Tayammum
Artikel ini merupakan artikel deskriptif umum tentang masalah fikih. |
Salat Wajib: Salat Jumat • Salat Id • Salat Ayat • Salat Mayit Ibadah-ibadah lainnya Hukum-hukum bersuci Hukum-hukum Perdata Hukum-hukum Keluarga Hukum-hukum Yudisial Hukum-hukum Ekonomi Hukum-hukum Lain Pranala Terkait |
Tayammum (bahasa Arab: تَیَمُّم ) adalah amalan praktis yang dalam kondisi tertentu menjadi wajib sebagai pengganti wudhu atau mandi wajib. Urutan pengerjaannya secara umum sebagai berikut: meletakkan (menghentakkan) kedua telapak tangan diatas tanah dan mengusapkannya pada dahi dan selanjutnya pada kedua pungggung telapak tangan. Kesucian yang muncul dari tayammum sama dengan kecusian dari wudhu dan mandi dan selama uzur tayammum masih ada maka tidak ada bedanya dengan kesucian yang muncul dari keduanya. Kesucian (thaharah) yang timbul dari tayammum dinamakan kesucian "Turabiyyah" (bersuci dengan debu) atau "Idhthirai" (bersuci dalam kondisi darurat).
Dua ayat Alquran dan lebih dari 220 riwayat dalam literatur hadis yang menjelaskan hal-hal yang mewajibkan dan syarat-syarat tayammum.
Definisi Tayammum
Tayammum berasal dari bahasa Arab dari akar kata ی- م –م atau ا - م –م yang artinya adalah niat atau maksud.[1] Sementara dalam istilah fiki, tayammum artinya mengusap dahi dan kedua punggung telapak tangan dengan debu.[2] Tayammum disebut Tahārat Turābiyyah ( طهارت تُرابِیّه) atau bersuci dengan debu, sementara wudhu dan mandi wajib sebagai Tahārat Māiyyah ( طهارت مائیّه ) atau bersuci dengan air.[3]
Tayammum dalam Penjelasan Al-Qur'an dan Hadis
Alquran menjelaskan mengenai hukum dan pelaksanaan tayammum dalam dua ayat:
- Surah An-Nisa ayat 43: إِن کنتُم مَّرْضَیٰ أَوْ عَلَیٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنکم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَیمَّمُوا صَعِیدًا طَیبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِکمْ وَأَیدِیکمْ (Dan jika kamu sakit, sedang musafir, kembali dari tempat buang air atau kamu telah mencampuri perempuan kemudian kamu tidak mendapat air maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (suci); (caranya) sapulah muka dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.)
- Surah al-Maidah ayat 6: وَإِن کنتُم مَّرْضَیٰ أَوْ عَلَیٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنکم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَیمَّمُوا صَعِیدًا طَیبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِکمْ وَأَیدِیکم مِّنْهُ مَا یرِیدُ اللَّـهُ لِیجْعَلَ عَلَیکم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـٰکن یرِیدُ لِیطَهِّرَکمْ(Dan jika kamu sakit, berada dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyetubuhi perempuan lalu kamu tidak memperoleh air maka bertayamumlah dengan menggunakan tanah yang baik (bersih); usaplah muka dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu.)
Dalam dua kitab hadis Wasāil al-Syi’ah dan Mustadrak al-Wasāil lebih dari 220 hadis memberikan penjelasaan berkenaan dengan tatacara dan syarat-syarat tayammum.
