Jimak (bahasa Arab: الجماع) adalah hubungan badan antara manusia dengan manusia lainnya atau dengan binatang. Dalam fikih Islam, kata-kata seperti jima' muwaqa'ah, wathi dan dukhul adalah istilah yang digunakan dalam defenisi hubungan badan. Pembahasan tentang hukum jimak sangat banyak diperbincangkan dalam bab-bab fikih dan yang dimaksud dengan jimak di sini adalah masuknya alat kemaluan laki-laki sekurang-kurangnya seukuran bagian yang disunat (kepala kemaluan laki-laki).

Furu'uddin

Salat

Wajib: Salat JumatSalat IdSalat AyatSalat Mayit


Ibadah-ibadah lainnya
PuasaKhumusZakatHajiJihadAmar Makruf dan Nahi MungkarTawalliTabarri


Hukum-hukum bersuci
WudhuMandiTayammumNajasatMuthahhirat


Hukum-hukum Perdata
PengacaraWasiatGaransiJaminanWarisan


Hukum-hukum Keluarga
PerkawinanPerkawinan TemporerPoligamiTalakMaharMenyusuiJimakKenikmatanMahram


Hukum-hukum Yudisial
Putusan HakimBatasan-batasan hukumKisas


Hukum-hukum Ekonomi
Jual Beli (penjualan)SewaKreditRibaPinjaman


Hukum-hukum Lain
HijabSedekahNazarTaklidMakanan dan MinumanWakaf


Pranala Terkait
BalighFikihHukum-hukum SyariatBuku Panduan Fatwa-fatwaWajibHaramMustahabMubahMakruhDua Kalimat Syahadat

Para Fakih membagi hubungan badan menjadi tiga bagian yaitu: Halal seperti pernikahan, haram seperti perzinahan dan syubhat (ketidakjelasan/kekeliruan) untuk masing-masing dari bagian-bagian tersebut terdapat hukum dan ketentuan yang berbeda. Menurut fatwa para Fakih, jimak yang dilakukan baik dari depan atau dari belakang, akan menyebabkan seseorang menjadi junub dan penyuciannya adalah harus melakukan mandi junub.

Ada beberapa fatwa ulama tentang jimak, diantaranya: Haramnya sodomi (liwath), haramnya lesbian (Musahaqah), haramnya berjimak dengan hewan, makruhnya berjimak dengan pasangan yang sah melalui dubur.

Definisi Jimak dan Posisinya Dalam Fikih

Dalam fikih banyak nama dan ungkapan yang dipakai untuk pengertian yang terkait dengan hubungan badan, seperti jima', muwaqa'ah, wathi dan dukhul, yang mana kesemuanya bermakna sebagai hubungan badan antara sesama manusia atau manusia dengan hewan. [1] Hukum-hukum jimak banyak dibahas dan disampaikan pada bab-bab fikih seperti thaharah (bersuci), puasa, iktikaf, haji, pernikahan, perceraian, zhihar, Ila', dan hudud (hukuman-hukuman). [2] tentunya, ini adalah hukum-hukum khusus jimak yang berlaku bagi mereka yang melakukan hubungan badan dengan masuknya alat kelamin laki-laki terhadap lawan mainnya sekurang kurangnya seukuran bagian yang disunat. [3]

Macam-macam Jimak

Jimak dalam pandangan fikih dibagi menjadi tiga bentuk: jimak yang halal, jimak yang syubhat dan jimak yang haram, dimana ketiganya memiliki aturanan hukum yang berbeda. [4]

Jimak yang Halal

Jimak yang terjadi setelah tersedianya sebab-sebab syariat atau ketentuan hukum agama, ini adalah jimak yang halal. Sebab-sebab syariat jimak yang halal adalah: pernikahan permanen, pernikahan sementara, kepemilikan (pemilik budak wanita) dan tahlil (penghalalan untuk melakukan hubungan badan dengan budak wanitanya bagi orang lain). [5]

Jimak yang Bersyubhat

Jimak yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, di mana dikira telah terjadi sebab-sebab syar'inya, adalah jimak yang bersyubhat atau dalam istilah fikih dinamakan dengan "wathi bi syubhah" (kesalahan dalam berhubungan badan), contohnya ketika seorang laki-laki yang keliru mencampuri seorang perempuan yang dia kira itu adalah istrinya. [6]

