Kemaksuman para Nabi

Prioritas: b, Kualitas: a
Dari wikishia
Syiah
Ushuluddin (Aqaid)
Akidah UtamaTauhidKenabianMa'adKeadilanImamah
Akidah lainnyaKeterjagaanIlmu GaibWilayahMahdiismeKegaiban Imam Zaman Penantian Imam ZamanKemunculan Imam Mahdi asRaj'ahBada
Cabang Agama (Hukum-hukum Praktis)
Hukum PeribadatanSalatPuasaKhumusZakatHajiJihad
Hukum Non PeribadatanAmar Makruf dan Nahi MungkarTawalliTabarri
sumber-sumber IjtihadKitabSunahAkalIjma'
Akhlak
Kutamaan-keutamaanMengontrol MarahDermawanTawakal
Kehinaan-kehinaanSombongRiyaGibahHasud
Sumber-sumberAlquranNahjul BalaghahShahifah SajjadiyahMi'raj al-Sa'adahBuku-buku Lainnya
Masalah-masalah yang menantang
Suksesi NabiSyafa'atTawasulTaqiyyahBerdukaMutahKeadilan Sahabat
Tokoh-tokoh
Imam-Imam SyiahImam Ali asImam Hasan asImam Husain asImam Sajjad asImam Baqir asImam Shadiq asImam Kazhim asImam Ridha asImam Jawad asImam Hadi asImam Hasan Askari asImam Mahdi as
SahabatHamzahJa'far bin Abi ThalibSalmanMiqdadAbu DzarAmmarMalik al-AsytarMuhammad bin Abu BakarAqilUtsman bin HunaifAbu Ayyub al-Anshari

Para Wanita:

KhadijahFatimah az-Zahra saZainabUmmu Kultsum AsmaUmmu AimanUmmu Salamah
UlamaSastrawanPujanggaFukahaFilosofMufassir
Tempat-tempat Ziarah
Masjidil HaramMasjid NabawiBaqiMasjidil AqshaHaram Imam Ali asMasjid KufahHaram Imam HusainHaram KazhimainHaram AskariyainHaram Imam RidhaHaram Sayidah Maksumah saHaram Sayidah Zainab sa
Festival Keagamaan
Idul FitriIdul KurbanIdul GhadirHari raya Mab'ats
Acara Berkabung
Acara Berduka Muharram10 hari MuharramTasu'aHari Asyura10 hari ShafarArbainHari-hari Fatimiyah
Peristiwa-peristiwa
MubahalahPeristiwa Ghadir KhumPeristiwa SaqifahPeristiwa FadakPeristiwa Penyerangan Rumah Fatimah saPerang JamalPerang SiffinPerang NahrawanPeristiwa Karbala
Buku-buku
al-Istibsharal-KafiTahdzib al-AhkamMan La Yahdhuruhu al-FaqihBihar al-AnwarBuku-buku
Aliran-aliran Syiah
ImamiyahIsmailiyahZaidiyahKaisaniah


Kemaksuman para Nabi (bahasa Arab: عصمة الأنبياء) adalah keyakinan bahwa para nabi terjaga dari semua jenis dosa, keburukan dan kejahatan dan juga terbebasnya mereka dari kesalahan dalam menerima dan menyampaikan wahyu. Kemaksuman para nabi adalah salah satu prinsip umum agama, namun terkait bagaimana dan tingkat kemaksuman terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Ulama Islam sepakat dan meyakini bahwa para nabi bersih dari kesyirikan dan kekufuran dan juga dalam menerima dan menyampaikan wahyu terjaga dari kesalahan, namun mengenai apakah kemaksumannya juga termasuk dosa-dosa lain atau kesalahan dalam urusan kehidupan sehari-hari, terjadi perbedaan pendapat. Mayoritas berpendapat, bahwa para nabi maksum dalam kedua perkara tersebut.

Sumber kemaksuman para nabi diyakini merupakan anugerah dari Allah swt ataupun ilmu mereka yang mendalam sehingga mengetahui dengan pasti mengenai ketaatan dan dosa. Yang pertama tidak bisa dipelajari, sementara yang kedua tidak dikalahkan oleh nafsu.

Dalam Alquran, tidak terdapat ayat yang menyebutkan secara eksplisit mengenai kemaksuman para nabi, namun para ahli tafsir menggunakan sejumlah ayat sebagai dalil, misalnya ayat 36 surah Al-Baqarah, terkait mengenai peristiwa pengusiran Nabi Adam as dan Hawa sa dari surga. Para teolog muslim untuk menguatkan argumentasinya mengenai kemaksuman para Nabi, menggunakan dalil rasional seperti dalil kepercayaan kepada para Nabi. Meski demikian, mereka juga menggunakan dalil dari Alquran, seperti ayat 7 surah Al-Hasyr.

Sementara kelompok yang tidak sependapat dengan kemaksuman para nabi menggunakan ayat-ayat Alquran yang tampak tidak sejalan dengan kemaksuman semua nabi atau sebagian dari mereka. Dalam menjawab pandangan mereka disebutkan bahwa ayat tersebut adalah ayat-ayat mutasyabihat dan untuk memahaminya harus merujuk kepada aya-ayat muhkamat. Demikian pula, ayat-ayat yang tampak tidak sesuai dengan kemaksuman dapat diartikan sebagai bentuk meninggalkan yang lebih utama yangmana memiliki pengertian yang berbeda dengan makna kesalahan dan dosa secara umum.

