Lompat ke isi

Amar Makruf dan Nahi Munkar

Dari wikishia

Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar (bahasa Arab:أمر بالمعروف ونهي عن المنكر) berarti memerintahkan perbuatan baik dan mencegah perbuatan buruk serta dosa. Ini dianggap sebagai salah satu kewajiban agama terpenting yang ditekankan dalam Al-Qur'an dan hadis. Menurut pandangan ulama Syiah, amar ma'ruf dan nahi munkar merupakan kewajiban kolektif; artinya jika sebagian orang telah melaksanakannya, kewajiban ini gugur bagi yang lain.

Fukaha telah menetapkan empat syarat yang harus dipenuhi agar amar ma'ruf dan nahi munkar menjadi wajib:

  1. Pelaku harus memahami apa yang ma'ruf (baik) dan munkar (buruk) menurut syariat Islam
  2. Ada kemungkinan perintah/larangan akan berpengaruh
  3. Pelaku maksiat berniat mengulangi perbuatannya
  4. Tidak menimbulkan bahaya fisik, materi, atau reputasi bagi diri sendiri atau orang lain

Fukaha juga menetapkan tiga tahapan pelaksanaan:

  1. Penolakan hati dan ekspresi ketidaksetujuan melalui perilaku nonverbal
  2. Nasihat lisan jika tahap pertama tidak berpengaruh
  3. Tindakan fisik jika tahap kedua tetap tidak efektif

Pentingnya

Amar ma'ruf dan nahi munkar dianggap sebagai salah satu kewajiban agama terbesar[1] yang ditekankan dalam hadis para Imam Maksum[2]. Dalam kitab fikih, terdapat bab khusus membahas hal ini[3], termasuk dalam kitab Al-Lum'ah al-Dimasyqiyyah sebagai subbab dari pembahasan jihad[4]. Kitab hadis seperti Al-Kafi juga memuat bab khusus tentang hal ini[5]. Syekh Hurr al-Amili dalam kitab Wasail al-Syiah mengumpulkan berbagai hadis tentang hukum dan syarat-syaratnya dalam 41 judul[6]. Dalam teologi Islam, amar ma'ruf dan nahi munkar termasuk contoh penerapan luthf[7], dan ada perdebatan apakah ini kewajiban rasional atau syar'i[8].

Beberapa ayat Al-Qur'an membahas amar ma'ruf dan nahi munkar[9], bahkan menyebutnya sebagai tugas khusus umat Nabi Muhammad saw yang disejajarkan dengan keimanan kepada Allah, hari akhir, shalat dan zakat[10]. Imam Ali as. menyatakan bahwa semua amal baik bahkan jihad di jalan Allah bagaikan setetes air di samudera luas dibandingkan dengan amar ma'ruf dan nahi munkar[11]. Imam Shadiq as menjelaskan bahwa melalui amar ma'ruf dan nahi munkar, kewajiban lain dapat ditegakkan, jalan-jalan menjadi aman, mata pencaharian menjadi halal, hak-hak terlindungi, bumi menjadi makmur, dan balas dendam terhadap musuh dapat dilakukan[12].

Definisi Fikih

"Amar ma'ruf" berarti menyuruh orang melakukan perbuatan baik yang sah, sedangkan "nahi munkar" berarti melarang perbuatan buruk dan dosa[13]. Perintah dan larangan ini bisa berupa ucapan atau tindakan[14].

Sayid Ali Sistani, salah satu marja' taklid, mendefinisikan "ma'ruf" sebagai perbuatan baik yang diakui akal sehat atau ditetapkan syariat, sedangkan "munkar" adalah perbuatan buruk yang ditolak akal atau syariat[15].

Muhaqqiq Hilli dan Allamah Hilli menambahkan kriteria bahwa "ma'ruf" harus diakui sebagai kebaikan oleh pelakunya, dan "munkar" harus disadari sebagai keburukan oleh pelakunya[16].

