Ihram

Prioritas: a, Kualitas: a
Dari wikishia

Ihram (bahasa Arab: الإحرام) adalah amalan pertama manasik haji atau umrah yang mana hal itu akan terealisasi dengan berniat, memakai pakaian ihram, dan mengucapkan talbiyah. Ihram dimulai dari miqat-miqat tertentu. Amalan ini termasuk rukun haji dan umrah. Seseorang yang sedang dalam berihram disebut "Muhrim", seorang muhrim memiliki hukum-hukum tertentu, seperti haram baginya untuk melakukan sebagian perbuatan selama ihram.

Terminologi

Kata "ihram" berasal dari akar, "Ha Ra Ma" artinya adalah: mencegah dan menghalangi; [1] masuk ke dalam batasan yang tidak diizinkan menodainya [2] seperti masuk ke Haram atau bulan suci, [3] ikatan dan perjanjian khusus. [4]

Dalam sumber-sumber hukum fikih ada berbagai definisi yang telah disampaikan tentang ihram. Sebagian menyebutnya sebagai jenis amalan eksternal yang berarti memasuki amalan-amalan haji dan umrah [5] dengan mengenakan pakaian ihram dan membaca talbiyah,[6] dan sebagian lagi menganggapnya sebagai jenis amalan internal atau hati yaitu niat [7] atau dengan ibarat lain niat masuk pada amalan ibadah haji atau umrah [8] dengan bertujuan atau berkomitmen untuk meninggalkan larangan-larangan tertentu. [9]

Amalan ini disebut ihram karena sebelum pelaku ihram berihram ada beberapa hal halal[10] atau beberapa perbuatan yang bertentangan dengan amalan-amalan haji dan umrah, diharamkan atas dirinya. [11] Seseorang yang dalam keadaan ihram disebut "Muhrim" [12] dan yang dimaksud dari kata Hurum (حُرُم) (kata jamak dari Harom) dalam Alquran adalah Muhrim.

Allah swt berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.) Yang demikian itu (dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.[13] Dan يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْتُلُواْ الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. [14] [15]

Ihram salah satu amalan ritual terpenting haji dan umrah dan menurut pandangan para ulama Syiah [16] dan Sunni [17] termasuk dari rukun dan pilar dua ibadah tersebut yang mana meninggalkannya secara sengaja dapat merusak dan membatalkan ibadah haji dan umrahnya. Dengan demikian, bagian terpenting dari pembahasan ibadah haji dalam referensi-referensi fikih dikhususkan untuk yang satu ini.

Sejarah Singkat

Menurut beberapa riwayat yang ada, ihram memiliki latar belakang sejarah setua bangunan Kakbah dan haji. Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa Allah tidak mengirim satu malaikat pun ke bumi, kecuali dia diperintahkan untuk menziarahi Kakbah dan malaikat tersebut melintasi singgasana arsy Allah dalam keadaan ihram dan turun menuju Kakbah sambil mengucapkan talbiyah yaitu mengucapkan Labbaik. [18] Menurut sebuah hadis yang dinukil dari Imam Shadiq as, setelah pertobatan Adam, malaikat Jibril mengajarinya ihram dan Talbiyah dan memerintahkannya untuk mandi demi melakukan amalan-amalan haji dan melakukan ihram. [19] menurut riwayat yang lain, malaikat Jibril sebelum melakukan amalan-amalan haji, dia mengajarkan tata cara berihram kepada Nabi Ibrahim as dan setelah ia melakukan ihram, dia mengajarinya tata cara untuk manasik haji. [20] Di hadis lainnya Nabi Musa as ketika melakukan haji, dia bermuhrim melalui tempat berjalannya orang-orang Mesir [21] dan mengenakan dua potong kain katun, sambil bertalbiyah pergi menuju Makkah. [22] Dalam riwayat lain disebutkan, bersamanya 70 orang dari para Nabi untuk menemaninya ketika melakukan ihram. [23]

Berdasarkan beberapa keterangan, di antara orang-orang Arab Badui juga memakai pakaian ihram guna menjalankan amalan haji dan itu sudah menjadi tradisi mereka yang terkadang berbaur dengan takhayul, yang mana mereka ketika berihram, yang seharusnya masuk dari pintu depan rumahnya, malah masuk lewat dari belakang rumahnya, dengan alasan bahwa karena dalam keadaan ihram cara memakai pakaian berubah, maka cara memasuki rumahpun harus berubah, [24] ayat 189 surah Al-Baqarah melarang mereka dari melakukan hal tersebut. [25] Allah berfirman: لَیسَ البِرُّ بِأَن تَأتُوا البُیوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ البِرَّ مَنِ اتَّقَی وَأتُوا البُیوتَ مِن أَبوَابِهَا. ...Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya...

