Khuzaimah bin Tsabit
Info pribadi | |
---|---|
Nama lengkap | Khuzayma bin Tsabit bin Fakih bin Tsa'labah bin Sa'adah al-Anshari |
Julukan | Abu 'Umara |
Lakab | Dzu al-Syahadatain |
Garis keturunan | Bani Khathmah Kabilah Aus |
Muhajir/Anshar | Anshar |
Tempat Tinggal | Madinah, Kufah |
Wafat/Syahadah | Shafar 37 H |
Penyebab Wafat /Syahadah | Syahid pada perang Shiffin |
Tempat dimakamkan | Shiffin |
Informasi Keagamaan | |
Memeluk Islam | Tahun ke-2 atau ke-3 H |
Keikutsertaan dalam Ghazwah | Uhud • Mutah • Jamal •Shiffin |
Peran utama | Pembela Imam Ali as • perawi hadis |
Aktivitas lain | Membawa bendera Bani Khathma pada Fathu Mekah |
Khuzayma bin Tsabit bin Fakih bin Tsa'laba bin Sa'ida al-Anshari (bahasa Arab: :خُزَیمَة بن ثابِت بن فاکه بن ثَعْلَبَة بن ساعدة الأنصاري) adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw dan Imam Ali as. Ia berhasil mengajak seluruh anggota kabilahnya untuk masuk Islam dan menjadi penolong Nabi Muhammad saw. Ia syahid di perang Shiffin dalam barisan pasukan Imam Ali as.
Nasab
Khuzayma bin Tsabit adalah warga Madinah, yang berasal dari kabilah Aus dan keluarga Bani Khathma. Ia tercatat sebagai sahabat Nabi Muhammad saw dan pembela Imam Ali as.
Ibunya bernama Kabsyah binti Aus, dari Bani Sa'adah. [1] Kuniyahnya Abu 'Umara. [2] Tidak ada catatan sedikitpun mengenainya sebelum ia masuk Islam.
Masuk Islam
Mengenai kapan ia masuk Islam terdapat beragam pandangan. Sebagian menyatakan, ia masuk Islam sebelum perang Badar (tahun 2 H), [3] sebagian lainnya berpendapat ia masuk Islam sebelum perang Uhud (tahun 3 H). [4] Setelah ia masuk Islam, bersama dengan 'Umair bin 'Udai bin Kharsa ia menghancurkan patung-patung berhala yang menjadi sembahan kabilahnya. [5]
Laqab
Khuzayma bin Tsabit memiliki laqab yang terkenal, yaitu Dzu al-Syahadatin. [6] Hal itu dikarenakan oleh sebuah peristiwa dimana ia dimintai kesaksian oleh Rasulullah dan Rasulullah menilai kesaksiannya sebagai kesaksian dua orang adil yang dikarenakan imannya dan keyakinannya yang kuat kepada Rasulullah saw dan Islam. [7] Laqab yang diberikan Nabi saw kepadanya, menjadikan ia kebanggaan bagi penduduk Madinah khususnya dari kabilah Aus dan Khazraj. Kabilah Aus berkata, "Orang yang kesaksiannya disebut oleh Rasulullah saw sama dengan kesaksian dua orang, adalah berasal dari kalangan kami."[8]
Suatu hari Khuzayma memberi kesaksian mengenai kuda Nabi Muhammad saw yang bernama Murtajiz[9] yang dibeli Nabi saw dari seorang Arab Badui. Namun Badui tersebut kemudian mengingkarinya dan mengatakan ia tidak pernah menjualnya kepada Nabi saw. Hal itu memancing sebagian orang-orang munafik menyebarkan berita buruk mengenai Nabi saw. Untuk membendung tersebarnya berita bohong tersebut, Khuzayma memberikan kesaksiannya yang memihak pada Nabi saw. Nabi Muhammad saw kemudian bertanya kepadanya, "Bagaimana mungkin engkau bisa memberi kesaksian sementara engkau tidak bersama dengan kami saat muamalah itu terjadi?". Khuzayma menjawab, "Aku tahu, engkau ya Rasulullah tidak akan mengucapkan perkataan selain kebenaran. Bagaimana mungkin engkau yang telah kami benarkan membawa agama dari Allah swt namun sekedar pengakuan telah membeli seekor kuda dari seorang Badui yang hina, akan kami tolak?" Mendengar pernyataan Khuzayma tersebut, Nabi Muhammad saw bersabda, "Setiap Khuzayma memberikan kesaksian, baik itu mendukung ataupun menolak maka kesaksiannya telah cukup."[10]
Pada Periode Nabi Muhammad saw
Khuzayma bin Tsabit termasuk diantara sahabat Nabi Muhammad saw yang turut berperang dalam perang perang Badar dan sejumlah peperangan lainnya. [11] Sebuah riwayat menyebutkan, perang pertama yang ia ikuti adalah perang Uhud [12], meskipun sejumlah penulis seperti Maghazi tidak menuliskan namanya diantara sahabat Nabi saw yang hadir dalam perang Uhud dan berpendapat, ia baru ikut dalam perang bersama pasukan Nabi saw setelah perang Uhud. [13]
