Lompat ke isi

Abu Bakar bin Abi Quhafah

Prioritas: a, Kualitas: b
Dari wikishia
(Dialihkan dari Khalifah pertama)
Abu Bakar bin Abi Quhafah
Info pribadi
Nama lengkapAbdullah bin Utsman
JulukanAbu Bakar • 'Atiq
Garis keturunanQuraisy Suku Taim
Kerabat termasyhurAisyah (anak) • Muhammad bin Abu Bakar (anak)
Muhajir/AnsharMuhajir
Tempat TinggalMekahMadinah
Wafat/Syahadah13 H/634
Tempat dimakamkanDi dekat Kuburan Nabi Muhammad saw di masjid Nabawi
Informasi Keagamaan
Memeluk IslamTermasuk kelompok pertama yang memeluk Islam
Keikutsertaan dalam GhazwahBanyak ikut serta dalam peperangan Nabi saw
Hijrah keMadinah
Terkenal sebagaiKhalifah Pertama

Abu Bakar bin Abi Quhafah (bahasa Arab:أبو بكر بن أبي قحافة) (W. 13 H/634), termasuk sahabat Nabi Muhammad saw. Setelah Rasulullah wafat, ia bersama dengan sejumlah sahabat lainnya berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk melakukan pemilihan Khilafah bagi kaum muslim, meskipun Rasulullah saw telah mewasiatkan khilafah Ali as sebelumnya. Para hadirin yang berada di Saqifah Bani Saidah, akhirnya bersumpah setia dan membaiat Abu Bakar sebagai Khalifah Nabi saw. Dia adalah khalifah pertama dari khulafa al-Rasyidin menurut pandangan mazhab Ahlusunah.

Dia menjadi muslim, di tahun-tahun awal kemunculan Islam di Mekah dan dalam pandangan masyhur para sejarawan, ketika Nabi berhijrah ke Madinah, dia seperjalanan dengan Nabi saw dan bersamanya bersembunyi di gua Tsaur.

Selama masa pemerintahannya yang singkat, peristiwa-peristiwa kontroversial terjadi dalam sejarah Islam, termasuk salah satunya pengambilan Fadak dari Sayidah Zahra sa, perang Riddah dan permulaan penaklukan-penaklukan.

Kelahiran, Nasab, Julukan dan Gelar

Abu Bakar lahir di Mekah sekitar dua tahun setelah Tahun Gajah, kemungkinan pada tahun 50 sebelum hijrah/ 573 M, berdasarkan beberapa riwayat[1] serta bukti seperti usia dan tanggal wafatnya.

Namanya pada masa Jahiliyah, Abdul Ka'bah dan setelah Islam, Nabi Muhammad saw memanggilnya dengan nama Abdullah [2] ayahnya bernama Abu Quhafah Utsman (wafat 14 H/635) dan ibunya, Umm al-Khair Salmi, putri Sakhr bin Amr bin Ka'ab, keduanya dari suku Taim dan melalui Murrah, kakek leluhur kelima, memiliki hubungan dengan Nabi saw. [3] Di sebagian riwayat Ahlusunah, disebutkan bahwa namanya adalah 'Atiq [4] tapi tampaknya 'Atiq adalah gelarnya.

Panggilan atau julukannya adalah Abu Bakar. Namun apakah ia dalam kenyataannya memiliki seorang anak laki-laki bernama Bakar atau tidak, terdapat perbedaan pendapat. Dalam berbagai sumber yang menyebutkan anak-anak Abu Bakar, tidak ada satupun darinya yang menyebut nama Bakar sebagai salah satu dari nama anak keturunannya. Namun dalam bait-bait syair yang mengutuk Abu Bakar dari lisan para murtad, terdapat kutipan yang menyebut bahwa ada seorang anak darinya bernama Bakar [5], namun para penentangnya, seperti Abu Sufyan, Abu Bakar (Bakar = unta muda) diubah menjadi Abu Fashil sebagai ejekan untuknya. (Fashil = anak unta yang baru terpisah dari susu induknya) [6].

Dia memiliki beberapa gelar:

  1. 'Atiq: Sebagian besar sumber Ahlusunah menganggap bahwa 'Atiq adalah termasuk dari gelar-gelarnya dan menulis bahwa Nabi memberikan gelar 'Atiq tersebut karena ketampanan wajahnya [7]. Menurut sebuah riwayat dari Aisyah, Nabi menyebutnya dengan " 'Atiqullahu min al-Nar". [8] beberapa alasan lainnya juga telah dikutip tentang penamaannya. [9]
  2. Gelar lainnya yang terkenal di kalangan Ahlusunah adalah Shiddiq, yang menurut sumber Ahlusunah gelar ini diberikan kepadanya atas dasar pengakuannya tanpa syarat dan penawaran tentang kabar Isra dan Mikraj Nabi saw. [10] dan dalam sebuah riwayat dari budak Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Jibril pada malam Isra, menyebutnya dengan Shiddiq. [11] Sebagian orang mengatakan bahwa dia sejak zaman Jahiliyah telah dijuluki dengan gelar tersebut, sampai gelar 'Atiq juga berada dalam bayang-bayangnya. [12]
  3. Gelar "Awwāh" karena kelembutan hati dan kesedihannya. [13]
  4. Gelar "Sahibu Rasul" (Teman Rasulullah) dikarenakan kebersamaannya dengan Nabi saw. [14]

Pandangan Ulama Syiah tentang Gelar al-Shiddiq

Dari perspektif ulama Syiah, Shiddiq Akbar adalah gelar khusus Imam Ali as. Mereka, dengan merujuk pada sumber-sumber Ahlusunah, menganggap pemberian gelar ini kepada Imam Ali as berasal dari Nabi saw.[15]

Ali as juga, pada masa pemerintahannya, di mimbar Basrah, menyatakan bahwa gelar itu adalah miliknya.[16]

Istri dan anak-anak

Sumber-sumber sejarah telah mengidentifikasi istri Abu Bakar sebagai berikut:

  • Ummu Rumman, anak perempuan Amir bin Uwaimir (atau Umair bin Amir) dari Bani Kinanah, ibu dari Abdurrahman dan Aisyah
  • Qutailah putri Abduluzza bin As'ad dari Bani Amir bin Luai, ibu Abdullah dan Asma (ibu dari Abdullah bin Zubair)
  • Asma binti Umais, ibu dari Muhammad bin Abu Bakar
  • Habiba binti Kharijah bin Zaid bin Abi Zuhair ibu Ummu Kultsum [17]

Periode Mekah

Berdasarkan sebagian riwayat, Abu Bakar sebelum Islam diperkenalkan sebagai seorang pria yang lembut, yang disukai dan dihormati orang-orang Quraisy. [18] Telah dinukil bahwa dia sejak usia muda berkecimpung dalam bisnis sebagai pengusaha (penjual kain). [19]


Waktu Masuk Islam

Tentang masuk Islamnya Abu Bakar, terdapat perbedaan di antara kalangan Sunni. Sebagian ulama Sunni menganggap Abu Bakar sebagai orang muslim keempat setelah Khadijah, Imam Ali as dan Zaid bin Haritsah. Dengan begitu, sebagian dari kalangan Sunni mengatakan bahwa Abu Bakar adalah orang pertama dari empat orang ini, sebagai pria merdeka yang menjadi Muslim. [20] Thabari menukil dari Muhammad bin Sa'ad bahwa Abu Bakar memeluk Islam setelah 50 orang. [21] Sayid Ja'far Murtadha meyakini bahwa pendapat kedua adalah pendapat para peneliti dan berkata: Sepertinya klaim kemusliman Abu Bakar sebagai orang pertama yang memeluk Islam kembali pada periode setelah kekhalifahan khalifah yang empat dan ditetapkan setelah kesyahidan Ali as dan ada kemungkinan hal ini adalah perintah dari Muawiyah dan kemudian disebarkan ke seluruh bagian wilayah Islam. Lantas kemudian ia menolak klaim ini dengan berbagai alasan. [22] Sebagian riwayat dikutip dari perawi Ahlusunah, yang menceritakan bahwa Abu Quhafah menjadi muslim dalam penaklukan kota Mekah [23], namun sebagain perawi lainnya mengkritik laporan tersebut. [24]

Abu Ja'far Iskafi Mu'tazili, juga berkata: Jika Abu Bakar memang orang pertama yang memeluk Islam, mengapa dirinya sendiri tidak menjadikan topik masalah ini sebagai sebuah keutamaan yang dapat dijadikan hujjah dan dalil bagi dirinya terutama pada peristiwa-peristiwa penting seperti di Saqifah, dan tidak ada juga dari para pengikutnya serta sahabatnya yang mengajukan klaim semacam itu? [25]

Dalam beberapa buku Ahlusunah, dijelaskan bahwa karena status sosial Abu Bakar yang baik di kalangan orang Quraisy, setelah ia menyatakan keislamannya, beberapa orang dari masyarakat Mekah pun masuk Islam; Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqqash dan Talhah bin Ubaidillah [26], namun dalam sebagian riwayat ini ada yang meragukan jika masuk Islamnya kelompok ini disebabkan ajakan Abu Bakar, dan mereka meyakini bahwa perbedaan usia dari sebagian mereka (Zubair, Sa'ad dan Thalhah) dengan Abu Bakar hampir 20 tahun dan tidak dapat dikatakan bahwa mereka adalah rekan sejajar dengannya.[27] Selain itu, dari perbandingan riwayat Ibnu Saad [28] menunjukkan bahwa Abdurrahman bin Auf termasuk salah seorang yang masuk Islam bersama Utsman bin Mazh'un, bukan dari kelompok Abu Bakar. Dengan ini, dapat diprediksikan bahwa keanggotaan mereka dalam syura enam orang yang diadakan oleh Umar dan sebagian aspek lainnya diyakini sebagai buatan para perawi yang datang setelah itu dengan menyatakan bahwa keislaman mereka karena ajakan Abu Bakar dan bertujuan mengutamakan mereka dibanding yang lainnya. Hal yang memperkuat kesan ini adalah riwayat-riwayat [29] yang memprioritaskan orang lain daripada mereka. [30]

Periode Penyiksaan Umat Islam

Dengan dimulainya permusuhan kaum musyrikin terhadap kaum muslim, penyiksaan dan penganiayaan pun dimulai sehingga Abu Bakar juga mengalami derita penganiayaan dan penyiksaan tersebut. Dalam sumber-sumber Ahlusunah disebutkan bahwa ia terluka di tangan orang-orang musyrik. [31] Ketika penyiksaan dan penganiayaan ini semakin parah dengan diusirnya Bani Hasyim dari Mekah, dia terpaksa meninggalkan Mekah dengan izin dari Nabi saw untuk berhijrah ke Habasyah, namun, atas usulan tetangganya serta dukungan dari Ibnu al-Dughunnah (salah seorang tokoh berpengaruh di kalangan Quraisy), ia kembali ke Mekah. Karena kembali berdakwah secara terbuka dan terang-terangan, penganiayaan serta penyiksaan pun dimulai kembali. [32] Sebagian pendapat menyatakan bahwa alasan Abu Bakar tetap tinggal di Mekah dan tidak ikut berhijrah ke Habasyah adalah karena klan Taim (suku Abu Bakar), seperti anggota kelompok lainnya yang dikenal sebagai Hilf al-Fudhul, dikesampingkan dari pengejaran dan siksaan. Namun, ketika Bani Taim tidak menghendaki atau tidak mampu membela kaum Muslim, Abu Bakar tetap mengalami penyiksaan hingga akhirnya terpaksa hijrah keluar dari Mekah.

