Takattuf
Artikel ini merupakan artikel deskriptif umum tentang masalah fikih. |
Takattuf (bahasa Arab:التكتف في الصلاة) adalah salat dengan posisi tangan bersedekap sedemikian rupa sehingga telapak tangan kanan diletakkan di atas punggung telapak tangan kiri dan tangan kiri diletakkan di atas pusar atau di dada.
Para fukaha Syiah menganggap takattuf sebagai hal yang diharamkan dan mereka meyakini bahwa takattuf dapat membatalkan salat. Para fukaha Syiah mengutip hadis yang menyebutkan bahwa Nabi saw mendirikan salat tanpa posisi takattuf, bahkan banyak juga riwayat dari Ahlulbait as yang melarang takattuf, akan tetapi posisi ini, menurut para fukaha Syiah diperbolehkan jikalau dalam kondisi taqiyyah.
Menurut sebagian besar ulama Sunni, Takattuf justru hal yang mustahab (dianjurkan). Beberapa dari mereka menganggap bahwa hal itu diwajibkan untuk dilakukan, dan yang lainnya menganggapnya sebagai perbuatan makruh. Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama Ahlusunah tentang tata cara takattuf, seperti perbedaan tempat meletakkan tangan, dan waktu dalam melaksanakan takattuf dalam salat.
Para ulama Sunni telah mengutip hadis yang diyakini mereka sebagai dalil yang menunjukkan bahwa takattuf itu diperbolehkan di dalam salat; Tetapi ulama Syiah berpendapat bahwa sebagian dari sanad riwayat-riwayat tersebut, bahkan isi dan kandungannya memiliki kecacatan.
Definisi Takattuf dan Hukumnya Menurut Syiah dan Sunni
Takattuf berarti meletakkan tangan di atas satu sama lainnya (bersedekap) dan keduanya ditempelkan di atas dada atau perut saat melaksanakan salat.[1] Takattuf juga dikenal dengan istilah lainnya seperti taktif,[2] takfir,[3] qabdh[4] dan wadh’.[5] Posisi tangan tanpa takattuf disebut sebagai irsâl atau isdâl atau sadli, yang berarti melepaskan atau meluruskan tangan.[6]
Takattuf adalah salah satu perbedaan pendapat dari isu fikih diantara mazhab Syiah dan mazhab lainnya.[7] Sebagian besar Ahlusunah menganggap Takattuf sebagai salah satu bagian dari tata cara salat yang mustahab (dianjurkan).[8]
Bagaimana Melakukan Takattuf
‘Aini, salah seorang ulama Ahlusunah, mengartikan takattuf sebagai posisi meletakkan telapak tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri, sehingga pergelangan tangan kiri berada di tengah-tengah telapak tangan kanan; Namun sebagian ulama Sunni lainnya memilih posisi meletakkan telapak tangan kanan di atas lengan bawah di belakang telapak tangan kiri.[9] Ada juga diantara mereka yang mengatakan bahwa takattuf dilakukan dengan menahan punggung tangan kiri oleh tangan kanan, sehingga ibu jari dan kelingking tangan kiri diletakkan di dalam telapak tangan kanan.[10]
Posisi Tangan Dalam Takattuf
Fukaha Ahlusunah berbeda pendapat mengenai posisi tangan yang harus diletakkan pada bagian tubuh dalam takattuf. Beberapa dari mereka berpendapat bahwa tempat meletakkan tangan di bawah pusar[11] dan yang lainnya meyakini diletakkan di atas dada atau di bawahnya.[12] Hanafi dan Hanbali menganggap bahwa di dalam takattuf, tangan harus ditempatkan di bawah pusar, sedangkan Syafi'i menganggap menempatkannya di bawah dada sebagai hal yang disunahkan.[13] Binbâz, salah satu ulama Wahabi, berpendapat bahwa dalam Takattuf, tangan harus diletakkan di dada.[14]