Hukum Fikih

Muhammad Hasan Najafi (dikenal sebagai Shahib Jawahir):

Salah satu tingkatan Amar Makruf Nahi Mungkar yang terbesar, tertinggi, dan paling kuat dari segi pengaruhnya—terutama di kalangan pemimpin agama—adalah mengenakan pakaian kebaikan, baik yang wajib maupun yang sunah, dan melepaskan pakaian keburukan, baik yang haram maupun yang makruh, serta menyempurnakan diri dengan akhlak yang baik dan membersihkan diri dari akhlak yang buruk. Perbuatan seperti ini akan mendorong orang lain untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan yang haram; terlebih jika dilengkapi dengan nasihat-nasihat yang baik, motivasi, dan peringatan. Sebab, setiap kedudukan memiliki perkataan yang khusus, dan setiap penyakit memiliki obatnya sendiri. Pengobatan jiwa dan akal jauh lebih tinggi tingkatannya dibandingkan pengobatan badan.

Najafi, Jawahir al-Kalam, 1404 H, jil. 21, hlm. 382–383.

Menurut para fukaha Syiah, Amar Makruf Nahi Mungkar adalah wajib. [17] Sebagian ulama menganggap kewajiban ini termasuk dari dharuriyyat ad-din (hal-hal yang pasti dalam agama) dan berpendapat bahwa jika seseorang mengingkari kewajiban ini dengan sengaja, maka ia menjadi kafir. [18] Selain itu, para fuqaha sepakat bahwa jika makruf termasuk perkara sunah dan mungkar termasuk perkara makruh, maka Amar Makruf Nahi Mungkar hukumnya sunah. [19]

Wajib Kifayah atau Aini?

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha mengenai apakah Amar Makruf Nahi Mungkar termasuk wajib kifayah atau wajib aini. [20] Sebagian besar fuqaha menganggapnya sebagai wajib kifayah, sehingga jika sebagian orang telah melaksanakannya, kewajiban itu gugur bagi yang lain. [21] Menurut Syahid Tsani, tujuan syar’i dari Amar Makruf Nahi Mungkar adalah agar makruf dilaksanakan dan mungkar ditinggalkan. Oleh karena itu, kewajiban ini tidak dibebankan kepada individu tertentu, melainkan kepada semua mukallaf. Jika sekelompok orang telah melaksanakannya, kewajiban itu gugur bagi yang lain. [22]

Sebagian fukaha Syiah seperti Syekh Thusi dalam kitab al-Nihayah, [23] Ibnu Hamzah dalam al-Wasilah, [24] dan Muhaqqiq Karaki [25] menganggapnya sebagai wajib aini.

Wajib Aqli atau Wajib Syar'i?

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama Syiah mengenai apakah Amar Makruf Nahi Mungkar merupakan wajib syar'i (berdasarkan syariat) atau wajib aqli (berdasarkan akal). [26]

Sebagian besar fuqaha dan teolog Syiah menganggapnya sebagai wajib syar'i dan mendasarkan pendapat mereka pada dalil-dalil syar'i seperti: Ayat Al-Qur'an, Hadis mutawatir dari para Imam Maksum as, Ijma' (konsensus ulama) [27]

Sementara itu, sebagian ulama berpendapat bahwa Amar Makruf Nahi Mungkar adalah wajib aqli dengan argumen sebagai berikut:

  • Berdasarkan Kaidah Luthf (Prinsip Kemurahan Tuhan): Amar Makruf Nahi Mungkar mendekatkan hamba kepada ketaatan, sehingga termasuk bentuk luthf (kemurahan). Secara akal, luthf wajib bagi Allah. Oleh karena itu, penetapan hukum wajib Amar Makruf Nahi Mungkar juga wajib secara akal. [28]
  • Menghindari Mudarat Duniawi dan Ukhrawi: Meninggalkan Amar Makruf Nahi Mungkar berpotensi menimbulkan bahaya duniawi dan ukhrawi. Secara akal, menghindari mudarat yang mungkin terjadi (daf'u dharar muhtamal) adalah wajib. Dengan demikian, mencegah bahaya akibat meninggalkan Amar Makruf Nahi Mungkar juga wajib. [29]

Syarat-syarat Amar Makruf Nahi Mungkar

Menurut fatwa para fuqaha, Amar Makruf Nahi Mungkar memiliki beberapa syarat yang harus terpenuhi agar kewajiban ini berlaku: [30]