Tayammum sebagai Pengganti Wudhu atau Mandi Wajib
Bagi yang tidak mampu melakukan wudhu karena hal-hal dan kondisi tertentu maka sebagai penggantinya ia harus melakukan tayammum sebagai pengganti wudhu dan jika tidak mampu melakukan mandi wajib untuk hal-hal yang mewajibkannya untuk mandi wajib maka ia harus bertayammum sebagai pengganti mandi wajib.[4] Dua tayammum tersebut berbeda dalam niat, dan sebagian fukaha meyakini bahwa dalam tayammum pengganti mandi harus menghentakkan telapak tangan ke atas tanah sebanyak dua kali yaitu satu kali pada awal tayammum dan yang kedua, sebelum mengusap punggung kedua telapak tangan.[5]
Sebagian fukaha berkeyakinan, jika tayammum berlaku sebagai pengganti mandi (selain mandi junub), maka untuk melakukan salat dan semua perbuatan yang bersyaratkan thaharah harus mengambil wudu atau tayammum pengganti wudu.[6]
Penyebab Wajibnya Tayammum
- Tidak tersedia air yang dapat digunakan untuk melakukan wudhu atau mandi.
- Air tersedia namun hanya cukup untuk digunakan minum sehingga jika menggunakannya untuk wudhu atau mandi wajib maka ia atau teman yang bersamanya akan mengalami kehausan yang sangat.
- Ketika ia menggunakan air maka hewan peliharaannya atau yang lainnya akan mengalami kesulitan.
- Air yang ada, tidak cukup untuk menghilangkan najis dan berwudhu atau mandi wajib. (Terdapat perbedaan fatwa dalam hal ini)
- Melakukan wudhu atau mandi wajib dapat menimbulkan bahaya atau kerugian bagi mukallaf (yang dikenai kewajiban).
- Tidak memiliki waktu yang cukup untuk berwudhu atau mandi wajib.[7]
Cara Mengerjakan Tayammum
- Pertama memulainya dengan niat karena melaksanakan perintah Allah swt, kemudian menghentakkan kedua telapak tangan diatas sesuatu yang diperbolehkan dalam tayammum. (Sebagian marja taklid berpendapat bahwa menghentakkan sedikit kedua telapak adalah wajib, tidak sekedar meletakkan dengan pelan diatas tanah.
- Kemudian, kedua telapak tangan tersebut diusapkan diatas dahi yang dimulai dari ujung tempat tumbuhnya rambut sampai ke alis yakni batasnya sampai alis dan alis tidak termasuk dalam usapan (atau sampai mengusap alis menurut sebagian fatwa), pada saat mengusap, tidak ada yang menghalangi area yang harus diusap termasuk rambut kepala.[8]
- Selanjutnya mengusap punggung telapak tangan kiri dengan keseluruhan telapak tangan kanan yang dimulai dari pergelangan tangan sampai ujung jari-jari tangan kiri.[9]
- Terakhir, melakukan sebaliknya dengan cara yang sama untuk tangan kanan dengan menggunakan tangan kiri.[10]
Sebagian marja taklid berpendapat bahwa sebelum mengusap punggung telapak tangan (langkah ketiga), diharuskan untuk lebih dulu kembali menghentakkan kedua telapak tangan ke tanah atau ke atas tempat yang dibolehkan untuk tayammum sebagaimana yang dilakukan pada langkah awal tayammum. [11] Sebagian ulama lainnya berpendapat, setelah melakukan keempat langkah diatas, dilanjutkan dengan kembali menghentakkan kedua telapak tangan di atas tanah kemudian mengusap kembali pungung kedua telapak tangan (yakni mengerjakan langkah 1, 3 dan 4). [12]
Poin-Poin Penting
- Harus muwalat yakni antara satu langkah dengan langkah lainnya dalam tayammum tidak boleh memiliki waktu terpisah yang terhitung lama.[13]
- Anggota badan yang harus diusap dalam tayammum tidak boleh bergerak dan hanya tangan yang akan mengusap saja yang bergerak.[14]
- Anggota badan dalam pelaksanaan tayammum harus dipastikan suci dan tidak memiliki penghalang seperti cincin dan perban. Namun jika ada penghalang yang tidak bisa dilepas (semisal perban karena luka) maka tayammumnya dilakukan dengan cara tayammum jabire (mengusap diatas perban).[15]