Ada juga yang mengatakan bahwa laki-laki harus meletakkan tangannya di bawah pusar dan perempuan di dada.[15]
Waktu Dilakukan Takattuf Didalam Salat
‘Aini, salah seorang ulama Ahlusunah mengatakan bahwa Abu Hanifah dan Abu Yusuf menganggap takattuf adalah sunah ketika posisi berdiri di dalam salat dan sebagian ulama lainnya menganggap takattuf dianggap sunah ketika sedang membaca Surah Al-Fatihah dan surah lainnya. Dari sudut pandang ‘Aini, takattuf menjadi sunah pada saat posisi berdiri yang mana didalamnya zikir Ma’tsur (zikir yang disebutkan di dalam hadis). Menurutnya, sekelompok dari ulama Alusunah, dengan tujuan bertentangan dengan Syiah, telah menganggap takattuf dalam setiap posisi berdiri (qiyâm) sebagai Sunnah,[16] oleh karena itu, ada perbedaan pendapat mengenai takattuf setelah rukuk, saat qunut, saat salat jenazah dan di antara takbir salat Idul Fitri.[17]
Dinukil dari pernyataan Hanafi dan Syafi'i bahwa mereka menganggap meletakkan tangan di dada setelah rukuk sebagai bid'ah. Ada perbedaan penukilan dari pendapat Ibnu Hanbal, pemuka mazhab Hanbali, salah satu dari nukilannya adalah dalam posisi setelah rukuk, takattuf bisa dilakukan bisa pula tidak.[18]
Hukum Fikih Takattuf dari Sudut Pandang Syiah
Menurut pendapat masyhur di kalangan fukaha Syiah, takattuf hukumnya adalah haram dan dapat membatalkan salat.[19] Sayid Murtadha[20] dan Syekh Thusi telah mengklaim ijma' tentang hukum takattuf tersebut.[21] Beberapa fukaha Syiah lainnya hanya menganggap hal itu haram dilakukan, tetapi tidak membatalkan salat.[22] Muhammad Hasan Najafi mengatakan dalam bukunya Jawahir al-Kalam bahwa Abu Shalah Halabi menganggap takattuf adalah makruh, adapaun Iskafi berpendapat bahwa hal itu sebagai sesuatu yang mustahab untuk ditinggalkan.[23]
Dalil para fukaha Syi'ah atas fatwa ini adalah hadis-hadis yang meriwayatkan bahwa Nabi saw tidak melakukan takattuf ketika salat.[24] Diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hamid Saidi yang menjelaskan tentang bentuk dari salat Nabi saw, namun hadis tersebut tidak menceritakan mengenai takattuf sama sekali.[25] Ada juga hadis dari para Imam Syiah yang melarang takattuf atau takfir didalam salat.[26] Imam Ali as[27] dan Imam Baqir as mengatakan bahwa takattuf adalah salah satu kebiasaan orang-orang Majusi.[28] Sâhib al-Jawâhir percaya bahwa kebiasaan takattuf ini di dalam salat dipopulerkan oleh Umar bin Khattab dengan meniru para tawanan Iran yang sering melakukan takattuf ketika menghormati orang lain.[29]
Hukum Takattuf Berdasarkan Taqiyah
Para ahli hukum Syiah seperti Syahid Tsani dan Syekh Murtadha Anshari menganggap bahwa takattuf dalam keadaan taqiyyah diperbolehkan bahkan diwajibkan.[30] Sedangkan Ayatullah Khamenei, sebagai salah satu marja' taklid abad ke-15 H mengatakan bahwa di zaman sekarang takattuf bukanlah bagian dari bentuk taqiyah yang dibolehkan, hanya dalam keadaan darurat saja takattuf diperbolehkan.[31]
