Istimta' (bahasa Arab:إِسْتِمْتَاع) adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan kenikmatan seksual. Kenikmatan bisa didapatkan dengan jalan halal ataupun haram dan dilakukan melalui persetubuhan, berciuman, melihat, menyentuh, dll. Kenikmatan yang sah hanya khusus untuk hubungan dengan istri atau budak. Sementara kenikmatan yang tidak sah terkadang mengarah pada Had atau Takzir (hukuman).

Furu'uddin

Salat

Wajib: Salat JumatSalat IdSalat AyatSalat Mayit


Ibadah-ibadah lainnya
PuasaKhumusZakatHajiJihadAmar Makruf dan Nahi MungkarTawalliTabarri


Hukum-hukum bersuci
WudhuMandiTayammumNajasatMuthahhirat


Hukum-hukum Perdata
PengacaraWasiatGaransiJaminanWarisan


Hukum-hukum Keluarga
PerkawinanPerkawinan TemporerPoligamiTalakMaharMenyusuiJimakKenikmatanMahram


Hukum-hukum Yudisial
Putusan HakimBatasan-batasan hukumKisas


Hukum-hukum Ekonomi
Jual Beli (penjualan)SewaKreditRibaPinjaman


Hukum-hukum Lain
HijabSedekahNazarTaklidMakanan dan MinumanWakaf


Pranala Terkait
BalighFikihHukum-hukum SyariatBuku Panduan Fatwa-fatwaWajibHaramMustahabMubahMakruhDua Kalimat Syahadat

Dalam perkawinan, suami mempunyai hak untuk meminta kenikmatan dari istrinya, dan istri wajib menerima permintaan suaminya. Dalam kitab-kitab fikih, terdapat pembahasan tentang kenikmatan dalam bab-bab seperti nikah, taharah, puasa, itikaf, haji, jual beli, dan hudud.

Pengertian Secara Leksikal dan Teknikal

Istimta' secara leksikal berasal dari kata bahasa Arab dari asal kata "Ma - ta – ‘a" (م - ت – ع) yang berarti menguntungkan dan mendapat kenikmatan dari sesuatu. Dengan demikian, istimta' dari bentuk kata istif'āl berarti mencari manfaat mental dan kenikmatan. [1]

Istimta' secara hukum agama adalah hubungan seksual atau segala perbuatan untuk tujuan mendapatkan kenikmatan seksual seperti melihat atau menyentuh manusia, hewan dan lain-lain.

Pembagian Istimta'

Istimta' secara hukum dibagi menjadi dua bagian: Istimta' halal dan istimta' haram

Istimta' Halal

Yang dimaksud dengan istimta' halal dalam pengertian umumnya adalah istimta' yang mencakupi hukum wajib, mustahab dan makruh.

  1. Istimta' dalam beberapa kondisi dapat menjadi wajib, seperti ketika bernazar untuk melakukan istimta' secara halal atau satu hal yang jika tidak ada istimta' yang halal maka dia akan terjerumus pada istimta' haram. [2]
  2. Islam mendorong para istri untuk lebih memperhatikan istimta' halal. Dan hal tersebut sangat dianjurkan, terutama ketika salah satu dari pasangan suami dan istri memiliki kecondongan untuk bersetubuh. [3]
  3. Istimta' dalam beberapa kondisi dapat menjadi makruh, seperti melakukan istimta' dengan istri yang sedang dalam keadaan haid, di sekitar pusar sampai lutut selain qubul (alat kemaluan depan). [4]

Istimta' Haram

Istimta' selain dengan istri dan budak perempuan, baik manusia ataupun hewan[5] secara homo seksual[6] , atau lesbian[7] , melihat dan sebagainya dan juga melakukan onani[8] hukumnya adalah haram dan bagian ini termasuk keharaman yang sifatnya inheren.

Segala macam bentuk istimta' halal dalam keadaan ihram haji dan umrah, [9] begitu juga istimta' bagi orang yang berpuasa dengan istrinya sendiri dalam keadaan bahwa dia tahu hal yang ia lakukan itu akan menyebabkan keluarnya air sperma (inzal), ini adalah hal yang haram[10] dan sifat keharamannya tidak esensial.

Istimta' dengan cara bersetubuh dengan istri yang belum balig, [11] istri yang sedang dalam keadaan iddah disetubuhi secara keliru[12] dan bersetubuh lewat jalan depan di mana si istri dalam keadaan haid adalah haram; akan tetapi istimta' tanpa bersetubuh dalam hal-hal yang telah disebutkan di atas tidak masalah. [13]

Hak Melakukan Istimta'

Diantara hak-hak seorang suami terhadap istri adalah hak untuk mendapatkan istimta' dan jika terjadi pertentangan dengan hak-hak yang lainnya dari taklif atau tugas yang ada, maka hak istimta' lebih didahulukan. Oleh karena itu, seorang wanita tidak berhak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hak-hak suaminya tanpa seizinnya, seperti penyewaan untuk menyusui, [14] keluar dari rumah, [15] menunaikan ibadah haji, [16] berpuasa mustahab. [17] Dan juga tidak boleh mencegah suami untuk tidak melakukan hal itu, kecuali dia berhalangan secara syariat dari melakukan istimta', seperti meninggalkan kewajiban atau bisa melakukan keharaman, atau berhalangan secara akal seperti adanya penyakit yang menghalanginya.