Pada peristiwa Fathu Mekah, Khuzayma membawa bendera Bani Khathma. [14] Sebagian literatur Ahlusunah menyebutkan, ia pernah bermimpi yang dalam mimpinya ia bersujud pada dahi Rasulullah saw. Sewaktu ia menceritakan mimpinya kepada Nabi, Nabipun mengizinkan ia untuk melakukan sebagaimana yang dilihatnya dalam mimpi. [15]
Khuzayma juga turut terlibat dalam perang Mutah pada tahun 8 H. [16] Dalam perang satu melawan satu, ia menghadapi salah seorang tentara Romawi dan berhasil membunuhnya. Ia mendapat perhiasan sebagai rampasan perang dari kemenangannya tersebut. Hasil penjualan perhiasan tersebut, ia membeli sebuah kebun sawit. [17]
Menolak Kekhalifahan Abu Bakar
Sebagian literatur menyebutkan hadirnya Khuzayma di Saqifah Bani Sa'adah. Menurut literatur tersebut, Khuzayma dalam pertemuan tersebut adalah yang berorasi pertama kali dengan menyebutkan keutamaan-keutamaan kaum Anshar. Dalam orasinya ia menghendaki, yang dibaiat berasal dari Qurays harus yang mampu menjaga hak-hak dan keamanan kaum Anshar. [18]
Khuzayma bin Tsabit, sebagaimana sebagian sahabat Nabi saw lainnya, pasca wafatnya Nabi saw ia bergabung dalam kubu Bani Hasyim dan mendukung kekhalifahan Imam Ali as dan menolak kekhalifahan Abu Bakar. Ia memberikan kesaksian bahwa Nabi Muhammad saw pada hari Ghadir telah bersabda, "Barang siapa yang menjadikanku maulanya, maka Ali adalah juga maulanya." yang dengan itu menurut Khuzayma pengganti posisi Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin kaum muslimin adalah Imam Ali as. [19]
Nama Khuzayma termasuk dalam 12 orang yang menolak kekhalifahan Abu Bakar. Ucapan Khuzayma kepada Abu Bakar dicatat dalam lembaran sejarah sebagai berikut, "Wahai Abu Bakar! Apakah engkau tahu bahwa Nabi telah menyatakan bahwa kesaksianku meski seorang diri harus diterima?." Abu Bakar menjawab, "Iya."
Khuzayma berkata, "Oleh karena itu aku bersaksi demi Allah aku mendengar dari Rasulullah saw yang bersabda, "Ahlulbaitku adalah pemisah antara yang hak dan yang batil. Dan mereka adalah pemimpin yang wajib untuk ditaati." [20]
Pada bagian lain, disebutkan ia bekerjasama dengan Abu Bakar pada upaya mengumpulkan lembaran-lembaran Al-Qur'an. [21] Peran dan kehadiran Khuzayma pada periode kekhalifahan kedua dan ketiga tidak terekam oleh catatan sejarahwan.
Pada Periode Imam Ali as
Khuzayma pada peristiwa pembaitan Imam Ali as menyampaikan orasi dan mengatakan bahwa Imam Ali as adalah orang yang paling layak untuk menjadi khalifah, baik dari sisi keimanan, keilmuan, dan paling dekat nasabnya dengan Rasulullah saw. [22] Dalam orasinya tersebut ia juga menyenandungkan syair yang memuji keutamaan Imam Ali as. [23]
Pada Perang Jamal
Ia berperan penting dalam perang Jamal (36 H). Ketika itu, dengan mengenakan baju putih dan surban kuning yang dililitkan di kepalanya, ia memegang panji dan memimpin seribu pasukan berkuda. [24] Ketika Imam Ali as mencoba kembali menegur para dedengkot kerusuhan Jamal, yaitu; Zubair, Thalhah, Aisyah, dan Ya’la bin Munayyah, Khuzaima bangkit dari tempatnya dan menyebut mereka sebagai pengkhianat karena tidak menepati janji pada Amirul Mukminin Ali as. Kemudian ia melantunkan syair. [25] Saat pertempuran dimulai, dengan gagah berani ia terjun ke medan tempur seraya menggemakan sebuah syair. [26]
Disebutkan, dalam perang Jamal, Muhammad Hanafiah menjabat sebagai panglima dan pemegang panji perang. Di awal pertempuran Imam Ali as memerintahkannya memimpin sebuah serangan, namun ternyata hasilnya di luar harapan. Kecewa dengan hal itu Imam Ali as pun mengambil panji perang darinya. [27] Berkat Khuzaima akhirnya panji tersebut dikembalikan pada Muhammad. Imam Ali as kemudian membentuk tim baru yang terdiri dari Khuzaimah dan para veteran Badar. Seusai pertempuran Khuzaima memuji-muji keberanian dan heroisme Muhammad. [28] Sebagian sumber menyebutkan Khuzaimah tidak ikut dalam pertempuran. [29] Namun menurut banyak data terpercaya, terbukti bahwa ia justru orang yang berperan aktif dalam pertempuran membela Imam Ali as.