  • Pengetahuan: Pelaku harus mengetahui apa yang dianggap sebagai makruf dan mungkar dalam syariat Islam.
  • Kemungkinan Pengaruh: Harus ada kemungkinan bahwa amar atau nahinya akan berpengaruh pada pelaku kemungkaran.
  • Niat Pelaku Mungkar: Pelaku harus yakin bahwa orang yang melakukan kemungkaran berniat mengulanginya. Jika diketahui bahwa pelaku telah menyesal dan tidak akan mengulangi, Amar Makruf Nahi Mungkar tidak wajib.
  • Tidak Menimbulkan Bahaya: Amar Makruf Nahi Mungkar tidak boleh mengakibatkan bahaya fisik, materi, atau reputasi bagi diri sendiri atau orang lain. Jika ada risiko bahaya, kewajiban ini gugur. [31]

Tingkatan Amar Makruf Nahi Mungkar

Para fuqaha menjelaskan bahwa Amar Makruf Nahi Mungkar harus dilakukan secara bertahap sesuai urutan berikut: [32]

Pengingkaran dengan Hati (Inkar bil-Qalb)

Ini adalah tingkatan paling dasar, yaitu menunjukkan ketidaksukaan terhadap kemungkaran melalui: Ekspresi wajah (misalnya, cemberut atau memalingkan muka), Menghindari interaksi dan tidak memberikan dukungan moral [33]

Amar dan Nahi secara Lisan (Inkar bil-Lisan)

Jika pengingkaran hati tidak berpengaruh, wajib untuk menegur secara lisan dengan nasihat yang lembut, perkataan yang baik dan teguran sesuai kadar kebutuhan (tanpa berlebihan) [34]

Tindakan Fisik dan Paksaan (Inkar bil-Yad)

Jika tahap lisan tidak efektif, diperbolehkan mengambil tindakan fisik secara bertahap, seperti: Memberikan hukuman ringan (misalnya, pukulan yang tidak melukai), membatasi kebebasan pelaku (misalnya, mengisolasi sementara) dan tindakan lain yang mencegah kemungkaran

Namun, tindakan fisik tidak boleh sampai menyebabkan luka berat, patah tulang dan kematian atau konsekuensi yang mengharuskan diyah (denda) atau Kisas. [35]

Melukai dan Membunuh Tanpa Izin Imam atau Wakilnya Tidak Diperbolehkan

Menurut pendapat mayoritas fuqaha Syiah, dalam Amar Makruf Nahi Mungkar, melukai atau membunuh tidak diperbolehkan kecuali dengan izin Imam atau wakilnya. [36] Sebagian fuqaha berpendapat bahwa yang dimaksud dengan "wakil Imam" pada masa ghaibah adalah faqih yang memenuhi syarat (marja' taklid). [37]

Shahib Jawahir (Muhammad Hasan Najafi), seorang faqih abad ke-13 H, menyatakan bahwa jika melukai atau membunuh dalam konteks Amar Makruf Nahi Mungkar diizinkan bagi semua mukallaf tanpa izin Imam atau wakilnya, hal itu akan menimbulkan kerusakan besar, kekacauan, dan anarki—yang semuanya dilarang dalam Islam. [38]

Perbedaan Amar Makruf Nahi Mungkar dengan Bimbingan kepada Orang yang Tidak Tahu

Perbedaan antara Amar Makruf Nahi Mungkar dan irshad al-jahil (bimbingan kepada orang yang tidak tahu) dijelaskan sebagai berikut: Irsyad al-Jahil berlaku ketika seseorang tidak mengetahui hukum (syariat) atau fakta (objek) suatu perbuatan. Contohnya seseorang tidak tahu bahwa minum khamar haram, atau ia tahu khamar haram, tetapi tidak sadar bahwa minuman yang ia pegang adalah khamar. Dalam kasus ini, mengingatkannya termasuk bimbingan.