Sebagian sumber menulis bahwa ia menghabiskan sebagian harta dan kekayaannya untuk membebaskan tujuh budak Muslim dari perbudakan dan siksaan para majikan mereka. Atas perbuatannya ini, ia dicerca oleh ayahnya, Abu Quhafah. [33]

Hijrah ke Madinah

Kejadian yang paling menonjol dari kehidupan Abu Bakar di Mekah adalah menjadi pendamping bagi Rasulullah saw ketika hijrah ke Madinah dan bersembunyi di gua Tsaur. [34] Kejadian ini terjadi pada malam Kamis awal bulan Rabiul Awal pada tahun pertama Hijriah (tahun 14 setelah kenabian, 13 September 622). Pendapat masyhur menyebutkan bahwa ketika Nabi saw menerima wahyu tentang rencana pembunuhan terhadapnya, beliau bersama Abu Bakar keluar dari Mekah dan menempuh jalan memutar menuju Yatsrib hingga tiba di gua. [35]

Ayat Laa Tahzan merujuk pada kisah keberadaan Nabi saw dan Abu Bakar di dalam gua. Para ulama Sunni menganggap ayat ini sebagai dalil keutamaan Abu Bakar. Namun, terdapat perbedaan penafsiran di kalangan mufasir Islam mengenai peristiwa tersebut. [catatan 1]

Detail mengenai bagaimana Abu Bakar bergabung dengan Nabi saw dalam perjalanan tersebut masih belum jelas. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa Nabi saw secara kebetulan bertemu Abu Bakar di jalan, lalu mengajaknya dalam perjalanan. [36] Kutipan lainnya mengatakan bahwa Nabi saw pada malam penyerangan, beliau pergi ke rumah Abu Bakar dan dari sana, beliau bersama Abu Bakar pergi ke gua Tsaur. [37] Pendapat ketiga menjelaskan bahwa Abu Bakar mendatangi Nabi saw dan Ali as menunjukkan tempat persembunyiannya. [38]

Setelah hijrah ke Madinah, Abu Bakar menetap di Sunkh, sebuah tempat di sekitar Madinah dan berjarak satu mil, yaitu di rumah Khabib bin Isaf (Habib bin Yasaf) atau Kharijah bin Zaid bin Abi Zuhair (dari Bani al-Harits bin al-Khazraj).[39] Menurut sebagian sumber, selama di Madinah, ia senantiasa berada di sisi Nabi saw di mana pun dan kapan pun. Delapan bulan kemudian, Rasulullah saw menetapkan perjanjian persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Abu Bakar dan Umar pun dipersaudarakan, dan mereka saling memanggil sebagai saudara. [40]; Namun dalam terjemahan bahasa Persia Rafi'addin Hamadani dari Sirah Ibnu Ishaq, di situ tertulis bahwa "Abu Bakar dipersaudarakan dengan Kharijah bin (Zaid bin Abi) Zuhair, yang berasal dari Anshar." [41]

Abu Bakar bertemu Nabi saw setiap dua hari sekali di Madinah. Menurut sebagian riwayat, ia selalu menyertai Nabi saw dalam setiap peperangan. [42]

Hadir dalam Peperangan

Waqidi menjelaskan bahwa Abu Bakar telah banyak ikut serta dalam peperangan seperti Perang Badar,[43] Uhud[44], Hamra' al-Asad[45], Bani al-Nadhir[46], Badar al-Mau'id[47], Muraisi'[48], Khandaq[49], Bani Quraizhah[50], Bani Lihyan[51], Hudaibiyah[52], Khaibar[53], Fathu Makkah[54], Hunain[55], Taif[56], Tabuk[57], serta peperangan Najd[58] dan Dzat al-Salasil. [59]

Menurut Ibnu Abi al-Hadid, dari gurunya Abu Ja'far Iskafi, Menurut Ibnu Abi al-Hadid, yang mengutip dari gurunya, Abu Ja‘far Iskafi: ''Abu Bakar tidak pernah memanah, menghunus pedang, atau menumpahkan darah.'' [60]

Di Perang Khaibar, Nabi saw mengutus Abu Bakar dan Umar bin Khattab untuk menaklukkan benteng Khaibar, tetapi keduanya tidak berhasil. Kemudian, beliau bersabda: "Besok aku akan menyerahkan bendera kepada seseorang yang mencintai Allah dan Nabi-Nya, serta dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Benteng Khaibar akan terbuka dan takluk di tangannya." Setelah itu, beliau memanggil Imam Ali as dan memberikannya bendera. Imam Ali as pun berhasil menaklukkan benteng Khaibar. [61]

Pada akhir hayatnya, Nabi saw menyiapkan pasukan untuk berperang melawan orang-orang Romawi. Di antara pasukan tersebut terdapat beberapa tokoh ternama, termasuk Abu Bakar. Namun, komando pasukan diberikan kepada Usamah bin Zaid. [62]

Kisah Penyampaian Surah al-Baraah

Salah satu misi kontroversial dari Abu Bakar berkaitan dengan urusan Haji pada tahun ke-9 H/630 dan penyampaian surah al-Bara'ah. Menurut riwayat Ibnu Ishaq, setelah Perang Tabuk di bulan Dzulhijjah pada tahun ke-9 H/630, Nabi saw mengangkat Abu Bakar sebagai Amir al-Hajj dan mengutusnya ke Mekah.

Saat Abu Bakar berangkat dari Madinah, Surah al-Bara'ah turun. Nabi saw kemudian bersabda, 'Hanya seorang laki-laki dari keluargaku yang akan menyampaikan pesanku ini. Kemudian, beliau mengutus Ali as ke Mekah dengan menunggangi unta untuk menyampaikan pernyataan tersebut. [63] Para mufassir dan sejarawan berselisih pendapat mengenai jumlah ayat yang dibacakan pada musim haji, lokasi pembacaan ayat-ayat tersebut, serta waktu turunnya (apakah sebelum atau sesudah keberangkatan Abu Bakar). Perdebatan juga terjadi mengenai pencopotan Abu Bakar dari kepemimpinan haji dan penunjukan Ali as. sebagai penggantinya. [64]

Kisah Tentang Pasukan Usamah

Tugas terakhir Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah al-Jarrah dan sekelompok pembesar sahabat lainnya pada masa hidup Nabi adalah bergabung dalam pasukan Usamah menuju Mu'tah Syam (Suriah). Menurut riwayat Waqidi[65] dan Ibnu Sa'ad [66], pada hari Senin, empat hari sebelum bulan Safar setelah Haji Wada' dan menjelang wafatnya, Nabi saw memerintahkan kaum muslimin untuk bersiap berperang melawan Romawi. Keesokan harinya, beliau menunjuk Usamah bin Zaid sebagai komandan pasukan,[67] Namun, pasukan ini tidak jadi berangkat meski Nabi saw menekankan pentingnya misi tersebut karena beberapa faktor. Pertama, protes beberapa sahabat karena usia Usamah yang terlalu muda untuk memimpin, kedua alasan mengenai persiapan bekal perjalanan dan ketiga ketika berita memburuknya kondisi Nabi saw. sampai kepada Usamah, ia akhirnya kembali ke Madinah. Meskipun Nabi saw. telah memberi instruksi yang jelas agar mereka tidak kembali ke Madinah, Abu Bakar, Umar, dan sahabat lainnya tetap kembali dari kamp Jurf ke Madinah. [68]

Kisah Salat Jamaah di Akhir Periode Kehidupan Nabi saw

Saat Nabi saw mengarahkan pasukan Usamah menuju Syam, penyakit yang dideritanya tiba-tiba semakin parah, ketika Bilal mengumandangkan azan, beliau tidak bisa bangun dan hadir di masjid untuk melakukan salat. Akhirnya, diputuskan bahwa seseorang akan menggantikannya sebagai imam. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai jumlah salat jamaah yang dilakukan tanpa dihadiri oleh Nabi saw. serta apakah ada satu salat jamaah yang dipimpin sepenuhnya oleh Abu Bakar atau tidak.[69]

Dalam sebuah riwayat, saat penyakit Nabi saw semakin parah, beliau bersabda, 'Kirimlah seseorang untuk memanggil Ali.' Namun, Aisyah menyarankan agar seseorang dipanggil untuk menemui Abu Bakar, sementara Hafsah mengatakan bahwa ia telah menyuruh seseorang untuk memanggil Umar. Ketika mereka semua datang menghadap, Nabi saw berkata, 'Pergilah kalian semua. Jika aku membutuhkan kalian, aku akan memanggil kalian. [70]

Karena banyaknya perbedaan dalam riwayat, disebutkan bahwa Abu Bakar menggantikan Nabi saw sebagai imam salat jamaah di masjid. Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai bagaimana Nabi saw. bereaksi terhadap peristiwa ini. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Aisyah, ketika Abu Bakar berdiri untuk melakukan salat, keadaan Nabi saw pulih dan beliau bangkit dan datang ke masjid sambil bersandar pada dua orang yang memapahnya sementara kedua kakinya terseret di atas tanah. Ketika Abu Bakar melihat kedatangan Nabi, diapun menyingkirkan dirinya, namun Nabi memberi isyarat untuk tetap berada di tempatnya. Kemudian Nabi saw datang dan duduk di sebelah kiri Abu Bakar. Kemudian Nabi melaksanakan salat sambil duduk dan Abu Bakar berdiri. Abu Bakar mengikuti salat Nabi dan orang-orang mengikuti salat Abu Bakar. [71]

Sebagian ulama Sunni mengutamakan kepemimpinan salat jamaah Abu Bakar sebagai dalil prioritasnya dalam Imamah dan kepemimpinan umum (kekhalifahan). Mereka bahkan berpendapat bahwa Nabi saw sempat bermakmum kepada Abu Bakar. [72] Pernyataan ini sangat mencengangkan beberapa ulama besar Sunni. Bahkan, Abul Faraj Abdur Rahman Ibnu Jauzi, seorang mufassir dan fakih besar mazhab Hambali (511-597 H/1117-1201), menulis buku Afāt Ashāb al-Hadits sebagai bentuk penolakan terhadap pendapat tersebut. [73]

Pandangan Syiah

Para ulama Syiah menolak riwayat tentang salat Abu Bakar pada hari-hari ketika Nabi saw. terbaring sakit dengan beberapa argumen berikut:

  1. Meskipun beberapa riwayat dari Aisyah tampaknya seragam dalam masalah ini, hadis tersebut belum mencapai tingkat mutawatir sehingga tidak dapat dijadikan dasar argumen yang kuat. Menurut Sayid Ja'far Murtadha al-Amili, ada kemungkinan bahwa Aisyah meriwayatkan kisah ini untuk kepentingannya sendiri.[74]
  2. Menurut mayoritas sejarawan[75], pada saat itu Abu Bakar seharusnya berada di kamp Jurf bersama pasukan yang dikomandani oleh Usamah bin Zaid, bukan di Madinah. Oleh karena itu, jika Abu Bakar benar-benar mendirikan salat bersama penduduk Madinah, maka hal itu tidak dilakukan atas perintah Nabi saw. Oleh karena itu, jika Abu Bakar benar-benar mendirikan salat bersama penduduk Madinah, maka hal itu tidak dilakukan atas perintah Nabi saw.

Beberapa bukti yang mendukung pernyataan ini adalah:

a. Berdasarkan sebuah hadis, Nabi saw. memerintahkan agar Ali as. dipanggil. Namun, orang yang menerima perintah tersebut mengabaikannya dan malah memanggil Abu Bakar, Umar, serta Abbas. [76]
b. Nabi saw dalam keadaan lemah datang ke masjid dengan dibantu oleh dua orang (Ali as dan Fadhl bin Abbas) dan mengimami salat jamaah.[77]

Berdasarkan semua bukti di atas, para ulama Syiah berpendapat bahwa sekalipun riwayat tentang salat Abu Bakar saat Nabi saw. sakit dianggap sahih, hal itu tetap tidak dapat dijadikan alasan untuk mengutamakan Abu Bakar dalam kekhilafahan. Karena Nabi saw sebelum hari-hari ini, telah berulang kali memberikan perintah kepada sahabat-sahabat lainnya untuk melakukan salat jamaah bersama orang-orang seperti [[Abu Ubaidah al-Jarrah, Amr bin Ash, Khalid bin Walid, Usamah bin Zaid, Ali as dan bahkan sekali lagi menyuruh Abu Bakar untuk melakukan hal itu. [78]

Saqifah

Nabi Muhammad saw wafat pada hari Senin, 12 Rabiul Awal tahun 11 H (632 M). Namun, menurut riwayat penanggalan ulama hadis Syiah, beliau wafat pada hari Senin,28 Safar di tahun yang sama. Berita tentang wafatnya Nabi saw dengan cepat tersebar di kota Madinah al-Munawaroh. Sejak penyakit beliau semakin parah, serta kemungkinan wafatnya akibat penyakit tersebut, beberapa orang tampaknya berniat untuk merebut kekuasaan.

Tidak lama setelah terdengar berita wafatnya Rasulullah saw., ketika Ali as., Fadhl bin Abbas, dan beberapa orang lainnya masih sibuk memandikan jenazah beliau. Sa'ad bin Ubadah, seorang pemimpin dari suku Khazraj, yang sedang sakit, duduk di tengah-tengah sekelompok Anshar (Aus dan Khazraj) di Saqifah Bani Sa'idah sambil membahas keutamaan mereka dibandingkan dengan Muhajirin dalam persoalan kekhalifahan.

