Mubah
Salat Wajib: Salat Jumat • Salat Id • Salat Ayat • Salat Mayit Ibadah-ibadah lainnya Hukum-hukum bersuci Hukum-hukum Perdata Hukum-hukum Keluarga Hukum-hukum Yudisial Hukum-hukum Ekonomi Hukum-hukum Lain Pranala Terkait |
Mubah (bahasa Arab: المباح) adalah istilah fikih yang menunjukkan suatu perbuatan yang mana seseorang tidak memiliki tugas khusus terkait dengannya, sehingga ketika dikerjakan atau di tinggalkan hukumnya tetap sama dan tidak memiliki imbalan dan ganjaran bagi pelaku perbuatan. Oleh karena itu, setiap perbuatan yang tidak memiliki salah satu dari empat hukum: wajib, haram, mustahab dan makruh, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang mubah.
Dalam beberapa riwayat dan literatur, mubah juga dipakai untuk makna umum yaitu boleh dan halal. Mubah juga memiliki makna lain dan digunakan pada makna yang lebih khusus dalam hal fikih dan hak-hak perdata yaitu izin kepemilikan sesuatu atau izin pemanfaatan sesuatu.
Mubah adalah hukum yang paling umum di antara lima hukum dan kebanyakan tindakan manusia berkaitan dengan hukum ini. Kebanyakan Fukaha Syiah meyakini keprinsipan hukum mubah (Ashalatul Ibahah); artinya bahwa hukum asli segala sesuatu adalah mubah kecuali terdapat dalil yang menentangnya.
Makna Mubah
"Ibahah" berasal dari asal kata " بَوْحٌ" dan "بُوحٌ" yang berarti diberikan izin. [1]Dan "Mubah" adalah perbuatan yang boleh (Mujaz) dilakukan.
Dalam istilah fikih, mubah termasuk bagian dari hukum yang lima dan digunakan untuk perbuatan yang pelaksanaan dan peninggalannya ditinjau dari kaca mata fikih memiliki dimensi yang sama dan tidak ada penjelasan tentang pahala,siksa, pujian dan celaan dalam hal itu.[2] Dengan kata lain, mubah adalah perbuatan yang tidak dihukumi wajib, haram, mustahab dan makruh. Mukallaf dalam melaksanakan atau meninggalkan perbuatan itu memiliki kebebasan penuh, seperti perbuatan makan atau tidur yang dalam kondisi biasa tidak memiliki hukum dan seseorang dapat melakukan apa saja yang dikehendaki.
Atas dasar penjelasan diatas, maka mubah dalam ibadah tidak memiliki contoh konkret (misdak)[3] dan semua perbuatan yang berkaitan dengan ibadah tercakup dalam salah satu 4 hukum; wajib, mustahab, haram dan makruh.
Perbedaan antara Mubah dan Halal
Halal dalam hukum syar'i merupakan lawan dari haram dan meliputi segala sesuatu yang tidak haram. Dari sisi ini, halal lebih umum dari pada mubah, artinya setiap perbuatan mubah adalah halal, namun setiap perbuatan halal belum tentu mubah seperti perbuatan-perbuatan makruh; ia halal dilakukan tapi bukan mubah.
Perbedaan Ibahah (mubah) dan Jawaz (Boleh)
"Jawaz" adalah kebalikan dari "man'u" (larangan). Jawaz seperti halal meliputi mubah. Karena setiap hal-hal yang mubah, adalah jaiz (boleh), namun setiap yang Jāiz (dibolehkan), belum tentu mubah, misalnya perbuatan makruh dan mustahab; ia boleh dilakukan (jāiz) tapi bukan mubah.
Mubah dalam Alquran dan Sunah Nabawi
Dalam Alquran, kata "Ibahah" tidak digunakan, demikian juga Nabi Muhammad saw tidak menggunakan lafadz tersebut, namun para fukaha dan para ulama meyakini bahwa banyak sekali dari ayat-ayat Alquran yang sejatinya menjelaskan kedudukan Ibahah. Misalnya ayat:
Prinsip Ibahah
Terdapat pembahasan di antara para fukaha dan ushuliyun tentang amalan dan tindakan yang tidak disebutkan dalam aturan agama, yaitu apabila Alquran dan hadis tidak memberikan aturan tertentu tentang suatu perbuatan, dalam hal ini apakah seseorang boleh melakukan tindakan itu ataukah tidak?
Terdapat dua jawaban atas pertanyaan di atas: Ashalah al-Ibāhah (hukum asal segala sesuatu adalah boleh) dan Ashalah al-Hazhar (hukum asal segala sesuatu adalah larangan). Prinsip Hazhar (larangan) menyatakan selama tidak ada dalil syar'i yang membolehkan suatu tindakan untuk dikerjakan, maka harus menjauhi tindakan tersebut. Sedangkan prinsip Ibahah adalah kebalikannya yaitu apabila syar'i mengambil sikap diam atas amalan tertentu, maka seseorang boleh melakukan tindakan tersebut dan tindakan itu merupakan bagian dari hal-hal yang mubah.