Hukum Fikih Takattuf Dari Sudut Pandang Sunni
Ulama Ahlusunah menganggap takattuf sebagai tanda kerendahan hati, ketundukan, dan penghormatan.[32] Namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukum fikihnya:
- Istihbab: Menurut ‘Aini (762-855 H), fukaha Sunni seperti Hanafi, Syafi'i, Ibnu Hanbal dan ulama Sunni secara umum menganggap takattuf hanya mustahab saja (dianjurkan).[33]
- Istihbab Takhyiri (Anjuran secara pilihan): Auza'i (774-777 M)[34] dan Ibnu Abdulbar (463-368 H) termasuk yang menganggap takattuf sebagai istihbab Takhyiri.[35]
- Wujub: Albâni (1420-1333 M) dan Syaukâni (1173-1250 M) meyakini bahwa hukumnya adalah wajib di dalam salat.[36]
- Karâhat: Menurut Al-Qurthubi, mufasir dari mazhab Maliki mengatakan bahwa Malik bin Anas menganggap takattuf dalam salat wajib sebagai hal yang makruh, sedangkan dalam salat mustahab sebagai mustahab.[37] Dikatakan juga bahwa Abdullah bin Zubair dan Hasan Bashri memiliki pendapat yang sama.[38]
- Beberapa dari fukaha Ahlusunah menganggap Takattuf hanya dilakukan ketika orang yang melaksanakan salat merasa kelelahan karena lama berdiri.[39]
Riwayat Takattuf dari Mazhab Sunni
Ahlusunah dalam masalah hukum takattuf telah kepada beberapa riwayat. Beberapa di antaranya adalah riwayat-riwayat berikut ini:[40]
- Hadis Sahl bin Sa’ad: Disebutkan di dalam hadis ini bahwa orang Islam diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya di lengan bawah tangan kirinya saat melaksanakan salat.[41]
- Hadis Wail bin Hujr: Wail meriwayatkan bahwa Nabi saw melepaskan kedua tangannya dari lengan bajunya, dan meletakkannya di balik pakaiannya, serta meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya setelah mengucapkan takbiratul ihram.[42]
- Hadis Abdullah bin Mas'ud: Ibnu Mas’ud meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanannya saat melaksanakan salat, sedangkan Nabi saw meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.[43]
- Hadis Ibnu Abbas: Ibnu Abbas menukil riwayat dari Nabi saw yang mengatakan bahwa para Nabi as diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan mereka di atas tangan kiri mereka selama melakukan salat.[44]
- Riwayat yang dinisbahkan kepada Imam Ali as: Menurut riwayat ini, salah satu hadis salat adalah meletakkan tangan di bawah pusar.[45]
Kritik Dari Syiah
Syiah berpendapat bahwa sanad dari beberapa riwayat tersebut memiliki kecacatan; Karena ada sebagain sanad dari riwayat-riwayat tersebut yang tidak dapat dipercaya dan diandalkan, bahkan menurut pandangan ulama Ahlusunah sekalipun.[46] Sebagian ulama lainnya juga tidak dapat menyimpulkan dari isi dan kandungan riwayat tersebut kewajiban atau anjuran melakukan takattuf.[47]
Monografi
Beberapa Kitab yang Mengkaji dan Mengkritisi Masalah Takattuf Adalah Sebagai Berikut:
- Al-Irsâlu Wa al-Takfîr Baina al-Sunnah Wa al-Bid'ah: Ini adalah karya dari Najm al-Din al-Thabasi. Sebagian dari kitab ini merupakan koleksi pembahasan permasalahan Sunnah dan Bid'ah, yang mana hal ini masuk dalam masalah perbedaan pendapat Syiah dan Sunni, seperti permasalahan nikah mut’ah.[48] Kumpulan pembahasan ini pun di tulis dalam bentuk buku yang terpisah, dan telah diterbitkan dengan judul Dirasât Fiqhiyyah Fi Masâila Khilafiyah.[49]