Mereka meyakini bahwa tidak diperkenankan berihram dan tawaf mengitari Kakbah dengan pakaian yang dengannya mereka melakukan dosa dan bermaksiat, [26] mereka juga meyakini bahwa tawaf pertama harus dilakukan dengan mengenakan pakaian suku Hams jika pakaian tersebut tidak ditemukan, maka mereka melakukan tawaf dengan cara telanjang begitu juga setelah bertawaf, pakaiannya harus dibuang, dan tidak layak dikenakan kembali. [27] Islam melarang perbuatan itu, dan Alquran yang mulia di ayat 28 dari surah Al-A'raf menganggap hal itu sejenis perbuatan buruk yang tidak Allah perintahkan kepada manusia. [28]

Ihram dalam Islam

Dalam syariat Islam juga sama seperti syariat-syariat ilahi sebelumnya, berihram telah disyariatkan untuk melaksanakan manasik haji dan umrah. Nabi saw dan para pengikutnya untuk melaksanakan amalan-amalan ini, amalan pertama yang mereka lakukan adalah menjadi muhrim terlebih dahulu. Dijelaskan bahwa Nabi saw pada tahun ke 6 H di Hudaibiyah menjadi muhrim bersama dengan sekelompok muslimin untuk melakukan umrah, namun dengan pencegahan kaum musyrikin hal itu tidak berhasil dilakukan dan dengan mengorbankan beberapa unta akhirnya mereka keluar dari ihram. [29] Begitu juga Nabi pada tahun selanjutnya untuk melakukan umrah qadhanya berihram dari kawasan Juhfah [30] dan pada tahun ke 10 bersama dengan istri-istrinya dan banyak dari kaum Muslimin yang juga ikut menyertai dengan mengenakan dua potong pakaian Yamani, dan bermuhrim di kawasan Dzulhulaifah. [31]

Miqat

Rasulullah saw telah menentukan beberapa miqat bagi mereka yang berniat untuk menjalankan haji atau umrah yang mana dengan melakukan ihram di miqat-miqat tersebut maka mereka telah memulai haji dan umrah mereka. Kesempurnaan dan integritas haji dan umrah adalah ihram dari miqat-miqat tersebut dan seseorang tidak boleh melewatinya tanpa berihram. [32]

Hikmah Ihram

Telah banyak rahasia dan hikmah-hikmah untuk ihram yang direkam dalam Alquran, riwayat-riwayat dan pandangan para ulama Islam. Ayat 197 dari surah Al-Baqarah menganggap hikmah ihram dan meninggalkan sebagian hal yang dilarang sebagai sebuah ketakwaan: Allah swt berfirman: فَمَن فَرَضَ فِیهِنَّ الحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِی الحَجِّ وَمَا تَفعَلُوا مِن خَیرٍ یعلَمهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَیرَ الزَّادِ التَّقوَی وَاتَّقُونِ یا أُولِی الألْبَابِ ...barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (berkata jorok), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal.

Dalam sebuah hadis dikatakan, salah satu sebab pensyariatan ihram adalah masuknya para jemaah haji ke Tanah Haram Makkah.[33] Menurut hadis yang lain, hikmah kewajiban ihram sebelum masuk ke tanah haram Ilahi ialah hendak menciptakan keadaan patuh dan tunduk, meninggalkan segala perbuatan dan kenikmatan duniawi dan sabar dalam menghadapi segala kesulitan. [34] Dan setiap satu dari pendahuluan-pendahuluan ihram memiliki hikmah dan rahasia-rahasianya sendiri. Misalnya anjuran untuk tidak memotong rambut, janggut dan kumis sebelum berihram[35]adalah supaya pelaku haji melupakan dirinya dan yang dipikirkan hanyalah Tuhan sembahannya.

Hikmah dari mandi ihram selain membersihkan dan menyucikan kotoran-kotoran lahiriyah, juga menyucian kotoran batin dan jiwa dan seseorang bermuhrim melangkahkan kakinya ke rumah Allah dengan kesucian lahir dan batin.[36]

Menanggalkan pakaian-pakaian yang berjahit dan mengenakan pakaian ihram diyakini sebagai sebuah simbol penanggalan pakaian maksiat, kemunafikan dan riya' sementara pengenaan dua potong pakaian adalah simbol dari ketaatan dan kehambaan kepada Tuhan.[37] Hikmah anjuran mengenakan pakaian ihram yang sederhana dan seragam ialah hendak menghilangkan keistimewaan-keistimewaan lahiriyah dan hilangnya kesenjangan sosial [38] dan juga untuk mengingatkan kepada kematian dan hari kiamat; yaitu hari dimana semua manusia dikenakan pakaian sederhana di atas tanah, dan hari dimana semua mereka dibangkitkan dengan pakaian sederhana pula.[39]

Talbiyah adalah menjawab dengan ikhlas seruan Tuhan untuk berpegang teguh pada tali Allah [40] dan juga membuka mulut pada kebenaran dan ketaatan dan membersihkan mulut dari perkataan yang batil dan maksiat[41]Pengulangan pengucapan Talbiyah oleh seorang muhrim dengan hati takut dan harapan dan pengokohannya adalah karena ia khawatir Allah tidak menjawab seruannya dan berharap Ia menjawab positif akan seruannya.[42] Diterangkan bahwa Imam Sajjad as ketika bertalbiyah wajahnya terlihat pucat menguning dan tubuhnya gemetar dan dalam menjelaskan rahasia itu menjelaskan: dalam menjawab seruan labbaikku, Aku khawatir Allah berkata:"لالَبَّیكَ وَ لاسَعْدَیک" [43] juga diterangkan bahwa ketika dalam keadaan bertalbiyah terkadang dia hampir terjatuh dari tunggangannya.[44]

