Tiga Darah

Prioritas: b, Kualitas: b
Dari wikishia


Furu'uddin

Salat

Wajib: Salat JumatSalat IdSalat AyatSalat Mayit


Ibadah-ibadah lainnya
PuasaKhumusZakatHajiJihadAmar Makruf dan Nahi MungkarTawalliTabarri


Hukum-hukum bersuci
WudhuMandiTayammumNajasatMuthahhirat


Hukum-hukum Perdata
PengacaraWasiatGaransiJaminanWarisan


Hukum-hukum Keluarga
PerkawinanPerkawinan TemporerPoligamiTalakMaharMenyusuiJimakKenikmatanMahram


Hukum-hukum Yudisial
Putusan HakimBatasan-batasan hukumKisas


Hukum-hukum Ekonomi
Jual Beli (penjualan)SewaKreditRibaPinjaman


Hukum-hukum Lain
HijabSedekahNazarTaklidMakanan dan MinumanWakaf


Pranala Terkait
BalighFikihHukum-hukum SyariatBuku Panduan Fatwa-fatwaWajibHaramMustahabMubahMakruhDua Kalimat Syahadat

Tiga darah (bahasa Arab: دِماء ثَلاثَة), tiga macam darah yang keluar dari saluran alat genital perempuan dan hanya dialami oleh kalangan perempuan saja seperti darah haid, darah nifas dan istihadhah (pendarahan).

Dalam hukum Islam, haid dan nifas dapat mencegah atau menjadi penghalang bagi seseorang untuk beribadah, seperti salat, puasa, haji, hadir di dalam masjid dan jimak.

Setelah darah tidak terlihat lagi (terputus) maka seorang perempuan wajib mensucikan dirinya dengan cara mandi wajib. Sedangkan untuk darah "Istihadhah" tidak menjadi penghalang bagi seorang perempuan untuk beribadah, tapi untuk melakukan ibadah ia harus melakukan syarat khusus seperti mandi wajib atau cukup hanya dengan berwudhu.

Tiga Darah

Dalam hukum Islam, darah yang keluar dari genital perempuan dibagi menjadi tiga kategori, yang mana dalam istilah fikih disebut dengan Dima'u Tsalasah. [1] Dalam buku-buku fikih, topik ini dibahas lebih rinci dalam bab al-Thaharah (bersuci). Dalam beberapa risalah para maraji yang menjelaskan berbagai permasalahan fikih, sebagian besar dari hukum-hukum ini dicantumkan dalam bagian mandi-mandi wajib.

Perbedaan Tiga Darah

Darah haid adalah darah yang keluar dari rahim seorang perempuan yang akan dialami hampir setiap bulan sebagai suatu kebiasaan dalam waktu-waktu dan hari-hari tertentu setelah dia mencapai usia remaja balig. Biasanya darah ini berwarna merah pekat dan kental disertai dengan rasa hangat dan rasa perih. Seorang perempuan di waktu-waktu haidnya dinamakan dengan "Hāid". [2]

Nifas adalah darah perempuan yang keluar setelah ia menjalankan persalinan (melahirkan) dan dengan keluarnya bagian bayi dari rahimnya melalui alat genital. [3] Seorang perempuan yang mengalami darah nifasnya disebut dengan "Nufasā' " .

Istihadhah, bukanlah darah nifas, haid, darah yang disebabkan operasi atau luka, dan bukan pula bagian darah yang disebabkan hilangnya keperawanan. Darah ini keluar disertai dengan rasa dingin, tanpa tekanan, tidak sakit, berwarna kekuningan dan mengalir dengan lancar. Seorang yang mengalami pendarahan atau istihadhah ini dinamakan "mustahadhah". Kadar darah yang keluar karena istihadhah bervariasi sesuai dengan individu dan kondisi seseorang, dengan alasan tersebut istihadhah terbagi menjadi tiga macam: Istihadhah Sedikit (Qalilah), Istihadhah Sedang (Mutawasitah) dan Istihadhah Banyak (Katsirah). [4]

Hukum-hukum Fikih

  • Seorang perempuan yang sedang dalam keadaan haid dan nifas tidak diperbolehkan untuk melakukan ibadah-ibadah yang memiliki syarat bersuci, seperti: salat, puasa, iktikaf, hadir dan menetap di dalam masjid, hadir dan menetap di haram tempat suci Nabi dan para Imam dan membaca Ayat Sajadah. [5]
  • Seorang perempuan yang telah bersih dari darah haid dan nifas, ketika hendak melakukan puasa diharuskan mandi wajib atau tayammum sampai sebelum terbitnya fajar (sebelum azan subuh). Jika disengaja tidak melakukan mandi maka puasanya tidak sah. [6]
  • Tidak masalah bagi perempuan yang dalam keadaan haid dan nifas membaca Alquran kecuali Ayat Sajadah. [7]
  • Jika salah satu dari tiga darah itu terdapat pada pakaian atau tubuh seseorang yang hendak melakukan salat, maka salatnya tidak sah. Tetapi jika darah selainnya, salat yang ia lakukan bisa dibenarkan dengan syarat kadarnya tidak lebih dari seukuran uang logam satu dirham. [8]
  • Melakukan hubungan intim dari arah depan dengan wanita yang sedang dalam keadaan haid atau nifas hukumnhya haram. [9]
  • Melakukan hubungan intim dari arah dubur (belakang) dengan seorang perempuan yang sedang dalam keadaan haid atau nifas menurut fatwa sebagian para fakih haram dan menurut sebagian lainnya makruh syadid (mendekati haram). [10]


Catatan Kaki

  1. Hasyimi Syahrudi, Farhang-e Fiqh, jld.3, hal 652.
  2. Hasyimi Syahrudi, Farhang-e Fiqh, jld.3, hal. 393.
  3. Yazdi, al-Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hlm. 639-640.
  4. Hasyimi Syahrudi, Farhange Fiqh, jld.1, hal. 420.
  5. Yazdi, al-Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hlm. 602-604.
  6. Yazdi, al-Urwah al-Wutsqa, jld. 3, hlm. 565.
  7. Yazdi, al-Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hlm. 603.
  8. Yazdi, al-Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hlm. 214-215.
  9. Yazdi, al-Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hlm. 605.
  10. Yazdi, al-Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hlm. 605-606.

Daftar Pustaka

  • Hasyimi Syahrudi, Sayid Mahmud. Farhang-e Fiqh Muthābeq-e Madzhab-e Ahle Bait 'Alaihim as-Salām. Qom: Muassisah Dairah al-Ma'arif Fiqh Islami, 1390 S (2012).
  • Yazdi, Sayid Muhammad Kazhim. Al-'Urwah al-Wutsqā ma'a al-Ta'līqāt. Qom: Muassisah al-Nasyr al-Islami, 1417 H.