Maimunah binti Harits

Prioritas: a, Kualitas: a
Dari wikishia
(Dialihkan dari Maimuna binti Harits)
Maimunah binti Harits
Istri Nabi saw
Nama lengkapBarra binti Harits bin Hazan bin Bujair bin Hazm
LakabUmmul Mukminin
Afiliasi agamaIslam
Kerabat termasyhurNabi Muhammad saw • Asma binti Umais (istri Ja'far bin Abi Thalib)Zainab binti Khuzaimah
Tempat tinggalMekahMadinah
Wafat51 atau 61 H
Tempat dimakamkanSarf, antara Mekah dan Madinah


Istri-istri Nabi saw
Khadijah al-Kubra sa (27 sebelum Hijrah/595)
Saudah (sebelum Hijrah/sebelum 622)
Aisyah (1, 2, atau 4 H/622, 623, atau 625)
Hafsah (3 H/624)
Zainab (binti Khuzaimah) (3 H/624)
Ummu Salamah (4 H/625)
Zainab (binti Jahsy) (5 H/626)
Juwairiyah (5 H atau 6 H/626 atau 627)
Ummu Habibah (6 atau 7 H/627 atau 628)
Mariyah (7 H/628)
Shafiyah (7 H/628)
Maimunah (7 H/628)

Maimunah binti Harits (bahasa Arab: ميمونة بنت الحارث) adalah salah seorang istri Nabi Muhammad saw. Ia dikenal sebagai perempuan terakhir yang dinikahi oleh Rasulullah saw. Ayat 50 surah Al-Ahzab turun berkenaan dengannya. Sebelumnya ia bernama Barra yang kemudian diganti oleh Rasulullah saw setelah menikah, menjadi Maimunah. Pasca Rasulullah saw wafat, Maimunah termasuk pengikut Imam Ali as. Ia juga dikenal sebagai salah seorang perawi hadis dari Rasulullah saw.

Nasab

Sejarawan menyebutkan nasab Maimunah binti Harits sebagai berikut: Barra binti Harits bin Hazan bin Bujair bin al-Hazm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sa'sa'a. Ibunya bernama Hind binti Auf bin Zuhair atau Khaulah binti Umar bin Ka'ab. [1]

Salah seorang saudara perempuannya bernama Ummu al-Fadhl, istri Abbas bin Abdul Muththalib, paman Rasulullah saw.[2] Saudara perempuannya yang lain, adalah ayah dari Khalid bin Walid. Demikian pula, Ummul Mukminin Zainab binti Khuzaimah [3], juga Asma binti 'Umais istri Ja'far bin Abi Thalib dan Salma binti 'Umais istri Hamzah bin Abdul Muththalib adalah saudari-saudari tirinya. [4] Oleh karena itu, ia adalah bibi dari Khalid bin Walid dan Ibnu Abbas.

Rasulullah saw dalam sebuah hadis menyebut Maimunah, Ummu al-Fadhl dan Asma binti 'Umais sebagai "saudara-saudara perempuan beriman" (اخوات مؤمنات ).[5]

Sebelum Menikah dengan Rasulullah saw

Mengenai siapa suami sebelumnya, terjadi perbedaan pendapat. Namun yang masyhur, sebelum periode Islam ia pernah menikah dengan Mas'ud bin Amru bin 'Umair Tsaqafi. Namun setelah beberapa lama keduanya bercerai dengan kemudian menikah dengan Abu Rahm bin Abdul 'Uzza sampai suaminya itu meninggal dunia.[6]

Menikah dengan Rasulullah saw

Pada tahun 7 H, sewaktu Nabi Muhammad saw bersama dengan kaum Muslimin lainnya melakukan Umrah al-Qadha, dalam perjalanannya ke Mekah [7] Maimunah yang juga turut dalam perjalanan tersebut menunjukkan rasa sukanya kepada Rasulullah saw [8]. Ia menyampaikan ketertarikannya tersebut kepada saudara perempuannya Ummu al-Fadhl istri Abbas bin Abdul Muththalib. Abbas pun menyampaikan hal tersebut kepada Rasulullah saw. Nabi Muhammad saw pun meminta kepada Ja'far bin Abi Thalib melamarkan Maimunah untuknya.[9]

Diriwayatkan, ketika berita mengenai rencana Rasulullah saw melamar Maimunah sampai ke telinganya yang saat itu sedang mengendarai unta, ia berteriak, "Dari Allah dan Rasul-Nya, selamat untuk unta dan yang mengendarainya."[10] Peristiwa tersebut menjadi penyebab turunnya ayat 50 surah Al-Ahzab yang berbunyi: وَ امرَأةٌ مُؤمِنَةٌ إن وَهَبَت نَفسَها لِلنَّبِیِّ (…dan perempuan Mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi).

Sehabis menikah, Nabi Muhammad saw memberikan tempat kediaman untuk Maimunah sebagaimana istri-istrinya yang lain. Ia menikah dengan Nabi Muhammad saw di kawasan "Sarf" 10 mil dari kota Mekah sepulang dari mengerjakan umrah al-Qadha.[11] Mahar pernikahannya 400 dirham [12] dan menurut riwayat lain disebutkan 500 dirham.[13].