Nahi Mungkar berlaku ketika seseorang sudah tahu hukum dan fakta perbuatannya, tetapi tetap melakukannya. Contohnya seseorang tahu khamar haram dan sadar bahwa minuman di tangannya adalah khamar, tetapi tetap meminumnya. Mencegahnya dalam hal ini termasuk nahi mungkar. [39]

Pandangan Mazhab Islam Lain tentang Amar Makruf Nahi Mungkar

1. Mu'tazilah

Amar Makruf Nahi Mungkar adalah salah satu dari lima prinsip dasar (Ushul al-khamsah) Mu'tazilah. [40] Mereka mewajibkannya terhadap kafir dan fasik. [41]

2. Zaidiyah

Mazhab Zaidiyah juga menjadikan Amar Makruf Nahi Mungkar sebagai prinsip kelima keyakinan mereka. [42] Zaid bin Ali, pemimpin pertama Zaidiyah, bahkan mendasarkan pemberontakannya terhadap penguasa zalim pada prinsip ini. [43]

3. Imamiyah (Syiah Itsna Asyariyah)

Berbeda dengan Mu'tazilah dan Zaidiyah, Imamiyah memasukkan Amar Makruf Nahi Mungkar sebagai Furu'uddin (cabang agama), bukan ushul. [44]

Bibliografi

Beberapa karya penting tentang Amar Makruf Nahi Mungkar:

  • 'Amr be Ma’ruf wa Nahy az Munkar' penulis Hossein Nuri Hamedani. Keterangan: Awalnya diajarkan di Hauzah Ilmiah Qom: lalu dibukukan dalam bahasa Arab dan diterjemahkan ke bahasa Persia oleh Muhammad Mohammadi Esytehardi. [45]
  • Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic Thought, penulis: Michael Allen Cook (sejarawan Inggris). Keterangan: Menganalisis pandangan berbagai mazhab Islam. Diterjemahkan ke bahasa Persia oleh Ahmad Nama’i dalam 2 jilid. [46]