Defenisi

kemaksuman para nabi adalah terjaganya para nabi dari berbagai keburukan dan kejahatan [1] dan juga terbebasnya mereka dari kesalahan baik dalam menerima maupun dalam menyampaikan wahyu. [2] Kemaksuman para nabi adalah karakteristik batiniah yang menyebabkan mereka mampu dengan mudah mengenali dan membedakan antara perbuatan baik dengan perbuatan buruk. [3]

Dalam tradisi Islam, untuk menjelaskan makna kemaksuman para nabi digunakan istilah tanzih[4], taufik, shiddiq dan amanah. [5]

Kedudukan dan Peran

Kemaksuman para nabi yang terkait dengan wahyu adalah salah satu prinsip umum agama yang semua sepakat meyakininya. [6] Perbedaan pendapat diantara cendekiawan agama-agama Ilahi terjadi pada apa dan tingkatannya, termasuk perbedaan pendapat yang terjadi antara mutakallimin umat Islam. [7]

Sebagian berpendapat kemaksuman para nabi telah diterima dikalangan umat Islam di awal kemunculan Islam. Seperti contoh, dilaporkan khalifah pertama dalam memuliakan Nabi Muhammad saw, ia meyakini Nabi saw maksum dari kesalahan. [8] Demikian pula dinukil dari Imam Ali as, ketika menjelaskan mengenai kedudukan anbiya', ia menggunakan kata kemaksuman. [9] Oleh karena itu, sebagian dari peneliti memasukkan istilah 'Ishmat (kemaksuman) sebagai istilah-istilah kalam ketika ilmu kalam mulai berkembang dan juga pada periode keimamahan Imam Shadiq as. [10]

Dalam Alquran tidak terdapat ayat yang menjelaskan secara langsung mengenai kemaksuman para nabi [11] namun para ahli tafsir menjelaskan adanya dalil kemaksuman ketika menafsirkan sejumlah ayat. Ayat 36 surah Al-Baqarah [12], ayat 23 surah Al-A'raf dan ayat 121 dari surah Thaha mengenai kisah nabi Adam as dan Hawa yang ketika berhadapan dengan Iblis, ayat 22 surah Ali Imran mengenai terpilihnya sebagian dari para nabi dan demikian pula ayat 3 sampai 5 surah An-Najm mengenai Nabi Muhammad saw yang semua perkataan dan tindak tanduknya sesuai dengan petunjuk wahyu bukan berasal dari hawa nafsu dan keinginannya sendiri, adalah diantara ayat yang digunakan untuk menguatkan argumentasi mengenai kemaksuman para nabi. [13]

Sumber Kemaksuman

Khusus mengenai apa yang menyebabkan kemaksuman para nabi, terdapat beberapa pandangan yang berbeda. Syekh Mufid dan Syekh Murtadha menilai kemaksuman para nabi tersebut adalah kelembutan Allah swt untuk mereka karena memang telah menjadi hak mereka. [14] Sayid Murtadha dalam pendapatnya yang lain, bersama dengan Syekh Thusi dan Ibnu Maitsam Bahrani menyebutkan kemaksuman nabi bersumber dari karakter pribadi yang bersifat batiniah dari para nabi sehingga tidak memiliki kemampuan untuk melakukan dosa, sehingga dengan itu mereka tidak akan terjebak untuk melakukan dosa.

Sementara menurut Allamah Thabathabai, sumber kemaksuman para nabi adalah pengetahuan yang mendalam [15] terhadap ketaatan dan dosa, yang pengetahuan tersebut; pertama bukan dari sesuatu yang bisa dipelajari dan kedua, tidak bisa terkalahkan oleh syahwat. [16] Mulla Shadra juga berpendapat kemaksuman para nabi bersumber dari mahabbah Ilahi, yaitu Allah swt akan memberikan kemaksuman kepada hamba-hamba-Nya yang saleh melalui kekuatan wahm -kekuatan yang bisa berhadapan dengan was-was syaitan- menjadi kekuatan akal. [17]

Ruang Lingkup

Kemaksuman para nabi memiliki beberapa bentuk dan tingkatan, yaitu: kemaksuman dari kesyirikan dan kekufuran, keterjagaan dalam mendapatkan dan menyampaikan wahyu, keterhindaraan dari dosa besar dan kecil serta keterbebasan dari kesalahan dalam urusan sehari-hari.

Para pemikir Islam khusus pada tingkatan pertama dan kedua memiliki kesepakatan dan kesamaan pendapat. Semua meyakini para nabi sebelum dan sesudah mendapatkan nubuwah tidak pernah melakukan kesyirikan dan kekufuran dan tidak akan melakukannya. [18] Demikian pula mutakallimin Syiah dan Sunni meyakini para nabi dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu jauh dari pengkhianatan [19] baik sengaja atau tidak dan juga suci dari kesalahan. [20] Namun Qadhi Abd al-Jabbar, seorang pemikir Mu'tazilah pada abad ke-5 H berpendapat, Nabi bisa saja melakukan kesalahan yang tidak disengaja dalam penyampaian risalahnya. [21]

