Memandikan Mayat

Prioritas: b, Kualitas: b
Dari wikishia
Kematian hingga Kiamat
Ihtidhar
Sakratul Maut
Pencabutan Nyawa
Pemakaman
Mandi Mayat dan Salat Jenazah
Pengafanan dan Pengguburan
Talqin
Malam Pertama di Alam Kubur
Salat Wahsyah
Pertanyaan Malaikat dalam kuburan
Azab Kubur
Ziarah Kubur
Tawassul dengan orang wafat
Barzah
Kiamat Sughra
Tiupan Sangkakala
Kiamat
Hari Kebangkitan
Mizan
Syafa'at
Shirath
Surga atau Neraka
Tema yang terkait
Izra'il
Badan Barzah
Kehidupan di Alam Barzah
Tajassum al-A'mal
Kekal

Ghuslu al-Mayyit (bahasa Arab:غُسْلُ الميِّت) adalah memandikan mayat muslim dengan syarat-syarat tertentu dan termasuk dari mandi wajib. Pelaksanaannya diwajibkan atas mukallaf yang lain. Pada mandi ini, orang yang meninggal dunia dimandikan tiga kali dengan air yang dicampur dengan sidir (bidara), air yang dicampur dengan kafur dan air murni.

Urgensitas Memandikan Mayit

Ketika orang muslim meninggal dunia, maka bagi muslim yang lain wajib secara kifayah untuk memandikannya dan setelah dikafani dan disalati wajib dimakamkan. Terdapat 278 hadis di dalam dua kitab; Wasail al-Syiah dan Mustadrak-nya menjelaskan perincian hukum-hukum memandikan mayat.

Di dalam riwayat diterangkan pahala yang banyak bagi orang yang memandikan mayat dan perbuatan ini diyakini sebagai faktor jauhnya dari api neraka, cahaya petunjuk kepada surga dan pengampunan dosa-dosa (selain dosa besar)nya selama setahun.[catatan 1]

Yang Memandikan Para Imam Maksum

Berdasarkan berbagai riwayat, bahwa setiap Imam as yang wafat hanya dimandikan oleh Imam berikutnya,[catatan 2] Setelah Imam Mahdi as wafat, Imam Husain as akan diraj'ah (dihidupkan kembali ke dunia) dan akan memandikan dan mengkafani Imam Mahdi as.[1].

Syahid Dalam Peperangan

Seorang muslim yang gugur syahid di medan perang tidak perlu dimandikan dan dikafani, ia cukup dimakamkan dengan pakaian yang dikenakannya. Sebagian Fukaha tidak membolehkan memandikan seorang syahid. [2]

Anak-anak Kecil

Apabila seorang ayah atau ibu dari anak kecil meninggal dunia atau gila, namun ia seorang muslim, maka anak tersebut dimandikan sebagaimana seluruh orang muslim. Bayi yang keguguran sebelum berumur 4 bulan tidak perlu dimandikan dan ia dibalut dalam kain serta dikuburkan. Akan tetapi jika bayi tersebut genap 4 bulan maka wajib dimandikan pula. [3]

Mandi Mayit Sebelum Qisas

Apabila hakim syar'i menvonis seseorang untuk dihukum mati, maka sebelum orang tersebut dieksekusi, ia boleh melaksanakan mandi mayit. Setelah eksekusi dilaksanakan, ia tidak perlu dimandikan lagi.[4]

Ketidaksucian Tubuh mayat Sebelum Dimandikan

Tubuh seorang muslim yang meninggal dunia hingga sebelum dimandikan tidaklah suci dan apabila ada sesuatu yang basah bersentuhan dengannya maka akan najis, dan apabila tubuh mayat sudah dingin, maka orang yang menyentuhnya wajib melakukan 'mandi menyentuh mayat'. Namun apabila ia menyentuhnya setelah mayat dimandikan dan tubuhnya menjadi suci, maka hukum tersebut tidak berlaku.

Tatacara Memandikan mayat

Berdasarkan fatwa yang masyhur dikalangan para Marja' Taklid, mayat wajib dimandikan tiga kali: dengan air yang dicampur dengan sidir (bidara), dengan air yang dicampur dengan kafur dan dengan air murni. Mandi tersebut wajib dilakukan sesuai urutan di atas dan jika urutan tersebut tidak dijaga maka harus diulangi lagi, sampai sesuai dengan urutan yang disyariatkan.