Topik Terkait

Catatan Kaki

  1. Nuri Hamadani, Amar Makruf Nahi Mungkar, 1377 HS, hal.21.
  2. Lihat misalnya Hurr al-Amili, Wasail al-Syiah, 1416 H, jil.16, hal.119.
  3. Lihat misalnya Muhaqqiq Hilli, Syarai' al-Islam, 1408 H, jil.1, hal.310; Syahid Tsani, Al-Raudah al-Bahiyyah, 1410 H, jil.2, hal.409; Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jil.1, hal.439.
  4. Syahid Tsani, Al-Raudah al-Bahiyyah, 1410 H, jil.2, hal.409.
  5. Kulaini, Al-Kafi, 1407 H, jil.5, hal.55-60.
  6. Hurr al-Amili, Wasail al-Syiah, 1416 H, jil.16, hal.115-281.
  7. Lihat misalnya Fadhil Miqdad, Irsyad al-Thalibin, 1405 H, hal.380.
  8. Lihat misalnya Allamah Hilli, Kasyf al-Murad, 1437 H, hal.578.
  9. Lihat misalnya QS Ali Imran:104,110; QS al-Hajj:41.
  10. Lihat misalnya QS Ali Imran:104,110; QS al-Hajj:41.
  11. Nahj al-Balaghah, hikmah 374, hal.542.
  12. Hurr al-Amili, Wasail al-Syiah, 1416 H, jil.16, hal.119.
  13. Allamah Hilli, Kasyf al-Murad, 1437 H, hal.578; Sajjadi, Farhang-ge Ma'aref-e Islami, jil.1, hal.297-298.
  14. Fadhil Miqdad, Irsyad al-Thalibin, hal.380.
  15. Husaini Sistani, Ma'na-ye Ma'ruf wa Munkar, Situs Resmi Kantor Sayid Ali Sistani.
  16. Lihat misalnya Muhaqqiq Hilli, Syarai' al-Islam, jil.1, hal.310; Allamah Hilli, Tadhkirah al-Fuqaha, 1414 H, jil.9, hal.437.
  17. Sebagai contoh, lihat Syahid Tsani, Al-Raudhah al-Bahiyyah fi Syarh al-Lum’ah al-Dimasyqiyyah, 1410 H, jil. 2, hlm. 413; Najafi, Jawahir al-Kalam, 1404 H, jil. 21, hlm. 363; Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, jil. 1, hlm. 439.
  18. Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, jil. 1, hlm. 439.
  19. Najafi, Jawahir al-Kalam, 1404 H, jil. 21, hlm. 363–365; Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, jil. 1, hlm. 440.
  20. Allamah Hilli, Tadzkirah al-Fuqaha, 1414 H, jil. 9, hlm. 442.
  21. Sebagai contoh, lihat Muhaqqiq Hilli, Syara’i al-Islam, 1408 H, jil. 1, hlm. 310; Syahid Tsani, Masalik al-Afham, 1413 H, jil. 3, hlm. 101; Syahid Tsani, Al-Raudhah al-Bahiyyah fi Syarh al-Lum’ah al-Dimasyqiyyah, 1410 H, jil. 2, hlm. 413; Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, jil. 1, hlm. 439.
  22. Syahid Tsani, Masalik al-Afham, 1413 H, jil. 3, hlm. 101.
  23. Syekh Thusi, an-Nihayah, 1400 H, hlm. 299.
  24. Ibnu Hamzah, Al-Wasilah, hlm. 207.
  25. Muhaqqiq Karaki, Jami’ al-Maqashid, 1414 H, jil. 3, hlm. 485.
  26. Allamah Hilli, Kasyf al-Murad, 1437 H, hlm. 578; Allamah Hilli, Tadzkirah al-Fuqaha, 1414 H, jil. 9, hlm. 441.
  27. Syekh Thusi, al-Iqtishad, hlm. 146; Hilli, Kitab as-Sara’ir, 1410 H, jil. 2, hlm. 21–22.
  28. Fadhil Miqdad, Irsyad al-Thalibin ila Nahj al-Mustarsyidin, 1405 H, hlm. 380.
  29. Syekh Thusi, al-Iqtishad, 1400 H, hlm. 147.
  30. Sebagai contoh, lihat Allamah Hilli, Tadzkirah al-Fuqaha, 1414 H, jil. 9, hlm. 442–443.
  31. Hilli, Al-Sara’ir, jil. 2, hlm. 23; Tadzkirah al-Fuqaha, 1414 H, jil. 9, hlm. 443; Syahid Tsani, Al-Raudhah al-Bahiyyah, 1410 H, jil. 2, hlm. 414–415; Muhaqqiq Karaki, Jami’ al-Maqashid, 1414 H, jil. 3, hlm. 486; Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jil. 1, hlm. 442–448.
  32. Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jil. 1, hlm. 453; Nuri Hamadani, Amr be Ma'ruf wa Nahy az Munkar, 1377 S, hlm. 281.
  33. Allamah Hilli, Tadzkirah al-Fuqaha, 1414 H, jil. 9, hlm. 443; Syahid Tsani, ar-Raudhah al-Bahiyyah, 1410 H, jil. 2, hlm. 416; Najafi, Jawahir al-Kalam, 1404 H, jil. 21, hlm. 374.
  34. Allamah Hilli, Tadzkirah al-Fuqaha, 1414 H, jil. 9, hlm. 444; Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jil. 1, hlm. 454.
  35. Sayid Ali Sistani, "Maratib Amar Makruf Nahi Mungkar", Situs Resmi Kantor Marja' Taqlid Sayid Ali Sistani.
  36. Syahid Tsani, Masalik al-Afham, 1413 H, jil. 3, hlm. 105; Najafi, Jawahir al-Kalam, 1404 H, jil. 21, hlm. 383.
  37. Syahid Tsani, Masalik al-Afham, 1413 H, jil. 3, hlm. 105; Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jil. 1, hlm. 458.
  38. Najafi, Jawahir al-Kalam, 1404 H, jil. 21, hlm. 383.
  39. Khu’i, Mausu’ah al-Imam al-Khu’i, jil. 4, hlm. 343.
  40. Masykur, Farhang-e Firaq-e Islami, hlm. 417–418.
  41. Masykur, Farhang-e Firaq-e Islami, hlm. 417–418.
  42. Aqajani Qannad, Daramadi bar Barresi Tathbiqi Amar be Ma’ruf wa Nahy az Munkar az Didgah-e Mu’tazilah wa Firaq-e Islami (1), hlm. 38.
  43. Aqajani Qannad, Daramadi bar Barresi Tathbiqi..., hlm. 42.
  44. Muthahhari, Majmu’eh Atsar, jil. 26, hlm. 257.
  45. Nuri Hamedani, Amr be Ma’ruf wa Nahy az Munkar, 1377 S, hlm. 24.
  46. Cook, Amr be Ma’ruf wa Nahy az Munkar dar Andisyeh Islami, 1384 S, jil. 1, hlm. 10–13.