Khusus untuk bentuk kemaksuman yang ketiga antara mutakallimin Syiah terdapat ijma'. [22] Yaitu, mereka meyakini bahwa para nabi terbebas dari dosa baik kecil maupun besar. [23] Hanya Syekh Mufid sendiri yang berpandangan bahwa dosa kecil yang tidak disengaja mungkin saja dilakukan oleh nabi sebelum mereka diangkat menjadi nabi. [24]

Sementara untuk bentuk keempat, yaitu keterjagaan dari kesalahan dalam urusan duniawi (urusan sehari-hari), ulama Syiah menyepakati baik dalam ucapan maupun tindakan para nabi dalam urusan pribadi dan sosial juga terbebas dari kesalahan. [25]Syekh Shaduq dengan bersandar pada riwayat Dzu al-Syimalain [26] berpendapat bahwa nabi bisa saja melakukan kesalahan tanpa sengaja bahkan menyebut bahwa aqidah yang menyebut nabi tidak mungkin pernah salah adalah ghuluw (berlebihan). [27] Mengenai ketidaksengajaan Nabi Muhammad saw melakukan kesalahan terdapat pada riwayat dalam kitab Ushul al-Kafi. [28]

Allamah Thabathabai juga berkeyakinan antara wahyu dan memberi petunjuk pada umat tidak ada kaitannya, dan keluar dari pembahasan mengenai 'ishmat. Ia berkata dikecualikan untuk Nabi Muhammad saw dengan dalil fadhilah khusus Ilahiah dengan bersandar pada sejumlah ayat Alquran, nabi-nabi yang lain dalam kehidupan sehari-hari pernah melakukan kesalahan dan kealfaan seperti misalnya, kealfaan Nabi Adam as dari janjinya, permintaan Nabi Nuh as untuk anaknya diselamatkan dari badai topan, perginya Nabi Yunus as dengan kemarahan saat meninggalkan ummatnya dan penilaian yang salah Nabi Musa as atas Nabi Harun as terkait penyembah sapi dari kalangan Bani Israel. [29]

Kolerasi antara Kemaksuman dengan Ikhtiar

Sebagian kelompok meyakini bahwa kemaksuman dan ikhtiar adalah dua hal yang kontradiktif sehingga dengan alasan ini mereka mengingkari kemaksuman para nabi. Sementara yang lain berpendapat kemaksuman para nabi adalah jabr (keterpaksaan). [30] Untuk kelompok yang terakhir mengajukan argumentasi bahwa setiap manusia telah memiliki kelaziman untuk melakukan kesalahan dan dosa. Seberapapun kerasnya berusaha, pada beberapa tempat akan melakukan kesalahan. Oleh karena itu ketika seorang manusia mencapai maqam kemaksuman pasti karena ada peran faktor luar. Kelompok ini untuk menguatkan pendapatnya bahwa kemaksuman para nabi adalah keterpaksaan mereka bersandar pada sejumlah ayat Alquran. [31]

Diantaranya, ayat 46 surah Shad yang memuat kata أَخْلَصْنَٰهُم yang artinya kami menganugerahkan kepada mereka kesucian. Demikian pula mereka bersandar pada Ayat Tathir sehingga berkesimpulan bahwa Allah swt sendiri yang mensucikan beberapa orang tertentu dari kesalahan dan dosa. [32]

Berbeda dengan pendapat tersebut, Allamah Thabathabai berpendapat bahwa Allah swt telah memberikan pengetahuan kepada para Nabi sehingga mereka memahami batin dari dosa itu. Oleh karena itu, dengan mereka memahami keburukan dari dosa tersebut, maka mereka menjauhinya, bukan melalui keterpaksaan. Allamah Thabathabai mengibaratkan pengetahuan para nabi terhadap dosa sama dengan pengetahuan manusia lainnya terhadap bahaya racun yang terdapat pada makanan sehingga ia menghindari makanan tersebut. [33]

Ja'far Subhani juga menulis bahwa kedudukan kemaksuman diberikan kepada maksumin atas kehendak-Nya dan sejumlah ayat menegaskan hal tersebut karena kasih sayang Allah. Namun proses untuk mencapai maqam kemaksuman harus dilalui melalui kesungguhan dan perlawanan melawan hawa nafsu sehinggga antara kemaksuman dengan ikhtiar dapat dipadukan. [34]

Argumentasi-Argumentasi

Argumentasi-argumentasi kemaksuman para Nabi ada dua kategorisasi, dalil akal dan dalil naqli.

Argumentasi Akal

Poin terpenting dari dalil akal atas kemaksuman para nabi adalah untuk mendapatkan kepercayaan umat. [35] Menurut dalil ini yang kemudian dikenal dengan nama dalil kepercayaan, [36] jika amal para nabi tidak sesuai dengan perkataan mereka, maka kepemimpinan dan kenabian mereka akan ditolak oleh umat. [37]

Argumentasi akal yang lain, jika para nabi tidak memiliki kemaksuman maka dapat menimbulkan keraguan dalam penyampaian syariat. Disebutkan, dengan adanya kewajiban taat pada para nabi, dan jika mereka melakukan dosa, maka apakah dalam kondisi tersebut, umatnya juga harus tetap taat atau tidak? jika tetap harus ditaati maka terjadi aib dalam syariat, sementara para nabi harus memberi petunjuk dan bimbingan pada umat. Namun juga tidak ditaati, maka terjadi perendahan pada misi para nabi. [38]