- Taudhih al-Maqâl fi Dhammi Wa al-Irsâl: Ditulis oleh Muhammad Yahya Sâlim ‘Azzân, yang diterbitkan oleh Dar al-Turats al-Yumna di Sana'a Yaman.[50]
- Al-Qaulu al-Fashlu Fi Ta’yîdi Sunnati al-Sadli, oleh Muhammad ‘Âbid: Buku ini ditulis sebagai kritikan terhadap Takattuf dan juga dengan tujuan untuk membuktikan kesahihan posisi tangan ketika salat, menurut doktrin Malik bin Anas.[51]
- Risâlatu Mukhtasharatin fi al-Sadli, oleh Abdul Hamid Mubarak Âli-Syeikh.[52]
- Risâlatun Fi Hukmi Sadli al-Iyadaini Fi al-Shalât ‘ala Mazhabi al-Imam Malik, ditulis oleh Muhammad bin Muhammad al-Maghribi, yang dikenal sebagai Syanqiti: buku ini diterbitkan oleh pusat penerbitan Dar al-Fadhilah.[53]
- Al-Qabdhu fi al-Shalât: Buku ini disusun dan diterbitkan oleh Majma’ Jahâni Ahlulbait dan merupakan bagian dari pembahasan pada kitab Fi Rihâb Ahlilbait.[54]
Pranala Terkait
Catatan Kaki
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 11, hlm. 15; Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jld. 2, hlm. 873
- ↑ Ibnu Arabi, al-Futuhat a-Makiyyah, jld. 1, hlm. 419
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 11, hlm. 15
- ↑ Thabasi, Dirasat Fiqhiyah fi Masail Khilafiyah, jld. 1, hlm 195
- ↑ Mughniyah, al-Fikh ala al-Madzahib al-Khamsah, jld. hlm. 195
- ↑ Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi, jld. 2, hlm. 73
- ↑ Tim penulis, Fi Rihab Ahlilbait, jld. 21, hlm. 11
- ↑ Ibnu Jibrin, Syarh 'Umdah al-Ahkam, jld. 13, hlm. 47
- ↑ Aini, al-Banayah fi Syarh al-Hidayah, jld. 2, hlm. 183
- ↑ al-Banayah fi Syarh al-Hidayah, jld. 2, hlm. 183
- ↑ Binbaz, Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawi'ah, jld. 29, hlm. 240
- ↑ al-Banayah fi Syarh al-Hidayah, jld. 2, hlm. 181
- ↑ al-Thayar dan lain-lain, al-Fiqh al-Muyassar, jld. 1, hlm. 283
- ↑ Binbaz, Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawi'ah, jld. 29, hlm. 240
- ↑ Hanafi Razi, Tuhfah al-Muluk, hlm. 69
- ↑ Aini, al-Banayah Syarh al-Hidayah, jld. 2, hlm. 183
- ↑ Aini, al-Banayah Syarh al-Hidayah, jld. 2, hlm. 183
- ↑ 'Athiyah, Syarh bulug al-Maram, jld. 1, hlm. 6
- ↑ Tim penulis, Fi Rihab Ahlilbait, jld, 21, hlm. 12
- ↑ Sayid Murtadha, Rasail al-Syarif al-Murtadha, jld. 21, hlm. 219
- ↑ Syekh Thusi, al-Khilaf, jld. 1, hlm. 322
- ↑ Mughniyahm al-Fiqh ala al-Madzahib al-Khamsah, jld. 1, hlm. 111
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 11, hlm. 15
- ↑ Tim penulis, Fi Rihab Ahlilbait, jld. 21, hlm. 22
- ↑ Tirmidzi, al-Jami' al-Shahih, jld. 2, hlm. 84
- ↑ Himyari, Qurb al-Isnad, hlm. 208; Syekh Thusi, Tahdzib al-Ahkam, jld. 2, hlm. 84
- ↑ Syekh Shaduq, al-Khishal, jld. 622
- ↑ Hur Amili, Wasail al-Syiah, jld. 7, hlm. 265
- ↑ Njafi, Jawahir al-Kalam, jld. 11, hlm. 19
- ↑ Syahid Tsani, Raudhul Jinan, jld. 2, hlm. 432; Sabziwari, Muhdzib al-Ahkam, jld. 2, hlm. 391; Syekh Anshari, Rasail Fiqhiyah, jld. 1, hlm. 96