- Ketika mampu untuk bertayammum sendiri maka tidak diporbolehkan meminta bantuan pada orang lain.[16]
- Tidak wajib mengusapkan kedua telapak tangan pada hidung.[17]
- Setelah menghentakkan kedua telapak tangan diatas tanah, diperbolehkan menepukkan kedua telapak tangan dengan maksud tanah atau debu yang berlebihan melekat di telapak tangan bisa terkurangi.[18]
Sesuatu yang Sah untuk Ditayammumi
Sebagaimana yang tertulis pada surah Al-Maidah ayat 6, tayammum harus dilakukan di atas "صَعید" (tanah yang baik/bersih/suci). Akan tetapi terkait maksud dari kata ini apakah hanya tanah atau segala sesuatu yang dianggap bagian dari tanah, terjadi perbedaan pendapat diantara ahli bahasa dan berikutnya dikalangan [[marja taklid.[19][20][21]
Berdasarkan fatwa sebagian marja dikatakan bahwa pertama tama, tayammum dilakukan diatas permukaan tanah. Kalau tidak ada tanah maka bisa juga dilakukan di atas pasir, kerikil, tanah liat dan batu (yang diatasnya terdapat sedikit tanah).[22]
Mengenai kebolehan tayammum diatas gamping (kapur), semen, batu bata, lantai marmer dan sebagainya, terdapat perbedaan pendapat.[23]
Sesuatu yang dipakai untuk bertayammum harus suci dan bukan barang gashab (menggunakan milik orang lain tanpa izin).[24]
Ketentuan Lainnya
- Segala yang membatalkan wudhu juga membatalkan tayammum dimana tayammum tersebut sebagai pengganti wudhu, Demikian pula segala yang membatalkan mandi wajib juga membatalkan tayammum dimana tayammum tersebut sebagai pengganti mandi wajib. [25]
- Orang yang harus melaksankan tayammum jika yakin bahwa masalahnya akan berlanjut sampai akhir waktu salat maka ia bisa melaksanakan salat di awal waktu tetapi jika ia tidak yakin bahwa masalahnya akan berlanjut sampai akhir waktu maka menurut fatwa sebagian ulama bahwa ia harus bersabar hingga mendekati akhir waktu, jika masalahnya belum terselesaikan maka ia bertayammum lalu melaksanakan salat.[26]
- Jika karena disebabkan sempitnya waktu untuk melakukan wandi wajib, sehingga melakukan tayammum sebagai pengganti mandi wajib (misalnya sesaat menjelang azan subuh pada bulan Ramadhan) maka untuk melakukan aktivitas lainnya (seperti salat) maka ia wajib untuk mandi wajib terlebih dahulu lalu melaksanakan salat.[27]
- Jika penyebab yang mewajibkan seseorang melakukan tayammum itu hilang, maka serta merta tayammum yang telah dilakukannya menjadi batal, dan untuk melakukan perbuatan-perbuatan berikutnya yang bersyaratkan thaharah harus berwudhu atau mandi wajib.[28]
- Jika penyebab yang mewajibkan seseorang melakukan tayammum itu hilang sementara ia telah melakukan hal yang telah diwajibkan, misalnya telah melakukan salat wajib, setelah sebelumnya menganggap ia tidak akan menemukan air untuk wudhu atau mandi wajib yang karena itu ia melakukan tayammum. Namun setelahnya, ternyata ia bisa menemukan air, dan waktu untuk mengerjakan salat masih ada, maka apakah salatnya harus diulang atau tidak perlu diulang, terdapat perbedaan pendapat dikalangan marja' taklid.[29]
Catatan Kaki
- ↑ Raghib Isfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Quran, hlm. 893
- ↑ Bahrani, al-Hadaiq al-Nadhirah, jld. 4, hlm. 242
- ↑ Farhangge Fiqh Muthabeqe Mazhab Ahlibait, jld. 5, hlm.243
- ↑ Taudhih al-Masail Maraji', masalah 726
- ↑ Taudhil al-Masail Maraji', masalah 701
- ↑ Taudhih al-Masail Maraji', masalah 723
- ↑ Taudhih al-Masail Maraji', masalah 648-678
- ↑ Taudhih al-Masail Maraji', masalah 700
- ↑ Taudhih al-Masail Maraji', masalah 700
- ↑ Taudhih al-Masail Maraji', masalah 700
- ↑ Ajwibah al-Istiftāāt, Ayatullah Khamanei, soal no. 209.