Daftar Pustaka

  • Nahjul Balaghah. Suntingan Shubhi Shaleh, Qom: Pusat Penelitian Islam, 1374 Syamsiah.
  • Allamah Hilli, Hasan bin Yusuf. Kasyf al-Murad. Qom: Lembaga Penerbitan Islam, 1437 H.
  • Allamah Hilli, Hasan bin Yusuf. Tadzkirah al-Fuqaha. Qom: Lembaga Ahlul Bait as, 1414 H.
  • Cook, Michael Allen. Amr be Ma'ruf wa Nahy az Munkar dar Anndisyeh Islami. Terjemahan Ahmad Namayi, Masyhad: Astan Quds Razavi, 1384 Syamsiah.
  • Fadhil Muqaddad, Miqdad bin Abdullah. Irsyad al-Thalibin Ila Nahj Al-Mustarsyidin. Qom: Perpustakaan Umum Hadhrat Ayatullah Agung Mar'asyi Najafi, 1405 H.
  • Hilli, Ibnu Idris. Al-Sara'ir al-Hawi li Tahrir al-Fatawa. Qom: Lembaga Penerbitan Islam, Cetakan Kedua, 1410 H.
  • Hurr Amili, Muhammad bin Hasan. Wasail al-Syi'ah. Suntingan Sayid Muhammad Rida Husaini Jalali, Qom: Lembaga Ahlul Bait as, 1416 H.
  • Husaini Sistani, Sayid Ali. Ma'na-ye Ma'ruf wa Munkar. Situs Resmi Kantor Marja' Agung Ayahanda Sayid Ali Husaini Sistani, Dikunjungi pada: 20 Farvardin 1404 Syamsiah.
  • Husaini Sistani, Sayid Ali. Maratib Amr be Ma'ruf wa Nahy az Munkar. Situs Resmi Kantor Marja' Agung Ayahanda Sayid Ali Husaini Sistani, Dikunjungi pada: 20 Farvardin 1404 Syamsiah.
  • Ibnu Hamzah Thusi, Muhammad bin Ali. Al-Wasilah Ila Nail al-Fadhilah. Penyusun dan Editor, Muhammad Hasan, Qom: Perpustakaan Ayatullah Mar'asyi Najafi, 1408 H.
  • Imam Khomeini, Sayid Ruhullah. Tahrir al-Wasilah. Teheran: Lembaga Penyusunan dan Penerbitan Karya Imam Khomeini, Tanpa Tahun.
  • Khui, Sayid Abu Al-Qasim. Mausu'ah Imam Khui. Qom: Lembaga Imam Khoei, Tanpa Tahun.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Al-Kafi. Suntingan Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi, Teheran: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 1407 H.
  • Muhaqqiq Hilli, Ja'far bin Hasan. Syara'i' al-Islam. Qom: Penerbit Ismailian, Cetakan Kedua, 1408 H.
  • Muhaqqiq Karaki, Ali bin Husain. Jami' Al-Maqashid. Qom: Lembaga Ahlul Bait as, Cetakan Kedua, 1414 H.
  • Najafi, Muhammad Hasan. Jawahir al-Kalam. Beirut: Dar Ihya' At-Turats Al-Arabi, 1404 H.
  • Nuri Hamedani, Husain. Amr be Ma'ruf wa Nahy az Munkar. Terjemahan Muhammad Mahdi Ashtiyari, Qom: Kantor Dakwah Islamiah Hawzah Ilmiyah Qom: 1377 Syamsiah.
  • Sajjadi, Sayid Ja'far. Farhang-ge Ma'aref Islami. Teheran: Penerbit Komesh, 1373 Syamsiah.
  • Syahid Tsani, Zainuddin bin Ali. Al-Raudhah Al-Bahiyyah Fi Syarh Al-Lum'ah al-Damasyqiyyah. Catatan dan Suntingan Sayid Muhammad Kalantar, Qom: Penerbit Davari, 1410 H.
  • Syahid Tsani, Zainuddin bin Ali. Masalik al-Afham. Qom: Yayasan Pengetahuan Islam, 1413 H.
  • Syekh Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Iqtishad al-Hadi Ila Thariq al-Rasyad. Teheran: Penerbit Nashr, 1400 H.
  • Syekh Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Nihayah. Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1400 H.
  • "Tentang Kami", Situs Web Markas Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Dikunjungi pada: 6 Ardibehesht 1404 Syamsiah.