Setiap satu dari larangan-larangan ihram juga diyakini memiliki rahasia-rahasia tersendiri. Misalnya, diharamkannya berburu adalah untuk mmenguji bani Adam dan membedakan orang-orang yang menjalankan perintah dari yang tidak menjalankan perintah[45] لَیبْلُوَنَّكُمُ اللَّهُ بِشَیءٍ مِنَ الصَّیدِ تَنَالُهُ أَیدِیكُم وَرِمَاحُكُم لِیعْلَمَ اللهُ مَن یخَافُهُ بِالغَیبِ;Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biar pun ia tidak dapat melihat-Nya.[46]

Diharamkannya berjalan di tempat yang teduh bagi laki-laki adalah untuk menguji kesabaran dan ketabahan mereka berjalan di bawah panas terik matahari, sehingga dosa-dosa mereka terhapus dengannya.[47] Bercermin dan bercelak dilarang karena itu merupakan perhiasan duniawi dan supaya ia melupakan dari perhatian terhadap diri sendiri.[48] Hikmah dari pelarangan membawa senjata adalah untuk menjamin keamanan dan ketentraman bagi semua orang dan memperkokoh jiwa damai dan tentram serta penghormatan kepada orang-orang lain dalam pelaksanaan haji.[49]

Tempat-tempat Wajib Ihram

Ihram menurut fukaha Imamiyah dan Ahlusunah dengan bersandarkan pada ayat-ayat dan riwayat-riwayat, diwajibkan dalam beberapa hal:

  1. Pada pelaksanaan haji dan umrah: Fukaha Syiah [50] dan Ahlusunah [51] sepakat bahwa ihram adalah termasuk dari rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban haji dan umrah dan merupakan amalan pertama bagi keduanya. Menurut pandangan sebagian besar fukaha Syiah, melintasi tempat-tempat miqat tanpa berihram secara sadar, bisa membatalkan haji. [52] Menurut pandangan sebagian besar fukaha Imamiyah [53] dalam keadaan ini, kembalinya jemaah haji ke tempat-tempat miqat dan berihram dari sana adalah suatu kewajiban. Tetapi para fukaha Ahlusunah berpendapat bahwa jika jemaah haji meninggalkan ihramnya, maka bagaimanapun kondisinya ia harus kembali ke miqat dan jika tidak bisa, ia wajib berkurban.[54]
  2. Masuk ke Tanah Haram Makkah: Menurut keyakinan sebagian fukaha Syiah [55] dan Ahlusunah [56] tidak boleh masuk ke kawasan Tanah Haram Mekah tanpa berihram. Dalil dan alasan pandangan ini adalah beberapa riwayat yang meyakini bahwa hikmah kewajiban ihram karena kesucian tanah suci Makkah [57] dan juga hadis-hadis yang menganggap bahwa tidak diperkenankan masuk ke kawasan tanah haram tanpa berihram.[58]
  3. Masuk ke Makkah: Menurut keyakinan fukaha Imamiyah [59] dan kebanyakan fukaha Ahlusunah [60] seseorang yang bertujuan masuk ke Makkah, harus menginjakkan kakinya di sana dengan berihram, walaupun ia masuk Makkah dalam setahun dua atau tiga kali.[61] sebagian fukaha Ahlusunah memandang bahwa melakukan ihram untuk masuk ke Makkah adalah mustahab. [62]

Hal-hal yang dikecualikan

Ada beberapa hal yang dikecualikan dalam kewajiban ihram untuk masuk ke Makkah; diantaranya:

  • Orang yang terus menerus masuk dan keluar Makkah; seperti para pedagang atau mereka yang menyediakan makanan atau bahan bakar api penduduk Makkah.[63]
  • Orang-orang yang sakit; bersandar pada hadis-hadis tertentu.[64]
  • Orang yang masuk ke Makkah dengan tujuan berjuang atau berperang yang diizinkan oleh agama. [65]
  • Orang yang dari amalan ihram sebelumnya tidak lewat dari satu bulan.[66] [67] baik ihram sebelumnya itu untuk umrah Mufradah atau umrah Tamattu' atau haji.[68]
  • Seseorang yang berlindung ke Makkah karena takut dari penguasa yang lalim atau perang.[69]

Ihram sebelum Miqat

Menurut Syiah tidak dianjurkan berihram sebelum sampai ke tempat miqat,[70] tetapi hal tersebut menurut satu pendapat bisa dilakukan dengan cara bersumpah (nazar) atau berjanji bahwa dia akan memulai ihramnya sebelum sampai ke miqat. [71] Meskipun sebagian meyakini bahwa nazar seperti ini tidak dianggap benar dan diyakini bahwa ihram harus dilakukan di miqat. [72] Saat ini para penumpang pesawat udara di dalam pesawat atau bandara tujuan, mengenakan pakaian ihram sehingga ketika terbang di atas salah satu dari miqat-miqat yang ada atau yang sejajar dengannya mereka bersiap-siap untuk berihram. Tapi menurut pandangan sebagian ulama fikih, seorang peziarah yang melintasi miqat lewat udara tidak diwajibkan baginya untuk berihram di dalam pesawat, dan hal itu bisa dia lakukan setibanya di Jeddah berihram dari Hudaibiyah atau jika dia bersumpah dia dapat melakukan ihramnya di Jeddah. [73]