Peristiwa di Saqifah serta perdebatan antara kelompok Muhajirin dan Anshar cukup dikenal. Sumber-sumber menyatakan bahwa pemilihan Abu Bakar terjadi dengan banyak perdebatan. Hubab bin Mundzir, dari Anshar, bahkan menghunuskan pedang ke arah Muhajirin, dan Sa'ad bin Ubadah nyaris terinjak-injak. Ia juga sempat memegang dan menarik janggut Umar. [79]

Selanjutnya, kabilah Bani Aslam, yang berpihak kepada Muhajirin, memasuki Madinah dan memberikan baiat mereka kepada Abu Bakar. Suku ini berperan dalam mempercepat proses baiat di Madinah. [80] Dari Umar [catatan 2] diriwayatkan bahwa baiat dengan Abu Bakar adalah pekerjaan yang tanpa aturan dan tergesa-gesa (faltah) semoga Allah menyelamatkan masyarakat dari keburukannya. [81]

Syekh Mufid merangkum alasan kemenangan ini dalam sejumlah kalimat, seperti berikut: Sibuknya Ali bin Abi Thalib asdengan mengurusi upacara pemakaman Nabi saw; Jauhnya Bani Hasyim dari tempat kejadian, karena musibah yang menimpa mereka; perselisihan Anshar; tidak sukanya 'orang-orang yang tertolak dan umat Islam yang lemah' dari penundaan urusan. [82]

Awal Kekhalifahan

Sebuah hadis dari Imam Ali as dalam menyifati Nabi saw, ditulis oleh Hafiz Utsman, seorang kaligrafer abad ke-11 Hijriyah, dengan nama Khulafaur Rasyidin tertera di keempat sisinya (1103 H).

Sehari setelah kejadian Saqifah, Abu Bakar pergi ke masjid. Setelah memuji Tuhan, ia berkata:

"Wahai manusia, aku telah berkuasa atas kalian sementara aku bukan yang terbaik dari kalian. Bantulah aku dalam perbuatan baik, dan jika aku mulai menyimpang, bimbinglah aku ... Kelemahan kalian di sisiku adalah ketidakmampuan hingga nanti dengan kehendak Allah, kebenaran ini akan aku berikan kepada-Nya dan keperkasaan kalian di sisiku adalah satu kelemahan hingga dengan kehendak Allah kebenaran dapat aku junjung tinggi. Tidak seorangpun yang dapat merendahkan Jihad di jalan Allah. Karena setiap suku yang membenci jihad, Tuhan akan menghinakan mereka...Selama aku mengikuti Tuhan dan Rasul-Nya, taati dan patuhilah aku dan jika aku berpaling dari perintah Allah dan Rasul-Nya, ketika itu aku cabut hak kalian untuk mematuhiku. Berdirilah kalian semua untuk salat semoga Tuhan merahmati kalian semua."[83]

Dalam khotbah lainnya, setelah memuji Tuhan, ia berkata:

Wahai manusia, aku juga seperti kalian. Mungkin kalian mengharapkan saya melakukan seperti apa yang bisa dilakukan oleh Rasulullah saw. Allah telah memilih Muhammad saw dari alam dunia ini dan ia terjaga dari malapetaka, tetapi aku adalah pengikut bukan pendiri. Jika aku berjalan di jalan yang benar, kalian patuhi aku dan jika aku salah, luruskan aku. Berhati-hatilah bahwa aku adalah setan yang kadang-kadang menjatuhkanku. Setiap kali dia datang padaku, hindarilah aku. [84]

Khotbah-khotbah ini, menurut para cendekiawan dan ulama Ahlusunah, dianggap sebagai bukti adab, kerendahan hati, serta ketegaran Abu Bakar dalam mengikuti sunah-sunah kenabian. Selain itu, khotbah ini juga dianggap sebagai pedoman dalam pemerintahan. Namun, ulama Syiah berpendapat bahwa sebagian petikan khotbah tersebut menunjukkan kelemahan Abu Bakar dan menjadi alasan ketidaklayakannya sebagai khalifah. Mereka membahasnya dalam konteks doktrin Imamah. [85]

Meskipun Abu Bakar telah diangkat sebagai khalifah, sebagian Muhajirin dan Anshar menolak berbaiat kepadanya. Nama beberapa orang dari mereka yang dimuat dalam sumber-sumber adalah:

Dari kelompok tersebut, selain Sa'ad bin Ubadah yang mengklaim kekhalifahan, serta Abu Sufyan dan para pendukungnya yang memiliki kepentingan duniawi,[87] ada sekelompok lain yang berpendapat bahwa Imam Ali as. lebih berhak atas khilafah. Mereka mendasarkan pendapat ini pada andil besar Ali dalam Islam, kedekatannya dengan Nabi saw., serta kekerabatannya. Dalil yang digunakan di Saqifah untuk membuktikan keutamaan Abu Bakar juga, menurut mereka, lebih tepat jika diterapkan kepada Ali. [88] Mereka meyakini bahwa khilafah adalah hak Ali as dan kelompok Syiah Ali lainnya meyakini bahwa masalah suksesi dan kepemimpinan masyarakat Islam merupakan masalah yang paling tinggi dan urgen dalam kedudukan mazhab dan dengan bersandarkan pada ayat: اِنَّ اللّهَ اصْطَفی آدَمَ وَ نوحاً وَ آلَ اِبْراهیمَ وَ آلَ عِمْرانَ عَلَی الْعالَمینَ، ذُرّیهً بَعْضُها مِنْ بَعْضٍ… "Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing) sebagai satu keturunan yang sebagiannya berasal dari yang lain."[89] Mengatakan bahwa bahwa Nabi Muhammad dan keluarganya berasal dari keturunan Nabi Ibrahim yang memiliki keutamaan-keutamaan dibandingkan dengan yang lainnya.

Mereka juga berdalil dengan ayat: اِنَّما وَلیکُمُ اللّهُ وَ رَسولُهُ وَ الَّذینَ آمَنوا الّذینَ یقیمونَ الصّلوهَ وَ یؤتونَ الزّکوهَ وَهُمْ راکِعونَ [90] serta banyak ayat-ayat lainnya [91], begitu pula dengan berdasarkan hadis-hadis mutawatir seperti, Hadis Dar [92], Hadis Manzilah, [93] dan Hadis Ghadir [94], yang menyatakan bahwa kekhalifahan itu berdasarkan nash dan penentuan. [95]

Sa'ad bin Ubadah tidak pernah berbaiat kepada Abu Bakar dan Umar bin Khattab hingga akhir hayatnya. Pada masa kekhalifahan Umar, ia berhijrah ke Syam. Suatu malam, di daerah Horan (Suriah), ia ditemukan tewas. [96] Tetapi Baladzuri menukil riwayat Madaini, menuturkan bahwa Abu Mikhnaf dan Kalbi mengatakan bahwa Umar telah mengirim seorang laki-laki ke Horan dan memaksanya untuk memberikan baiat, jika dia tidak menerimanya maka mintalah kepada Tuhan untuk membantu melawannya. Laki-laki itu bertemu dengan Sa'ad, karena dia tidak bisa mengambil baiat darinya, maka dia membunuhnya dengan anak panah. Balazduri kemudian mengisyaratkan pada satu riwayat yang terkenal, yang mana menurut riwayat tersebut "Sa'ad dibunuh oleh para jin". [97]

Pengambilan Baiat dari Imam Ali as

Kebanyakan riwayat sejarah menunjukkan ketidakpuasan Imam Ali as untuk berbaiat pada Abu Bakar serta penolakannya. Tekanan dan kekerasan terhadap dirinya, keluarga, dan para sahabatnya dilakukan semata-mata untuk memaksanya berbaiat. Imam Ali as sendiri memberikan isyarat jelas tentang penolakannya terhadap baiat tersebut. [98]

Dua Riwayat Ibnu Qutaibah Dinawari

Dalam buku al-Imāmah wa al-Siyāsah, terdapat dua hadis yang berkaitan dengan hal ini dan termasuk dalam hadis-hadis yang lebih luas cakupannya.

Hadis Pertama

Hadis pertama meriwayatkan sebagai berikut: Umar bersama sekelompok orang, termasuk Usaid bin Hudhair dan Salmah bin Aslam, pergi ke rumah Ali as meminta kepada Bani Hasyim supaya pergi ke masjid untuk memberikan baiat kepada Abu Bakar, namun mereka tidak menerimanya dan Zubair bin Awwam datang dengan pedang terhunus. Atas perintah Umar, Salmah berdiri, mengambil pedang Zubair, lalu melemparkannya ke tembok. Mereka membawa Zubair dan iapun berbaiat pada Abu Bakar. Begitu juga dengan Bani Hasyim berbaiat kepadanya. Namun, Imam Ali as menolak berbaiat dan menyatakan bahwa kekhalifahan adalah haknya sama seperti pengakuan dan hujah yang dikatakan Abu Bakar di depan Anshar. Umar berkata: "Kami tidak akan melepaskanmu sehingga engkau melakukan baiat". Ali as berkata kepadanya: "Manfaatkanlah kekhalifahan dengan baik karena engkau juga akan merasakannya, tegakkanlah urusan kekuasaan hari ini sehingga esok akan diserahkan kepadamu". Lalu Abu Bakar berkata kepadanya: "Jika kamu tidak mau berbaiat padaku, aku tidak akan memaksamu". Ketika itu Abu Ubaidah al-Jarrah berpesan kepada Ali as untuk menyerahkan khilafah kepada Abu Bakar. Kemudian Ali as menjelaskan tentang hakikatnya dan Ahlulbait as dalam urusan khilafah yang disampaikan kepada Muhajirin. Ia memperingatkan mereka agar tidak mengikuti hawa nafsu dan menyimpang dari jalan Allah swt. Basyir bin Sa'ad al-Anshari berkata kepada Ali as: "Jika Anshar sebelum berbaiat dengan Abu Bakar mendengar perkataanmu ini, walau dua orang maka mereka tidak akan berselisih tentangmu".

Pada malam hari, Imam Ali as dan Fatimah sa, putri Nabi saw, menaiki tunggangan dan pergi ke rumah-rumah Anshar untuk meminta dukungan. Namun mereka berkata: "Wahai putri Nabi Allah, jika suamimu meminta kepada kami sebelum Abu Bakar, maka ia sama sekali tidak ada bandingannya dengan suamimu....[99]

Hadis Kedua

Hadis kedua, yang kemungkinan merupakan penggalan yang tertukar dengan hadis pertama, meriwayatkan sebagai berikut: Abu Bakar bertanya mengenai sekelompok orang yang tidak mau berbaiat kepadanya dan berkumpul di sekitar Ali as, lalu mengirim Umar untuk mendatangi mereka. Umar mendatangi pintu rumah Ali as dan memanggil mereka dari luar, namun tak seorangpun ada yang keluar. Kemudian Umar meminta kayu bakar dan berkata: "Aku bersumpah demi jiwa Umar yang berada di tangan-Nya, jika kalian tidak keluar, rumah ini dengan siapa saja yang berada di dalamnya, akan aku bakar". Mereka berkata kepadanya:" Wahai Abu Hafs, jika Fatimah berada di dalamnya, bagaimana?", "Meskipun dia ada di dalamnya," jawab Umar.[100] Lalu semua keluar dan melakukan baiat, kecuali Ali as…[101] Kejadian-kejadian selanjutnya mencakup pesan Ali as, ucapan-ucapan Fatimah sa yang berisi celaan dan makian, pengiriman berulang kali kelompok-kelompok yang menggerakkan Umar untuk mengambil baiat dari Ali as, menyeret Ali as ke masjid, mengancamnya dengan pembunuhan, ucapan-ucapan keras Ali as, kutukan Fatimah sa dan akhirnya dilaporkan tentang tangisan Abu Bakar dan permohonan pembatalan baiat darinya.[102]

Para pendukung Imam Ali as mengungkapkan keyakinan dan dukungan mereka terhadapnya serta terhadap haknya atas khilafah. Ucapan Salman yang sebagiannya menggunnakan bahasa Persia dan sebagian lainnya dalam bahasa Arab, juga dinukil dalam sumber-sumber Ahlusunah. Dia berkata: "Kardaz wa nokardaz", yaitu kalian lakukan atau tidak kalian lakukan, jika mereka berbaiat dengan Ali, semuanya akan mengambil manfaat darinya.[103]

Beberapa sumber, meskipun dipengaruhi oleh pandangan politik atau keyakinan tertentu, berusaha menghindari penyebutan hadis ini secara sempurna atau sekedar menyinggungnya, tetapi baik disadari atau tidak dengan menyebutkan ucapan-ucapan Abu Bakar ketika ia terbaring sakit, menegaskan tentang kejadian ini. Berdasarkan riwayat-riwayat ini, Menjelang akhir hayatnya, Abu Bakar berkata: "Ya, aku tidak menyesal dengan apa yang terjadi di dunia, kecuali tiga perbuatan andai saja aku tidak melakukan hal yang pernah aku lakukan dan andai saja aku melakukan tiga perbuatan yang tidak aku kerjakan… andai saja rumah Fatimah, jikapun mereka tutup dengan tujuan perang, aku tidak membukanya…"[104] Juga ketika Bani Hasyim menolak berbaiat kepada Abdullah bin Zubair, dan ia mengancam mereka untuk membakarnya, saudaranya Urwah bin Zubair dalam menjustifikasi perbuatan ini bersandar pada serangan ke rumah Sayidah Zahra sa.[105]