Disebutkan karena pernikahan tersebut dikehendaki sendiri oleh Maimunah, ia tidak mengambil maharnya.[14] Awalnya Rasulullah merencanakan pesta pernikahan di Mekah dengan mengundang pembesar-pembesar Quraisy dan keluarga Maimunah, namun undangan tersebut ditolak oleh pembesar-pembesar Quraisy dan meminta kepada Nabi untuk tidak tinggal dan berada di Mekah lebih dari tiga hari.[15] Oleh karena itu, seusai mengerjakan haji, Nabi saw bersama kaum Muslimin meninggalkan kota Mekah. Ia mengutus budaknya yang telah dibebaskan yang bernama Abu Rafi' untuk menemani Maimunah. [16] Ketika tiba di sebuah kawasan yang bernama "Sarf" sekitar 10 mil dari kota Mekah, Nabi Muhammad saw melangsungkan pesta pernikahannya. [17] Seusai pesta, perjalanan dilanjutkan kembali ke kota Madinah.

Pernikahan sebelum Ihram

Terjadi perbedaan pendapat mengenai waktu pernikahan Rasulullah saw dengan Maimunah. Sebagian berpendapat pernikahan tersebut terjadi ketika Nabi saw melakukan umrah al-Qadha dan telah melakukan ihram. Namun pendapat yang lebih masyhur menyebutkan Rasulullah saw menikah dengan Maimunah pada bulan Syawal di tahun Nabi saw melakukan umrah al-Qadha. Akad dilakukan sebelum melakukan ihram dan melakukan resepsi pernikahan di kawasan Sarf.[18] Oleh karena itu, pernikahannya termasuk akad telah dilakukan sebelum ihram pada pelaksanaan umrah al-Qadha.

Dari Shafiah binti Syuaibah yang ditanya, "Apakah Rasulullah saw mengucapkan akad nikah dalam pernikahannya dengan Maimunah pada saat setelah melakukan ihram untuk umrah?" Dijawab, "Tidak demi Allah. Rasulullah saw menikahinya tidak dalam keadaan ihram."[19]

Juga diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz yang menulis surat kepada salah seorang sahabat dan bertanya, mengenai hal yang sama. Sahabat tersebut menjawab, "Nabi Muhammad saw tidak dalam keadaan muhrim ketika melamar Maimunah dan melangsungkan pernikahan juga dalam keadaan tidak muhrim."[20]

Dukungan kepada Imam Ali as

Tidak ada catatan sejarah yang detail mengenai kondisinya pasca wafatnya Nabi Muhammad saw, namun dalam sejumlah riwayat yang sangat terbatas yang dinukilkan darinya, menunjukkan ia berada dalam pihak Imam Ali as.

Diriwayatkan dari Yazid bin Asham: Shuqair (Safir) bin Syajarah Amiri datang ke Madinah dari Kufah dan ia meminta izin kepada bibiku Maimunah untuk bisa masuk ke dalam rumah. Setelah diizinkan masuk, ia ditanya mengenai maksud kedatangannya. Ia menjawab, "Karena diantara masyarakat terdapat perbedaan pendapat. Untuk menghindari fitnah, akupun memilih untuk keluar dari Kufah." Maimunah berkata, "Apakah anda berbaiat kepada Imam Ali as?" Laki-laki itu menjawab, "Iya". Maimunah pun berkata, "Kalau begitu kembalilah ke Kufah dan bergabunglah dalam barisan Imam Ali as dan jangan memisahkan diri darinya. Demi Allah, dia tidak berada dalam kesesatan dan tidak akan menyesatkan."

Laki-laki itu berkata, "Wahai ibu, apakah ada hadis dari Rasulullah saw yang berbicara mengenai Ali?"

Maimunah berkata, "Ali adalah tanda kebenaran dan bendera hidayah. Ali adalah pedang Allah yang terhunus untuk orang-orang kafir dan orang-orang Munafik. Barang siapa yang mencintainya, maka ia mencintaiku. Barangsiapa yang memusuhinya maka ia bermusuhan denganku dan barang siapa yang memusuhiku atau memusuhi Ali maka dalam pertemuan dengan Tuhan dia tidak akan memiliki hujjah."[21]

Perawi Hadis

Maimunah meriwayatkan beberapa hadis dari Rasulullah saw. Perawi asli yang menukil darinya langsung adalah saudara perempuan Yazid bin Asham.[22] Ibnu Abbas juga menukil sejumlah hadis darinya, [23] begitupun perawi lainnya. Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim juga terdapat hadis yang diriwayatkan olehnya.[24]