Waktu Miqat untuk Haji

Waktu bermiqat untuk haji adalah bulan Syawal dan Dzulkaidah hingga hari ke 9 Dzulhijjah dan ayat suci "‌الحج اشهر معلومات‌" [74] serta pembatasan waktu ibadah pada saat-saat tertentu menunjukkan bahwa melakukan ihram di luar waktu yang dijadwalkan tidak dibenarkan. [75] Namun, ihram untuk umrah diperbolehkan di sepanjang tahun kecuali pada hari-hari orang melakukan manasik haji. [76] Dalam mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali, berihram sebelum bulan-bulan yang disebutkan di atas dianggap benar sekalipun di saat yang sama juga dianggap makruh.[77] Namun, Ibnu Hazm sangat menentang pendapat tersebut dan menganggap tidak boleh berihram sebelum bulan-bulan haji. [78]

Kewajiban-Kewajiban dalam Ihram

Niat, Talbiyah dan mengenakan pakaian ihram yang mana harus dilakukan secara bersamaan adalah kewajiban-kewajiban ihram.

  • Niat harus disertai dengan niat "qurbatan ilallah" yaitu dengan mendekatkan diri kepada Allah untuk melaksanakan haji atau umrah dengan menentukan macam hajinya dari haji Tamatu', haji Qiran atau haji Ifrad dan mentukan hajinya apakah haji wajib atau haji mandub dan apakah hajinya termasuk hajjatul Islam (haji wajib yang dilakukan baru pertama kali setelah mendapatkan istitha'ah atau mampu) atau haji yang lainnya seperti haji sunah atau mustahab, haji karena nazar atau haji karena niyabah (perwakilan) dari orang lain. Jika terjadi kekeliruan dalam berniat, baik itu sengaja atau lupa maka ihramnya batal.[79]
  • Niat harus dibarengi dengan empat talbiyah (labbaik). Karena ihram untuk haji Tamattu' atau haji Ifrad tidak dapat terlaksana kecuali dengan empat talbiyah. Dan untuk haji Qiran seseorang bisa memilih antara talbiyah, Taklid atau Isy'ar (melukai punok unta dan melumurinya dengan darah sebagai tanda binatang kurban haji). Talbiyah (atau Taklid dan Isy'ar) untuk ihram hukumnya sama dengan kedudukan takbiratul ihram dalam salat. [80] Oleh karena itu, berbarengan dengan memakai pakaian ihram harus melakukan talbiyah dan berkata: « لَبَّیكَ اللّهُمَّ لَبَّیكَ، لَبَّیكَ لاشَریكَ لَكَ لَبَّیكَ، إنَّ الْحَمْدَ وَ النِّعْمَةَ لَكَ وَ الْمُلْكَ، لاشَریكَ لَكَ لَبَّیك». [81]
  • Mustahab bagi laki-laki untuk mengeraskan (jahr) bacaan Talbiyah, tetapi perempuan harus mengucapkan kalimat-kalimat tersebut secara pelan kecuali suara mereka tidak didengar oleh orang asing. [82]
  • Mustahab untuk mengulang-ulang talbiyah ketika mengendarai atau berjalan atau ketika naik atau turun atau bertemu dengan seseorang atau ketika bangun tidur, terutama saat waktu sahur dan juga usai setiap salat namun dengan terlihatnya perumahan Makkah Talbiyah harus dihentikan atau diputus. Lebih baik untuk mengucapkan bacaan talbiyah-talbiyah mustahab seperti bacaan لَبَّیك ذَاالمَعارِجِ، لَبَّیك yang dijelaskan dalam buku-buku manasik. [83]

Hal-hal yang Mustahab dalam Ihram

Seseorang yang berniat untuk melaksanakan ihram, baginya dianjurkan sebelum itu untuk melakukan hal-hal berikut ini:

  • Membersihkan tubuh;
  • Memotong kuku;
  • Memotong kumis;
  • Mencukur bulu ketiak dan kemaluan;
  • Seseorang yang berniat haji, maka sejak hari pertama dari bulan Dzulkaidah dan seseorang yang berniat melakukan umrah mufradah, maka sejak dari sebulan sebelumnya, tidak dianjurkan untuk memotong rambut, kumis dan janggutnya;
  • Bagi jemaah haji dianjurkan untuk mandi dan kemudian berihram setelah melaksanakan salat wajib, terutama setelah salat zuhur atau bahkan setelah salat sunnah. [84] Meskipun sebagian fukaha menganggap bahwa mandi adalah bagian dari hal-hal yang diwajibkan dalam ihram. [85]

Pakaian Ihram

Pakaian Laki-laki

Laki-laki harus menanggalkan semua pakaian mereka yang berjahit dan mengenakan dua potong kain yang tidak berjahit. Seorang laki-laki muhrim menggunakan sepotong kain yang dipakai di sekitar pinggang ke bawah untuk dijadikan sebagai sarung yang menutupi pusar sampai lutut dan itu disebut dengan "izar". [86] Potongan kain lainnya digunakan untuk menutup tubuh bagian atas laki-laki dan itu disebut dengan "rida". Rida diletakkan di kedua bahu. Adapun mengenai kebenaran "Tawassyuh" (melibatkan salah satu sisi kain dari bawah ketiak kanan dan meletakkannya di sebelah kiri atau sebaliknya), terdapat perbedaan pendapat; sebagian kelompok fukaha memperbolehkan hal tersebut [87] dan sekelompok lain tidak memperbolehkannya. [88]

Pakaian Perempuan

Tidak ada persyaratan khusus mengenai pakaian ihram untuk perempuan dan mereka bisa berihram dengan memakai pakaian biasa yang mereka gunakan sehari-hari. [89] Tentunya sekarang, kaum perempuan lebih banyak mengenakan pakaian ihram dengan gaun yang keseluruhannya putih.