- ↑ Taudhih al-Masāil, Ayatullah Subhani, masalah. 674 dan 675; Taudhih al-Masail Maraji', dibawah masalah 701.
- ↑ Taudhih al-Masail Maraji', masalah 704
- ↑ Taudhih al-Masail Maraji', masalah 700
- ↑ Taudhih al-Masail Maraji', masalah 706-707
- ↑ Taudhih al-Masail Maraji', masalah 711
- ↑ Taudhih al-Masail Maraji', masalah 700
- ↑ Taudhih al-Masail Maraji', masalah 698
- ↑ Fayyumi, al-Mishbah al-Munir, jld. 2, hlm. 339; Jauhari, al-Shihhah, jld. 2, hlm. 498
- ↑ Jawahir al-Kalam, jld. 5, hlm. 120-129
- ↑ Sabzawari, Muhadzab al-Ahkam, jld. 4, hlm. 377-381
- ↑ Taudhih al-Masyail Maraji', masalah 686
- ↑ Taudhih al-Masyail Maraji', masalah 685
- ↑ Taudhih al-Masyail Maraji', masalah 692-694
- ↑ Taudhih al-Masāil Marāji', masalah 720 dan 726
- ↑ Taudhih al-Masāil Marāji', masalah 715
- ↑ Taudhih al-Masāil Marāji', masalah 719
- ↑ Taudhih al-Masāil Marāji', masalah 719
- ↑ Taudhih al-Masāil Marāji', masalah 715
Daftar Pustaka
- Ajwibah al-Istiftāāt Ayatullah Khamanei. Teheran: al-Huda, 1386 HS.
- Bahrani, Al Ushfur, Yusuf bin Ahmad bin Ibrahim. Al-Hadaiq al-Nadhirah fi Akam al-Itrah al-Thahirah. Peneliti dan editor: Irawani, Muhammad Taqi dan Muqarram, Sayid Abdul Razaq. Qom: Dartare Intisyarate Islami, cet.I, 1405 H.
- Farhangge Parsi dibawah penguasaan Ayatullah Sayid Mahmud Syahrudi. Intisyarate Muassasah Dairah al-Ma'arif Fiqhe Islami.
- Fayyumi, Ahmad bin Muhammad Muqri. Al-Mishabh al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir li al-Rafi'i. Qom; Mansurat Dar al-Radhi, cet. I, tanpa tahun.
- Jauhari, Ismail bin Hammad. Al-Shihhah (Taj al-Lughah wa Shihhah al-Arabiyah). Peneliti dan editor: Ahmad Abdul Ghafur Atthar. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, cet. I, 1412 H.
- Raghib Isfahani, Husain bin Muhammad. Al-Mufradat fi Gharib al-Quran. Peneliti: Dawudi, Shafwan Adnan. Beirut: Dar al-Ilm al-Dar al-Syamiyah, cet. I, 1413 H.
- Sabzawari, Sayid Abdul A'la. Muhadzab al-Ahkam fi Bayan al-Halal wa al-Haram. Peneliti dan editor: Muassasah al-Manar. Qom: Muassasah al-Manar, cet. IV, 1413 H.
- Taudhih al-Masāil Ayatullah Subhani. Qom: Muassasah Imam Shadiq as, 1386 HS.
- Taudhih al-Masāil Marāji’. Daftar Intisyarat Islami.