Perang Shiffin dan Kesyahidan
Khuzaima adalah salah seorang prajurit senior handal Imam Ali as dalam perang Shiffin. Saat itu ia sudah tidak lagi muda, bahkan jenggotnya telah memutih karena uban. Namun dengan keyakinan dan tekad dalam membela kebenaran Imam Ali as ia sama sekali tidak gentar bertempur menghadapi pasukan Muawiyah. Ia tidak mempan oleh tipu daya yang disebarkan Muawiyah. [30] Setelah gugurnya Ammar bin Yasir, Khuzaima pergi ke kemahnya untuk mandi lalu kembali ke medan tempur. Ia mampu bertempur beberapa lama hingga berhasil meraih kesyahidan. [31]
Kesaksian tentang Terbunuhnya Ammar di Tangan Kaum Zalim
Khuzaima bin Tsabit meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw bahwa Ammar bin Yasir akan dibunuh oleh sekelompok orang zalim. [32] Khuzaimah bin Tsabit mati syahid dalam perang Shiffin pada tahun 37 H [33]. Hal itu tentu menimbulkan gejolak perang makin dahsyat. Hari kesyahidannya itu dikenal dengan istilah “Yaum Waq’ah al-Khamis.” [34] Imam Ali as menyebut Khuzaima bin Tsabit sebagai saudaranya dan pahlawan syahid di perang Shiffin yang berjuang membela kebenaran hingga tetes darah terakhir. [35] Karenanya, riwayat yang menyatakan bahwa sebelum kesyahidan Ammar bin Yasir, Khuzaima bin Tsabit tidak ikut serta dalam pertempuran Jamal dan Shiffin [36] adalah tidak benar. [37]
Sebagian perawi menyebutkan, Khuzaima bin Tsabit telah wafat di masa Khalifah Utsman, yang ikut dalam perang Shiffin adalah orang lain yang kebetulan memiliki nama sama. [38] Namun kesaksian yang disampaikan Khuzaima bin Tsabit, berdasar riwayat umum dan khusus, adalah riwayat yang mutawatir. Pengingkaran atas kesaksian Khuzaima di Shiffin sejatinya adalah usaha pihak musuh supaya orang mengira Imam Ali as tidak didukung para veteran Badar dalam perang Shiffin. [39] Terlebih mayoritas sejarawan seperti, Khatib al-Baghdadi dan Ibnu Abi al-Hadid menyatakan, Dzu al-Syahadatain tak lain adalah adalah Khuzaima bin Tsabit. Menurut kitab-kitab yang membahas nasab, di kalangan Anshar orang yang bernama Khuzaima bin Tsabit itu hanya ada satu. Pendapat yang menyatakan Khuzaima itu berbeda dengan orang yang dijuluki Dzu al-Syahadatain sebenarnya bersumber dari propaganda pendukung Bani Umayyah. [40]
Sebagai Perawi Hadis
Khuzayma bin Tsabit terdaftar sebagai perawi hadis yang tsiqah dan menerima langsung dari Rasulullah saw. [41] Diantara perawi yang meriwayatkan hadis dari Khuzayma diantaranya:
- Anak-anak 'Umarah
- Jabir bin Abdullah al-Anshari
- 'Umarah bin Utsman bin Hanif
- 'Amru bin Maimun
- Ibrahim bin Sa'ad bin Abi Waqqash
- Abu Abdullah Jadali
- Abdullah bin Yazid Khatami
- 'Atha bin Yasar [42]
Dari Khuzayma bin Tsabit diriwayatkan 38 hadis yang didengarnya langsung dari Rasulullah saw, dari semua kumpulan literatur yang ada. [43]
Syair Kecintaan pada Imam Ali as