Hukum-hukum dan Ketentuan Pakaian Ihram

  • Jenis dan warna khusus untuk pakaian ihram tidak disyaratkan. Namun kain penutup yang digunakan oleh seorang muhrim harus bersih dan tidak boleh terbuat dari kulit, bulu, rambut dan wol hewan yang haram dimakan dagingnya atau dari kulit binatang halal yang tidak disembelih (Bangkai). [90]
  • Pakaian perempuan dan sarung laki-laki tidak boleh ketat yang menunjukkan lekukan tubuh mereka.[91]

Hukum dan ketentuan lainnya seperti kelaziman atau ketidaklaziman pakaian ihram selalu menempel di badan, pakaian ihramnya terkena najis dan semisalnya telah dijelaskan dalam buku-buku risalah praktis dan buku-buku manasik haji.

Larangan-larangan

Terdapat beberapa hal yang haram dilakukan oleh seseorang setelah berihram. Kebanyakan hal-hal tersebut adalah suatu hal yang halal sebelumnya dan diperbolehkan dalam keadaan tidak berihram. Hal-hal tersebut disebut "turuk" atau larangan-larangan ihram, di antaranya adalah:

  1. Berburu binatang padang pasir; baik jenis binatang pemakan rumput ataupun jenis burung, membunuh buruan ataupun memakan dagingnya, meskipun yang memburu adalah seorang yang tidak muhrim, memberi isyarat dan petunjuk untuk berburu atau menutup jalan keluarnya binatang yang akan diburu, begitu juga makan anak atau telur burung yang hidup di padang pasir dan juga makan belalang padang pasir semua itu dilarang (haram). Jika muhrim melakukan penyembelihan binatang hasil buruan, maka itu dianggap bangkai, memakannya bagi yang tidak muhrim dan yang muhrim tidak diperbolehkan. [92] Dengan dasar hukum Alquran, [93] berburu di lokasi tanah haram terlarang dan haram hukumnya, baik bagi yang muhrim atau tidak muhrim sama saja dan bagi pelakunya dikenakan kafarah. hal itu dimuat dalam buku-buku fikih.
  2. Hubungan seksual; baik itu pada batasan hubungan badan atau bersentuhan dan berciuman atau juga melihat seorang wanita dengan perasaan syahwat, begitu juga menikahkan seorang wanita untuk dirinya atau untuk orang lain atau menjadi saksi dalam akad nikah [94] dan jika hal itu terjadi maka akadnya termasuk akad yang tidak sah dan batal. [95]
  3. Menggunakan wewangian pada umumnya; walaupun itu ada dalam makanan, kecuali pada kasus Khuluq Kakbah (Khuluq adalah minyak wangi yang dikombinasi dari safron dan bahan-bahan wewangian lainnya, berwarna kuning atau merah [96] dan dengan aroma harum ini Ka'bah diberi wewangian)
  4. Mengenakan pakaian yang berjahit bagi laki-laki, kecuali dalam hal hal yang dikecualikan.
  5. Memakai celak bagi laki-laki dan perempuan; karena merupakan jenis hiasan. Terutama celak yang berwarna hitam atau beraroma,
  6. Bercermin atau melihat diri di cermin,
  7. Memakai sesuatu yang menutup bagian kaki seperti sepatu bot dan kaus kaki,
  8. melakukan hal-hal yang fasik; yaitu berbohong atas nama Allah atau dengan nama Rasulullah saw atau salah satu dari para Imam yang suci,
  9. Berdebat dan dan saling adu argumen dengan mengatakan "tidak demi Allah" dan "Ya demi Allah" dan bersumpah dengan lafaz Allah,
  10. Membasmi binatang yang berdiam di tubuh manusia,
  11. Memakai cincin sebagai hiasan, tetapi cincin yang tidak memiliki sisi perhiasan, misalnya untuk penjagaan atau untuk mendapatkan pahala tidak ada salahnya digunakan.[97]
  12. Menggunakan minyak yang beraroma harum dari sejak ihram, haram hukumnya secara mutlak dan sebelum ihram hendaknya tidak menggunakan minyak yang beraroma yang harumnya akan tetap tercium hingga di waktu berihram. Begitu pula tidak diperkenankan memoles badan dengan minyak setelah berihram, kecuali dalam keadaan darurat,
  13. Mencukur bulu dari badan kecuali dalam hal yang diperlukan untuk penyembuhan luka dan sejenisnya,
  14. Menutup kepala secara keseluruhan bagi laki-laki, bahkan meliputi "irtimasi" yaitu merendam kepala di dalam air dan begitu juga bagi perempuan tidak boleh menutup wajah mereka,
  15. Berjalan di bawah naungan untuk laki-laki [98]
  16. Menutup wajah bagi perempuan
  17. Mengeluarkan darah dari badan;
  18. Menggunting kuku;
  19. Menebang pohon dan mencabut tanaman tanah haram, kecuali yang tumbuh di pekarangan milik muhrim, tetapi mencabut pohon buah-buahan, kurma dan "Adzkhar" diperbolehkan,
  20. Membawa senjata, kecuali dalam keadaan darurat;
  21. Menggunakan kapur barus dalam memandikan muhrim yang meninggal dunia. [99]

