Nazar
Artikel ini merupakan artikel deskriptif umum tentang masalah fikih. |
Salat Wajib: Salat Jumat • Salat Id • Salat Ayat • Salat Mayit Ibadah-ibadah lainnya Hukum-hukum bersuci Hukum-hukum Perdata Hukum-hukum Keluarga Hukum-hukum Yudisial Hukum-hukum Ekonomi Hukum-hukum Lain Pranala Terkait |
Nazar (bahasa Arab: النذر) adalah mengharuskan diri melakukan kebaikan tertentu atau meninggalkan perbuatan yang tidak layak karena Allah swt. Menurut syariat Islam, nazar yang wajib dilaksanakan adalah nazar yang diucapkan dengan redaksi tertentu, baik dengan bahasa Arab atau bahasa lainnya yang mengandung makna dan maksud nazar yang diinginkan. Wajib melaksanakan nazar bila terpenuhi syarat-syaratnya. Nazar merupakan tradisi yang dilakukan para Nabi dan umat terdahulu. Islam membolehkan dan bahkan menganjurkan umatnya untuk bernazar. Nazar untuk Para Imam Maksum memiliki khasiat yang sangat besar.
Definisi
Secara bahasa, nazar berarti mengharuskan diri untuk melakukan sesuatu. [1] Dalam istilah fikih, nazar adalah mengharuskan diri untuk melakukan kebaikan tertentu atau meninggalkan perbuatan yang tidak layak karena Allah swt. [2] Contoh nazar: seseorang mengucapkan dengan jelas, "Saya bernazar, jika sakitku sembuh maka saya akan bersedekah Rp. 100.000 kepada orang miskin karena Allah swt."
Sejarah Nazar
Nazar merupakan tradisi yang dijalankan para Nabi dan umat terdahulu. Islam membolehkan dan bahkan menganjurkan umatnya untuk bernazar. Di dalam Alquran terdapat kisah nazar yang dilakukan istri 'Imran, ibunda Sayidah Maryam sa, Allah swt berfirman: "(Ingatlah), ketika istri 'Imran berkata, "Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku menazarkan kepada-Mu anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu, terimalah (nazar) itu dariku. Sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." [3]
Dalam Surah Maryam disebutkan, setelah mengisahkan tentang kelahiran Nabi Isa as, Allah swt berfirman kepada Sayidah Maryam sa: "Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah, 'Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini'." [4]
Melaksanakan nazar merupakan salah satu kriteria para hamba Allah swt sebagaimana firman-Nya: "Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana."[5]
Diriwayatkan dari Imam Ja'far Shadiq as, ketika beliau menjelaskan tentang ayat یوفون بالنذر (mereka menunaikan nazar), Ia berkata, "Suatu hari ketika Imam Hasan as dan Imam Husain as sedang sakit, Rasulullah saw datang menjenguk mereka dan bersabda kepada Imam Ali as: 'Sebaiknya engkau bernazar untuk kesembuhan kedua putramu', Imam Ali as berkata, 'Saya bernazar, jika kedua putraku ini sembuh maka saya akan berpuasa 3 hari sebagai rasa syukur kepada Allah swt. Sayidah Fatimah sa dan pembantunya yang bernama Fiddhah juga mengucapkan dan menunaikan nazar tersebut. Akhirnya Allah swt menyembuhkan sakit Imam Hasan dan Imam Husain as dan mereka pun menjalankan puasa." [6]
Dengan demikian, nazar sama sekali tidak bertentangan dengan konsep tauhid, berserah diri pada Allah dan keridhaan-Nya. Bahkan bernazar dan menunaikannya merupakan bukti keyakinan kita pada ke-Esaan Allah, bentuk penghambaan, cara mendekatkan diri pada Sang Khaliq, dan andil kita dalam tradisi baik yang dilakukan oleh para manusia suci dan orang-orang mukmin.
Syarat-syarat Nazar
"(Ingatlah), ketika istri 'Imran berkata, "Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku menazarkan kepada-Mu anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu, terimalah (nazar) itu dariku. Sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui," (Qs. Ali 'Imran: 35)
Pada hakikatnya nazar merupakan sebuah perjanjian dengan Allah swt.[7] Ketika seseorang bernazar berarti dia memohon pada Allah swt supaya mengabulkan harapannya dan berjanji akan melakukan kebaikan jika harapannya tercapai.
