Imam Jamaah
Imam jamaah (bahasa Arab إمام الجماعة)atau pemimpin salat adalah orang yang berdiri paling depan di dalam salat jamaah dan orang-orang mengikutinya. Dalam fikih, imam jamaah harus memiliki syarat-syarat di mana yang terpenting dari syarat-syarat tersebut adalah balig, berakal dan adil.
Dalam memilih imam jamaah, para maksumin as lebih utama dari kesemuanya dan jika para Imam Maksum tidak ada, imam tetap masjid (imam ratib), pemimpin yang dilantik oleh hakim penguasa yang adil, pemilik rumah dan para sayid atau habaib lebih utama dari yang lain. Begitu juga menurut para fakih mutaakhirin, kerohanian pemimpin salat dianggap sebagai salah satu prioritas dalam memilih imam jamaah.
Syarat-Syarat Imam Jamaah
Dalam fikih Syiah, telah disebutkan syarat-syarat bagi seseorang yang menerima posisi sebagai imam jamaah. Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
- Balig [catatan 1]
- Berakal [1]
- Adil [catatan 2]
- Mukmin (Syiah dua belas imam)[2]
- Anak halal [3]
- Laki-laki (Jika semua atau sebagian makmum adalah laki-laki).[4] Menurut perkataan masyhur, imam jamaah perempuan dibolehkan bagi seorang perempuan jika dia memiliki syarat-syarat menjadi Imam Jamaah.[5]
- Benarnya bacaan salat[6] [catatan 3]
- Jika para makmum berdiri, Imam jamaah juga harus berdiri.[7] [catatan 4]
Seseorang yang Makruh Menjadi Imam:
- Orang yang hadir untuk musafir atau sebaliknya.[8]
- Terjangkit penyakit kusta dan belang.[9]
- Seseorang yang hukuman syariat (had) telah diberlakukan atasnya, setelah bertobat.[10]
- Orang yang belum disunat[11], Imam Khomeini berkata seseorang yang belum disunat karena ada alasan (uzur).[12]
- Orang Arab badui untuk non-Arab badui, Menurut perkataan masyhur kalangan mutaakhir.[13]
- Orang yang salat dengan bertayamum untuk orang yang salat dengan berwudu.[14]
- Seorang makmum yang tidak suka atas kepemimpinan seseorang untuk menjadi imam jamaah.[15]
Sebagian fukaha memandang makruh imamah salat tawanan, penenun, ahli bekam, penyamak kulit, orang yang menahan air kecil dan besar, serta juga keimamahan salat seorang yang cacat [catatan 5] bagi yang sempurna dan yang sempurna bagi yang lebih sempurna.[16]
Hukum-Hukum
Dalam hubungan antara Imam jamaah dan para makmum dan juga salat masing-masing dari mereka, terdapat hukum-hukum sebagai berikut:
- Batalnya salat imam jamaah jika dengan berbagai alasan seperti tidak adanya syarat sahnya, seperti kesucian atau kesalahan dalam rukun-rukun salat, atau dikarenakan maksiat atau kekafiran, hal itu terbukti setelah salat maka menurut pendapat masyhur, salat makmum sah.[17]
- Keabsahan salat seorang makmum jika setelah salat diketahui bahwa imam jamaah tidak memiliki seluruh syarat-syarat sebagai seorang imam jamaah seperti balig dan barakal, termasuk dari permasalahan kontroversial di antara para fakih.[18]
- Keabsahan salat seorang makmum jika di pertengahan salat mengetahui batalnya salat Imam atau imam tersebut tidak memiliki syarat-syarat sebagai imam salat, menjadi ajang perbedaan pendapat fukaha. Sebagian mereka berpendapat bahwa salatnya harus diulang kembali[19] dan menurut pendapat yang lainnya, cukup baginya untuk merubah niat salatnya menjadi salat furada (sendiri) dan melanjutkan salatnya.[20]
- Jika di pertengahan salat imam jamaah meninggal dunia atau pingsan, diperbolehkan bagi salah satu makmum yang memenuhi syarat untuk menyelesaikan salat bersama dengan makmum lainnya.[21]
- Dalam keadaan darurat, seperti batalnya wudu atau dipertengahan salat mimisan, imam jamaah dapat menunjuk seseorang untuk menggantikan posisinya supaya menyempurnakan salat.[22]
Prioritas yang Diutamakan untuk Seorang Imam Jamaah
Berdasarkan fikih Syiah, dalam memilih imam untuk salat berjamaah, seorang Imam Maksum as adalah hal yang paling diutamakan dari semuanya.[23] Jika tidak ada Imam Maksum, maka sesuai hukum mustahab atau tindakan terbaik[24] prioritas diberikan kepada individu dengan urutan sebagai berikut:
- Imam Ratib (seseorang yang secara terus menerus dan permanen bertanggung jawab sebagai Imam jamaah di sebuah masjid atau tempat lain.)
