Bahauddin al-'Amili
Muhammad bin Izzuddin Husain (bahasa Arab:محمد بن عزّالدین حسین) terkenal dengan Bahauddin al-Amili (بهاء الىين العاملي) dan Syekh al-Bahai (الشيخ البهائي) adalah seorang fakih, ahli hadis, filosof, matematikawan, dan ilmuan yang menguasai pelbagai bidang ilmu pengetahuan. Syekh Bahai hidup pada abad 10 dan 11 Hijriah.
Informasi Pribadi | |
---|---|
Nama Lengkap | Muhammad bin Izzuddin Husain |
Terkenal dengan | Syekh Bahai |
Garis keturunan | Harits Hamdani |
Lahir | 17 Muharram 953 H/1546 |
Tempat lahir | Ba'labak, Lebanon |
Tempat tinggal | Ba'labak, Lebanon• jabal Amel, Lebanon• Isfahan, Iran• Qazwin, Iran• Harat, Afghanistan |
Wafat/Syahadah | 1030 H/1620 |
Tempat dimakamkan | Masyhad, Iran |
Informasi ilmiah | |
Guru-guru | Mulla Abdullah Yazdi• Mulla Ali Mudzahhib• Mulla Ali Qaini• Mulla Muhammad Baqir Yazdi• Syekh Ahmad Guchai |
Murid-murid | Muhammad Taqi Majlisi• Muhammad Muhsin Faidh Kasyani• Shadr al-Din al-Muta'allihin al-Syirazi (Mulla Sadra)• Mulla Hasan Ali Susytari• Mulla Saleh Mazandarani dll. |
Karya-karya | Itsna 'Asyariyah• Hāsyiyyah Kassyāf Zamakhsyari• Zubdah al-Ushul• Hāsyiah Kitāb Man Lā Yahdhuruhu al-Faqih dll. |
Kegiatan Sosial dan Politik |
Ia meninggalkan 123 karya ilmiah dan sastra di antaranya Jami' Abbasi, Kasykul, Kisah Tikus dan Kucing, Roti dan Keju.
Syekh Bahai juga meninggalkan banyak karya arsitektur di antaranya menara Junban Isfahan, karya teknik sipil Sungai Zayande Isfahan, desain kubah Masjid Imam Isfahan dan desain peta batas kota Najaf, Irak. Syekh Bahai banyak melakukan perjalanan ke pelbagai pelosok dunia dan perjalanannya yang terkenal bersama Syah Abbas Shafawi berjalan kaki ke Masyhad, Iran.
Semasa hidupnya, Syekh Bahai pernah menduduki jabatan tertinggi keagamaan secara resmi dengan gelar Syekh al-Islam pada pemerintahan dinasti Shafawi.
Riwayat Hidup
Kelahiran dan Nasab
Bahauddin Amili lahir pada 17 Muharram 953 H/1546 lahir di Ba'labak, Lebanon. Tempat kelahirannya tepatnya di daerah Jaba' atau Jabba' salah satu desa di Jabal Amil. [1] Ayahnya Izzuddin Husain bin Abdul-Shamad Haritsi (W 984 H/1576), merupakan salah seorang murid dan sahabat Syahid Tsani (W 966 H/1558). Nasab atau garis keturunannya berujung pada Harits Hamdani (W 65 H/684) salah seorang sahabat Imam Ali as. Karena itu, Syekh Bahai juga terkenal sebagai Haritsi Hamdani.
Masa Kecil dan Masa Muda
Satu tahun selepas kelahirannya di Ba'labak, keluarganya hijrah ke Jabal Amil. Ayahnya, usai kesyahidan Syahid Tsani dan perasaan akan bahaya yang mengancam di Jabal Amil demikian juga ajakan dan dorongan Syah Tahmaseb dan Ali bin Halal Karaki yang lebih dikenal sebagai Syekh Ali Minsyar, Syekh al-Islam Isfahan, akhirnya berangkat hijrah menuju Iran dan menetap di Isfahan.