Pengaruh Secara Hukum (fiqih)

Istimta' memiliki pengaruh secara hukum fiqih yang mana kebanyakan dari hal tersebut adalah pengaruh istimta' dengan jalan bersetubuh. Di sini akan diisyaratkan pada hal-hal yang sangat penting.

Hukuman atau Denda

Hukuman akhirat (Keyfar)dapat dibebankan bagi orang yang melakukan istimta' haram yang mana jika tidak bertobat dan tidak adanya penyebab yang dapat menjadikannya diampuni atas apa yang dia lakukan dari perbuatan haram.

Sedangkan Hukuman di dunia adalah bisa jadi berupa materi yang dijatuhkan kepada mereka yang melakukan istimta' yang keharamannya non inheren, seperti bersenang-senang dalam keadaan ihram yang ada kafarahnya, dan bisa jadi berupa non materi yaitu hukuman badan seperti cambuk dan lain-lain.

Hukuman badan, bisa terkena had (hukuman) yang dijatuhkan kepada orang yang telah melakukan istimta' yang haram secara inheren, seperti zina, homoseks atau lesbian dan semacamnya, atau bisa juga Takzir yang dijatuhkan kepada mereka yang melakukan istimta' seperti mencium, menyentuh, tidur dalam satu selimut dengan non mahram dan bersetubuh dengan istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan puasa.

Nafkah

Dari syarat-syarat kewajiban menafkahkan istri atas suami dalam akad daim adalah wanita selalu dan senantiasa siap di setiap waktu ketika suami berkehendak untuk menikmatinya, dia harus menuruti kemauannya dan tidak boleh menolak. [18]

Catatan Kaki

  1. Al-Tahqiq likalimāt al-Qurān al-Karim, jld. 11, hlm. 12.
  2. Mustamsak al-Urwah, jld. 5, hlm. 14.
  3. Wasāil al-Syiah, jld. 20, hlm. 22-23.
  4. Mustamsak al-Urwah, jld. 3, hlm. 318-320; al-Tanqih, (al-Taharah), jld. 6, hlm.444.
  5. Jawāhir al-Kalam, jld. 41, hlm. 637.
  6. Jawāhir al-Kalām, jld. 41, hlm. 374.
  7. Jawāhir al-Kalam, jld. 41, hlm. 387.
  8. Jawāhir al-Kalām, jld. 41, hlm. 647.
  9. Jawāhir al-Kalam, jld. 18, hlm. 308-317.
  10. al-Hadāiq al-Nādhirah, jld. 13, hlm. 129.
  11. Jawāhir al-Kalām, jld. 29, hlm. 414-416.
  12. Mabāni Al-Urwah (al-Nikah), jld. 1, hlm. 339.
  13. Al-Urwah al-Wutsqā, jld. 1, hlm. 339.
  14. Jawāhir al-Kalām, jld. 27, hlm. 297 dan 311.
  15. Jawāhir al-Kalām, jld. 30, hlm. 58.
  16. Jawāhir al-Kalām, jld. 17, hlm. 332.
  17. Jawāhir al-Kalām, jld. 17, hlm. 130.
  18. Jawāhir al-Kalām, jld. 31, hlm. 303-304.

Daftar Pustaka

  • Bahrani, Yusuf bin Ahmad. Al-Hadāiq al-Nādhirah fi Ahkāmi al-Itrah al-Thahirah. Qom: Muasasah al-Nasyr Islami al-tabi li Jamiah al-Mudarisin, 1405-1409 H.
  • Farhang Fiqh Muthābiq Mazhab Ahlulbait alihimus salam. Jld.1, hlm.485-487.
  • Gharawi Tabrizi, Ali. At-Tanqih fi Syarhi al-Urwah al-Wustqa. Tulisan: Khui, Abul Qasim. Qom: Dar al-Hadi lilmathbuat, 1410 H.
  • Hakim, Muhsin. Mustamsak al-Urwah al-Wustqa. Maktabah Ayatollah Mar'asyi Najafi.
  • Hur Amili, Muhammad bin Hasan. Tafshil wasāil asy-Syiah ila Tahshil al-Syariah. Muassasah Al Bait alihimus salam li ihya al-Thuras, 1414 H.
  • Khui, Muhammad Taqi. Mabāni al-Urwah al-Wustqa (al-Nikah). Tulisan: Khui, Abul Qasim. Qom: Nasyr Lutfi dan Dar al-Hadi lilmathbuat, 1407 H.
  • Najafi, Muhammad Hasan. Jawāhir al-Kalam fi Syarhi Syarāi' al-Islam. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah wa al-maktabah al-Islamiyah, 1362-1369 HS.