Meskipun Umar bin Khattab dalam khotbahnya di atas mimbar masjid Madinah dalam melaporkan Peristiwa Saqifah, berkata: "Ali dan Zubair serta sekelompok lainnya berpaling dari kami dan berkumpul di rumah Fatimah".[106] Dengan perkataan ini ia mengakui akan penolakan Ali as dan bergabungnya sekelompok orang dengannya, namun para sejarawan Ahlusunah, kecuali beberapa orang, tidak menunjukkan kecondongan mereka untuk menyebut atau mengutarakan secara detail tentang masalah ini. Bahkan di salah satu dari riwayat-riwayat ini menyebut nama Saif dalam silsilah persanadannya,[catatan 3] dimuat semacam ini: Ketika Ali as mendengar bahwa Abu Bakar duduk untuk dibaiat, sangking takut terlambatnya dalam hal ini, beliau tampak tergesa-gesa datang ke masjid dengan hanya berpakaian yang menempel di badannya tanpa jubah dan serban, lalu melakukan baiat dan dia duduk di sampingnya. Setelah itu ia mengirim seseorang ke rumah supaya jubahnya dibawakan ke masjid.[107]

Masa Baiat

Hadis-hadis tentang penolakan Ali as terhadap baiat, serta waktu dan cara baiatnya kepada Abu Bakar, sangat bervariasi dan terkadang saling bertentangan. Penjelasan tentang peristiwa ini disebutkan secara acak dalam berbagai sumber, setiap hadis dicatat secara terpisah tanpa mengaitkannya dengan hadis lainnya. Selain itu, urutan peristiwanya juga tidak jelas. Oleh karena itu, sulit untuk memastikan apakah pengambilan baiat dari Ali as dan para pengikutnya dilakukan segera setelah perkumpulan Saqifah, setelah sebelumnya mengambil baiat umum atau setelah pemakaman Nabi saw.[108]

Hadis-hadis ini dapat dibagi menjadi dua bagian: Satu kelompok dengan sedikit perselisihan dalam lafaz dan kandungan yang berisikan bahwa Ali as beberapa jam setelah baiat umum, baik dengan keikhlasan atau paksaan berbaiat pada Abu Bakar.[109] Menurut sebagian penukilan-penukilan sejarah, Ali as sampai 6 bulan, tidak mau berbaiat kepada Abu Bakar.[110], bahkan dalam Sebagian riwayat dimuat bahwa tidak ada seorangpun dari Bani Hasyim yang berbaiat pada Abu bakar sampai Ali as berbaiat kepadanya.[111]

Sebab Baiat

Tampaknya apa yang memaksa Ali as untuk berbaiat dengan Abu Bakar, tersebarnya kemurtadan secara cepat, penyelewengan para suku dan munculnya para pengaku nabi di Semenanjung Arab.[112] Sebagian sumber-sumber memberikan kemungkinan suasana penekanan dan takut kehilangan nyawa dalam penerimaan baiat cukup berpengaruh, karena telah diriwayatkan bahwa suatu hari Abu Hanifah bertanya kepada Mu'min Thaq; "Jika kekhalifahan secara sah adalah milik Ali, mengapa dia tidak bangkit untuk mengambil haknya?" Dia menjawab: "Dia takut dibunuh oleh para Jin sebagaimana Sa'ad bin Ubadah!". [113]

Fadak

Salah satu tindakan Abu Bakar di awal kekhalifahannya adalah menyita secara paksa tanah Fadak.[114] Pada sebagian sumber-sumber Ahlusunah mengisyaratkan masalah penyitaan tanah Fadak, protes Fatimah sa dan permintaan haknya, jawaban Abu Bakar serta murka putri Nabi saw kepadanya.[115] Sebagian sumber lainnya mencatat riwayat yang lebih rinci mengenai penyitaan tanah Fadak.[116]

Para peneliti Syiah berdasarkan sumber-sumber Ahlusunah menunjukkan bahwa Fatimah sa sejak Abu Bakar memerintahkan penyitaan tanah Fadak, beliau berulang kali -hingga akhir hayatnya yang singkat- berdalil di samping masyarakat Madinah atas keberhakkannya terhadap tanah Fadak. Tindakan dan juga perilaku para ajudan Abu Bakar dalam penyerangan ke rumah Ali as untuk pengambilan baiat membuat Fatimah sa sangat murka dan marah sehingga sampai akhir kehidupannya, beliau tidak mau berbicara dengan Abu Bakar. Beliau pun melarang Abu Bakar dan Aisyah untuk menghadiri upacara pemakaman jenazahnya.[117]

Diceritakan bahwa Abu Bakar, dengan menangis, pernah menuliskan sanad dan tanda bukti kepemilikan Fadak atas Fatimah sa setelah mendengarkan alasan-alasan yang dikemukakan oleh Fatimah sa. Namun Umar ketika mengetahui hal itu, ia lantas memprotes Abu Bakar. Kemudian sanad tersebut diambilnya dan ia robek-robek.[118]

Sebagian ulama Ahlusunah berkenaan dengan penyitaan tanah Fadak meyakini bahwa hal itu merupakan ijtihad dan batasan kemaslahatan khalifah. Namun, kaum Syiah berpendapat bahwa ini bukan sekadar penyitaan yang terjadi pada masa Abu Bakar dan sebaliknya, dilaporkan tentang pemberian dan pendermaan dari baitul mal demi tujuan pengokohan fondasi-fondasi kekhalifahan, tindakan ini betul-betul tindakan tercela, karena mengusik ketenangan Fatimah sa yang mana berdasarkan sabda Nabi saw sama dengan mengusik ketenangan Allah swt dan Nabi-Nya adalah suatu dosa yang besar dan ini merupakan salah satu aib, noda dan cela bagi Abu Bakar.[119]

Pengiriman Pasukan Usamah

Setelah penyitaan tanah Fadak, salah satu tindakan resmi awal pemerintahan Abu Bakar adalah mempersiapkan pasukan Usamah. Meskipun Abu Bakar menyadari gejolak di Semenanjung Arab—termasuk kemurtadan beberapa suku, munculnya nabi-nabi palsu, serta potensi pembelotan dari Yahudi dan Nasrani—ia tetap teguh menjalankan perintah Nabi saw dengan mengirim pasukan Usamah, tanpa mendengarkan pendapat dari kedua penasihatnya yaitu Umar dan Abu Ubaidah. Mereka berdua mengatakan bahwa pengiriman pasukan Usamah pada masa yang sensitif jauh dari pandangan akal. Dalam menjawab para penentangnya, ia berkata: "Demi Dzat yang jiwa Abu Bakar berada di tangannya, meskipun aku harus menghadapi ancaman binatang buas, kelompok Usamah akan aku kirim sebagaimana Nabi saw memerintahkannya…"[120]

Perang Riddah

Sementara berita meninggalnya Nabi saw masih belum sampai ke seluruh jazirah Arab, namun di beberapa wilayah, terjadi interaksi dalam bentuk yang bermacam-macam. Sebagian sumber menjelaskan bahwa banyak orang yang diperangi oleh Abu Bakar dengan alasan murtad, sejatinya mereka masih mendirikan salat, mereka meyakini Tauhid dan Kenabian. Tampaknya, mereka tidak secara resmi menerima kekhalifahan Abu Bakar atau menolak membayar zakat. Menurut Ibnu Katsir [121] selain Ibnu Majah, seluruh ulama hadis meriwayatkan bahwa Umar memprotes Abu Bakar karena bertindak tidak sesuai dengan Sunah Nabi, yakni memerangi orang-orang yang masih bersyahadat atas keesaan Allah dan kenabian Muhammad saw. Abu Bakar menjawab: "Demi Allah, dengan siapa saja yang membeda-bedakan antara salat dan zakat, dia akan aku perangi". Thabari juga menukil bahwa beberapa kelompok dari kaum Arab datang ke Madinah yang berikrar tentang salat, namun mereka enggan membayar zakat.[122] Di antara para penentang terdapat orang-orang yang memprotes kekhalifahan Abu Bakar dan enggan membayar zakat kepadanya.[123]

Sebagian ahli berpendapat bahwa pada masa itu penduduk jazirah Arab, selain kaum muslimin yang tegar, terdapat 3 kelompok:

1. Kelompok yang telah memeluk Islam, kemudian murtad
2. Kelompok yang enggan membayar zakat kepada Abu Bakar, tetapi mereka menerima salat
3. Kelompok mayoritas adalah kelompok yang masih dalam keraguan.[124]

Sebagian orang-orang meninggal dalam peperangan ini, begitu pula terbunuhnya Malik bin Nuwairah di tangan [[Khalid bin Walid] dan dukungan Abu Bakar padanya. Hal ini benar-benar bertentangan dengan Kitab Alquran dan Sunah Nabi saw dan ini merupakan noda serta aib Abu Bakar.[125] Pandangan sebagian para pembesar sahabat dan Ahlusunah seperti Abu Qatadah Anshari, Abdullah bin Umar dan bahkan Umar tentang pembunuhan Malik sesuai dengan pandangan ulama Syiah.[126]

Abu Bakar sebagaimana yang ia perintahkan kepada para komandan pasukan, dia secara lahir menampakkan kesopanan dan keramahan dalam menyergap para pembangkang serta memberikan hukuman yang keras dan tegas kepada mereka. Menurut sebuah riwayat, tindakan Abu Bakar terhadap Fuja'ah Sulami (Iyas bin Abdu Yalil) menggambarkan hal ini. Awalnya, Iyas datang kepada Abu Bakar untuk meminta senjata dan perlengkapan guna memerangi kaum Riddah. Namun, setelah mendapatkannya, ia justru menggunakannya untuk merampok kaum Muslim. Setelah Abu bakar mengalahkan dan menangkapnya, dia memerintahkan untuk menyalakan api besar di mushalla Madinah dan setelah Iyas dililit dalam sebuah kain lalu ia dilempar ke dalam api tersebut.[127]

Begitulah Abu Bakar mulai menyergap para penentang pemerintahan dan musuh-musuh Islam dengan bantuan kaum muslimin. Dalam waktu yang singkat ia mampu menundukkan para pembangkang di kawasan kira-kira dua bulan setengah (sejak Jumadil Awal atau Jumadil Akhir 11 H/632 hingga akhir tahun tersebut. Berbagai kekacauan yang terjadi di wilayah-wilayah jauh, termasuk pemberontakan para pengaku nabi seperti Aswad 'Unsa, Thalhah bin Khuwailid, Sajjah, dan Musailamah, berlangsung hingga pertengahan tahun berikutnya. Namun, dalam waktu satu tahun, Abu Bakar berhasil mengembalikan stabilitas Jazirah Arab di bawah panji Islam, sebagaimana pada masa Nabi saw.

Penaklukan-penaklukan di Luar Jazirah Arab

Setelah meredam berbagai kekacauan dalam Perang Riddah, Abu Bakar mulai menaklukkan Irak dan Syam untuk memperluas wilayah kekhalifahannya.

Serangan ke Iran

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, pemerintahan Sasanian melemah karena beberapa faktor, seperti perang saudara dan pergantian raja yang terus-menerus di Ctesiphon (sebelah timur Sungai Tigris). Faktor-faktor ini menyebabkan kekuasaan mereka melemah. Salah seorang Muslim, Matsna bin Haritsah, datang ke Madinah dan meminta izin kepada Khalifah untuk memerangi Iran. Awalnya, Abu Bakar menunjuknya untuk memimpin pasukan, tetapi kemudian ia mengutus Khalid bin Walid, yang saat itu berada di Irak, untuk mengambil alih komando. Ia juga menulis surat kepada Matsna agar bergabung dengan Khalid. [128]

Dalam peperangan ini, mereka dengan cepat berhasil menundukkan para pemimpin Sasanian dalam berbagai pertempuran serta menguasai beberapa wilayah Iran. Mereka juga berhasil merebut kota Hirah pada bulan Safar tahun 12 H/633.[129]

Serangan ke Syam

Pada tahun 12 H/633,[130] Abu Bakar mulai menyusun kekuatan militer dan menyiapkan pasukan untuk dikirim ke Syam. Pasukan ini berhasil menang dan menaklukkan beberapa wilayah di kawasan tersebut.[131] Setelah kemenangan ini, Kekaisaran Bizantium mengerahkan pasukan besar untuk menghadapi kaum Muslim.