Pendapat Masyhur dalam Imamiyah
Pendapat masyhur di antara fukaha Imamiyah adalah bahwa baik hukum akal dan syar'i keduanya berdiri di atas prinsip mubah. [5] Dasar syar'i kaum Imamiyyah adalah ayat-ayat dan hadis-hadis yang dinukilkan dari para Imam as, diantaranya:
- هُوَ الَّذی خَلَق لَکم ما الاْرْض جَمیعاً; "Dia-lah yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu".[6]
- یا اَیهَا النّاس کلوا مِمّا فِی الاْرْض حَلالاً طَیباً; "Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi"[7]
- قُل لا اَجِدُ فی ما اُوحِی اِلَی مُحَرَّماً عَلی طاعِم یطْعَمُه اِلاّ اَن یکون مَیتةً اَو دَماً مَسْفُوحاً اَوْ لَحْم خِنْزیر; "Katakanlah, "Aku tidak menemukan dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali apabila makanan itu berupa bangkai, darah yang telah mengalir keluar (dari tubuh seekor binatang), atau daging babi"[8]
Imam Shadiq as bersabda: کل شَی ء مُطْلَق حَتّی یرِد فیه نَهْی; Semua perkara adalah mubah kecuali jika ada larangan didalamnya. [9]
Ibahah Kepemilikan dan Ibahah Pemanfaatan dalam Fikih dan Hak-hak Sipil
Ibahah memiliki makna lain dalam hukum fikih dan hak-hak sipil yang meliputi ijin untuk memiliki dan memanfaatkan harta-harta yang tidak dimiliki oleh seseorang. Dalam hal-hal yang dibolehkan untuk memiliki maka hal itu disebut dengan "Ibahah kepemilikan" dan hal-hal yang dibolehkan untuk memanfaatkan, hal itu disebut dengan "Ibahah pemanfaatan". Berdasarkan pembagian ini, "Ibahah" dibagi menjadi dua: Ibahah pemanfaatan dan Ibahah kepemilikan.
- Mubāhāt pemanfaatan adalah hal-hal mubah yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh kaum Muslimin. Oleh sebab itu, pemanfaatan secara pribadi dilarang melainkan harus dimanfaatkan secara bersama sehingga orang lain juga bisa memanfaatkannya, misalnya jalan raya.
- Mubāhāt kepemilikan adalah hal-hal mubah yang bisa dimiliki dengan izin Imam kaum Muslimin dan sesuai dengan peraturan-peraturan syar'i, seperti memberdayakan lahan-lahan kosong dengan cara menghidupkannya atau menangkap ikan dari air-air yang mubah.
Hukum-hukum perdata Iran karena mengikuti fikih Imamiyah, membagi Mubāhāt kepada dua bagian: Mubāhāt yang bisa dimanfaatkan dan Mubāhāt yang bisa dimiliki. Mubahat bagian pertama disebut dengan harta-harta umum atau harta-harta yang digunakan oleh masyarakat. [10] Pada pasal 27 disebutkan: "Harta-harta yang bukan merupakan pribadi, maka masyarakat bisa memiliki harta-harta tersebut atau memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan hal itu, hal ini disebut dengan Mubāhāt seperti lahan yang sudah lama tidak digarap dan diolah."
Catatan Kaki
Daftar Pustaka
- Alamul Huda, Murtadha. Al-Dzari'ah ila Ushul al-Syari'ah. Teheran: 1346 HS.
- Amidi, Ali. Al-Ihkām fi Ushul al-Ahkām. Beirut: 1405 H/1985.
- Azhari, Muhammad. Tahdzib al-Lughah. Kairo: 1966.
- Badakhsyi, Muhammad. Manahij al-Uqul fi Syarhi Minhaj al-Wushul. Beirut: 1405 H/1984.
- Farahidi, Khalil. Al-'Ain. Qom: 1405 H/1985.
- Ghazali, Muhammad. Al-Mustasfa. Kairo: 1322 H/1904.
- Hakim, Muhammad Taqi. Al-Ushul al-'Ammah lil Fiqh al-Muqārin. Qom: 1979.
- Hur Amili, Muhammad. Wasāil al-Syiah. Beirut: 1383, 1387/1963-1967.
- Mausu'ah Jamal Abdul Nasir al-Fiqhiyah. Kairo: 1386 H/1966 M.
- Qānun Madani Iran
- Syahid Awal, Muhammad. Al-Qawāid wa al-Fawāid fi al-Fiqh wa al-Ushul wa al-Arabiyah. Qom: 1399 H/1979.
- Syahid Tsani, Zainuddin. Ma'ālim al-Ushul. Penj. Agha Hadi Mazandarani. Teheran: 1377 H/1957.
- Tahanawi, Ali. Kassyāf Istilāhāt al-Funūn. Riset: Alus Syirnegar, Kalkuta, 1848-1861.
Pranala Luar
- Sumber rujukan: دایرة المعارف بزرگ اسلامی (Dāirah al-Ma'ārif Buzurg Islāmi).