Ketika muhrim melanggar satu hal atau lebih dari hal-hal yang dilarang, maka amalannya harus dibayar dan ditebus dengan berkurban unta, sapi atau domba atau dengan membayar kafarah secara tunai dan jika tidak memiliki kemampuan harta maka harus diganti dengan berpuasa.[100]

Hal-hal yang dimakruhkan

Dalam buku-buku fikih, ada serangkaian perbuatan yang diyakini makruh jika dilakukan dalam keadaan ihram, antara lain adalah: Mengenakan gaun yang berwarna, terutama gaun berwarna hitam, berbaring di tempat tidur yang empuk, mengenakan pakaian yang lusuh dan pakaian yang bergaris-garis dan bermotif dan sejenisnya, menggunakan pacar sebagai perhiasan, pergi mandi, memoles dan menggosok badan, dalam menjawab panggilan orang dengan menyebut kata "labbaik" termasuk hal yang dimakruhkan.[101]

Catatan Kaki

  1. Al-Shihah, jld.5, hlm.1897; Mu'jam Maqayis al-Lughah, jld.2, hlm.45; Lisan al-Arab, jld.12, hlm.122, kata "حرم".
  2. Al-Shihah, jld.5, hlm.1897; Taj al-Arus, jld.16, hlm.134, kata "حرم".
  3. Al-'Ain, jld.3, hlm,221-222; al-Shihah, jld.5, hlm.1897.
  4. Mu'jam Maqayis al-Lughah, jld.2, hlm.45; Lisan al-Arab, jld.12, hlm.123
  5. Mughni al-Muhtaj, jld.1, hlm.476; Mustanad al-Syiah, jld.11, hlm.256; Kasyf al-Qina', jld.2, hlm.471.
  6. Jawahir al-Kalam, jld.18, hlm.197-199.
  7. Masalik al-Afham, jld.2 hlm. 224; Mustamsak al-Urwah, jld.11, hlm.358.
  8. Mughni al-Muhtaj, jld.1, hlm.476; Hawasyi al-Syirwani, jld.4, hlm.50.
  9. Jami' al-Madarik, jld.2, hlm.378; Mu'tamad al-Urwah al-Wutsqa, jld.2, hlm.478, kitab al-Haj.
  10. Tafsir Qurtubi, jld.6, hlm.36; Kasyf al-Qina', jld.2, hlm.471.
  11. Mu'jam Alfazh al-Fiqh al-Ja'fari, hlm.33.
  12. Mufid, al-Muqni'ah, hlm.431-432
  13. al-Maidah, 1.
  14. al-Maidah, 95.
  15. Al-Kasysyaf, jld.1, hlm.591; Majma' al-Bayan, jld.3, hlm.417.
  16. Tahrir al-Ahkam, jld.1, hlm.576; al-Fiqh al-Islami, jld.3, hlm.175.
  17. Al-Majmu', jld.8, hlm.265; al-Fiqh al-Islami, jld.3, hlm.218.
  18. Akhbaru Makkah, jld.1, hlm.39.
  19. Wasail al-Syiah, jld.11, hlm.236; Bihar al-Anwar, jld.11, hlm.178.
  20. Al-Kafi, jld.4, hlm.202; Wasail al-Syiah, jld.11, hlm.229.
  21. Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jld.2, hlm.234; Ilal al-Syarayi', jld.2, hlm.418.
  22. Al-Kafi, jld.4, hlm.213; Ilal al-Syarayi', jld.2, hlm.419.
  23. Al-Kafi, jld.4, hlm.214; Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jld.2, hlm.234.
  24. Shahih al-Bukhari, Darul Fikr, 1401H, jld.5, hlm.156-157; Majma' al-Bayan, jld.2, hlm.27.
  25. Al-Mizan, jld.2, hlm.57; al-Kasyaf, jld.1, hlm.591.
  26. Al-Tafsir al-Kabir, jld.5, hlm.106; al-Mufasshal, jld.2, hlm.357.
  27. Jamiul Bayan, jld.2, hlm.401; al-Durrul Mantsur, jld.3, hlm.75.
  28. Majma' al-Bayan, jld.4, hlm.244; Tafsir Qurtubi, jld.7, hlm.189.
  29. Tarikh Ya'kubi, jld.2, hlm.54; Mustadrak al-Wasail, jld.9, hlm.307.
  30. Tarikh Thabari, jld.2, hlm.309; Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jld.2, hlm.450-451.
  31. Tarikh Ya'kubi, jld.2, hlm.109; al-Bidayah wa al-Nihayah, jld.5, hlm.137.
  32. Lihat:Al-Kafi, jld.4, hlm.318.
  33. Al-Mahasin, jld.2, hlm.330; Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jld.2, hlm.195.
  34. Ilal al-Syarayi, jld.2, hlm.418; Uyun Akhbar al-Ridha, jld.1, hlm.127.
  35. Mustadrak al-Wasail, jld.9, hlm.160.
  36. Mustadrak al-Wasail, jld.9, hlm.160; Asrar wa Ma'arif Hajj, hlm.112.
  37. Mustadrak al-Wasail, jld.9, hlm.160; Jami'u Ahadits al-Syiah, jld.10, hlm.112.
  38. Ihya Ulumuddin, jld.1, hlm. 603; Sahbaye Hajj, hlm.349.
  39. Ahkam al-Quran, jld.2, hlm. 604; Mustadrak al-Wasail, jld.10, hlm.174.
  40. Bihar al-Anwar, jld.96, hlm.124.
  41. Mustadrak al-Wasail, jld.10, hlm.167; Sahbaye Hajj, hlm.378.
  42. Ihya Ulumuddin, jld.1, hlm. 488.
  43. Ihya Ulumuddin, jld.1, hlm. 488; Bihar al-Anwar, jld.64, hlm.337.
