Haid

Prioritas: b, Kualitas: b
Dari wikishia
(Dialihkan dari Datang Bulan)

Furu'uddin

Salat

Wajib: Salat JumatSalat IdSalat AyatSalat Mayit


Ibadah-ibadah lainnya
PuasaKhumusZakatHajiJihadAmar Makruf dan Nahi MungkarTawalliTabarri


Hukum-hukum bersuci
WudhuMandiTayammumNajasatMuthahhirat


Hukum-hukum Perdata
PengacaraWasiatGaransiJaminanWarisan


Hukum-hukum Keluarga
PerkawinanPerkawinan TemporerPoligamiTalakMaharMenyusuiJimakKenikmatanMahram


Hukum-hukum Yudisial
Putusan HakimBatasan-batasan hukumKisas


Hukum-hukum Ekonomi
Jual Beli (penjualan)SewaKreditRibaPinjaman


Hukum-hukum Lain
HijabSedekahNazarTaklidMakanan dan MinumanWakaf


Pranala Terkait
BalighFikihHukum-hukum SyariatBuku Panduan Fatwa-fatwaWajibHaramMustahabMubahMakruhDua Kalimat Syahadat

Haid atau menstruasi (bahasa Arab:الحيض), adalah sebuah kondisi dimana darah haid mengalir dari rahim seorang wanita sejak dari masa pubertas hingga menopause. Selama periode ini, seorang wanita disebut dengan hāid dan memiliki hukum-hukum fikih khusus. Diantaranya, dilarang untuk melakukan hal-hal yang disyaratkan untuk bersuci atau thaharah.

Alquran menganggap darah haid sebagai bentuk gangguan dan penderitaan, dan dalam situasi ini melarang untuk berhubungan intim. Setelah siklus menstruasi berakhir, mandi wajib harus dilakukan untuk hal-hal tertentu guna melaksanakan sebagian pekerjaan.

Darah Haid

Ada kemungkinan darah yang keluar dari rahim wanita itu berbeda-beda dan hukum-hukum yang berkenaan dengannya pun berbeda-beda pula, seperti: Darah yang keluar karena luka, darah yang keluar karena persalinan (nifas), pendarahan (istihadah) dan darah menstruasi (haid). Darah haid biasanya berwarna gelap dan kental.

Dengan memperhatikan pada perbedaan hukum darah yang mengalir dari rahim maka tolok ukur, kriteria dan kondisi untuk diagnosis darah haid sudah ada dan dijelaskan dalam hukum fikih.

Hukum-Hukum Wanita Haid

Alquran menganggap darah haid adalah darah yang merugikan (membahayakan) dan melarang seseorang yang berada dalam kondisi tersebut untuk berhubungan intim.[catatan 1] Dalam dua buku Wasail al-Syiah dan Mustadrak al-Wasail, ada sekitar 375 hadis yang membahas tentang hukum dan aturan haid. Dengan demikian, hukum dan ketentuan spesifik haid adalah sebagai berikut:

  • Segala sesuatu yang dilarang bagi seorang yang dalam keadaan junub juga dilarang bagi seorang yang berada dalam keadaan haid, seperti berhenti di dalam masjid, meletakkan sesuatu di dalam masjid, melewati Masjidil Haram dan Masjid al-Nabi, menyentuh nama Tuhan dan ayat-ayat Alquran, melakukan ibadah-ibadah yang membutuhkan kesucian seperti salat, puasa, tawaf dan iktikaf. [1] Menggantikan (mengqada) salat-salat harian tidak wajib bagi seorang yang haid tetapi menggantikan puasa di hari-hari Ramadhan wajib baginya. [2]
  • Dilarang (haram) membaca surah-surah yang memiliki kewajiban bersujud. [3]
  • Haram hukumnya melakukan hubungan badan selama masa haid baik bagi perempuan atau laki-laki dan sebagian besar fukaha meyakini bahwa hal tersebut ada tebusannya (kafarah). [4]
  • Melakukan perceraian pada perempuan yang sedang haid hukumnya adalah batal . [5]
  • Setelah masa haid berakhir, mandi wajib harus dilaksanakan untuk melakukan amalan-amalan ibadah seperti salat dan puasa.

Hal-Hal yang Makruh

Melakukan beberapa hal saat datang bulan hukumnya makruh, seperti: [6]

  • Membawa Alquran
  • Membaca Alquran (surah-surah yang ada sujud wajibnya, diharamkan)
  • Menyentuh pinggiran ayat-ayat Alquran

Hal-Hal yang Mustahab

Pada waktu-waktu salat seorang yang dalam keadaan haid dianjurkan (mustahab) untuk membersihkan dirinya dari darah, bersuci dengan mengambil wudhu kemudian sibuk untuk berzikir, berdoa dan membaca salawat di tempat dia biasa mendirikan salat. [7]

Mandi Haid

Setelah berakhir masa datang bulan, diwajibkan untuk mandi haid guna melaksanakan peribadatan yang mensyaratkan kesucian atau melakukan hal-hal seperti berhenti di dalam masjid yang membutuhkan kesucian dari haid, nifas, istihadah dan janabah.[8] Mandi ini seperti mandi junub dan yang membedakannya hanya dalam niatnya saja. Menurut fatwa-fatwa sebagian besar para marja' taklid, untuk mendirikan salat selain mandi haid juga perlu mengambil wudhu. [9]