- Seorang pemimpin yang dilantik oleh imam yang adil.
- Pemilik rumah di rumahnya lebih diutamakan daripada orang lain.[25]
- Para sayid dan Hasyimiyun yaitu para habaib, dalam memimpin jamaah lebih berprioritas dibandingkan orang lain yang sederajat dengannya dari hal-hal yang lain.[26]
Jika terjadi perselisihan antara dua orang atau lebih tentang siapa yang menjadi imam jamaah, sesuai dengan penjelasan sebagain ulama, yang dipilih oleh makmum lebih utama dari yang lain, dan jika terdapat perselisihan antar makmum dalam pengutamaan seseorang, merujuk kepada keistimewaan atau keutamaan pribadi orang tersebut. Terkait penghitungan keistimewaan-keistimewaan dan juga urutan diantara mereka serta pendahuluan satu atas lainnya, terjadi perbedaan pendapat. Perkataan masyhur adalah mendahulukan yang aqra (yaitu orang yang bacaannya lebih baik) atas afqah (yang paling berpengetahuan tentang berbagai masalah dan aturan-aturan syariat) dan yang afqah atas keutamaan-keutamaan lainnya seperti lebih dahulu dalam beriman, lebih tua dan lebih ganteng. Jika semuanya sama dalam segala hal, akan diundi dan orang yang namanya keluar dalam undian akan diutamakan.[27]
Hal-Hal Mustahab
Melakukan dan menjaga hal-hal di bawah ini bagi imam jamaah adalah mustahab; yang mana sebagian dari hal-hal itu adalah:
- Berada di tengah barisan.[28]
- Memperhatikan kondisi para makmum yang paling lemah dalam gerakan-gerakan salat, kecuali jika mereka sendiri yang menginginkan salatnya diperpanjang.[29]
- Meninggikan intonasi suara seukuran yang wajar sehingga pembacaan quran dan dzikir-dzikir salat sampai ke telinga para makmum.[30]
- Memperpanjang rukuk hingga dua kali lipat dari waktu biasanya dengan tujuan agar orang-orang bergabung dalam salat jamaah.[31]
- Setelah salat, imam jamaah tidak bangun dari tempatnya sampai para makmum selesai melaksanakan salatnya.[32]
Mengikuti kepada Imam Jamaah yang Bukan Rohaniawan
Para fakih mutaakhir, menganggap bahwa kerohanian pemimpin salat sebagai salah satu prioritas dalam memilih imam jamaah. Pendapat sebagian diantara mereka adalah:
Imam Khomeini meyakini bahwa syarat diperbolehkannya mengikuti kepada selain rohaniawan adalah jika di lokasi tersebut tidak ada seorang rohani.[33]
Ayatullah Safi Golpaygani menganggap bahwa asli permasalahan adalah diperbolehkan seorang ulama dan mujtahid menjadi makmum kepada non-mujtahid dan non-ulama; namun dalam salat jamaah di masjid-masjid, karena pahala yang lebih banyak, dianjurkan untuk bermakmum atau mengikuti seorang alim agama dalam salat berjamaah karena adanya dalil berupa sirah perjalanan sejarah pada cara ini dan juga kemaslahatan-kemaslahatan lain bahwa imam jamaah adalah dari seorang yang berilmu agama.[34]
Ayatullah Khamenei juga menyarankan jika ada rohaniawan, supaya tidak mengikuti salat jamaah di belakang selainnya.[35]
Ayatullah Makarim Syirazi berkeyakinan bahwa keimaman selain rohaniawan yang memenuhi syarat, jika tidak ditemukan seorang rohani yang memenuhi syarat, tidak bermasalah. Dan jika ada seorang rohani yang memenuhi syarat untuk menjadi imam jamaah maka secara ihtiyat adalah mendahulukannya dibandingkan selainnya.[36]
Catatan Kaki
- ↑ Syahid Awal, al-Lum'ah al-Damisyqiyah, hlm. 48
- ↑ Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jld. 1, hal.274
- ↑ Yazdi, Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hal.600
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 13, hal.337
- ↑ Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jld. 1, hal.274
- ↑ Yazdi, Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hal.600
- ↑ Yazdi, Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hal.600