Ia merupakan ulama Syiah pertama yang berasal dari Jabal Amil yang berhijrah ke Iran menyusul berdirinya pemerintahan Syiah Shafawi di Iran. [2] Sesuai dengan manuskrip hasil tulis tangan Syekh Bahai sendiri yang ditulisnya pada tahun 969 H/1561 di Qazwin, menyebutkan ia berusia tiga belas tahun tatkala memasuki Iran. Namun sebagian literatur[3]keliru menyebutkan bahwa Syekh Bahai memasuki Iran tatkala ia menginjak usia tujuh puluh tahun.
Setelah beberapa tahun bermukim di Isfahan, Syah Tahmaseb berdasarkan anjuran dan desakan Syekh Ali Minsyar, Izzuddin Husain diundang ke Qazwin dan dianugerahi posisi sebagai Syekh al-Islam di kota ini. Syekh Bahai juga beserta ayahnya datang ke Qazwin dan tinggal di kota itu untuk beberapa lama sembari mempelajari beberapa disiplin ilmu.
Sesuai dengan tulisan Syekh Bahai sendiri, [4] pada tahun 971 H/1563 ia berada di Masyhad bersama ayahnya. [5] Setelah beberapa lama, ayahnya menjadi Syekh al-Islam Harat, namun ia tetap tinggal di Qazwin dan pada tahun 979 H/1571 dan 981 H/1573, ia menulis syair-syair yang menyatakan kerinduannya kepada sang ayah dan kota Harat, Afghanistan. [6]
Pada tahun 983 H/1575 juga ayahnya datang ke Qazwin dan meminta izin dari raja (syah) untuk menunaikan ibadah haji. Raja memberikan izin kepadanya dan melarang Bahauddin Amili untuk ikut serta. Raja menitahkan kepadanya untuk menetap di Qazwin mengajar. [7]
Pengangkatan sebagai Syekh al-Islam
Setelah ayahnya meninggal pada tahun 984 H/1576 di Bahrain, [8] Syekh Bahai pergi ke Harat atas perintah Syah Tahmaseb dan menggantikan sang ayah sebagai Syekh al-Islam di tempat itu. Pengangkatan ini merupakan pengangkatan pertama yang secara resmi diterima oleh Syekh Bahai. [9]
Setelah mertuanya wafat (Syekh Ali Minsyar) pada tahun yang sama, Syekh Bahai juga menjabat sebagai Syekh al-Islam di Isfahan. Tatkala Syah Abbas naik takhta dan memegang tampuk pemerintahan pada tahun 996, statusnya sebagai Syekh al-Islam di Isfahan bukan atas perintah Syah Abbas, melainkan atas instruksi Syah Ismail Tsani (masa pemerintahan: 984 H/1576-985 H/1577) atau Sultan Muhammad Khudabande (masa pemerintahan: 985 H/1577-995 H/1587). Terdapat kemungkinan bahwa Syekh Bahai tetap menjabat sebagai Syekh al-Islam Isfahan pada masa Syah Abbas. [10]
Perjalanan Haji
Syekh Bahai mengundurkan diri dari posisi sebagai Syekh al-Islam disebabkan keinginannya yang membuncah untuk dapat pergi haji. Ia memulai perjalanan panjangnya untuk menunaikan keinginan ini dan kembali ke Isfahan pada tahun 1025 H/1616. Setelah pulang dari tanah suci, Syekh Bahai tetap setia kepada Syah Abbas hingga akhir hayatnya.