Memperlambat Datangnya Haid untuk Berziarah

Segala sesuatu yang dilarang ([[Haram (fikih)|diharamkan) bagi seorang yang junub juga dilarang bagi seorang perempuan yang berada dalam keadaan haid. Fatwa dari sekelompok para marja' taklid [10] adalah tidak diperbolehkan berhenti di Haram para Imam bagi seorang yang junub dan haid. Sejumlah peziarah yang pergi ke Karbala, Najaf, Makkah atau Madinah, untuk mempermudah mereka dalam melakukan ibadah dan amalan-amalan lainnya, mereka menunda atau memperlambat datangnya menstruasi mereka dengan menggunakan pil, hal seperti itu tidak masalah, jika tidak ada bahaya yang signifikan pada kesehatan seseorang. [11]

Perempuan-Perempuan Suci

Dalam sebuah hadis Nabi saw, "Batul" berarti seorang wanita yang tidak mengalami haid. Dalam hadis ini, Sayidah Maryam as dan Sayidah Fatimah sa disebut dengan Batul. [12]

Menurut riwayat dari Imam Baqir as, Thahirah adalah salah satu gelar Sayidah Fatimah sa yang memiliki arti seseorang yang diyakini bersih dari setiap polusi dan sama sekali tidak pernah mengalami haid atau nifas.[catatan 2]

Hukum Haid di Berbagai Agama

Dalam Agama Zoroaster

Menurut bab ketiga buku Zarathustra, "Shayesh Nashayesh" (layak tidak layak), dalam agama ini, perempuan Haid dinamakan dengan "Dashtan" dan memiliki aturan tersendiri: Jika mereka dalam periode ini kakinya diletakkan di karpet dan bantal, itu semua akan menjadi najis, jika masakan diletakkan tiga langkah darinya maka makanan itu tidak suci. Selama dia dalam kondisi semacam ini, dia tidak diperkenankan tubuhnya menyentuh air dan mencucinya, jika dia mencuci kedua tangannya dengan air, dia berdosa dan ada tebusannya (ada kafarahnya), jika dia melihat matahari atau cahaya lainnya atau melihat binatang berkaki empat dan tanaman atau berbicara dengan suaminya, dia berbuat dosa dan telah memindahkan ketidaksucian kepada mereka, jika pakaian seseorang bersentuhan dengan tubuh perempuan haid, pakaiannya menjadi tidak suci dan mereka harus mencucinya dengan urin sapi, dan lain-lain. [13]

Dalam Agama Yahudi

Orang-orang Yahudi meyakini bahwa menurut Taurat perempuan haid adalah najis dan dikatakan: "Jika seorang perempuan memiliki aliran dan aliran di tubuhnya adalah darah, dia akan tinggal tujuh hari dalam kondisi haid dan siapa saja yang menyentuhnya sampai malam dia akan najis dan atas apa saja dia tidur dalam kondisi haid maka itu akan menjadi najis dan pada apa saja ia duduk, itu juga akan menjadi najis dan siapa saja yang menyentuh tempat tidurnya, ia harus mencuci pakaiannya dan membasuh dirinya dengan air dan hingga malam akan tetap najis... dan jika seorang pria tidur bersamanya dan haidnya ada padanya maka hingga tujuh hari dia akan menjadi najis."[14]

catatan

  1. وَیسْأَلُونَک عَنِ الْمَحِیضِ قُلْ هُوَ أَذًی فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِی الْمَحِیضِ وَ لاتَقْرَبُوهُنَّ حَتَّیٰ; Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka.
  2. عَنْ أَبِی جَعْفَرٍ عَنْ آبَائِهِ(ع) قَالَ: إِنَّمَا سُمِّیتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ الطَّاهِرَةَ لِطَهَارَتِهَا مِنْ کلِّ دَنَسٍ وَ طَهَارَتِهَا مِنْ کلِّ رَفَثٍ وَ مَا رَأَتْ قَطُّ یوْماً حُمْرَةً وَ لانِفَاساً; Imam Baqir as berkata: "Fatimah putri Muhammad dinamakan Thahirah karena bersih dari setiap kotoran dan suci dari setiap darah, dan ia tidak pernah melihat darah haid dan nifas sekalipun sehari". Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 43, hlm. 16

Catatan Kaki

Daftar Pustaka

  • Taudhih al-Masāil Marāji'. Daftare Intisyarat Islami.
  • Khomeini, Sayid Ruhullah. Tahrir al-Wasilah. Qom: Muassasah Nasyri Islami, 1363 HS.
  • Sahaduq, Muhammad bin Ali. Ilal asy-Syarāyi'. Qom: Maktabah al-Dawari, 1385 H.
  • Qunduzi Hanafi, Sulaiman bin Ibrahim. Yanābi' al-Mawaddah li Dzawi al-Qurba. Qom: Uswah, 1422 H.
  • Majlisi, Muhammad Baqir. Bihār al-Anwar. Beirut: Ihya' al-Turats al-Arabi, 1403 H.
  • Mazdapur, Katayun. Syayest Nasyayest. Teheran: Muassasah Muthala'at wa Tahqiqat Farhanggi, 1369 HS.
  • Najafi, Muhammad Hasan. Jahwhir al-Kalām. Intisyarat Dāirah al-Ma'ārif Fiqh Islami.