Wafat

Mengenai tahun wafat Maimunah terdapat perbedaan pendapat. Menurut riwayat yang dinukil Thabari dan Ibnu Sa'ad, ia wafat pada tahun 61 H pada usia 80 atau 81 tahun. Dengan demikian, Maimunah sebagai istri Nabi Muhammad saw yang terakhir wafat.[25] Namun pendapat lain menyebutkan Maimunah wafat pada tahun 51 H setelah melakukan ziarah Haji. Disebutkan bahwa ia meninggal dunia di kawasan Sarf[26]. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas yang mengimami salat jenazah untuknya.[27] dan dimakamkan juga di tempat tersebut sesuai dengan wasiatnya[28]

Catatan Kaki

  1. Ansāb al-asyrāf, jld. 1, hlm. 444; al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 8, hlm. 104.
  2. Tārikh Thabari, jld. 11, hlm. 623; Ansāb al-asyrāf, jld. 1, hlm. 446.
  3. Al-Isti'āb, jld. 4, hlm.1908; Ansāb al-asyrāf, jld. 1, hlm. 429.
  4. Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm.300.
  5. Al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 8, hlm. 109 dan al-Isti'āb, jld. 4, hlm. 1909.
  6. Tārikh Thabari, jld. 11, hlm. 611; Thabaqāt al-Kubra, jld. 8, hlm. 104.
  7. Tārikh Thabari, jld. 3, hlm. 25.
  8. Aisyah binti al-Syathi, Nisā' al-Nabi, hlm. 231-232.
  9. Ansāb al-asyraf, jld. 1, hlm. 446.
  10. Al-Sirah al-Nabawiah, jld. 2, hlm. 646.
  11. Al-Thabaqāt al-Kubra (terj), jld. 8, hlm. 135.
  12. Subul al-Huda wa al-Rasyād fi Sirah Khair al-'Ibād, jld. 2, hlm. 646.
  13. Tārikh Thabari, jld. 11, hlm. 611.
  14. Al-Sirah al-Nabawiah, jld. 2, hlm. 646; Tārikh Thabari, jld. 11, hlm. 611.
  15. Dalāil al-Nubuwwah, jld. 4, hlm. 330.
  16. Thabaqāt al-Kubra, jld. 2, hlm. 93.
  17. Al-Sirah al-Nabawiah, jld. 2, hlm. 646; Tārikh Thabari, jld. 11, hlm. 611.
  18. Al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 8, hlm. 136.
  19. Al-Thabaqāt al-Kubra (terj), jld. 8, hlm. 137.
  20. Al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 8, hlm. 137.
  21. Amali, Syekh Thusi, hlm. 505-506.
  22. Muslim al-Naisyaburi, Sahih, jld. 2, hlm. 54; Thabaqāt al-Kubra, jld. 1, hlm. 323.
  23. Sunan Nasai, jld. 1, hlm. 204.
  24. al-Ishābah fi Tamyiz al-Shahābah, jld. 2, hlm. 215.
  25. Tārikh Thabari, jld. 11, hlm. 611; Thabaqāt al-Kubra, jld. 8, hlm. 111.
  26. Allamah Askari, Naqsye Aisyah dar Islam, jld. 1, hlm. 62.
  27. Al-Isti'āb, jld. 4, hlm. 1918.
  28. Al-Muhabbar, hlm. 92.

Daftar Pustaka

  • Aisyah binti Abdirrahman al-Syathi. Nisa an-Nabi. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1985.
  • Asqalani, Ibnu Hajar. Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shababh. Cet. I. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiah, 1415 H.
  • Baihaqī, Ahmad bin al-Ḥusain. Dalāil al-Nubuwwah. Cet. I. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiah. 1405 H.
  • Baladzuri. Ansāb al-asyrāf. Riset: Suhil Zakar dan Riyadh Zirikli, cet. I. Beirut: Dzulfaqar, 1996.
  • Ibnu Abdul Barr. Al-Isti'ab. Riset: Ali Muhammad al-Bajawi, cet. I. Beirut: Dar al-Jail, 1992.
  • Ibnu Habib bin Umayya al-Baghdadi, Abu Jakfar Muhammad. Al-Muhabbar. Riset: Ilse Lichtenstaedter. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah.
  • Ibnu Hisyam. Al-Sirah al-Nabawiah. Riset: Mustafa al-Saqa. Beirut: Dar al-Fikr.
  • Ibnu Sa'ad. Thabaqāt al-Kubra, riset: Muhammad Abdul Qadir 'Atha, Beirut, Dar al-Kutub al-'Ilmiah, cet. I, 1990.
  • Mas'udi, Ali bin al-Husain. Muruj al-Dzahab. Riset: as'ad Dagir, cet. II. Qom: Dar al-Hijrah, 1409 H.
  • Muslim Naisyaburi. Al-Shahih. Beirut: Dar al-Fikr.
  • Nisa'i, Ahmad bin Syu'aib. Sunan al-Nisa'i. Cet. I. Beirut; Dar al-Fikr, 1930.
  • Shalihi al-Dimasyqi, Muhammad bin Yusuf. Subul al-Huda wa al-Rasyād fi Sirah Khair al-Ibād. Cet. I. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiah, 1414 H.
  • Syekh Thusi. Al-Amali. Qom: Dar al-Tsaqafah, 1414 H.