Dua pasukan besar saling berhadapan di Yarmuk. Kaum Muslim meminta bantuan kepada Abu Bakar, dan ia pun memerintahkan Khalid bin Walid untuk berangkat dari Irak menuju Syam.[132] Khalid tiba di Yarmuk setelah menaklukkan beberapa wilayah dan mengalahkan pasukan Romawi di Bosra (provinsi Hauran, Suriah bagian selatan) dan Ajnadayn.

Ketika perang masih berlangsung, seorang utusan dari Madinah tiba di Yarmuk dengan membawa surat dari Umar yang mengabarkan wafatnya Abu Bakar dan pengangkatan Umar sebagai khalifah baru. Surat itu juga menyampaikan pencopotan Khalid bin Walid sebagai panglima perang di Syam, yang kemudian digantikan oleh Abu Ubaidah. Namun, informasi ini dirahasiakan hingga kemenangan kaum Muslim tercapai.[133]

Pengumpulan Al-Qur'an

Setelah Nabi saw wafat, terjadi berbagai peristiwa besar seperti Peristiwa Yamamah (11 H/632), yang menyebabkan banyak sahabat dan para qari Al-Qur'an terbunuh. Kaum Muslim merasa sangat perlu untuk mengumpulkan Alquran agar tidak hilang.

Menelusuri secara mendalam pelaksanaan pengumpulan Alquran melalui berbagai riwayat yang berbeda bukanlah hal yang mudah. Tidak ada bukti jelas bahwa Abu Bakar secara langsung berperan dalam proses ini. Namun, menurut riwayat yang dinukil oleh Bukhari dari Zaid bin Tsabit, setelah pertempuran Yamamah, Abu Bakar—atas usulan Umar—memanggil Zaid dan menugaskannya untuk mengumpulkan Alquran.

Setelah mempertimbangkan hal tersebut, Zaid mulai mengumpulkan surah-surah dan ayat-ayat dari berbagai sumber. Sebagian ayat ditulis di pelepah kurma dan batu putih, sementara sebagian lainnya dihafal oleh kaum Muslim. Misalnya, Zaid menemukan dua ayat terakhir surah At-Taubah dari Khuzaimah bin Tsabit (dzusyahadatain).[134]

Naskah ini tetap berada di tangan Abu Bakar hingga wafatnya, kemudian disimpan oleh Umar, dan setelah itu diwariskan kepada Hafsah, putri Umar. [135] Riwayat lain memberikan banyak informasi tentang bagaimana Zaid mengumpulkan naskah, siapa saja pendukung dan pembimbingnya, serta jenis halaman yang digunakannya.

Utsman bin Affan kemudian meminjam mushaf ini dari Hafsah untuk menyusun Alquran dalam versi final. Setelah itu, ia memerintahkan agar semua mushaf lain yang ada dibakar, kecuali mushaf milik Hafsah. Mushaf tersebut kemudian dikembalikan kepada Hafsah dalam keadaan utuh.

Marwan bin Hakam (64-65 H/673-674), gubernur Madinah pada masa kekuasaan Muawiyah, pernah meminta mushaf tersebut dari Hafsah, tetapi Hafsah menolaknya. Setelah Hafsah meninggal (45 H/665), mushaf itu jatuh ke tangan Abdullah bin Umar. Marwan kembali mengutus seseorang untuk meminta mushaf dari Abdullah bin Umar, dan kali ini utusan tersebut berhasil mengambilnya. Marwan kemudian memerintahkan agar mushaf tersebut dihancurkan untuk menghindari perbedaan dengan mushaf standar yang telah disusun oleh Utsman.[136]

Metode Kepemerintahan

Selama kekhalifahan singkatnya (2 tahun beberapa bulan), Abu Bakar banyak menghabiskan waktunya dalam peperangan, tanpa membangun agenda atau sistem pemerintahan yang signifikan. Untuk memperkokoh fondasi kekuasaannya, ia berusaha menunjukkan bahwa pemerintahannya berlandaskan Alquran danSunah Nabi saw.

Beberapa tindakannya, seperti mengirim pasukan Usamah meskipun mendapat penolakan dari sebagian sahabat, menegaskan hal ini. Setiap kali menghadapi permasalahan yang menuntut kemaslahatan pemerintahan, ia menyelesaikannya dengan ijtihad bi ra'yi (pendapatnya sendiri). Ibnu Sa'ad, mengutip Ibnu Sirin, menulis bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling berani dalam berijtihad setelah Nabi saw wafat. Ia pernah berkata:

"Aku berijtihad dengan pendapatku sendiri. Jika benar, itu dari Allah, dan jika salah, itu dariku, dan aku memohon ampun kepada-Nya." [137]

Meskipun secara umum diketahui bahwa Dewan Atha (lembaga pembagian hak dari baitul mal) didirikan pada masa kekhalifahan Umar [138], beberapa sumber menyebutkan bahwa lembaga ini sudah ada sejak zaman Abu Bakar.

Menurut Ibnu Sa'ad [139] dan Ibnu Atsir [140], baitul mal dipindahkan ke Madinah. Sebelumnya, baitul mal berada di Sunh tanpa penjaga, karena setiap harta yang masuk langsung dibagikan kepada kaum Muslim tanpa tersisa. Setelah dipindahkan ke Madinah, baitul mal disimpan di rumahnya.

Di awal tahun pertama kekhalifahannya, sejumlah harta dari Bahrain sampai ke baitul mal. Abu Bakar membagikannya kepada beberapa orang yang pernah dijanjikan Nabi saw untuk menerima sesuatu, lalu sisanya dibagikan secara merata kepada semua orang—baik orang besar maupun kecil, budak maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan. Setiap orang menerima tujuh sepertiga dirham. Pada tahun berikutnya, harta yang lebih besar kembali masuk ke baitul mal, dan Abu Bakar kembali membagikannya secara merata, di mana setiap orang menerima 20 dirham.

Dalam hal ini, Abu Bakar tetap mengamalkan sunah Rasulullah saw. Ia menolak usulan beberapa orang yang menginginkan pembagian harta berdasarkan status sosial atau latar belakang. [141]

Ibnu Sa'ad berkata:

"Setelah Abu Bakar wafat, Umar membuka pintu baitul mal di hadapan para pembesar dan orang-orang terpercaya. Di dalamnya, mereka hanya menemukan satu dinar dalam sebuah kantong yang jatuh terselip." [142]

Para Ajudan

Selama dua tahun lebih masa kekhalifahannya, Abu Bakar banyak terlibat dalam peperangan. Ketika pertempuran dengan Iran dan Syam masih berlangsung, ia pun meninggal dunia.

Sebagian besar ajudan dalam pemerintahannya adalah para komandan dan panglima pasukan, kecuali beberapa orang yang menduduki posisi administrasi pemerintahan. Berbagai sumber menyebutkan beberapa nama ajudannya, di antaranya:

  • Umar bin Khattab: Menjabat sebagai jaksa pengadilan.
  • Abu Ubaidah: Bertugas sebagai bendahara baitul mal.
  • 'Attab bin Usaid: Pejabat administrasi di Mekah.
  • Utsman bin Abi al-Ash: Pejabat administrasi di Thaif.
  • Zaid bin Tsabit dan Utsman bin Affan: Bertugas sebagai sekretaris pencatatan dan penulisan administrasi.[143]

Menurut riwayat Thabari, Zaid bertanggung jawab atas penulisan administrasi, sementara Utsman menangani penulisan berita.[144][catatan 4]

Setiap kali Abu Bakar tidak berada di Madinah, ia menyerahkan pelaksanaan salat kepada Umar. Sementara itu, Utsman atau Usamah sering ditunjuk sebagai wakilnya di Madinah. [145]

Menurut Ya'qubi, para fakih (ahli hukum Islam) pada masa Abu Bakar adalah:

Penentuan Penerus

Keterangan mengenai pemilihan dan pelantikan Umar sebagai penerus tidak sepenuhnya sama dalam berbagai sumber sejarah. Meskipun sebagian besar riwayat menyebut adanya persetujuan Abu Bakar dengan beberapa sahabat—seperti Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqqash, serta anggota keluarganya seperti Aisyah dan putra-putrinya—tetap terlihat jelas bahwa Abu Bakar telah memutuskan untuk mengangkat Umar sebagai penerusnya. Semua keberatan yang disampaikan oleh para penasihatnya mengenai Umar ditolak oleh Abu Bakar. [147]

Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa Abu Bakar telah lama memiliki niat untuk mengangkat Umar sebagai penerusnya adalah:

  1. Peristiwa Saqifah dan dukungannya terhadap Umar dalam diskusi tentang kepemimpinan.
  2. Penyerahan kepemimpinan salat dan urusan pengadilan kepada Umar, karena baginya salah satu bukti keunggulan seseorang adalah kemampuannya memimpin masyarakat.
  3. Meminta izin kepada Usamah bin Zaid agar Umar tetap tinggal di Madinah untuk membantu administrasi pemerintahan Khalifah.

Menurut riwayat Thabari [148] dan Ibnu Hibban [149], Abu Bakar secara pribadi memanggil Usman bin Affan dan berkata:

"Tulislah: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah perjanjian Abu Bakar bin Abi Quhafah dengan kaum Muslimin. Amma ba'd..."

Namun, dalam keadaan itu Abu Bakar tiba-tiba kehilangan kesadaran. Melihat hal tersebut, Usman mengambil inisiatif dan melanjutkan tulisan:

"Amma ba'd, aku melantik Umar bin Khattab sebagai penerusku atas kalian, dan aku tidak meninggalkan apa pun untuk kalian kecuali keinginan dalam kebaikan."

Ketika Abu Bakar sadar kembali, ia meminta agar tulisan tersebut dibacakan untuknya. Setelah mendengar nama Umar disebutkan, ia langsung bertakbir dan berkata:

"Apakah kamu khawatir jika aku meninggal dalam keadaan tidak sadar, masyarakat akan berselisih?"

Usman menjawab, "Ya."

Dalam riwayat Ya'qubi [150] dan Ibnu Qutaibah [151], tidak disebutkan bahwa Abu Bakar sempat kehilangan kesadaran. Selain itu, isi teks perjanjian yang dinukil dalam riwayat-riwayat ini berbeda dengan sumber lainnya dan memiliki variasi yang cukup signifikan.

Teks yang dikutip oleh Ibnu Qutaibah lebih rinci, termasuk pernyataan Abu Bakar:

"Aku tidak mengetahui yang gaib. Dugaanku adalah bahwa Umar adalah orang yang adil. Jika ternyata sebaliknya, maka Allah lebih mengetahui, dan niatku adalah kebaikan." [152]

Menurut riwayat dalam kitab Shahih Ibnu Hibban, setelah mendengar teks perjanjian tersebut, Abu Bakar mendoakan Usman dan mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berkata:

"Ya Allah, tanpa ada perintah dari Nabi-Mu, aku telah menyerahkan kekuasaan ini kepada Umar. Aku tidak bermaksud apa pun kecuali demi kemaslahatan umat dan mencegah timbulnya fitnah." [153]

Ia juga menambahkan:

"Aku berijtihad dengan pendapatku sendiri. Orang terbaik dan terkuat dari mereka telah aku pilih, dan aku sama sekali tidak berpihak kepada Umar." [154]

Dalam kitab Al-Imamah wa Al-Siyasah, disebutkan bahwa Abu Bakar mengumpulkan masyarakat dan berkata:

"Jika kalian menghendaki, berkumpullah dan sepakati siapa yang akan kalian angkat sebagai pemimpin. Jika kalian menginginkan, aku akan berijtihad dalam hal ini…"

Lalu, ia menangis, dan masyarakat pun ikut menangis. Mereka berkata:

"Wahai penerus Rasulullah, engkau lebih mengetahui dan lebih baik dari kami."

Setelah itu, Abu Bakar memanggil Umar dan menyerahkan surat keputusan kepadanya untuk dibacakan di hadapan masyarakat.

Dalam perjalanan, seseorang bertanya kepada Umar:

"Abu Hafs, apa isi surat itu?"

Umar menjawab:

"Aku tidak tahu. Namun, apa pun yang tertulis di dalamnya, aku adalah orang pertama yang mendengar dan taat."