Argumentasi Naqli

Yang termasuk cakupan argumentasi naqli adalah ayat Alquran dan riwayat. Menurut para mufassir sejumlah ayat dapat digunakan untuk mendukung argumentasi kemaksuman para nabi. Allamah Thabathabai menyebutkan diantaranya yaitu, ayat 64, 69 dan 165 dari surah An-Nisa, ayat 90 surah Al-An'am dan ayat 17 surah Al-Kahfi. [39]

Pada ayat 17 surah al-Kahfi مَن يَهْدِ ٱللَّهُ فَهُوَ ٱلْمُهْتَدِ artinya Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk. Menurut Allamah Thabathabai, ayat ini menjelaskan bahwa setiap jenis dosa akan menghalangi datangnya hidayah, sehingga setiap dosa akan mendatangkan kesesatan, sehingga para nabi tidak akan melakukan dosa apapun. [40]

Dalam literatur hadis, terdapat sejumlah riwayat yang juga menguatkan argumentasi kemaksuman para nabi. [41] Diantaranya sebuah riwayat dari Imam Baqir as, "Para nabi tidak akan melakukan dosa, karena mereka semuanya maksum dan suci. Mereka tidak akan melakukan dosa kecil maupun besar."[42]

Syubhat dan Bantahan

Kelompok yang menolak doktrin kemaksukan para nabi, menyampaikan argumentasi mereka dengan bersandar pada sejumlah ayat dan riwayat.

Pesimis dan Kekecewaan pada Janji Allah

Kelompok yang mengingkari kemaksuman para nabi dengan bersandar pada ayat, حَتَّیٰ إِذَا اسْتَیأَسَ الرُّ‌سُلُ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ کُذِبُوا جَاءَهُمْ نَصْرُ‌نَا فَنُجِّی مَن نَّشَاءُ؛ yang artinya, "Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami."[43] hendak menunjukkan bahwa putus asa dan kekecewaan para nabi pada janji Allah dan menggunakan ayat ini untuk menolak kemaksukan para nabi. Oleh karena itu kalimat وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ کُذِبُوا adalah bentuk prasangkaan nabi bahwa janji pertolongan Allah itu adalah kedustaan. [44] [45]

Menjawab syubhat ini, Allamah Thabathabai menjelaskan maksud dari dhamir (kata ganti orang) dalam kata ظنّوا adalah ditujukan kepada umat bukan kepada para nabi. Sehingga arti dari ayat tersebut adalah, penolakan dan sikap keras kepala umat atas ajakan para nabi menyebabkan munculnya pesimis para nabi terhadap mereka sehingga umat menganggap bahwa adanya ancaman azab adalah kedustaan. [46](cat. 2). Ayatullah Subhani menyebutkan bahwa semua dhamir dalam ayat tersebut ditujukan kepada para nabi dan berkeyakinan bahwa para nabi bukan menduga bahwa Allah telah berdusta kepada mereka, melainkan kondisi yang mereka hadapi membuat umat merasa bahwa seperti itulah yang para nabi rasakan. [47]

Adanya Pengaruh Syaitan

Ayat وَمَا أَرْ‌سَلْنَا مِن قَبْلِک مِن رَّ‌سُولٍ وَلَا نَبِی إِلَّا إِذَا تَمَنَّیٰ أَلْقَی الشَّیطَانُ فِی أُمْنِیتِهِ فَینسَخُ اللَّهُ مَا یلْقِی الشَّیطَانُ…؛ "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu" [48] digunakan kelompok pengingkar kemaksuman para nabi sebagai dalil untuk menguatkan pandangan mereka. [49] Sebab, secara zahiriyah ayat tersebut menjelaskan bahwa syaitan mampu memberi pengaruh pada pikiran, lisan dan keinginan para nabi, namun Allah yang kemudian menghilangkan apa-apa [50] yang telah syaitan masukkan. Kisah mengenai Gharaniq disebutkan sebagai argumentasi yang mendukung pandangan ini. [51]

Penafsiran atas muatan ayat dengan cara demikian disebut bertentangan dengan ayat lain dari Alquran [52] yang menyebutkan syaitan tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi keinginan dan keputusan hamba-hamba Allah dan jelas dan sangat terang bahwa misdaq dari hamba-hamba Allah adalah para nabi. [53] Sebagian berpendapat ayat tersebut berkenaan dengan syaitan yang menyebarkan was-was kepada orang-orang dan mempengaruhi mereka untuk melakukan penolakan dan memerangi para nabi yang sedang menjelakan peran dalam menyebarkan ajaran agama Allah dan membimbing umat. [54] Mengenai dihapuskannya pengaruh intervensi syaitan juga dianggap sebagai pertolongan Ilahi. [55]

Pendosanya semua Manusia termasuk para Nabi

Disebutkan ayat وَلَوْ یؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِم مَّا تَرَ‌ک عَلَیهَا مِن دَابَّةٍ yang artinya "Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata"[56] mengandung makna bahwa kezaliman dilakukan oleh setiap manusia. Yang dimaksud kezaliman adalah kemaksiatan, karena itu ayat ini menjadi dalil bahwa setiap manusia pasti berdosa termasuk para nabi. [57]