Nazar memiliki beberapa syarat, di antaranya:
Sighah Nazar
Menurut syariat Islam, nazar yang wajib dilaksanakan adalah nazar yang diucapkan dengan redaksi tertentu dan benar yang mengandung makna dan maksud nazar yang diinginkan, baik dengan bahasa Arab atau bahasa lainnya. Misalnya dengan mengucapkan: "Jika harapan saya tercapai, saya berjanji akan berpuasa 3 hari karena Allah swt." Namun jika hanya bernazar dalam hati tanpa diucapkan dengan sighah (redaksi) yang sah, maka nazar tersebut tidak wajib dilaksanakan, meskipun tidak masalah jika tetap dilaksanakan. Penyampaian sighah nazar membutuhkan niat qurbah (mendekatkan diri kepada Allah).[8]
Yang Dinazarkan
Nazar harus perbuatan baik. Jika seseorang bernazar melakukan perbuatan haram atau makruh, atau bernazar tidak melaksanakan kewajiban atau perkara sunnah, maka nazarnya batal. Jika bernazar dengan hal yang tidak pasti, misalnya akan melakukan sesuatu yang mubah (dibolehkan syariat) atau tidak melakukannya, maka nazarnya batal. Jika bernazar melakukan perbuatan yang memiliki nilai kebaikan maka nazarnya sah. Misalnya bernazar makan makanan tertentu supaya kuat melakukan ibadah. Jika bernazar tidak melakukan suatu perbuatan karena meninggalkannya adalah kebaikan maka nazarnya sah. Misalnya bernazar tidak morokok karena merokok dapat membahayakan kesehatan. Diperbolehkan bernazar mendirikan salat di tempat sepi karena dinilai dapat membuat lebih khusyuk.
Dapat Dilakukan
Seseorang boleh bernazar hanya pada perkara yang mampu dia lakukan. Karena itu orang yang tidak mampu berjalan kaki ke Karbala, jika bernazar pergi ke sana dengan berjalan kaki, maka nazarnya batal.[9] Bahkan bila seseorang pada saat bernazar mampu melakukan perbuatan tersebut, namun setelah itu tidak mampu melakukannya, maka nazarnya juga batal.
Orang yang Bernazar
Syarat-syarat orang yang bernazar:
- Mukallaf: Orang yang bernazar harus mukallaf (memiliki taklif dan kewajiban syar'i). Karena itu nazarnya orang yang bukan mukallaf tidak harus ditunaikan.[10]
- Berakal: Orang yang bernazar harus berakal. Karena itu nazarnya orang gila tidak sah. [11]
- Tidak Terpaksa: Orang yang bernazar harus tidak dalam keadaan terpaksa. Karena itu nazar orang yang terpaksa atau orang yang bernazar karena emosi hukumnya tidak sah. [12]
- Bertujuan Melakukan Nazar: Orang yang bernazar harus benar-benar memiliki niat serius ketika melakukan nazar. Karena itu jika nazarnya hanya terbesit dalam benak atau dalam keadaan mabuk maka itu tidak sah. [13]
- Niat untuk Mendekatkan Diri pada Allah: Saat bernazar seseorang harus berniat untuk mendekatkan diri pada Allah swt. Karena itu tidak sah nazarnya orang kafir atau nazar karena riya/pamer. [14]
- Mampu: Perbuatan yang diniatkan untuk dilakukan dalam bernazar harus sesuai dengan kemampuan orang yang bernazar. Tidak boleh bernazar dengan sesuatu yang secara asumsi itu mustahil.[15]
- Nazar dengan Hal Baik: Nazar yang akan dilakukan harus berupa ibadah atau sesuatu yang diperbolehkan dalam agama. Karena itu tidak sah nazar melakukan maksiat. [16]
Jenis Nazar
Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada nazar dalam maksiat, dan tidak ada sumpah dalam melanggar janji pada orang lain,".[17]
Berdasarkan tujuannya, ada dua jenis nazar:
- Apabila pelaksanaan nazar mengacu pada terealisasinya suatu perbuatan, maka nazar ini disebut "Nazar Mujazati".[18] Nazar ini terkadang dilakukan sebagai rasa syukur atas terkabulnya hajat (nazar syukur) dan terkadang sebagai sanksi atas pelaksanaan perbuatan buruk (nazar zajr), misalnya mengatakan, jika saya melakukan perbuatan buruk maka saya akan berbuat baik karena Allah.[19]
- Apabila pelaksanaan nazar tidak mengacu pada terealisasinya perkara lain, maka disebut "Nazar Tabarru'i".[20]
Hukum Nazar
- Tidak Menunaikan Nazar