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 13, hal.374
- ↑ Yazdi, Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hal.604
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 13, hal.373
- ↑ Muhaqqiq Hilli, al-Mukhtashar al-Nafi', jld. 1, hal.48
- ↑ Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jld. 1, hal.277
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 13, hal.387
- ↑ Yazdi, Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hal.604
- ↑ Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jld. 1, hal.277
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 13, hal.390-391; Yazdi, Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hal.604
- ↑ Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jld. 1, hal.277; Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 14, hal.2
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 11, hal.9-10
- ↑ Lihat: Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 14, hal.11
- ↑ Syahid Awal, al-Lum'ah al-Damisyqiyah, hlm. 48; Yazdi, Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hal.598
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 13, hal.368-369
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 13, hal.368-369
- ↑ Allamah Hilli, Tadzkirah al-Fukaha, jld. 4, hal.305
- ↑ Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jld. 1, hal.277; Yazdi, Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hal.603
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 13, hal.348
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 13, hal.353
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 13, hal.357-366
- ↑ Yazdi, Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hal.605
- ↑ Yazdi, Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hal.605
- ↑ Syahid Awal, al-Lum'ah al-Damisyqiyah, hlm. 48
- ↑ Allamah Hilli, Tadzkirah al-Fukaha, jld. 4, hal.328
- ↑ Yazdi, Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hal.60
- ↑ Meida Informasi Portal Imam Khomeini
- ↑ Pandangan Ayatullah Shafi Golpaygani seputar imam jamaat non rohaniawan
- ↑ Ajwibatu al-Istiftaat
- ↑ Basis meida informasi kantor Ayatullah Makarim Shirazi.
Daftar Pustaka
- Shafi Golpaygani, Pandangan Ayatullah Shafi Golpaygani seputar imam jamaat non rohaniawan,Situs Abna. Tanggal publikasi: 5 November 2012. Tanggal kunjungan: 2 Oktober 2017.
- Sistem Media Informasi Portal Imam Khomeini Tanggal publikasi: 18 Juni 2015. Tanggal kunjungan: 2 Oktober 2017.
- Allamah Hilli, Hasan bin Yusuf. Tadzkirah al-Fukaha. Qom. Muassasah Al al-Bait as Li Ihyai al-Turast. Tanpa tahun.
- Basis meida informasi kantor Ayatullah Makarim Shirazi. Basis meida informasi kantor Ayatullah Makarim Shirazi, Tanggal kunjungan: 2 Oktober 2017..
- Khomeini, Ruhullah. Istiftaat. Qom. Jamiah Mudarrisin. 1372 HS.
- Khomeini, Ruhullah. Tahrir al-Wasilah. Qom. Dar al-Ilm. 1379 HS.
- Muhaqqiq Hilli, al-Mukhtashar al-Nafi' fi Fiqh al-Imamiyah. Qom. Muassasah al-Mathbuat al-Diniyah. 1418 H.
- Najafi, Jawahir al-Kalam fi Syarhi Syarai’ al-Islam. Beirut, Dar Ihya al-Turast al-Arabi. 1404 H.
- Syahid Awal, Muhammad bin Makki. Al-Lum'ah al-Damisyqiyah fi Fiqh al-Imamiyah. Riset: Ali Asghar dan Muhammad Taqi Marwarid. Beirut. Dar al-Islamiyah. Dar al-Turats.
- Thusi, Muhammad bin Hasan, al-Mabsuth fi Fiqh al-Imamiyah. Riset. Muhammad Baqir Behbudi. Teheran. Maktabah al-Murtadhawiyah. 1387 HS.
- Yazdi, Muhammad Kazhim. Urwah al-Wutsqa( ma’a Ta’liqat al-Fadhil al-Lankarani). Komentar: Muhammad Fadhil Muwahidi Langkarani. Qom. Markaz Fiqh al-Aimmah al-Athhar as. Tanpa tahun.
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref>
untuk kelompok bernama "catatan", tapi tidak ditemukan tag <references group="catatan"/>
yang berkaitan