Fakhrurazi dalam menjawab syubhat ini dengan bersandar pada ayat Alquran seperti ayat 32 surah al-Fathir, bahwa semua manusia tidak zalim, sehingga yang dimaksud al-nas pada ayat tersebut adalah orang-orang zalim yang akan dikenai azab atau orang-orang musyrik yang sebagaimana yang dijelaskan pada ayat-ayat sebelumnya. [58] Sementara menurut Allamah Thabathabai, yang dimaksud kezaliman dalam ayat tersebut adalah kezaliman yang bermakna umum yang termasuk di dalamnya adalah kemaksiatan dan meninggalkan yang utama, dan kemungkinan yang terkait dengan para nabi adalah tindakan meninggalkan yang utama. [59]

Ayat-Ayat yang Tidak Sesuai dengan Kemaksuman sebagian para Nabi

Sebagian dari ayat Alquran secara zhahir bertentangan dengan kemaksuman sebagian para [60] nabi seperti pada Nabi Adam as, [61] Nabi Nuh as [62], Nabi Ibrahim as [63], Nabi Musa as [64] Nabi Yusuf as [65], Nabi Yunus as [66] dan Nabi Muhammad saw [67].

Ayatullah Subhani menyebutkan bahwa inilah syubhat yang terpenting dan alasan dari kelompok yang mengingkari kemaksuman para nabi. [68] Ahmad Amin al-Mishri dengan bersandar pada ayat-ayat tersebut [69] menyebut bahwa mereka yang meyakini kemaksuman para nabi dari dosa besar dan dosa kecil baik sebelum dan setelah nubuwah telah melakukan tindakan ghuluw (berlebih-lebihan) dan bertentangan dengan makna zhahir ayat Alquran. [70]

Jawaban Umum

Para ahli tafsir meneliti ayat-ayat yang tampak bertentangan dengan kemaksuman para nabi satu demi satu dan memberikan bantahan atas syubhat-syubhat yang muncul. [71] Berikut diantara jawaban umum yang bisa dijelaskan:

  • Ayat-ayat yang memiliki kandungan mengenai kemaksuman para nabi adalah termasuk dalam kategori ayat-ayat muhkam, sementara ayat-ayat yang secara eksplisit tampak bertentangan dengan kemaksuman para nabi, masuk dalam kategori ayat-ayat mutasyabihat yang untuk memahami dan menafsirkannya harus berpedoman pada ayat-ayat muhkamat. [72]
  • Jika dalil yang ada bertentangan dengan dalil yang lebih qath'i (kuat) maka yang tindakan yang diambil antara dalil itu diabaikan atau ditakwilkan. Oleh karena itu, ayat-ayat yang secara zhahir bertentangan dengan kemaksuman para nabi harus ditakwilkan. [73]
  • Jika tark aula (meninggalkan yang utama) atas para nabi sesuatu yang dibolehkan, maka dalam hal ini, semua ayat yang tampak tidak sesuai dengan kemaksuman para nabi harus ditakwilkan demikian, bahwa yang mereka lakukan adalah meninggalkan yang utama. Namun jika meninggalkan yang utama juga sesuatu yang tidak boleh dilakukan para nabi maka dalam kasus-kasus tersebut mengandung maslahat yang tidak kita ketahui. Seperti pada peristiwa Nabi Musa as dan Khidr as. [74]

Pada sebagian riwayat yang terkait dengan ayat-ayat yang tampak menunjukkan tidak adanya kemaksuman para nabi, juga dijawab dengan cara yang demikian. [75] Seperti misalnya pada sebuah riwayat yang dinukil dari Imam Ridha as, bahwa dalam sebuah majelis di istana Makmun yang dihadiri sejumlah pemuka agama dan firkah-firkah yang berbeda, ada seseorang yang bernama Ali bin Jahm mengajukan pertanyaan kepada Imam Ridha as, "Apakah anda percaya pada kemaksuman para nabi?" Imam Ridha as menjawab, "Iya." Lalu kemudian Ali bin Jahm menanyakan bagaimana menafsirkan ayat-ayat seperti ayat 121 surah Thaha, ayat 87 surah al-Anbiya dan ayat 24 surah Yusuf. Imam Ridha as menanggapinya dengan melarang untuk menisbatkan yang buruk dan tidak layak kepada para nabi lalu kemudian menjelaskan tafsiran yang benar dari ayat-ayat tersebut satu per satu. [76]