  44. Ilal al-Syarayi, jld.1, hlm.235; Mustadrak al-Wasail, jld.9, hlm.197.
  45. Sahbaye Hajj, hlm.383-384.
  46. QS. Al-Maidah, 94.
  47. Al-Kafi, jld.4, hlm.350; Wasail al-Syiah, jld.12, hlm.518.
  48. Al-Kafi, jld.4, hlm.356; Ilal al-Syarayi', jld.2, hlm.458.
  49. Lihat: Asrar wa Ma'arif Hajj, hlm.147.
  50. Tahrir al-Ahkam, jld.1, hlm.576; Majma' al-Faidah, jld.6, hlm.175.
  51. Al-Majmu', jld.8, hlm.265; al-Fiqh al-Islami, jld.3, hlm.2180.
  52. An-Nihayah, hlm.272.
  53. An-Nihayah, hlm.273; al-Mu'tabar, jld.2, hlm.808; Tazkirat al-Fuqaha, jld.7, hlm.198.
  54. Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jld.3, hlm.216-217; Nawawi, Al-Majmu', jld.7, hlm.174
  55. Tadzkirah al-Fuqaha, jld.7, hlm.198; Kasyf al-Ghita, jld.4, hlm.534.
  56. Al-Mughni, jld.3, hlm. 217; Al-Majmu', jld.7, hlm.14.
  57. Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jld.2, hlm.195.
  58. At-Tahdzib, jld.5, hlm.165; Jami'u Ahadits al-Syiah, jld.10, hlm.104.
  59. Al-Khilaf, jld.2, hlm.376; Syarayi' al-Islam, jld.1, hlm.187; Masalik al-Afham, jld.2 hlm. 269.
  60. Badai' al-Shanayi', jld.2, hlm.164; al-Mughni, jld.3, hlm. 219.
  61. Jawahir al-Kalam, jld.18, hlm.437.
  62. Al-Khilaf, jld.2, hlm.377; Fathu al-Aziz, jld.7 hlm. 276.
  63. Al-Khilaf, jld.2, hlm.377; Al-Majmu', jld.7, hlm.11; Jawahir al-Kalam, jld.18, hlm.448.
  64. Syaikh Thusi, Tahdzib al-Ahkam, jld.5, hlm.165.
  65. Al-Mughni, jld.3, hlm. 218; Al-Majmu', jld.7, hlm.15; Tazkirat al-Fuqaha, jld.7, hlm.206.
  66. Wasail al-Syiah, jld.12, hlm.402; Mustadrak al-Wasail, jld.9, hlm.191.
  67. Qawaid al-Ahkam, jld.1, hlm.420; Jawahir al-Kalam, jld.18, hlm.448.
  68. Mustamsak al-Urwah, jld.11, hlm.219; Mu'tamad al-Urwat al-Wutsqa, jld.2 hlm. 283-284.
  69. Al-Mughni, jld.3, hlm. 218; Tadzkirat al-Fuqaha, jld.7, hlm.206.
  70. Kulaini, al-Kafi, jld.4, hlm.319.
  71. Thusi, al-Istibshar, jld.2, hlm.163.
  72. Lihat: Ibnu Idris, as-Sarair jld.1, hlm.527.
  73. Lihat: Mughniyah, al-Fiqh ala al-Madzahib al-Khamsah, jld.1, hlm.208.
  74. QS. Al-Baqarah: 197.
  75. Kulaini, al-Kafi, jld.1, hlm.321; Thusi, al-Hajj, jld.2, hlm.161.
  76. Thusi, al-Khilaf, jld.2, hlm.260.
  77. Ibnu Hazm, al-Muhalla bi al-Atsar, jld.7, hlm.66.
  78. Ibnu Hazm, al-Muhalla bi al-Atsar, jld.7, hlm.65-66.
  79. Muhaqqig Hilli, Syarayi', jld.1, hlm.245.
  80. Syahid Tsani, jld.2, hlm.230-232.
  81. Syahid Tsani, jld.2, hlm.229-230.
  82. Syahid Tsani, al-Raudhah al-Nahiyyah, jld.2, hlm.233.
  83. Thusi, al-Mabsuth, jld.1, hlm.317.
  84. Thusi, al-Hajj, hlm.174; Muhaqqig Hilli, Syarayi, jld.1, hlm.243-244; al-Mukhtashar an-Nafi', hlm.81-82.
  85. Syahid Tsani, Masalik al-Afham, jld.2, hlm.289.
  86. Syahid Tsani, ar-Raudhah al-Bahiyyah, jld.2, hlm.231-232.
  87. Jawahir al-Kalam, jld.18, hlm.236-238.
  88. Al-Urwah al-Wutsqa ma'a Ta'liqat al-Fadhil, jld.2, hlm.405.
  89. http://www.tebyan.net/newindex.aspx?pid=183688
  90. Syahid Tsani, ar-Raudhah al-Bahiyyah, jld.2, hlm.231.
  91. Tafshil as-Syari'ah fi Syarhi Tahrir Washilah – al-Hajj, jld.3, hlm.254.
  92. Muhaqqig Hilli, Syarayi', jld.1, hlm.248-249.
  93. QS. Al-Maidah, ayat 95-96.
  94. Muhaqqig Hilli, Syarayi', jld.1, hlm. 249.
  95. Ibnu Zuhreh, hlm.420.
  96. Thuraihi, Fakhruddin, Majma' al-Bahrain, jld.5, hlm.156.
  97. Manasike Haj wa Ahkame Umreh (Subhani), hlm. 77.
  98. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai berbagai pandangan tentang bernaung silahkan merujuk ke artikel ini: :استفاده از سایه و سایبان در حال احرام (Berteduh menggunakan bayangan dan atap dalam keadaan ihram).
  99. Muhaqqig Hilli, Syarayi' al-Islam, jld.1, hlm. 249-251; untuk sebagian hal lainnya, silakan rujuk: Hilli, al-Jami' li al-Syarayi', hlm.194.
  100. Rujuk: Muhaqqig Hilli, al-Mukhtashar, hlm. 101-106; Hilli, al-Jami' li al-Syarayi, hlm.186-196 .
  101. Muhaqqiq Hilli, Syarayi', jld.1, hlm.251-252.