Khuzayma juga dikenal pandai membuat dan melantunkan syair. Banyak syair-syair Arab yang dinisbatkan padanya sebagai pembuatnya dan syair-syair gubahannya tersebut sangat terkenal dikalangan Syiah. Khuzayma yang hadir pada peristiwa Saqifah Bani Sa'adah, perang Jamal dan perang Shiffin diriwayatkan banyak melantunkan syair yang memuji keutamaan Ali bin Abi Thalib as, yang juga sekaligus sebagai bentuk dukungan dan pembelaannya. [44]
Putera-putera Khuzayma
Khuzayma memiliki dua isteri yang bernama Jamilah binti Zaid bin Khalid dari Bani Qauqil dan Shafiyah binti 'Amir dari Bani Khathamah. Abdurrahman dan Abdullah anaknya dari Jamilah dan 'Umarah putera yang didapatnya dari Shafiyah. Pada peristiwa syahidnya Khuzayma pada perang Shiffin, anak perempuannya yang bernama Dhubay'ah atau Na'imah melantunkan syair ratapan atas kematian ayahnya. [45] Namun versi lain menyebutkan Khuzayma tidak memiliki anak perempuan, melainkan perempuan yang bernama Na'imah tersebut puteri dari 'Umarah. Ibnu Fandaq Ya'la bin Zaid at-Thabari (499-565 H) seorang sejarahwan Islam yang terkenal pada abad ke 6 H adalah berasal dari garis keturunan Khuzayma. [46] Khuzayma dimakamkan di Shiffin namun letak makamnya tidak diketahui. [47]
Catakan Kaki
- ↑ Ibnu Kalbi, hlm. 642-643; Ibnu Atsir, Usud al-Ghabah, jld. 2, hlm. 133; Nawawi, jld. 1, hlm. 175.
- ↑ Ibnu Abdu al-Barra, jld. 2, hlm. 448; Ibnu Atsir, Usud al-Ghabah, jld. 2, hlm. 133; Ibnu Hajar al-Asqalani, 1412, jld. 2, hlm. 278.
- ↑ Ibnu Abdu al-Barr, jld. 2, hlm. 488; Ibnu Hajar, jld. 1, hlm. 193; Mizzi, jld. 8, hlm. 243.
- ↑ Shafdi, jld. 4, hlm. 362.
- ↑ Ibnu Sa'ad, jld. 4, hlm. 279.
- ↑ Ibnu Kalbi, hlm. 643.
- ↑ Ibnu Atsir, Usud al-Ghabah, jld. 2, hlm. 133; Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ashabah fi Tamyiz al-Shahabah, hlm. 278-279.
- ↑ Dzahabi, jld. 2, hlm. 478; Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ashabah fi Tamyiz al-Shahabah, hlm. 279.
- ↑ Ibnu Qutaibah, hlm. 149; Ibnu Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, jld. 2, hlm. 314.
- ↑ Ibnu Sa'ad, jld. 4, hlm. 378-379; Kulaini, jld. 7, hlm. 401; Muqaddasi, jld. 5, hlm. 24-25; Ibnu Atsir, Usud al-Ghabah, jld. 2, hlm. 133.
- ↑ Ibnu Abdu al-Barra, jld. 2, hlm. 448; Ibnu Atsir, Usud al-Ghabah, jld. 2, hlm. 133.
- ↑ Dzahabi, jld. 2, hlm. 485.
- ↑ Ibnu Atsir, Usud al-Ghabah, jld. 2, hlm. 133; Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzhib al-Tahdzhib, jld. 2, hlm. 557.
- ↑ Ibnu Abdu al-Barra, jld. 2, hlm. 448.
- ↑ Ibnu Sa'ad, jld. 4, hlm. 281; Fasawi, jld. 1, hlm. 380.
- ↑ Ibnu Asakir, jld. 16, hlm. 359; Dzahabi, jld. 2, hlm. 485.
- ↑ Waqidi, jld. 2, hlm. 769; Dzahabi, Sair A'lam al-Nubala, jld. 2, hlm. 485.
- ↑ Ibnu A'dzham al-Kufi, jld. 1, hlm. 70.
- ↑ Ya'qubi, jld. 1, hlm. 179; Ibnu Babwaih, hlm. 53; Thusi, 1348, hlm. 38, 45.
- ↑ Al-Shaduq, Kitab al-Khashal, jld. 2, hlm. 461-464.
- ↑ Ibnu Asakir, jld. 15, hlm. 390.
- ↑ Ya'qubi, jld. 1, hlm. 178 dan lih. Ibnu Sa'ad, jld. 3, hlm. 31.