Catatan Kaki

  1. Ma'rifat, Ishmat-e Payambaran, hlm. 7
  2. Subhani, Mansyur Jawid, jld. 6, hlm. 48-49
  3. Tamimi Amadi, Ghurur al-Hikam, hlm. 672; Ma'rifat, Ishmat-e Payambaran, hlm. 6
  4. Sebagaimana kitab Sayid Murtadha mengenai kemaksuman para nabi diberi judul Tanzih al-Anbiya' dan dalam kitab al-Dzari'ah ada empat kitab lain yang juga diberi judul yang sama (Agha Buzurgh Tehrani, al-Dzari'ah, jld. 4, hlm. 456)
  5. Yusufiyan dan Syarifi, Pezuhesyi dar 'Ishmat-e Ma'shuman as, hlm. 27-30
  6. Anwari, Nur-e 'Ishmat bar Simai Nubuwat, hlm. 52
  7. Shadiqi Ardakani, 'Ishmat, hlm. 19, 1388 S.
  8. Yusufiyan dan Syarifi, Pezuhesyi-e dar 'Ishmat-e Ma'shuman as, hlm. 26, 1388 S
  9. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 25, hlm. 164 dan 200
  10. Subhani, Buhuts fi al-Milal wa al-Nihal, jld. 2, hlm. 113-167; Muzhaffar, Dalail al-Shidq, jld. 1, hlm. 432-552, dikutip oleh Yusufiyan dan Syarifi, Pezuhesyi-e dar 'Ishmat-e Ma'shuman as, hlm. 26
  11. Yusufiyan dan Syarifi, Pezuhesyi dar 'Ishmat-e Ma'shuman as, hlm. 41
  12. Mughniyah, Tafsir al-Kasyf, jld. 1, hlm. 98
  13. Naqipurfar, Pezuhesyi-e Piramun-e Tadabbur dar Quran, hlm. 339-345
  14. Mufid, Tashhih al-I'tiqadat al-Imamiyah, hlm. 128; Sayid Murtadha, al-Dzakhirah, hlm. 189
  15. Sayid Murtadha, Tanzih al-Anbiya', hlm.19; Thusi, Talkhish al-Muhashshal, hlm. 369; Bahrani, al-Najah fi al-Qiyamah, hlm. 55
  16. Thathabai, al-Mizan, jld. 17, hlm. 291 dan jld. 5, hlm. 79
  17. Mulla Shadra, Tafsir alQuran al-Karim, jld. 5, hlm. 224
  18. Thabathabai, al-Mizan, jld. 16, hlm. 313; Taftazani, Syarh al-Maqashid, jld. 5, hlm. 50
  19. Aiji, Syarh al-Mawaqif, jld. 8, hlm. 263
  20. Taftazani, Syarh al-Maqashid, jld. 5, hlm. 50
  21. Subhani, Mansyur Jawid, jld. 5, hlm. 31
  22. Mufid, al-Nukat al-I'tiqadiah, hlm. 37; Hilli, Kasyf al-Murad, hlm. 155
  23. Silahkan rujuk: Mufid, al-Nukat al-I'tiqadiyah, hlm. 37; Hilli, Kasyaf al-Murad, hlm. 155
  24. Mufid, Awail al-Maqalat, hlm. 62
  25. Mufid, Adam Sahw al-Nabi, hlm. 29 dan 30; Hilli, Kasyf al-Murad, hlm. 155-157
  26. Shaduq, Man Laa Yahdhuru al-Faqih, jld. 1, hlm. 358-359
  27. Shaduq, Man Laa Yahdhuru al-Faqih, jld. 1, hlm. 359
  28. Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 164 dan jld. 3, hlm. 294, 355-356
  29. Faryab, 'Ishmat-e Payambaran dar Manzhumah Fikri Allamah Thabathabai, hlm. 24-28
  30. Yusufiyan dan Syarifi, Pezuhesyi-e dar 'Ishmat-e Ma'shuman as, hlm. 39
  31. Yusufiyan dan Syarifi, Pezuhesyi-e dar 'Ishmat-e Ma'shuman as, hlm. 39-41
  32. Yusufiyan dan Syarifi, Pezuhesyi-e dar 'Ishmat-e Ma'shuman as, hlm. 39-41
  33. Thabathabai, al-Mizan, jld. 5, hlm. 354
  34. Subhani, 'Ishmah al-Anbiya' fi Alquran al-Karim, hlm. 29; Mishbah Yazdi, Amuzesy 'Aqaid, jld. 2, hlm. 161
  35. Lih. Hilli, Kasyf al-Murad, hlm. 155
  36. Asyrafi dan Rezai, 'Ishmat-e Payambaran dar Quran wa 'Ahdain, hlm. 86