Dalam perjalanannya untuk menunaikan haji, Syekh Bahai sempat pergi ke Irak, Halab, Suriah, Mesir, Sar Adib, Hijaz dan Baitul Muqaddas. Dalam perjalanan ini, ia ditemani oleh ulama dan para pembesar sufi. Syekh Bahai dalam beberapa perjalanannya, menyamar dan melakoni diri sebagai seorang fakir dan Darwis. Ia terlibat dalam adu argumentasi dan diskusi dengan para pembesar agama dan mazhab. Dalam beberapa kondisi, Syekh Bahai mempraktikkan taqiyyah. [11]
Pada tahun 991 H/1583, Syekh Bahai pergi haji dan pada bulan Ramadhan tahun 992 H/1584 dalam perjalanannya pulang dari haji, mampir di Tabriz (Iran) dan kurang lebih satu tahun tinggal di kota itu. [12]
Ia juga menyempatkan untuk pergi ke Gark Nuh di Jabal Amil dan bertemu dengan Syekh Hasan pengarang kitab Ma'alim (W. 1011 H/1602).[13] Dari karya-karya Syekh Bahai dapat disimpulkan bahwa ia juga mengunjungi kota-kota lainnya seperti Kazhimain, Harat, Azerbaijan, Qum dan Syirwan. [14]
Perjalanan ke Masyhad bersama Syah Abbas
Di antara perjalanan penting dan bersejarah Syekh Bahai adalah perjalanan ke Masyhad dengan berjalan kaki bersama Syah Abbas. Pada tanggal 25 Dzulhijjah 1008 H/1599, Syah Abbas berjalan kaki dari Thus ke Masyhad sebagai bentuk rasa syukur atas penaklukan Khurasan.
Demikian juga pada tahun berikutnya, Syekh Bahai tepatnya pada tahun 1010 H/1601 dengan cara yang sama sebagai pemenuhan nadzar yang dimilikinya berjalan kaki dari Isfahan ke Masyhad. Perjalanan ini memakan waktu selama tiga bulan. Kemungkinan besar pada dua perjalanan ini, Syah Abbas ikut menyertai. [15]
Istri dan Anak-anak
Istri Syekh Bahai adalah putri Syekh Ali Minsyari Amili, seorang wanita yang alim dan berpendidikan. Pasca meninggalnya sang ayah, ia mewarisi perpustakaan yang memiliki empat ribu jilid kitab dari ayahnya dan pada tahun 1030 H/1620 Syekh Bahai mewakafkannya. Namun setelah wafatnya Syekh Bahai, perpustakaan ini akhirnya hilang dimakan usia karena tidak diurus dengan baik. [16]
Mengingat bahwa Syekh Bahai lebih banyak menghabiskan usianya dalam perjalanan dapat digambarkan bahwa ia tidak memiliki anak. Kebanyakan literatur juga tidak menyebutkan anak darinya dan sebagian lainnya menilai Syekh Bahai itu mandul.[17]
Pendidikan dan Guru-guru
Kebanyakan pendidikan Syekh Bahai ditempuh di Qazwin yang pada waktu itu terdapat Hauzah Ilmiah yang aktif menjalankan proses belajar dan mengajar. Pendidikan Syekh Bahai kemudian dilanjutkan di Isfahan. Guru pertama dan terpenting Syekh Bahai adalah ayahnya sendiri. Ia belajar dari sang ayah pelajaran Tafsir, Hadis, Sastra Arab, dan sebagian ilmu-ilmu rasional. Syekh Bahai memperoleh izin dari ayahnya untuk meriwayatkan hadis. Guru-guru Syekh Bahai lainnya adalah sebagai berikut:
Murid-murid
Ketenaran ilmu dan kedudukannya di tengah masyarakat yang menarik banyak murid untuk menuntut ilmu dari Syekh Bahai. Amini[20] memberikan laporan terlengkap tentang nama-nama dari murid Syekh Bahai dan periwayatnya; Ia menyebutkan 97 nama lengkap dengan referensinya. Di antara murid Syekh Bahai yang paling terkenal adalah sebagai berikut:
- Muhammad Taqi Majlisi
- Muhammad Muhsin Faidh Kasyani
- Shadr al-Din al-Muta'allihin al-Syirazi (Mulla Sadra)
- Sayid Majid Bahrani, yang memberikan catatan kaki (ta'liq) atas karya Itsna 'Asyar Syekh Bahai. [21]
- Syekh Jawad bin Sa'ad Baghdadi yang lebih dikenal dengan nama Fadhil Jawad, pemberi ulasan Khulashah al-Hisab wa Zubdah al-Ushul karya Syekh Bahai.