Menurut fatwa para fukaha, jimak yang bersyubhat tidak ada hukuman khusus yang menuntutnya. [7] Begitu juga, perempuan yang dicampurinya harus menjaga iddahnya[8] dan juga dia dapat mengambil "mahar mitsl" (mas kawin seukuran yang ada pada uruf atau tradisi). [9] Pastinya, menurut pandangan pemilik buku Jawahir al-Kalam, jika kesalahan hanya terjadi dari sisi laki-laki, yaitu perempuan tahu bahwa dia bukan mahramnya, maka dia tidak akan mendapat mahar mitsl. [10]

Jimak yang Haram

Jimak yang dilakukan tanpa terpenuhi sebab-sebab syar'inya dan dilakukan dengan kesadaran dan ikhtiyar disebut jimak haram. [11] Diantara contoh-contoh konkrit jimak haram adalah: perzinahan, sodomi, lesbian, jimak dengan hewan, [12] jimak yang dilakukan dalam keadaan haid, nifas, puasa dan ihram. [13]

Terjadinya junub karena Jimak

Menurut fatwa para fakih, jimak yang dilakukan dari arah depan atau belakang, akan menyebabkan seseorang menjadi junub. [14] jimak yang dilakukan sesama laki-laki, begitu juga jimak dengan hewan akan menyebabkan seseorang menjadi junub. [15] Terdapat hukum-hukum tersendiri bagi jimak atau terjadinya junub, diantaranya adalah dilarang menyentuh tulisan Alquran, nama Tuhan dan secara ihtiyath wajib nama para Imam Maksum, berdiam diri dan menetap di masjid dan membaca surah-surah Alquran yang di dalamnya diwajibkan untuk bersujud. [16] Seseorang yang melakukan jimak, jika alat kelaminnya masuk setidaknya seukuran bagian yang disunat, [17] untuk melaksanakan salat dan berpuasa dia terlebih dahulu harus melakukan mandi junub. [18]

Sebagian Hukum-hukum Jimak

Sesuai dengan fatwa para marja' taklid, hukum-hukum jimak, akan berlaku ketika alat kelamin laki-laki masuk setidaknya seukuran bagian yang disunat. [19] Sebagian dari hukum-hukum jimak menurut penukilan dari buku-buku fikih adalah sebagai berikut:

  • Dalam pernikahan daim (permanen) tidak diperbolehkan (haram) meninggalkan jimak lebih dari empat bulan. [20]
  • Jimak dengan hewan dilarang (haram) dan dihukum dengan hukuman takzir. [21]
  • Jimak dilarang (haram) dengan perempuan yang belum balig. [22]
  • Jimak sesama laki-laki yang disebut dengan "liwath" (sodomi) dan jimak yang dilakukan sesama jenis perempuan yang disebut dengan "musahaqah" (lesbian), adalah perbuatan haram yang dilarang dan memiliki hukuman (had). [23]
  • Jika seorang laki-laki melakukan jimak dengan laki-laki lain, haram baginya menikah dengan ibu, saudara perempuan dan anak perempuannya. [24]
  • Diizinkan berjimak dengan istrinya dari jalan belakang, tetapi hal itu dihukumi makruh berat (syadidah). [25]
  • Jimak pada waktu-waktu seperti malam-malam Senin, Selasa, Kamis, Jumat dan Kamis siang, dihukumi mustahab. [26]