Dalam memandikan mayat sebagaimana mandi wajib yang lain, setelah niat mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub), pertama harus menyiram/membasuh kepala dan leher, kemudian tubuh sebelah kanan, lalu tubuh sebelah kiri mayat. Kemaluan (aurat) dan pusar dibasuh bersamaan dengan kedua bagian tubuh tersebut. [5]

Memandikan mayat secara irtimasi (ditenggelamkan kedalam air) tidaklah sah. [6] Dan sebelum dimandikan, seluruh tubuh mayat harus suci dari najis. Sebagian fukaha mengatakan bahwa mensucikan setiap bagian sebelum bagian tersebut dimandikan, hal itu sudah cukup. [7]

Kadar sidir dan kafur tidak boleh terlalu banyak sehingga menyebabkan air menjadi mudhaf. Demikian juga tidak boleh terlalu sedikit sehingga tidak diketahui air tersebut dicampuri dengannya. [8]

Apabila sidir dan kafur tidak didapatkan, maka cukup dimandikan dengan air biasa, yang pada kondisi ini sebagian fukaha mencukupkan satu mandi saja. [9] Apabila mayat tidak mungkin dimandikan dengan air, maka boleh diganti dengan tayammum. Namun, terdapat perbedaan pendapat apakah tayammum tersebut dilakukan tiga kali sebagaimana mandinya ataukah cukup satu kali.[10]

Orang yang meninggal dunia dalam keadaan junub atau haid, maka mandi mayat sudah cukup baginya dan tidak perlu dimandikan janabah atau haid secara terpisah. Sebagian fukaha berhati-hati (ihtiyath) agar orang yang memandikan mayit tersebut juga meniatkan mandi janabah dan haid.[11]

Syarat-syarat Orang yang Memandikan

Orang yang memandikan mayat disebut "Ghassal". Ia harus muslim dan Syiah dua belas imam, balig dan berakal.[12] Selain suami-istri, mayat laki-laki harus dimandikan oleh orang laki-laki dan mayat perempuan harus dimandikan oleh perempuan pula. Dalam kondisi normal, mayoritas Fukaha tidak membolehkan mayat dimandikan oleh yang tidak sejenis walaupun masih semuhrim. [13] Sebagian fukaha meyakini bahwa suami-istri harus memandikan mayat satu sama lainnya dari balik baju (kain penutupnya). [14]

Apabila orang yang memandikan mayat menggunakan sarung tangan dan tidak menyentuh tubuh si mayat, maka ia tidak wajib 'mandi menyentuh mayat'.

Mengambil Upah Memandikan mayat

Sesuai fatwa mayoritas Marja' Taklid, mengambil upah memandikan mayat hukumnya haram dan sebagian dari mereka menghukumi mandi tersebut menjadi batal. Tentu, boleh mengambil upah untuk persiapan-persiapan pra pemandian dan pembersihan.[15]

Catatan Kaki

Daftar Pustaka

  • Bahrani, Yusuf bin Ahmad. Al-Hadāiq an-Nādhirah fī Ahkām al-'Itrah at-Thāhirah. Riset Ali Akhundi. Qom: Nasy-e Eslami, 1363 HS (1984).
  • Burujerdi, Murtadha. Mustanad al-'Urwah al-Wutsqā; Taqrīrāt Ayatullah Khūi. Qom: Madrasah Dar al-'Ilm.
  • Hakim, Sayid Muhsin. Mustamsak al-'Urwah al-Wutsqā. Cet. I. Qom: Muassisah Dar at-Tafsir, 1414 H.
  • Hilli, Hasan bin Yusuf. Mukhtalaf asy-Syī'ah fī Ahkām asy-Syarī'ah. Cet. I. Riset Markaz al-Abhats wa ad-Dirasat al-Islamiyyah. Qom: Daftar-e Tablighat-e Eslami, 1412 H.
  • Hilli, Hasan bin Yusuf. Tadzkirah al-Fuqahā` . Cet. I. Qom : Muassasah Alul Bait (as) li Ihya' at-Turats, 1414 H.
  • Najafi, Muhammad Hasan. Jawāhir al-Kalām fī Syarh Syarāyi' al-Islām. Cet. VII. Beirut: Daru Ihya' at-Turats al-'Arabi.
  • Yazdi, Sayyid Kadzim Thabathabai. Al-'Urwah al-Wutsqā fīmā Ta'ummu bihi al-Balwā. Cet. V. Qom: Dar at-Tafsir Ismailiyyan, 1419 H.


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "catatan", tapi tidak ditemukan tag <references group="catatan"/> yang berkaitan