- Mulla Hasan Ali Susytari yang memperoleh ijazah untuk meriwayatkan dari Syekh Bahai pada tahun 1030.[22]
- Mulla Khalil bin Ghari Qazwini (W 1089)
- Syekh Zainuddin bin Muhammad salah seorang cucu Syahid Tsani
- Mulla Saleh Mazandarani
- Mujtahid Karaki
- Rafi'uddin Muhammad Naini yang lebih dikenal sebagai Mirza Rafi'iyan[23]
Kedudukan di Tengah Masyarakat
Atas permintaan para Raja Shafawi, Syekh Bahai memperoleh gelar sebagai Syekh al-Islam yang merupakan posisi tertinggi pejabat kerajaan dalam bidang keagamaan. Gelar dan posisi ini tetap melekat hingga akhir hayatnya. Kedudukan ini sebenarnya tidak disukai oleh Syekh Bahai sendiri. Ia lebih senang untuk dapat uzlah dan dapat menjalani hidupnya sebagai seorang Darwis dan hidup zuhud.[24] Syekh Bahai bahkan selalu mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri sebagai Syekh al-Islam. Berdasarkan beberapa literatur, Syekh Bahai selama beberapa lama mundur dari posisi ini.
Terlepas dari posisi dan statusnya sebagai Syekh al-Islam, kedudukan dan kedekatan khusus dengan istana Dinasti Shafawi, Syekh Bahai adalah orang terpercaya Syah Abbas dalam masalah ilmu dan takwa. Syah Abbas senantiasa meminta pendapat dan bermusyawarah dengan Syekh Bahai.
Menurut Iskandar Manesyi,[25] Syah Abbas memperoleh banyak manfaat dari kehadiran Syekh Bahai sedemikian sehingga sekembalinya Syekh Bahai dari perjalanan yang panjang dan melelahkan, Syah Abbas datang menjemputnya dan mengusulkan supaya Syekh Bahai menjadi Ketua Majelis Ulama Iran. Namun Syekh Bahai menampik usulan ini. [26]
Syah Abbas menjadikan Syekh Bahai sebagai rujukan utama dalam masalah syariat keluarga. [27] Semasa hidupnya, Syekh Bahai juga pernah menjadi imam salat Jum'at kota Isfahan.[28]
Mazhab Syekh Bahai
Tanpa syak, Syekh Bahai merupakan salah seorang ulama dan fukaha mazhab Syiah Imamiyah. Karya-karyanya adalah bukti nyata bahwa ia adalah pengikut mazhab Syiah. Bahauddin Amili dalam syair-syair Arabnya di samping meluapkan kecintaannya dan ketulusannya kepada para Imam Syiah dan kerinduan untuk berziarah ke kuburan mereka[29] dan dalam beberapa perkara, ia menyatakan berlepas diri (tabarri) dari para musuh mereka.[30]
Dengan demikian, upaya sebagian literatur mazhab Sunni yang menyebutkan bahwa ia adalah seorang Sunni adalah sia-sia. Muhammad Amin Muhibbi.[31] dan Ahmad Khafaji[32] meyakini bahwa Syekh Bahai menyembunyikan mazhabnya sebagai Sunni di hadapan Syah Abbas Shafawi yang bermazhab Syiah. Ia dianggap Syiah karena cintanya yang ekstrem kepada para Imam Syiah.[33]
Kemungkinan sebab utama kekeliruan ini adalah perilaku dan suluk Syekh Bahai sendiri yang selama dalam perjalanan mempraktikkan taqiyyah dan disebabkan oleh kecenderungannya kepada Irfan sehingga membuat Syekh Bahai berlaku sebagaimana adanya (menyesuaikan) mazhab setiap orang yang dijumpainya.
Sebagian ulama Syiah mengkritisi sikap toleran Syekh Bahai dalam menghadapi pengikut mazhab lainnya sehingga mereka meragukannya sebagai orang tsiqah (terpercaya dalam mengutip riwayat). [34] Namun apa yang pasti Syekh Bahai adalah seorang fakih Syiah yang moderat dan menaruh perhatian terhadap karya-karya dan ucapan-ucapan ulama Sunni dengan model para pendahulunya.