Catatan Kaki

  1. Muassasah Dairatul Ma'arif Fiqh Islami, Farhange Fiqh, jld.1, hlm. 161.
  2. Muassasah Dairatul Ma'arif Fiqh Islami, Farhange Fiqh, jld.1, hlm. 161.
  3. Bani Hasyimi Khomaini, Taudhih al-Masail Maraji', jld.1, hlm.267.
  4. Muassasah Dairatul Ma'arif Fiqh Islami, Farhange Fiqh, jld.1, hlm. 161.
  5. Muassasah Dairatul Ma'arif Fiqh Islami, Farhange Fiqh, jld.1, hlm. 161.
  6. Muassasah Dairatul Ma'arif Fiqh Islami, Farhange Fiqh, jld.1, hlm. 161.
  7. Muhaqqiq Hilli, Syarai' al-Islam, jld.3, hlm. 35.
  8. Muhaqqiq Hilli, Syarai' al-Islam, jld.3, hlm. 35.
  9. Thabathabai Yazdi, al-Urwah al-Wutsqa, jld.2, hlm. 808.
  10. Najafi, Jawahir al-Kalam, jld.32, hlm.379-378.
  11. Muassasah Dairatul Ma'arif Fiqh Islami, Farhange Fiqh, jld.1, hlm. 162.
  12. Syahid Awal, al-Qawaid wa al-Fawaid, jld.1, hlm.175.
  13. Muassasah Dairatul Ma'arif Fiqh Islami, Farhange Fiqh, jld.1, hlm. 162.
  14. Bani Hasyimi Khomaini, Taudhih al-Masail Maraji', jld.1, hlm.267.
  15. Bani Hasyimi Khomaini, Taudhih al-Masail Maraji', jld.1, hlm.267 dan 268.
  16. Bani Hasyimi Khomaini, Taudhih al-Masail Maraji', jld.1, hlm.269.
  17. Bani Hasyimi Khomaini, Taudhih al-Masail Maraji', jld.1, hlm.267.
  18. Bani Hasyimi Khomaini, Taudhih al-Masail Maraji', jld.1, hlm.273.
  19. lihat: Bani Hasyimi Khomaini, Taudhih al-Masail Maraji', jld.1, hlm.267.
  20. Muhaqqiq Hilli, Syarai' al-Islam, jld.2, hlm. 214; Syahid Tsani, al-Raudhah al-Bahiyah, jld.5, hlm.104.
  21. Syahid Awal, al-Qawaid wa al-Fawaid, jld.1, hlm.175.
  22. Muhaqqiq Hilli, Syarai' al-Islam', jld.2, hlm. 214.
  23. Allamah Hilli, Mukhtalaf al-Syiah, jld.9, hlm.189; Muhaqqiq Hilli, Syarai' al-Islam, jld.2, hlm. 214.
  24. Bani Hasyimi Khomaini, Taudhih al-Masail Maraji', jld.2, hlm.611.
  25. Muhaqqiq Hilli, Syarai' al-Islam', jld.2, hlm. 214.
  26. Thabathabai Yazdi, al-Urwah al-Wutsqa, jld.2, hlm. 801.

Daftar Pustaka

  • Allamah Hilli, Hasan bin Yusuf. Mukhtalaf al-Syiah fi Ahkam al-Syari'ah. Qom: Kantor penerbitan Islami, cet. II, 1413 H.
  • Bani Hasyimi Khomaini, Sayid Muhammad Husain. Taudhih al-Masail Maraji Muthabiq Ba Fatawa Syanzdah nafar Maraji' Muazham Taqlid. Qom: Kantor penerbitan Islami, cet. VIII, 1424 H.
  • Muassasah Dairatul Ma'arif Fiqh Islami bar Mazhab Ahle Beyt. Farhange Fiqh Muthabiqe Mazhab Ahle Beyt as. Qom: Muassasah Dairatul Ma'arif fiqh Islami, cet. III, 1392 HS.
  • Muhaqqiq Hilli, Ja'far bin Hasan. Syarai' al-Islam fi Masail al-Halal wa al-Haram. Riset dan editor: Abdul Husain Muhammad Ali Baqqal. Qom: Ismaililyan, cet. II, 1408 H.
  • Najafi, Muhammad Hasan. Jawahir al-Kalam fi Syarhi Syarai' Islam. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, cet. VII, 1404 H.
  • Syahid Awal, Muhammad bin Makki. Al-Qawaid wa al-Fawaid. Riset: Sayid Abdul Hadi Hakim. Qom: toko buku Mufid, cet. I, 1400 H.
  • Syahid Tsani, Zainuddin bin Ali. Al-Raudhah al-Bahiyah fi Syarhi al-Lum'ah al-Dimisyqiyah. Syarah: Sayid Muhammad Kalantar. Qom: toko buku Mufid, cet. I, 1410 H.
  • Thabathabai Yazdi, Sayid Muhammad Kazhim. Al-Urwah al-Wutsqa. Beirut: Muassasah al-A'lami lilmathbu'at, cet. II, 1409 H.