  37. Subhani, Mansyur Jawid, jld. 5, hlm. 37; Sayid Murtadha, Tanzih al-Anbiya', hlm. 5
  38. Ma'rifat, Amuzesy 'Ulum-e Quran, hlm. 602
  39. Silahkan rujuk: Thabathabai, al-Mizan, jld. 2, hlm. 135-138
  40. Silahkan rujuk: Thabathabai, al-Mizan, jld. 2, hlm. 135
  41. Silahkan rujuk: Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 202-203; Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 14, hlm. 103; jld.12, hlm. 348; jld. 4, hlm. 45; Shaduq, 'Uyun Akhbar al-Ridha, jld. 1, hlm. 192-204
  42. Shaduq, al-Khishal, hlm. 399
  43. Qs. Yusuf: 110
  44. Para mufassir memberi kemungkinan beragam dalam menafsirkan ayat ini (lih. Subhani, Mansyur Jawid, jld. 5, hlm. 53-55)
  45. Zamaksyari, al-Kasysyaf, jld. 2, hlm. 52; Subhani, Mansyur Jawid, jld. 5, hlm. 52
  46. Thabathabai, al-Mizan, jld. 11, hlm. 279
  47. Subhani, Mansyur Jawid, jld. 5, hlm. 55-59. Untuk jawaban yang lain silahkan rujuk. Anwari, Nur-e 'Ishmat bar Simai Nubuwat, hlm. 109-115
  48. Qs. Al-Hajj: 52
  49. Fakhrurazi, Ishmah al-Anbiya, hlm. 122
  50. Fakhrurazi, 'Ishmah al-Anbiya, hlm. 122; Subhani, Mansyur Jawid, jld. 5, hlm. 60
  51. Fakhrurazi, 'Ishmah al-Anbiya, hlm. 122
  52. Lih. Qs. al-Hijr: 42; Qs. al-Isra: 65; Qs. Shad: 82 dan 83
  53. Subhani, Mansyur Jawid, jld. 5, hlm. 60-62
  54. Thabathabai, al-Mizan, jld. 14, hlm. 391; Subhani, Mansyur Jawid, jld. 5, hlm. 62
  55. Subhani, Mansyur Jawid, jld. 5, hlm. 63
  56. Qs. Al-Nahl: 61
  57. Fakhrurazi, al-Tafsir al-Kabir, jld. 20, hlm. 227
  58. Fakhrurazi, al-Tafsir al-Kabir, jld. 20, hlm. 227
  59. Thabathabai, al-Mizan, jld. 12, hlm. 281
  60. Lih. Subhani, 'Ishmah al-Anbiya fi Al-Quran al-Karim, hlm. 91-229; Jawadi Amuli, Wahy wa Nubuwat dar Quran, hlm. 246-286; Makarim Syirazi, Payam-e Quran, jld. 7, hlm. 101-160
  61. Qs. Al-Baqarah: 35-37; Qs. Thaha: 115 dan 121
  62. Qs. Hud: 45-47
  63. Qs. Ash-Shaffat: 88-89; Qs. Asy-Syu'ara: 82
  64. Qs. Al-A'raf: 150; Qs. Al-Qashshash: 15-16; Qs. Thaha: 94
  65. Qs. Yusuf: 24
  66. Qs. Al-Anbiya: 87; Qs. Ash-Shaffat: 139-148
  67. Qs. Al-Baqarah: 120; Qs. An-Nisa: 105-106; Qs. At-Taubah: 43; Qs. Muhammad: 19; Qs. Al-Fath: 1-3; Qs. 'Abasa: 1-10
  68. Subhani, Mansyur Jawid, jld. 5, hlm. 152
  69. Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, jld. 3, hlm. 228
  70. Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, jld. 3, hlm. 235
  71. Untuk contoh lih. Sayid Murtadha, Tanzih al-Anbiya, hlm. 9-131; Subhani, Ishmah al-Anbiya fi Alquran al-Karim, hlm. 91-229; Jawadi Amuli, Wahy wa Nubuwat dar Quran, hlm. 246-286; Makarim Syirazi, Payam-e Quran, jld. 7, hlm. 101-160
  72. Milani, 'Ishmat-e az Manzhar Fariqain, hlm. 102-103
  73. Milani, 'Ishmat-e az Manzhar Fariqain, hlm. 100
  74. Milani, 'Ishmat-e az Manzhar Fariqain, hlm. 101-102
  75. Sebagai contoh lih. Syaikh Shaduq, 'Uyun Akhbar al-Ridha as, jld. 1, hlm. 192-204
  76. Shaduq, 'Uyun Akhbar al-Ridha as, jld. 1, hlm. 192-204