- ↑ Majlisi, jld. 32, hlm. 34.
- ↑ Mas'udi, jld. 2, hlm. 359.
- ↑ Ibnu Adzham al-Kufi, jld. 2, hlm. 263-264.
- ↑ Hamu, jld. 2, hlm. 481.
- ↑ Mas'udi, jld. 1, hlm. 320.
- ↑ Ibnu Abi al-Hadid, jld. 1, hlm. 242-243.
- ↑ Ibnu Asakir, jld. 43, hlm. 471.
- ↑ Dzahabi, jld. 2, hlm. 485; Amin, jld. 6, hlm. 319.
- ↑ Ibnu Sa'ad, jld. 3, hlm. 32, 263; Thusi, hlm. 52-53; Ibnu Asakir, jld. 16, hlm. 370.
- ↑ Ibnu Sa'ad, jld. 3, hlm. 259; Ibnu Abdu al-Barra, jld. 2, hlm. 448; Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzhib al-Tahdzhib, hlm. 279.
- ↑ Ibnu Abdu al-Barra, jld. 2, hlm. 448.
- ↑ Nashr bin Mazahim, hlm. 362-363.
- ↑ Nahj al-Balaghah, Khutbah 182, hlm. 192.
- ↑ Ibnu Sa'ad, jld. 3, hlm. 259; Ibnu Abdu al-Barra, jld. 2, hlm. 448; Ibnu Atsir, 1385; Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzhib al-Tahdzhib, jld. 3, hlm. 325.
- ↑ Tastari, jld. 4, hlm. 173.
- ↑ Thabari, jld. 4, hlm. 447; Ibnu Asakir, jld. 16, hlm. 371-372.
- ↑ Tastari, jld. 4, hlm. 172.
- ↑ Ibnu Abi al-Hadid, jld. 10, hlm. 109; Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ashabah fi Tamyiz al-Shahabah, jld. 2, hlm. 280; Amin, jld. 6, hlm. 317-318.
- ↑ Ibnu Asakir, jld. 16, hlm. 358, 366; Ibnu Atsir, Usud al-Ghabah, jld. 2, hlm. 133.
- ↑ Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzhib al-Tahdzhib, jld. 2, hlm. 556.
- ↑ Nawawi, jld. 1, hlm. 176.
- ↑ Nashr bin Muzahim, hlm. 398; Ibnu Syahr Asyub, jld. 2, hlm. 211, 320, 345, 362, 375-376; Ibnu Abi al-Hadid, jld. 1, hlm. 145-146, jld. 13, hlm. 231.
- ↑ Nashr bin Mazahim, hlm. 365-366.
- ↑ Mushthafa bin Qahathan al-Habib, hlm. 90.
- ↑ Harawi, hlm. 62.
Daftar Pustaka
- Ibnu Abi al-Hadid. Syarh Nahj al-Balaghah, cet. Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim. Kairo: 1385-87 H/1965-67.
- Ibnu Atsir. Usd al-Ghabah fi Ma'rifah al-Shahabah, cet. Muhammad Ibrahim Bana dan Muhammad Ahmad Asyur dan Mahmud Abdul Wahab Faid. Kairo: 1390 H-1970/1393 H-1973.
- Ibnu Atsir. al-Kamil fi al-Tarikh.
- Ibnu Babwaih. Amali al-Shaduq, cet. Husain A'lami. Beirut: 1400 H/1980.
- Ibnu Babwaih. Kitab al-Khishal, riset: Ali Akbar al-Ghaffari, Qom: Muassasah al-Nashr al-Islami, 1416 H.
- Ibnu Hajar al-Asqalani. al-Ashabah fi Tamyiz al-Shahabah, cet. Ali Muhammad Bajawi. Beirut: 1412 H/1992.
- Ibnu Hajar al-Asqalani. Tahdzhib al-Tahdzhib, cet. Shiddiqi Jamil 'Athar. Beirut: 1415 H/1995.
- Ibnu Sa'ad. Beirut.
- Ibnu Syahr Asyub. Manaqib Al Abi Thalib. Najaf: 1376 H/1956.
- Ibnu Abdu al-Barra. al-Isti'ab fi Ma'rifah al-Ashhab, cet. Ali Muhammad Bajawi. Beirut: 1412 H/1992.
- Ibnu Asakir. Tarikh Madinah Dimasyq, cet. Ali Syiri. Beirut: 1415 H/1995.
- Ibnu Qutaibah. al-Ma'arif, cet. Tsarwat Akasyah. Kairo: 1388 H/1969.
- Ibnu Kalbi. Jamharatu al-Nasab, cet. Naji Hasan. Beirut: 1407 H/1986.