughah wa Shihāh al-'Arabiyah. Riset: Ahmad Abdul Gafur al-'Aththar. Beirut: Dar al-'Ilm al-Malayin, 1407 H.
- Hamid, Abu Zaid Nashr. Dawā'ir al-Khauf. Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-'Arabi, tanpa tahun.
- Hubabi, Muhammad Aziz. Wadh' al-Mar'ah. Majallah Da'watul Haq, No. 6-7, 1388 H.
- Hurr Amili, Muhammad bin Hasan. Wasā'il al-Syī'ah. Riset: Rabbani Syirazi. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, 1403 H.
- Khu'i, Sayid Abul Qasim. Mabānī al-'Urwah al-Wutsqā (Kitab al-Nikah). Al-Najaf al-Asyraf: Madrasah Dar al-'Ilm, 1404 H.
- Khu'i, Sayid Abul Qasim. Minhāj al-Shālihīn. Qom: Nasyr Madinah al-'Ilm, 1410 H.
- Durant Weil. Tārīkh-e Tamaddun (Sejarah Peradaban). Teheran: Instisyarat-e Amuzesy-e Inqilab-e Islami, cet. III, 1370 HS.
- Dirin Khalil. Rāhī be suye Mardumsyenāsī (Jalan Menuju Pengenalan Masyarakat). Syiraz: tanpa penerbit, cet. I, 1366 HS.
- Rasyid Ridha, Muhammad. Tafsīr Alquran al-Hakīm. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1420 H.
- Ruhani, Sayid Muhammad. Minhāj al-Shālihīn. Kuwait: Maktabah al-Fain, 1414 H.
- Zuhaili, Wahbah dan Mushthafa al-Bagha dan Hannan Liham. Ta'addud al-Zaujāt fī al-Islām. Riset: Muhammad al-Jasy. Damaskus: Dar al-Hafizh, 2000 M.
- Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr, 1418 H.
- Zaidan, Jorji. Tārīkh Tamaddun Islām. Penerjemah: Ali Jawahir Kalam. Teheran: Amir Kabir, 1382 HS.
- Sabiq, Sayid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar Al-Kutub al-'Arabi, tanpa tahun.
- Sallar bin Abdul Aziz. Al-Marāsim al-'Alawiyah. Qom: Mathba'ah Amir, 1414 H.
- Sistani, Sayid Ali. Minhāj al-Shālihīn. Qom: Maktabah Ayatullah al-'Uzhma al-Sayid al-Sistani, 1414 H.
- Syayan-e Mehr, Ali Ridha. Dā'irah al-Ma'ārif Tathbīqī 'Ulūm Ijtimā'ī (Ensiklopedia Komparatif Ilmu-ilmu Sosial). Intisyarat Kaihan, 1377 HS.
- Syubairi, Sayid Musa. Nikāh (Transkrif Pelajaran). Qom: Muassasah Pezuhesy Ra'yi Pardaz, 1378 HS.
- Syahid Tsani, Zainuddin Amili. Al-Raudhah al-Bahiyah. Qom: Intisyarat Dawari, 1410 H.
- Syahid Tsani, Zainuddin Amili. Masālik al-Afhām. Qom: Muassasah al-Ma'arif al-Islamiyah, 1413 H.
- Thabathabai Yazdi, Sayid Muhammad Kazhim. Al-'Urwah al-Wutsqā. Qom: Nasyr Islami, 1417 H.
- Thabathabai, Sayid Ali. Riyādh al-Masā'il. Qom: Nasyr Islami, 1412 H.
- Thabathabai, Sayid Muhammad Husain. Al-Mīzān fī Tafsīr Alquran. Qom: Nasyr Islami, 1393 H.
- Thabathabai, Sayid Muhammad Husain. Ta'addud-e Zaujāt va Maqām-e Zan dar Islām. Qom: Intisyarat-e Azadi-e Zan, tanpa tahun.
- Thabrisi, Fadhl bin Hasan. Majma' al-Bayān fī Tafsīr Alquran. Riset: Sejumlah Peneliti. Beirut: Muassasah al-A'lami, 1415 H.
- Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Mabsūth. Teheran: al-Mathba'ah al-Haidariyah, 1378 H.
- Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Nihāyah-fī Mujarrad al-Fiqh wa al-Fatāwā. Qom: Intisyarat Quds Muhammadi, tanpa tahun.
- Thusi, Muhammad bin Hasan. Tahdzīb al-Ahkām. Riset: Sayid Hasan Musawi Khurasan. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1365 HS.
- Abdul Fattah, Abdul Mushannif Mahmud. Ta'addud al-Zaujāt fī al-Islām. No. 4, 1408 H.
- Abduh, Muhammad. Al-A'māl al-Kāmilah. Riset: Muhammad Imadah. Beirut: Dar al-Syuruq, 1419 H.
- Allamah Hilli, Hasan bin Yusuf. Mukhtalaf al-Syī'ah. Qom: Muassasah Nasyr Islami, 1418 H.
- Alawi Nezad, Haidar. Ruikard-hay-e Rausyanfikry be Mas'aleh Zan dar Qur'an". Majallah Pezuhesy-hay-e Qur'ani, No. 25, 1380 HS.
- Farahidi, Khalil bin Ahmad. Al-'Ain. Riset: Mahdi Makhzumi. Qom: Muassasah Dar al-Hijrah, 1409 H.
- Fadhlullah, Sayid Muhammad Husain. Islām, Zan va Kankāsyi Nevin (Islam, Wanita dan Konsultasi Moderen). Majallah Peyam-e Zan, penerjemah: Majid Muradi, No. 9, 1374 HS.
- Fadhlullah, Sayid Muhammad Husain. Tafsīr Min Wahy Alquran. Beirut: Dar al-Malak Liththaba'ah wa al-Nasyr, 1419 H.
- Qutb Rawandi, Sa'id bin Hibatullah. Fiqh Alquran. Qom: Maktabah Ayatullah al-Mar'asyi, 1405 H.
- Al-Kitab. Penerjemah: Fadhil Khan Hamadani. Teheran: Intisyarat Asathir, 1380 HS.
- Karaki, Ali bin Husain. Jāmi' al-Maqāshid. Qom: Muassasah Ali al-Bait Li-Ihya al-Turats, 1411 H.
- Liham, Syakir. Ta'addud al-Zaujāt. Damaskus: Dar al-Taufiq, 1422 H.
- Muhaqqiq Hilli, Ja'far bin Hasan. Syarāyi' al-Islām Teheran: Intisyarat Istiqlal, 1409 H.
- Muthahhari, Murtadha. Majmū'ah Ātsār Syahīd Muthahharī. Teheran: Shadra, 1377 HS.
- Mufid, Muhammad bin Muhammad. Al-Muqni'ah. Qom: Muassasah Nasyr Islami, 1410 H.
- Makarim Syirazi, Nashir. Tafsir Nemuneh. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1374 HS.
- Montesquieu. Rūh al-Qawānīn. Penerjemah: Ali Akbar Muhtadi. Teheran: Intisyarat Amir Kabir, 1349 HS.
- Mehrizi, Mahdi. Syakhshiyat va Huqūq-e Zan dar Islām (Kepribadian dan Hak-hak Wanita dalam Islam). Teheran: 'Ilmi va Farhanggi, 1386 HS.
- Musawi, Khumaini, Sayid Ruhullah. Tahrīr al-Wasīlah. Najaf: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1390 H.
- Najafi, Muhammad Hasan. Jawāhir al-Kalām. Riset: Quchani. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1367 HS.