Daftar Pustaka

  • Al-Majlisi, Muhammad Baqir. Bihar al-Anwar. Beirut: Daru Ihyai Thurats al-Arabi, 1403 H.
  • Ahmad bin Ya'kub (wafat 292 H). Tarikh Ya'kubi. Beirut: Dar al-Shadir, 1415 H.
  • Al-Arzaqi, Muhammad bin Abdillah. Akhbaru Makkah wa ma Jaa fiha min al-Atsar.Riset: Rusydi al-Shaleh. Beirut: Dar al-Andalus, 1416 H/1996.
  • Al-Fakhrur Razi (wafat 606 H). at-Tafsir al-Kabir. Qom: Daftar Tablighat, 1413 H.
  • Al-Huru al-Amili, Muhammad bin Hasan. Tafshil Wasail al-Syiah ila Tahshil Masail al-Syari'ah. Qom: Alul Bait as,1412 H.
  • Al-Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Alkafi. Riset: Ghaffari. Teheran: Dar al-Kutubul al-Islamiyah, 1996 M.
  • Al-Qurthubi (wafat 671 H). Tafsir Qurthubi (al-Jami li Ahkamil Quran). Beirut: Daru Ihyai Thurats al-Arabi, 1405 H.
  • Al-Shaduq (wafat 381 H). atas upaya Bahryl Ulum. Najaf: al-Maktabah al-Haidariyah, 1385 H.
  • Al-Thabari (wafat 310 H). Jami' al-Bayan. Atas upaya Shidqi Jamil. Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H.
  • Al-Thabari (wafat 310 H). Tarikh Tahbari (Tarikhul Umamu wal Muluk). Atas upaya sekelompok ulama. Beirut: A'lami, 1403H.
  • Al-Thabrasi (wafat 548 H). Majma' al-Bayan. Riset: tim ulama. Beirut: A'lami, 1415 H.
  • Al-Thusi (wafat 460 H). Al-Nihayah. dengan upaya Agha Buzurg Tehrani. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 14000 H.
  • An-Nuri (wafat 1320 H). Mustadrak al-Wasail. Beirut: Alul Bait as, 1408 H.
  • At-Thabathabai (wafat 1402 H). Al-Mizan. Beirut: A'lami, 1393 H.
  • Bahuti, Mansur bin Yunus. Kasysyaf al-Qina' an Matni al-Iqna'. Beirut: Alam al-Kutub, 1403 H.
  • Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari (wafat 256H). Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H.
  • Hakim, Yahya bin Sa'id. Al-Jami' li al-Syarayi'. Qom: tanpa nama, 1405 H.
  • Ibnu Hazm, Ali bin Ahmad. Al-Muhalla bi al-Atsar. Riset: Ahmad Muhammad Syakir. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1410 H.
  • Ibnu Idris, Muhammad bin Muhammad. Al-Sarair. Qom: Muassasah al-Nasyr al-Islami, 1410 H.
  • Ibnu Katsir, Ismail bin Umar. Al-Bidayah wa al-Nihayah. Riset: Ali Syiri. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1408 H.
  • Ibnu Quddamah, Abdullah bin Ahmad. Al-Mughni. Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1388 H.
  • Jawadi Amuli, Abdullah. Shuhbahaye Haj. Teheran: Masy'ar, 1386 HS.
  • Khalkhali, Ridha, Mu'tamad al-Urwah al-Wutsqa. Transkripsi pelajaran Sayid Abul Qasim al-Khui. Qom: Luthfi, 1364 HS.
  • Khatib al-Syarbini. Mughni al-Muhtaj ila Ma'rifah Ma'ani Alfadz al-Minhaj. Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1415 H.
  • Razi Al-Jashshas, Ahmad bin Ali. Ahkam al-Quran. Riset: MUhammad Shadiq Qamhawi. Beirut: 1405 H.