Orang itu berkata:

"Demi Allah, aku tahu isinya! Tahun lalu, Abu Bakar menjadikanmu sebagai pemimpin militer, dan tahun ini ia menjadikanmu Khalifah!" [155]

Kepribadian dan Kehidupan Abu Bakar

Abu Bakar digambarkan sebagai seorang pria bertubuh tinggi dan kurus, berkulit putih dengan dahi menonjol. Matanya cekung, pipinya tirus, dan janggutnya tipis, yang sering diwarnai dengan pacar, sehingga kadang terlihat kemerah-merahan. [156]

Ia dikenal sebagai sosok yang lembut, disukai, dan sopan. [157] Beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa ia memiliki sifat dermawan dan mudah menangis.[158] Bul juga menulis bahwa, kecuali dalam beberapa kasus tertentu, Abu Bakar tidak dikenal sebagai pemimpin yang keras. Sikap tolerannya terhadap orang-orang yang kembali dari kemurtadan menjadi faktor utama dalam mengembalikan stabilitas di Jazirah Arab. [159]

Namun, ada pandangan berbeda yang disampaikan oleh Lamnes berdasarkan sumber-sumber Ahlusunah. Ia menulis bahwa meskipun dalam beberapa riwayat Abu Bakar digambarkan sebagai seorang mukmin yang sederhana, baik, dan sensitif—yang mudah meneteskan air mata—pada kenyataannya ia adalah sosok yang kuat, serius, dan cukup keras. Bahkan, Umar bin Khattab, yang dikenal sebagai pribadi tegas, pernah mundur di hadapan Abu Bakar.

Lamnes juga mengutip riwayat dari Baladzuri [160], yang menyebut bahwa Nabi Muhammad saw memiliki pandangan serupa tentang Abu Bakar. Hal ini dikaitkan dengan pernyataan bahwa Aisyah, putrinya, mewarisi sifat kerasnya. Menurut Lamnes, Abu Bakar bukan hanya lebih tua dibandingkan Umar, tetapi juga unggul dalam ketenangan, kecerdasan, dan kehati-hatian.[catatan 5] Pada hari Saqifah, ia tampak seperti seorang murid di hadapan gurunya. Dalam menghadapi para pemberontak yang murtad, ia tetap teguh pada keputusannya, meskipun ditentang oleh para sahabat senior. Ia sama sekali tidak membiarkan rasa takut menghalanginya dalam menghadapi ancaman serangan ke Madinah. [161]

Sifat keras Abu Bakar juga ditegaskan dalam sebuah riwayat dari Asma', putrinya, serta keluarga Nadha'. Dalam riwayat yang dimuat oleh Waqidi, diceritakan bahwa dalam keadaan ihram di hadapan Nabi saw, Abu Bakar memukul budaknya karena telah menghilangkan unta dan perbekalan safarnya. [162]

Menurut Lamnes, citra Abu Bakar yang berkembang dalam historiografi Islam tidak sepenuhnya mencerminkan karakter aslinya. Banyak faktor, termasuk agama, politik, kekerabatan, dan kekabilahan, berperan dalam membentuk narasi sejarah tentang keutamaan dan keistimewaannya. Ia berpendapat bahwa ajaran-ajaran kuat dari Madinah serta para penulis dari keluarga Zubair memainkan peran dalam mengukuhkan posisi Abu Bakar dalam sejarah Islam, hingga namanya selalu dikaitkan dengan "keutamaan" dan "keistimewaan".

Dalam sumber-sumber Ahlusunah, banyak literatur sejarah, biografi, serta kitab-kitab tentang kehidupan Nabi saw yang memuat bab khusus mengenai keutamaan dan latar belakang Abu Bakar. Mereka meyakini bahwa ada ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengannya, seperti:

  1. اِنَّ اللّهَ اشْتَری مِنَ المُؤْمِنینَ اَنْفُسَهُمْ وَ اَمْوالَهُمْ بِاَنَّ لهم الْجَنَّهَ ] [163]
  2. فَاَمّا مَنْ اَعْطی وَاتَّقی [164]
  3. ثانی اثْنَینِ... فَاَنْزَلَ اللّهُ سَکینَتَهُ عَلَیهِ [165]

Hadis-hadis tentang keutamaannya juga banyak disebutkan, seperti:

  • "لوکنت متخذاً من امتی خلیلاً لاتخذت ابابکر و لکن اخی وصاحبی" [166]
  • "مَثَل ابوبکر کمثل میکائیل ینزل برضاءاللّه..." [167]

Allamah Amini secara khusus membahas dan mengkritisi riwayat-riwayat keutamaan Abu Bakar dalam jilid ketujuh kitab Al-Ghadir. [168]

Abu Bakar juga dikisahkan memiliki kemampuan dalam menafsirkan mimpi. Salah satu mimpi yang pernah ia tafsirkan adalah mimpi Nabi Muhammad saw.[169] Waqidi menyebutkan bahwa Abu Bakar juga memiliki pengetahuan dalam bidang puisi. [170] Beberapa sahabat seperti Umar, Usman, Ali, Abdurrahman bin Auf, dan Ibnu Mas'ud diketahui pernah meriwayatkan hadis dari Abu Bakar. [171] Namun, meskipun ia merupakan sahabat yang dekat dengan Nabi saw, hanya 142 hadis yang dinisbahkan kepadanya.

Kehidupan Pribadi Abu Bakar

Abu Bakar tinggal di Sunh, sekitar 1,6 km dari Masjid Nabawi, bersama istrinya, Habibah binti Kharijah. Rumahnya sederhana, hanya terdiri dari ruangan yang terbuat dari ranting pohon kurma. Ia baru pindah ke Madinah sekitar enam hingga tujuh bulan setelah baiat. Selama itu, ia sering bepergian ke Madinah dengan berjalan kaki atau menaiki kuda, lalu kembali ke Sunh setelah salat Isya'.

Di Sunh, Abu Bakar memerah susu untuk tetangganya dan menggembalakan dombanya. Aktivitas ini tetap ia lakukan bahkan setelah menjadi khalifah. [172] Dalam beberapa riwayat, disebutkan bahwa setelah menjadi khalifah, ia masih menjalankan bisnisnya sendiri dan berpakaian sederhana saat berdagang di waktu subuh. Keadaan ini terus berlanjut hingga Abu Ubaidah, pejabat bendahara Baitul Mal, menetapkan gaji untuknya. [173]

Terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah gaji Abu Bakar. Ada yang menyebut ia menerima jumlah tetap yang setara dengan seorang Muhajirin, yaitu setengah dari standar mereka, atau dalam riwayat lain, ia hanya mendapat bagian dari seekor domba untuk kebutuhan makan dan pakaian musim panas serta musim dingin. Ada pula yang menyatakan bahwa ia menerima gaji sebesar 2.500 hingga 6.000 dirham per tahun. [174]

Wafat

Pada hari Senin, 7 Jumadil Akhir tahun 13 H (634 M), Abu Bakar mandi di tengah cuaca yang sangat dingin. Setelah itu, ia jatuh sakit dan mengalami demam sehingga tidak dapat menghadiri salat jamaah bersama masyarakat. Selama 15 hari masa sakitnya, Umar menggantikan posisinya sebagai imam salat. Seiring waktu, orang-orang mulai menjenguknya.

Pada malam Selasa, 22 Jumadil Akhir tahun yang sama, Abu Bakar wafat dalam usia 62 tahun setelah memegang tampuk kekhalifahan selama 2 tahun, 3 bulan, dan 22 hari. [175] Sesuai dengan wasiatnya, jenazahnya dimandikan oleh istrinya, Asma'. Pada malam itu juga, Umar memimpin salat jenazahnya di masjid Nabi. Sesuai permintaan terakhirnya kepada Aisyah, ia dimakamkan di samping makam Nabi saw dengan bantuan Utsman, Thalhah, dan beberapa sahabat lainnya. [176] Dalam masa sakitnya, Abu Bakar mengucapkan berbagai wasiat, di antaranya terkait dengan suksesi kepemimpinan Umar, protes yang pernah diarahkan kepadanya, serta urusan pribadi dan penyelesaian harta peninggalannya dengan Baitul Mal. [177] Selain itu, ada sebuah pernyataan yang dinukil dari Abu Bakar dengan sedikit perbedaan dalam lafaz dan makna dalam berbagai sumber. Pernyataan ini memiliki nilai penting dalam memahami beberapa misteri akhir hidupnya serta peristiwa-peristiwa dalam sejarah Islam.

Penyesalan di Akhir Hayat

Dalam masa sakitnya, Abu Bakar mengucapkan berbagai wasiat, di antaranya terkait dengan suksesi kepemimpinan Umar, protes yang pernah diarahkan kepadanya, serta urusan pribadi dan penyelesaian harta peninggalannya dengan Baitul Mal. [178] Selain itu, ada sebuah pernyataan yang dinukil dari Abu Bakar dengan sedikit perbedaan dalam lafaz dan makna dalam berbagai sumber. Pernyataan ini memiliki nilai penting dalam memahami beberapa misteri akhir hidupnya serta peristiwa-peristiwa dalam sejarah Islam.

Ketika Abdurrahman bin Auf menghiburnya dengan mengatakan, "Engkau selalu berbuat baik dan telah membawa banyak perbaikan, maka janganlah bersedih atas sesuatu dari dunia ini," Abu Bakar menjawab:

"Ya, aku tidak menyesali apa pun tentang dunia, kecuali tiga hal yang telah aku lakukan dan seandainya tidak aku lakukan, serta tiga hal yang seandainya aku tanyakan langsung kepada Rasulullah saw."

Tiga Hal yang Abu Bakar Sesali Telah Dilakukan:

  1. Seandainya aku tidak mendobrak pintu rumah Fatimah, meskipun mereka menutupnya untuk menentangku.
  2. Seandainya aku tidak membakar Faja'ah al-Sulami, melainkan langsung membunuhnya atau melepaskannya.
  3. Seandainya pada hari peristiwa Saqifah Bani Sa'idah, aku menyerahkan kekhalifahan kepada salah satu dari dua orang ini—Umar atau Abu Ubaidah—sehingga salah satu dari mereka menjadi Amir, sedangkan aku hanya menjadi menterinya.

Tiga Hal yang Abu Bakar Sesali Tidak Dilakukan:

  1. Seandainya aku membunuh Asy'ats bin Qais ketika ia dibawa kepadaku sebagai tawanan, karena aku merasa bahwa setiap kali ia melihat kejahatan, ia akan segera mendukungnya.
  2. Seandainya aku tetap tinggal di Dzul Qishshah dan ikut bertempur bersama Khalid bin Walid ketika ia aku utus untuk memerangi orang-orang murtad.
  3. Seandainya aku mengutus Khalid ke Syam dan Umar ke Irak, sehingga aku bisa membuka kedua tanganku ini untuk perjuangan di jalan Allah.

Kemudian, Abu Bakar membentangkan kedua tangannya dan menambahkan:

"Seandainya saja aku menanyakan kepada Nabi Allah saw tentang siapa yang sebenarnya berhak atas kekhalifahan, agar tidak ada seorang pun yang saling berselisih dalam memperjuangkannya. Dan seandainya aku bertanya kepadanya apakah anak perempuan dari saudara laki-laki dan bibi berhak mewarisi atau tidak, karena aku tidak yakin tentang hal ini." [179]

Abu Bakar dari Lisan Abu Bakar

Dalam sumber-sumber Ahlusunah, Abu Bakar pernah berkata:

"Saya mengambil alih urusan kalian; sementara aku bukan yang terbaik dari kalian; jika aku berbuat benar, bantulah aku; jika aku melakukan hal yang buruk, hentikan aku, karena saya memiliki setan yang selalu mengelabuiku." [180]

Riwayat ini telah disebutkan dalam banyak sumber Ahlusunah dengan kandungan yang mirip, termasuk: Ibnu Sa'ad dalam Thabaqat al-Kubra [181], Thabari dalam Tārikh Thabari [182], San'ani dalam Kitab al-Mushannaf [183], Ibnu Jauzi dalam al-Muntazham [184] ; Ibnu Taimiyyah dalam buku Minhaj al-Sunnah; [185] Suyuthi dalam kitab Tārikh al-Khulafa [186]

Ibnu Katsir setelah mengutip hadis ini dan menganggapnya sebagai hadis yang shahih. [187]

Catatan

  1. Untuk penjelasan dan telaah lebih lanjut silahkan merujuk ke ayat Laa Tahzan.
  2. Menurut penukilan Baladzuri riwayat ini dinukil dari Abu Bakar. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.590-591.
  3. Untuk informasi lebih lanjut tentang tertolaknya riwayat Saif, silahkan rujuk: Askari, Khamsun wa Miah al-Shahabi al-Mukhtalaq, 1405 H., jld.1, hlm.69-86; jld.2, hlm.29-34.
  4. Untuk mengetahui nama-nama lainnya silahkan rujuk: Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk,1387 H., jld.3, hlm.427; Ibnu Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh,1385 H., jld.2, hlm.420-421; Tārikh Ya'qubi, 1379 H., jld.2, hlm.138.
  5. Ya'qubi memiliki pandangan yang benar-benar berbeda. Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, 1379 H, jld.2, hlm.138