Jika orang yang bernazar mengucapkan redaksi nazarnya dengan benar, maka dia wajib menunaikannya. Jika sengaja tidak menunaikannya maka dia harus membayar kafarah. [21]
- Merubah Nazar
Jika seseorang pernah mengucapkan redaksi nazar dengan benar dan sah maka dia tidak boleh mengubah nazarnya. Namun jika nazarnya tidak diucapkan dengan benar, orang yang bernazar bebas memilih antara merubah atau tidak menunaikannya, karena sejak awal nazarnya tidak sah. [22]
- Merubah Sesuatu yang Dinazarkan
Seseorang yang telah mengucapkan sighah nazar degan benar maka dia wajib menunaikannya persis sebagaimana yang terkandungan dalam nazarnya. Misalnya bernazar memotong kambing tertentu, maka saat menunaikan nazar dia harus memotong kambing yang pernah dia maksud, tidak boleh mengganti kambing lainnya. [23]
- "Apa saja yang kamu infakkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang zalim tidak memiliki seorang penolong pun." [24]
- Tidak Menetukan Sesuatu yang Dinazarkan
Al-Halabi meriwayatkan dari Imam Ja'far Shadiq as tentang seseorang yang bernazar tanpa menentukan nazarnya, imam berkata: "Jika dia menentukan nazarnya maka dia harus menunaikannya sebagaimana yang telah dia tentukan, jika tidak menentukan maka dia tidak memiliki tanggungan apa-apa." [25]
- Nazar Istri tanpa Izin Suami
Nazar yang dilakukan istri tanpa sepengetahuan atau izin suaminya hukumnya tidak sah meskipun berkaitan dengan harta suami atau harta keduanya atau harta istri seperti warisan dan upah pekerjaan yang diambil dari suami.[26]
- Larangan Orang Tua atas Jenis Nazar
Orang tua tidak bisa melarang anaknya untuk melakukan nazar atau mengerjakan nazar yang sudah diucapkan. Yang boleh adalah melarang jenis perbuatan yang akan dijadikan nazar oleh anaknya. Misalnya seorang anak ingin bernazar puasa, orang tuanya tidak bisa melarangnya dengan mengatakan "jangan bernazar", dia hanya bisa mengatakan "jangan bernazar puasa." [27]
Catatan Kaki
- ↑ Khoramsyahi, jld. 2, hlm. 2221.
- ↑ Taudhih al-Masail Maraji', jld. 2, hlm. 609-612.
- ↑ QS. Ali Imran: 35.
- ↑ QS. Maryam: 26.
- ↑ Qs. Al-Insan: 7.
- ↑ Mizan al-Hikmah, jld. 10, hlm. 48.
- ↑ Tafsir Anwar Derakhsyan, jld. 1, hlm. 353.
- ↑ Khurramsyahi, Daneshnameh Quran, jld. 2, hlm. 2221 dan 2222
- ↑ Khurramsyahi, Daneshnameh Quran, jld. 2, hlm. 2221 dan 2222
- ↑ Taudhih al-Masail Maraji', jld. 2, hlm. 609-612.
- ↑ Taudhih al-Masail Maraji', jld. 2, hlm. 609-612.
- ↑ Taudhih al-Masail Maraji', jld. 2, hlm. 609-612.
- ↑ Khoramsyahi, Daneshnameh Quran, jld. 2, hlm. 2221 dan 2222.
- ↑ Khoramsyahi, Daneshnameh Quran, jld. 2, hlm. 2221 dan 2222.
- ↑ Khoramsyahi, Daneshnameh Quran, jld. 2, hlm. 2221 dan 2222.
- ↑ Khoramsyahi, Daneshnameh Quran, jld. 2, hlm. 2221 dan 2222.
- ↑ Fiqh Syiah, jld. 24, hlm. 855
- ↑ Khurramsyahi, Daneshnameh Quran, jld. 2, hlm. 2221 dan 2222
- ↑ Lihat: Taudhih al-Masail Maraji', jld. 2, hlm. 609
- ↑ Khoramsyahi, Daneshnameh Quran, jld. 2, hlm. 2221 dan 2222.
- ↑ Golpaigani, Majma’ al-Masail, jld. 2, hlm. 318.
- ↑ Golpaigani, Majma’ al-Masail, jld. 2, hlm. 321.
- ↑ Golpaigani, Majma’ al-Masail, jld. 2,, hlm. 320.
- ↑ QS. Al-Baqarah: 270
- ↑ Burujerdi, Manabi’ Fiqh Syi'ah, jld. 24, hlm. 863.
- ↑ Golpaigani, Majma’ al-Masail, jld. 2, hlm. 323.
- ↑ Golpaigani, Majma’ al-Masail, jld. 2, hlm. 323
Daftar Pustaka
- Alquran
- Golpaigani, Muhammad Ridha. Majma’ al-Masail. Qom: Darul Qur’an al-Karim, 1403 H.
- Imam Khumaini dan para marja. Risalah Taudhih al-Masail (Maraji’). Penyusun: Ushuli, Ihsan, Bani Hasyimi Khumaini, Muhammad Hasan. Qom: Daftar Intisyarat Islami bekerja sama dengan Jamiah Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qom, 1381 HS.
- Burujerdi, Husain. Manabi’ Fiqh Syi’ah. Penerjemah: Husainian Qomi dan Mahwari. Teheran: Farhangg-e Sabz, 1387 HS.