Daftar Pustaka

  • Agha Buzurgh Tehrani, Muhammad Muhsin. Al-Dzariah ila Tashanif al-Syi'ah. Beirut: Dar al-Adhwa, 1403 H.
  • Ahmad Amin. Dhuha al-Islam. Kairo: Maktabah al-Usrah, 2003 M.
  • Aiji, Mir Sayid Syarif. Syarh al-Mawaqif. Qom: Al-Syarif al-Radhi, 1325 S.
  • Akrami, Ayyub, Nubuwat (Pezuhesyi dar Nubuwat 'Ammah wa Khashshah). Teheran: Jihad Danesygahi Danesygah Tarbiyat-e Mu'allim, 1383 S.
  • Anwari, Ja'far. Nur-e 'Eshmat-e bar Simai-e Nubuwat: Pasukh be Syubhat-e Qurani. Qom: Muasasah Amuzesy-e wa Pezuhesy-e Imam Khumaini, cet. I, 1397 S.
  • Asyrafi, Abbas, Rezai, Umm al-Banin. 'Eshmat-e Payambaran dar Quran wa 'Ahdain. dalam Fashlnameh Pezuhesynameh Ma'arif Qurani, nmr. 12, 1392 S
  • Bahrani, Ibn Maitsam. Al-Najah fi al-Qiyamah fi Tahqiq Amr al-Imamah. Qom: Majma' al-Fikr al-Islami, 1417 H.
  • Fakhrurazi, Muhammad bin Umar. 'Ishmah al-Anbiya Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, cet. II, 1409 H.
  • Fakhrurazi, Muhammad bin Umar. Al-Tafsir al-Kabir (Mafatih al-Ghaib). Beirut: Dar Ihya' al-Turats al-'Arabi, cet. III, 1420 H.
  • Faryab, Muhammad Husain. 'Ishmat-e Payambaran dar Manzhume-e Fikri Allamah Thabathabai. dalam Majalah Ma'rifat, no. 214, 1394 S.
  • Haidari Fithrat, Jamal al-Din. Kitabsyenasi-e Taushifi Tanzih al-Anbiya' wa Aimmah as. Majalah Hadits Hauzah, no. 1, Payiz wa Zamestan, 1389 HS
  • Hilli, Hasan bin Yusuf. Kasyf al-Murad fi Syarh Tajrid al-I'tiqad Qism al-Ilahiyat. : Ja'far Subhani. Qom: Muasasah Imam Shadiq as, 1382 S.
  • Ibnu Khamir, Ali bin Ahmad. Tanzih al-Anbiya 'an Ma Nasaba Ilaihim Hatsalah al-Aghniyah. Damisyq: Dar al-Fikr, cet. II, 1420 H
  • Jawadi Amuli, Abdullah. Wahy wa Nubuwat dar Quran (Tafsir Maudhu'i Quran Karim jld. 3) Qom: Nasyr Isra, 1392 S.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Al-Kafi. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1407 H.
  • Ma'rifat, Muhammad Hadi. 'Eshmat-e Payambaran. dalam majalam Pezuhesyhai Ijtima'i Islami, no. 8, 1376 S.
  • Ma'rifat, Muhammad Hadi. Amuzesy-e 'Ulum Quran. Teheran: Markaz Cap wa Nasyr Sazman Tabligat Islami, 1374 S.
  • Majlisi, Muhammad Baqir. Bihar al-Anwar. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, 1403 H.
  • Makarim Syirazi, Nashir. Payam-e Quran. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1386 S.
  • Makarim Syirazi, Nashir. Tafsir Nemuneh. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1371 S.
  • Milani, Sayid Ali. 'Eshmat az Manzhar Fariqain (Syi'ah wa Ahl-e Sunat) Qom: Markaz al-Haqaiq al-Islamiyah, 1394 S.
  • Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi. Amuzesy-e 'Aqaid. Teheran: Sazman Tablighat Islami, 1367 S.
  • Mufid, Muhammad bin Nu'man. Adam Sahw al-Nabi. Qom: Syekh Mufid, 1413 H
  • Mufid, Muhammad bin Nu'man. Al-Nukat al-I'tiqadiyah. Qom: Konggres Syekh Mufid, 1413 H.
  • Mufid, Muhammad bin Nu'man. Awail al-Maqalat. Qom: Konggres Syekh Mufid, 1413 H
  • Mufid, Muhammad bin Nu'man. Tashshih al-I'tiqadat al-Imamiyah. Qom: Konggres Syekh Mufid, 1413 H
  • Mughniah, Muhammad Jawad. Al-Tafsir al-Kasysyaf. Qom: Dar al-Kitab al-Islami, 1424 H.
  • Mulla Shadra, Muhammad bin Ibrahim. Tafsir al-Quran al-Karim. revisi: Muhammad Khawaji. Qom: Intisyarat Bidar, 1361 S.
  • Naqifurpar, Waliyullah. Pezuhesyi-e Piramun-e Tadabbur dar Quran. Teheran: Uswah, 1381 S.
  • Sayid Murtadha. Al-Dzakhirah fi 'Ilm al-Kalam. Qom: Nasyr Islami, 1411 H.
  • Sayid Murtadha. Tanzih al-Anbiya'. Teheran: cet. Fathimah Qadhi Syu'ar, 1380 S.
  • Shadiqi Ardakani, Muhammad Amin. 'Eshmat. Qom: Intisyarat Hauzah 'Ilmiah, 1388 S.
  • Shaduq, Muhammad bin Ali. 'Uyun Akhbar al-Ridha 'alaihi al-Salam. Revisi: Mahdi Lajurdi. Teheran: Nasyr Jahan, 1378 H.
  • Shaduq, Muhammad bin Ali. Al-Khishal. Revisi: Ali Akbar Ghaffari. Qom: Intisyarat Islami, 1362 S.
  • Shaduq, Muhammad bin Ali. Man Laa Yahdhuru al-Faqih. Qom: Intisyarat Islami, 1413 H.
  • Subhani, Ja'far, 'Ishmah al-Anbiya' fi al-Quran al-Karim. Qom: Muasasah Imam Shadiq as, 1420 H.
  • Subhani, Ja'far. Mansyur Jawid. Qom: Muassasah Imam Shadiq as, 1383 S.
  • Taftazani, Sa'ad al-Din. Syarh al-Maqashid. Qom: al-Syarif al-Radhi, 1412 H.
  • Tamimi Amadi, 'Abd al-Wahid bin Muhammad. Ghurur al-Hikam wa Darar al-Kalam, Revisi: Sayid Mahdi Rajai. Qom: Dar al-Kitab al-Islami, 1410 H.
  • Thabathabai, Sayid Muhammad Husain. Al-Mizan fi Tafsir al-Quran. Beirut: Muasasah al-A'lami, cet. II, 1390 H.
  • Thusi, Khawjah Nashr al-Din. Tahshil al-Mahshal. Beirut: Dar al-Adhwa, 1405 H.
  • Yusufiyan, Hasan wa Ahmad Husain Syarifi. Pezuhesyi dar 'Eshmat Ma'shuman 'alaihim al-Salam. Qom: Pezuhesygah Farhang wa Andisyeh Islami, 1388 S.
  • Zamakhsyari, Mahmud bin Umar. Al-Kasysyaf 'an Haqaiq Ghawamidh al-Tanzil wa 'Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta'wil. Beirut: Dar al-Kutub al-'Arabi, cet. III, 1407 H.