Catatan Kaki

  1. Ibnu Atsir al-Jaziri, Usud al-Ghābah, jld.3, hlm.223.
  2. Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm.168.
  3. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.169; Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm.167-168.
  4. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.170; Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.205.
  5. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.246; Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld.6, hlm.313.
  6. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.589; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.253-255; Mufid, al-Irsyād, hlm.102.
  7. Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm.168; Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.127.
  8. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.170; Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm.168.
  9. Untuk percontohan lihat: Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.205; Suyuthi, Tārikh al-Khulafa, hlm.28-29.
  10. Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm.168; Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.206.
  11. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.170.
  12. Deruzeh, Tārikh al-Arab fi al-Islām, hlm.26.
  13. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.171; Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.205.
  14. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.171; Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.205.
  15. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, 1394 H, jld. 2, hlm. 146; Ibn Qutaibah, al-Ma'arif, 1960 M, hlm. 169; Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 1387 H, jld. 2, hlm. 310; Nasa'i, Tahdzib Khushash al-Imam Ali, 1404 H, hlm. 21-22; Ibn Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, 1407 H, jld. 3, hlm. 26; Suyuthi, al-Jami' al-Shaghir, 1373 H, jld. 2, hlm. 50.
  16. Amini, al-Ghadir, 1403 H, jld. 2, hlm. 312-314.
  17. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.8, hlm.239, 276, 280-285, 360; Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm.172-173.
  18. Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.206.
  19. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.1, hlm.267; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm.317.
  20. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.1, hlm.264; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm.310; bandingkan dengan: Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.1, hlm.262; Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm.169;Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm.316; Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.23.
  21. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm.316.
  22. Amili, al-Shahih min Sirati al-Nabi al-A'zham, jld.2, hlm.324-330.
  23. Ahmad bin Hambal, Musnad, jld.6, hlm.349; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak al al-Shahihain, jld.3, hlm.243-245; Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ishābah, jld.4, hlm.116-117.
  24. Dzahabi, Mizān al-I’tidāl, jld.1, hlm.228; jld.1, hlm.18, 55, 86; jld.3, hlm.58,125,214,345; Ibnu Hajar al-Asqalani,Tahdzib al-Tahdzib, jld.9, hlm.220; jld.12, hlm.46.
  25. Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld.13, hlm.224.
  26. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.1, hlm.267-268; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.1, hlm.52-53.
  27. Lihat: Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm.317.
  28. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.124, 400.
  29. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.139.
  30. Zaryab, Sireh Rasulullah, hlm.115-116.
  31. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.1, hlm.310; Ahmad bin Hambal, Musnad, jld.2, hlm.204.
  32. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.2, hlm.11-13; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.1, hlm.67-69.
  33. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.1, hlm.340-341; Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.230-232.
  34. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.1, hlm.227-228.
  35. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.2, hlm.126-129; Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.1, hlm.227-229.
  36. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm.374.
  37. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.260.
  38. Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld.3, hlm.179.
  39. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.173-174; Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.2, hlm.136-137.
  40. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.174.
  41. Muhammad bin Ishaq, Sirah Rasulullah, hlm.485.
  42. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.173-174; Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.212.
  43. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.174.
  44. Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.26,55.
  45. Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.240.
  46. Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.336.
  47. Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.364.
  48. Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.386.
  49. Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.405.
  50. Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.448-449.
  51. Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.498.
  52. Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.536.
  53. Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.580.
  54. Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.644.
  55. Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.782,813.
  56. Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.900.
  57. Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.930-931.
  58. Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.991-996.
  59. Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.722.
  60. Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.770.
  61. Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld.13, hlm.170.
  62. Dzahabi, Tārikh al-Islām, jld.2, hlm.412; Ibnu Abi Syaibah, al-Kitāb al-Mushannaf fi al-Ahadist wal Atār, jld.6, hlm.367; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak ala al-Shahihain, jld.3, hlm.39; Iji, Kitāb al-Mawāqif, jld.3, hlm.634.
  63. Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.113.
  64. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.4, hlm.188-191.
  65. Lihat: Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.1077; Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.2, hlm.168-169; jld.3, hlm.177; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.10, hlm.41-47; Thusi, al-Tibyān, jld.5, hlm.169; Thabrasi, Majma’ al-Bayān fi Tafsir al-Qur’ān, jld.5, hlm.6.
  66. Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.1117.
  67. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.2, hlm.189-190, hlm.177.
  68. Bandingkan: Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.184; Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.4, hlm.253.
  69. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.186; Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld.1, hlm.159-162.
  70. Lihat: Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.2, hlm.215-224; jld.3, hlm.178; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.197; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.130-132.
  71. Lihat: Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.196; Bandingkan: Ahmad bin Hambal, Musnad, jld.1, hlm.356; Mufid, al-Irsyād, hlm.99.
  72. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.2, hlm.215-224; jld.3, hlm.179; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.130-132.
  73. Bukhari, Sahih Bukhari, jld.1, hlm. 174, 175, 183; Ahmad bin Hambal, Musnad, jld.6, hlm.234.
  74. Jakfar Murtadha, jld. 32, hal. 315-316.
  75. Ibnu Jauzi, Afāt Ashāb al-Hadits, hlm.49-50; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.132.
  76. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.2, hlm.189-190; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.184-186; Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld.1, hlm.159-160; Mufid, al-Irsyād, hlm.98.
  77. Ahmad bin Hambal, Musnad, jld.1, hlm.356; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.196.
  78. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.179; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.131; Mufid, al-Irsyād, hlm.98.
  79. Ibnu Jauzi, Afātu Ashāb al-Hadits, hlm.28.
  80. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.220-223; Halabi, al-Sirah al-Halabiyah, jld.3, hlm.359.
  81. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.205; Fayyadh, Tārikh Islām, hlm.131.
  82. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.204-206; Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.583-584; bandingkan: Nahjul Balāghah, khotbah 136.
  83. Mufid, al-Irsyād, hlm.101.
  84. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.4, hlm.311; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.204-206; bandingkan: Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.590-591; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.159-161.
  85. Azham, Asyhar Masyahir al-Islām, hlm.90-91; Deruzeh, Tārikh al-Arab fi al-Islām, hlm.30.
  86. Musawi Naisyaburi, Tasyiid al-Mathain, jld.1, hlm.197-224; Husaini Firuz Abadi, al-Sab'ah min al-Salaf, hlm.9-11.
  87. Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.123-126; Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.588; Ibnu Abdu Rabbah, al-'Aqd al-Farid, jld.4, hlm.259-260; Thabrasi, al-Ihtijāj, jld.1, hlm.97; Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld.1, hlm.44-61.
  88. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.588.
  89. Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.11-12; Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.582; Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.125-126; Nahjul Balāghah, khotbah 67.
  90. Q.S. Ali Imran, ayat 33-34.
  91. Q.S. Al-Maidah, ayat 55.
  92. Lihat: Mufid, al-Jamal wa al-Nushrah li Sayidil Itrah, hlm.32-33; Thabathabai, Syieh dar Islām, hlm.113.
  93. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm.319-321; Ahmad bin Hambal, Musnad, jld.1, hlm.111.
  94. Ghanji, kifāyah al-Thālib, hlm.281; Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.23-24; Mufid, al-Jamal wa al-Nushrah li Sayidil Itrah, hlm.33-34; Ibnu Shabagh, al-Fushul al-Muhimmah, hlm.39.
  95. Muhib Thabari, Dzakhāir al-‘Uqba, hlm.67-68; Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld.5, hlm.208-214; jld.7, hlm.346-351.
  96. Thabathabai, Syieh dar Islām, hlm.113-114.
  97. Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.10; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.222-223; Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.616-617.
  98. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.589; bandingkan: Ibnu Abdu Rabbah, al-'Aqd al-Farid, jld.4, hlm.260.
  99. Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.11-12; Thabrasi, al-Ihtijāj, jld.1, hlm.95-96; .
  100. Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.11-12; bandingkan: Mufid, al-Ikhtishāsh, hlm.184-187; Thabrasi, al-Ihtijāj, jld.1, hlm.95-96.
  101. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.586.
  102. Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.12.
  103. Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.13-14; bandingkan: Ibnu Abdu Rabbah, al-'Aqd al-Farid, jld.4, hlm.259; Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.126; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.202; Masudi, Muruj al-Dzahab, jld.2, hlm.308; Mufid, al-Irsyād, hlm.185-187.
  104. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.591; Thabarsi, al-Ihtijāj, jld.1, hlm.99.
  105. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.430-431; Masudi, Muruj al-Dzahab, jld.2, hlm.308; bandingkan: Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.137; Ibnu Abdu Rabbah, al-'Aqd al-Farid, jld.4, hlm.268.
  106. Masudi, Muruj al-Dzahab, jld.3, hlm.77.
  107. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld.4, hlm.308-310; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.204-205.
  108. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.207.
  109. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.582; Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.124-126.
  110. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.582; Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.11.
  111. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.208; Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.126; Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.586; Ibnu Abdu Rabbah, al-'Aqd al-Farid, jld.2, hlm.22, jld.4, hlm260; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.170-171; Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.222-223.
  112. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.588; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.387; Thabarsi, al-Ihtijāj, jld.1, hlm.95-105.
  113. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.587; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.208; Thabarsi, al-Ihtijāj, jld.2, hlm.381.
  114. Thuraihi, Majma' al-Bahrain, jld.3, hlm.371; Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld.16, hlm.268-269.
  115. Untuk percontohan lihat: Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.207-208.
  116. Baladzuri, Futuh al-Buldān, hlm.44-46.
  117. Muhaqiq Karaki, Nafahāt al-Lāhut, hlm.78; Amin, a’yān al-Syiah, jld.1, hlm.314; Bukhari, Sahih al-Bukhari, jld.5, hlm. 82; Ibnu Hajar Haitami, al-Shawa’iq al-Muhriqah, hlm.25; Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld.16, hlm.218.
  118. Halabi, al-Sirah al-Halabiyah, jld.3, hlm.362.
  119. Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld.1, hlm.222; Mufid, al-Jamal wa al-Nushrah li Sayidil Itrah, hlm.59.
  120. Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.1121; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.225-226; Azham, Asyhar Masyahir al-Islām, hlm.24-25; Fayyadh, Tārikh Islām, hlm.133.
  121. Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld.6, hlm.311.
  122. Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld.6, hlm.311.
  123. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.246; Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld.6, hlm.311.
  124. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.246; Fayyadh, Tārikh Islām, hlm.133.
  125. Sayid Murtadha, al-Syāfi fi al-Imāmah, jld.4, hlm.161-167; Thabathabai, Syieh dar Islām, hlm.11.
  126. Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.131-132; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.278; Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.4, hlm.295-296.
  127. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.264; Abu Ali Miskawaih, Tajārub al-Umam, jld.1, hlm.168.
  128. Baladzuri, Futuh al-Buldān, hlm.242; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.343, 344, 346.
  129. Lihat: Baladzuri, Futuh al-Buldān, hlm.243-244; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.344, 345, 348, 351, 353, 355, 358; Zarrinkub, Tārikhe Irān ba’daz Islām, hlm.346-350.
  130. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.387.
  131. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.115-116.
  132. Baladzuri, Futuh al-Buldān, hlm.140-141; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.314-392.
  133. Baladzuri, Futuh al-Buldān, hlm.118-122; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.395, 406, 407, 434.
  134. Bukhari, Sahih Bukhari, jld.6, hlm. 98.
  135. Bukhari, Sahih Bukhari, jld.6, hlm. 98-99.
  136. Ramyar, Tārikh Quran, hlm. 304 dan seterusnya.
  137. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.177-178.
  138. Abu Ubaid, al-Amwāl, hlm.231.
  139. Ibnu Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld.2, hlm.422.
  140. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.213.
  141. Ibnu Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld.2, hlm.22.
  142. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.213; Ibnu Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld.2, hlm.422; Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.134-154.
  143. Ibnu Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld.2, hlm.420-421.
  144. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 426.
  145. Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.182; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 241-247.
  146. Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.138.
  147. Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.191-192; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 428; Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.19; Ibnu Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld.2, hlm.425 .
  148. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 429.
  149. Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.192.
  150. Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.136, 138.
  151. Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.19.
  152. Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.19; lihat juga: Mubarrad, jld.1, hlm.17, dekat dengan kandungan ini.
  153. Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.19.
  154. Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.192-193.
  155. Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.19-20; bandingkan: Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.199; 200; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 428-430; Ibnu Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld.2, hlm.425-428.
  156. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.188-191; Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm.170; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 424.
  157. Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.108-109; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm.317; Ibnu Abdu Rabbah, al-'Aqd al-Farid, jld.3, hlm.284.
  158. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.179, 180; Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld.1, hlm.13-15.
  159. 1EI.
  160. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.415.
  161. lihat: hlm.125-127.
  162. Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.1094.
  163. Taubah, hlm.9, hlm.111.
  164. Q.S. Al-Lail, ayat 5.
  165. Q.S. Al-Taubah, ayat 9.
  166. Bukhari, Sahih Bukhari, jld.4, hlm. 191.
  167. Azham, Asyhar Masyahir al-Islām, hlm.14-15; Ibnu Hajar Haitami, al-Shawa’iq al-Muhriqah, hlm.98-102.
  168. Amini, al-Ghadir, jld.2, hlm.87-312.
  169. Waqidi, al-Maghāzi, jld.1, hlm.507, 544-544; jld.2, hlm.747-936; Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.177.
  170. Waqidi, al-Maghāzi, jld.2, hlm.807.
  171. Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.205.
  172. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 432; Ibnu Atsir al-Jaziri, Usd al-Ghābah, jld.3, hlm.219; Azham, Asyhar Masyahir al-Islām, hlm.89, nukilan dari Ibnu Asakir.
  173. Ibnu Sa'ad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.184-185.
  174. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.179, 180; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 432.
  175. Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.136-137; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm.419-420; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.191-194.
  176. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.203, 208,209; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 421-422; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.193-195.</.
  177. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.192-200; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 428-430; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.191-194.</.
  178. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.192-200; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 428-430; Ibnu Hibban, Kitab al-Tsiqāt, jld.2, hlm.191-194.</.
  179. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.3, hlm. 429-431; Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, jld.2, hlm.137; Masudi, Muruj al-Dzahab, jld.2, hlm.308-309; Ibnu Abdu Rabbah, al-'Aqd al-Farid, jld.4, hlm.268-269.
  180. Sajestani, al-Zuhd, hlm. 5.
  181. Ibnu Saad, Thabaqāt al-Kubrā, jld.3, hlm.212.</.
  182. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm. 244.
  183. San'ani, al-Mushannaf, jld.11, hlm. 336.
  184. Ibnu Jauzi, al-Muntazham,jld.4, hlm.69.
  185. Ibnu Taimiyyah, Minhāj al-Sunnah, jld.8, hlm.266.
  186. Suyuthi, Tārikh al-Khulafa, hlm.71.
  187. Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld.6, hlm.301.