- ↑ Khamenei, Ajwibah al-Istifta'at, jld. 1, hlm. 160
- ↑ Aini, al-Banayah Syarh al-Hidayah, jld. 2, hlm. 183
- ↑ Aini, al-Banayah Syarh al-Hidayah, jld. 2, hlm. 180
- ↑ Aini, al-Banayah Syarh al-Hidayah, jld. 2, hlm. 180
- ↑ Sarawi, al-Qutuf al-Daniah, jld. 2, hlm. 37
- ↑ 'Awasyiah, al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Muyasarah, jld. 2, hlm. 9; Syaukani, Neil al-Authar, jld. 2, hlm. 217
- ↑ Qurthubi, Bidayah al-Mujtahid wa al-Nihayah al-Muqtashid, jld. 1, hlm. 146
- ↑ Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhdzib, jld. 3, hlm. 311
- ↑ Aini, al-Banayah Syarh al-Hidayah, jld. 2, hlm. 181
- ↑ Tim penulis, Fi Rihab Ahlilbait, jld. 21, hlm. 15
- ↑ Bukhari, Shahih al-Bukhari, jld. 1, hlm. 148
- ↑ Neysyaburi, Sahih Muslim, jld. 1, hlm. 301; Mulla Hurawi, Mirqah al-Mafatih fi Syarh Misykah al-Mashabih, jld. 2, hlm. 657
- ↑ Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, jld. 1, hlm. 200
- ↑ Thabrani, al-Mu'jam al-Kabir, jld. 11, hlm. 199
- ↑ Dar al-Quthni, Sunan al-Dar al-Quthni, jld. 2, hlm. 34
- ↑ Tim penulis, Fi Rihab Ahlilbait, jld. 21, hlm. 21
- ↑ Tim penulis, Fi Rihab Ahlilbait, jld. 21, hlm. 16, 19; Subhani, al-I'tisham bi al-Kitab wa al-Sunnah, hlm. 67
- ↑ Irsal al-Takfir Baina al-Sunnah wa al-Bid'ah-Nuskhe Matni, perpustakaan digital tebyan.net
- ↑ Dirasat Fiqhiyah fi Masail Khilafiah, perpustakaan digital qaimiah
- ↑ Taudhih al-Maqal fi al-Dham wa al-Irsal, site almoqtabas.com
- ↑ al-Qaul al-Fashl fi Ta'yid Sunnah al-Sadl ala Madzhab Malik bin Anas, site ain al-Jamiah
- ↑ Risalah Mukhtasharah fi al-Sadl site ain al-Jamiah
- ↑ Risalah fi Hukm Sadl al-Yadain fi Shalah ala Madzhab al-Imam Malik bi al-Syinqithi, site archive.org
- ↑ Fi Rihab Ahlilbait alaihimus salam-21- al-Qabdh fi al-Shalah al-Takatuf site ahl-ul-bayt.org
Daftar Pustaka
- Taudhih al-Maqal fi al-Dham wa al-Irsal Site dar almoqtabas, dilihat 5 Tier 1402 S
- Risalh fi Hukm Sadl al-Yadain fi Al-Shalah ala Madzab al-Imam Malik bi al-Shanqathi. site arshoo internet, dilihat 5 Tier 1402 S
- al-Qaul al-Fashl fi Ta'yid Sunnah al-Sadl ala Madzhab Malik bin Anas Site ain al-Jamiah
- Irsal al-Takfir Baina al-Sunnah wa al-Bid'ah. Perpustakaan diqital tibyan, dilihat 18 Khordad 1402 S
- Dirasah Fiqhiah fi Masail Khilafiah Perpustakaan Qaimah, dilihat: 18 Khordad 1402 S
- Fi Rihab Ahlilbait alaihis salam-21- al-Qabdh fi al-Shalah al-Takatuf Site ahl-ul-bayt.org
- Abu Dawud, Sulaiman bin Asy'ats. Sunan Abi Dawud. Shaida, perpustakaan al-'Ashriyah, tanpa tahun
- Aini, Mahmud bin Ahmad. al-Binayah Syarh al-Hidayah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, cet. 1, 1420 HS
- 'Athiyah, Ibnu Muhammad Salim. Syarh Bulug al-Maram. Tanpa tempatm tanpa penerbit, tanpa tahun
- 'Awaiysah, Husain bin Audah. al-Mausu'ah al-Fiqhiah al-Muyassarah fi Fiqh al-Kitab wa al-Sunnah al-Muthahharah. Beirut: Dar Ibnu Hizam, cet. 1, 1423 HS
- Binbaz, Abdul Aziz bin Abdullah. Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawi'ah. Departemen Penelitian Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi, tanpa tempat, tanpa tahun
- Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari. Bulaq. Cetakan al-Kubra al-Amiriah, 1311 HS
- Dar al-Quthni, Ali bin Umar. Sunan al-Dar al-Quthni. Riset: Syuaib al-Arnauth. Beirut: Yayasan al-Risalah, cet. 1, 1424 HS
- Hanafi Razi, Muhammad bin Abi Bakar. Tuhfah al-Muluk. Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiah, cet. 1, 1417 HS
- Himyari, Abdullah bin Ja'far. Qurb al-Isnad. Qom: Yayasan Alulbait, cet. 1, 1413 HS
- Ibnu Arabi, Muhyid-din. al-Futuhat al-Makiah. Beirut: Dar al-Shadir, tanpa tahun
- Ibnu Hajar Asqalani. Ahmad bin Ali. Tahdzib al-Muhadzib. Beirut: Dar al-Shadir, tanpa tahun
- Ibnu Jibrin, Abdullah bin Abdu al-Rahman. Syarh 'Umdah al-Ahkam. Tanpa tempat, tanpa penerbit, tanpa tahun
- Jaziri, Abdu al-Rahman bin Muhammad. al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba'ah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, cet. 2, 1424 HS
- Khamenei. Ajwibah al-Istifta'at. Terjemah oleh Ahmad Ridha Husaini. Teheran: Organisasi tabligat-e Eslami, cet. 51, 1388 S
- Mubarakfuri, Muhammad bin Abd al-Rahim. Tuhfah al-Ahwadzi. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, cet. 1, 1410 HS
- Mughniyah. Muhammad Jawad. al-Fiqh ala al-Madzahib al-Khamsah. Beirut: Dar al-Tiyar al-Jadid, 1421 HS
- Najafi, Muhammad Husain. Jawahir al-Kalam. Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi, cet. 7, 1367 S
- Nawawi, Yahya bin Syaraf. al-Majmu' Syarh al-Muhdzib. Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun
- Neysyaburi, Musim. Shahih Muslim. Kairo: Penerbit Issa Al-Babi Al-Halabi and Partners, 1384 HS
- Qurthubi, Muhammad bin Ahmad. Bidayah al-Mujtahid wa al-Nihayah al-Muqtashid. Kairo: Dar al-Hadits, 1425 HS
- Sabziwari, Sayid Abdul A'la. Muhdzib al-Ahkam fi Bayan al-Halal wa al-Haram. Qom: Dar al-Tafsir, cet. 1, 1388 S
- Sayid Murtadha, Ali bin Husain. Rasail al-Syarif al-Murtadha. Qom: Perpustakaan Ayatullah Mar'asyi Najafi, 1421 HS
- Subhani, Ja'far. al-I'tisham bi al-Kitab wa al-Sunnah. Teheran: Asosiasi Kebudayaann dan Hubungan Islam, 1375 S
- Syahid Tsani. Zain al-Din bin Ali. Raudh al-Jinan fi Syarh Irsyad al-Adzhan. Qom: Kantor al-A'lam al-Islami, cet. 1, 1422 HS
- Syaukani, Muhammad bin Ali. Neil al-Authar. Mesir: Dar al-Hadits, cet. 1, 1413 HS
- Syekh Anshari. Murtadha. Rasail Fiqhiah. Qom: Kongres Internasional Syekh Anshari, 1414 HS
- Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali. al-Khishal. Riset: Ali Akbar Ghafari. Qom: Jamiah Mudarisin, cet. 1, 1362 S
- Syekh Thusi, Muhammad bin Hasan. al-Khilaf. Qom: Yayasan al-Nashr al-Islami, 1407 HS
- Syekh Thusi, Muhammad bin Hasan. Tahdzib al-Ahkam. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiah, cet. 4, 1407 HS
- Thabrani, Sulaiman bin Ahmad. al-Mu'jam al-Kabir. Kairo: Perpustakaan Ibnu Taimiah, cet. 2, 1387 S
- Thayyar, Abdullah bin Muhammad dan lain-lain. al-Fiqh al-Muyassar. Riyadh. Penerbit al-Wathan, cet. 2, 1433 HS
- Tim penulis. Fi Rihab Ahlilbait. Qom: Majma al-Alami li Ahlibait, cet. 2, 1426 HS
- Tirmidzi, Muhammad bin Isa. al-Jami' al-Shahih. Kairo: Dar al-Hadits, tanpa tahun