Daftar Pustaka

  • Abu Ubaid, Qasim bin Sallam. Al-Amwāl. Riset: Abdul Amir Ali Muhanna. Beirut: Dar al-Hadatsah, 1988.
  • Ahmad bin Hanbal.Musnad Ahmad bin Hanbal. Kairo: 1313 H.
  • 'Amili, Sayid Ja'far Murtadha. As-Shahīh min Sīrah an-Nabī al-A'zham. Qom: 1400 H.
  • Amin, as-Sayid Muhsin. A'yān al-Syi'ah. Diedit: oleh Hasan Amin. Beirut: Dar al-Ta'aruf li al-Mathbu'at, 1403 H.
  • Amini, Abdul Husain Ahmad. Al-Ghadīr. Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1403 H.
  • 'Askari, Murtadha. Khamsūn wa Mi`ah as-Shahābī al-Mukhtalaq. Beirut: 1405 H.
  • 'Asqalani, Ibnu Hajar. Al-Ishābah fī Tamyīz ash-Shahābah. Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-'Arabi, 1328 H.
  • Asqalani, Ibnu Hajar. Tahdzīb al- Tahdzīb. Hyderabad (Dekkan):Majlis Da`irah al-Ma'arif an-Nizhamiyyah, 1326 H.
  • 'Azhm, Rofiq bin Mahmud. Asyhar Masyāhīr al-Islam. Beirut: 1403 H.
  • Baladzuri, Ahmad bin Yahya. Ansāb al-Asyrāf. Riset: Muhammad Hamidullah. Kairo: 1959.
  • Baladzuri, Ahmad bin Yahya. Ansāb al-Asyrāf. Riset: Muhammad Baqir al-Mahmudi. Beirut: Muassisah al-A'lami li al-Mathbu'at, 1394 H.
  • Baladzuri, Ahmad bin Yahya. Futūh al-Buldān. Riset: Ridhwan Muhammad Ridhwan. Beirut: 1398 H.
  • Bukhari, Muhammad bin Isma'il.Shahīh al-Bukhārī. Beirut: Dar Ihya` at-Turats al-Arabi, 1313 H.
  • Darwazah, Muhammad 'Izzah. Tārīkh al-Arab fī al-Islam. Beirut: Al-Maktabah al-Mishriyyah.
  • Dinawari, Ibnu Qutaibah. Al-Ma'ārif. Riset: Tsarwat 'Okasyah. Kairo: 1960.
  • Dinawari, Ibnu Qutaibah.Al-Imāmah wa al-Siyāsah. Kairo:, 1356 H.
  • Dzahabi, Muhammad bin Ahmad. Mīzān al-I'tidāl fī Naqdi ar-Rijāl. Riset: Ali Muhammad al-Bajawi. Beirut: Dar al-Fikr.
  • Dzahabi, Muhammad. Tārīkh al-Islām wa Wafayāt al-Masyāhīr wa al-A'lām. Cet. I. Diedit: Umar Abdus Salām Tadmuri. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi,1407 H.
  • Fayyadh, Ali Akbar. Tārīkh Islam. Teheran : Danesygah Teheran,1335 S(1976).
  • Ganji, Muhammad bin Yusuf. Kifāyah at-Thālib fī Manāqib 'Ali bin Abi Thālib. Riset: Muhammad Hadi Amini. Teheran: Dar Ihya` Turats Ahlul Bait 'Alaihimus Salam, 1362 S (1983).
  • Hakim Naisyaburi. Al-Mustadrak 'alā Shahīhain. Riset: Mushthafa Abdul Qodir Atha`. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1411 H.
  • Halabi, Ali bin Ibrahim bin Ahmad. Al-Sīrah al-Halabiyyah. Beirut: Al-Maktabah al-Islamiyyah.
  • Husaini Firuz Abadi, Murtadha. Al-Sab'atu minas Salaf. Qom: 1361 S(1982).
  • Ibnu 'Abdi Rabbih Andalusi, Ahmad bin Muhammad. al-'Iqd al-Farīd. Riset: Ahmad. Beirut: 1402 H.
  • Ibnu Abi al-Hadid, Abdul Hamid bin Hibatullah. Syarh Nahj al-Balāghah. Riset: Muhammad Abdul Karim an-Nimri. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418 H.
  • Ibnu Abi Syaibah al-Kufi, 'Abdullah bin Muhammad. al-Mushannaf fī al-Ahādīts wa al- Ātsār. Riset Kamal Yusuf al-Hut. Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 1409 H.
  • Ibnu Atsir, Ali bin Muhammad al-Jazari. Al-Kāmil fī At-Tārīkh. Beirut: Dar al-Shadir, 1385 H.
  • Ibnu Atsir, Ali bin Muhammad al-Jazari. Usd al-Ghābah fī Ma'rifat al-Shahābah. Kairo: 1286 H.
  • Ibnu Hajar Haitami, Ahmad. Ash-Shawā'iq al-Muhriqah. Beirut: 1405 H.
  • Ibnu Hibban, Muhammad. Ats-Tsiqāt. Hyderabad (Dekkan):1393 H.
  • Ibnu Hisyam. As-Sīrah an-Nabawiyyah. Riset: Muhammad Abul Fadhl Ibrahim. Kairo: 1355 H.
  • Ibnu Ishaq, Muhammad bin Ishaq bin Yasar. Sīrah Ibnu Ishāq. Diterjemahkan: Rafi'uddin Ishaq Hamedani. Riset: Ashghar Mahdawi. Teheran: Khawarizmi, 1360 HS (1981).
  • Ibnu Jauzi, Abdurrahman bin Ali. Afatu Ashhābil Hadīts. Riset Ali Husaini Milani. Qom: Markaz al-Haqaiq al-Islamiyyah, 1432 H.
  • Ibnu Jauzi, Abdurrahman bin Ali. Al-Muntazham fī Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk. Cet. I. Beirut: Dar Shadir, 1358 H.
  • Ibnu Katsir, Ismail bin Umar bin Katsir ad- Dimasyqi. Al-Bidāyah wa an-Nihāyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1407 H.
  • Ibnu Miskawaih, Abu Ali Razi. Tajārib al-Umam. Riset: Abul Qasim Imami. Tehran: Zarin, 1366 HS (1987).
  • Ibnu Saad, Muhammad bin Mani'. Ath-Thabaqāt al-Kubrā. Beirut: Dar ash-Shadir, 1968.
  • Ibnu Shabbagh, Ali bin Muhammad. Al-Fushūl al-Muhimmah. Najaf: 1950.
  • Ibnu Taimiyyah, Ahmad.Minhāj as-Sunnah an-Nabawiyyah. Riset: Muhammad Risyad Salim. Kairo: Muassisah Qurthubah, 1406 H.
  • Iji, Abdurrahmanbin Ahmad. al-Mawāqif fī Ilm al-Kalām. Cet. I. Riset: Abdurrahman Umairah. Beirut: Dar al-Jil, 1417 H.
  • Kurki, Ali bin Abdul Ali. Nafahāt al-Lāhūt. Teheran: Maktabah Nainawa.
  • Mahmud Ramyar. Tārīkh Qur'ān. Cet III. Teheran: Amir Kabir, 1362 HS (1983).
  • Mas'udi, Ali bin al-Husain. Murūj al-Dzahab wa Ma'ādin al-Jawhar. Riset: Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid. Beirut: 1387 H.
  • Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu'man. Al-Ikhtishāsh. Riset: Ali Akbar Ghaffari. Qom: 1357 HS (1978).
  • Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu'man. Al-Irsyād fī Ma'rifati Hujajillah 'ala al-'Ibād. Qom: Maktabah Bashirati.
  • Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu'man. Al-Jamal wa an-Nushrah li Sayyid al-'Itrah. Qom: Maktabah ad-Dawari.
  • Nasai, Ahmad bin Syu'aib. Tahdzīb Khashāish al-Imam Ali. Riset: Abu Ishaq Juwaini. Beirut: 'Alam al-Kutub, 1404 H.
  • Sajistani, Sulaiman bin Asy'ats. Al-Zuhdu. Cet. I.Kairo: Dar al-Misykat, 1993.
  • Sayid Murtadha, Ali bin Husain. Al-Syāfī' fī al-Imāmah. Riset Sayid Abduz Zahra Husaini. Teheran: Muassisah ash-Shadiq, 1410 H.
  • Shan'ani, Abdurrazzaq bin Hammam. al-Mushannaf. Cet. II. Riset Habiburrahman. Beirut: Al-Maktabah al-Islamiyyah, 1403 H.
  • Suyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakr. Al-Jāmi' ash-Shaghīr fi Ahādīts al-Basyīr wa an-Nadzīr. Kairo: 1373 H.
  • Suyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakr. Tārīkh al-Khulafā` . Riset Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid. Kairo:1371 H.
  • Thabari, Ahmad bin 'Abdullah. Dzakhāir al-'Uqbā. Kairo: Al-Maktabah al-Qudsi, 1356 H.
  • Thabari, Muhammad bin Jarir. Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk. Cet II. Riset Muhammad Abul Fadhl Ibrahim. Beirut: Dar Ihya' al-Turats al-'Arabi, 1387 H.
  • Thabathabai, Sayid Muhammad Husain. Syi'ah dar Islam. Qom: Dar at-Tabligh Islami, 1348 S (1969).
  • Thabrisi, Ahmad bin Ali. Al-Ihtijāj 'alā Ahli al-Lujāj. Riset: Muhammad Baqir Musawi Khurasan. Najaf: Nu'man,1386 H.
  • Thabrisi, Fadhl bin Hasan. Majma' al-Bayān fī Tafsīr al-Qur'ān. Riset: Hasyim Rasuli Mahallati dan Fadhlullah Yazdi. Beirut: Daru Ihya` at-Turats al-Arabi,1408 H.
  • Thuraihi, Fakhruddin bin Muhammad. Majma' al-Bahrain. Riset: Mahmud 'Adil. Teheran: Daftar-e Nasyr-e Farhangg-e Islami,1367 S (1988).
  • Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Tibyān fī Tafsīr al-Qur'ān. Riset Ahmad Qashir al-'Amili. Beirut: Dar Ihya' at-Turats al-'Arabi, 1383 H.
  • Tirmidzi, Muhammad bin 'Isa. Al-Jāmi' al-Shahīh. Riset: Ahmad Muhammad Syakir. Kairo: 1356 H.
  • Waqidi, Muhammad bin Umar. Al-Maghāzī. Riset: Mersden Jones. London: 1966.
  • Ya'qubi, Ahmad bin Ya'qub. Tārīkh al-Ya'qubi. Beirut: Dar al-Shadir, 1379 H.
  • Zarin Kob, Abdul Husain. Tārīkh Iran Ba'daz Islam. Teheran: Amir Kabir, 1343 HS(1964).
  • Zaryab Khui, Abbas. Sīre-ye Rasūlullah. Teheran: Surusy, 1370 HS(1991).