Sebagai contoh, ia menulis catatan pinggir atas kitab Tafsir Kassyaf karya Zamakhsyari. Demikian juga catatan pinggirnya pada kitab Tafsir Baidhawi meski tidak selesai namun catatan pinggir Syekh Bahai ini termasuk catatan pinggir terbaik atas kitab tafsir ini.[35] Dari sisi lain, Syekh Bahai hidup dalam kondisi fakir dan menjalani kehidupan sebagai seorang Darwis meski ia merupakan salah seorang ulama yang dekat dengan istana Dinasti Shafawi, namun ia memiliki kecenderungan terhadap Tasawuf dan Irfan. Karena itu karya-karyanya dijadikan sebagai rujukan literatur-literatur tasawuf dan acap kali diperkenalkan sebagai sufi sejati.
Maksum Alisyah[36] mengangkat Syekh Bahai bersama dengan pembesar Syiah lainya seperti Mir Damad, Mir Fendereski, Mulla Shadra, Majlisi Awwal dan Faidh Kasyani, sebagai bagian dari mata rantai Nur Bakhsyiah dan Ni'matullahiyah. Hal yang menjadikan Syekh Bahai sebagai seorang sufi adalah kalimat-kalimat dan syair-syairnya.
Dalam karyanya Syekh Bahai memuji Muhyiddin Ibnu Arabi dengan ungkapan-ungkapan seperti Jamal al-'Arifin, Syekh Jalil, Kamil, Arif, Ashl Shamadni. [37]
Sebagian ulama Syiah mengkritisi Syekh Bahai karena kecenderungannya terhadap Tasawuf dan sebagian hal lainnya. [38] Sesuatu yang pasti, Syekh Bahai lebih condong terhadap Irfan melebihi ulama dan fukaha Syiah lainnya di masanya. Menurut Allamah Majlisi, Syekh Bahai itu adalah pengikut Chillah Nisyini (tradisi empat puluh harian) dan riyadhah sya'ri dan mengajarkan dzikir kepada muridnya Muhammad Taqi Majlisi.[39]
Dengan ini semua, pada sebagian literatur, Syekh Bahai menunjukkan kebenciannya terhadap orang-orang sufi dan Darwis pada masanya, demikian juga terhadap adab-adab dan keyakinan mereka.[40] Syekh Bahai sendiri dalam kisah misteri Kucing dan Tikus[41] serta dalam syair-syairnya mengkritik secara pedas orang-orang sufi yang suka pamer. Karena itu, sebagian ulama Syiah demi membela Syekh Bahai dan tidak adanya kaitan tasawuf dengan dirinya, menyebutkan beberapa bukti. [42]
Ujung-ujungnya, penyandaran Syekh Bahai terhadap tasawuf tidak bermakna dukungan terhadap Tasawuf dan Darwis yang dikenal secara umum serta berkembang pada masa Dinasti Shafawi melainkan satu-satunya dalil atas kecenderungan irfani Syekh Bahai dapat ditemukan pada karya-karya dan syair-syairnya.[43]
Status Keilmuan
Pribadi berilmu Syekh Bahai mendapat perhatian dan ketakjuban atas penguasaannya dalam pelbagai bidang ilmu pengetahuan di masanya. Boleh dikatakan bahwa dalam hal ini Syekh Bahai tiada duanya.
Dalam bidang pengetahuan agama dan ilmu-ilmu Islam, Syekh Bahai adalah seorang mahaguru. Dalam silsilah perizinan (ijazah) periwayatan, Syekh Bahai termasuk salah seorang ulama unggul abad kesebelas dan kebanyakan jalur dari pelbagai perizinan para ahli hadis pada abad terakir berujung padanya dan dari dirinya kemudian dari ayahnya dan Syahid Tsani. [44]
Pada usia 25 tahun, melakukan penelitian akurat dan menyelami bidang Tafsir Alquran. Syekh Bahai menilai Tafsir Al-Quran ini sebagai disiplin ilmu yang paling mulia. [45] Usaha terpenting Syekh Bahai, memberikan penjelasan (taujih) dan mencarikan alasan (ta'lil) atas peletakan makna-makna baru dalam mengklasifikasi hadis-hadis.
Menurutnya, adanya rentang waktu antara ulama kontemporer dan ulama masa lalu, adanya kemungkinan hilangnya kitab-kitab asli riwayat dan kesalahan di antara hadis-hadis yang dipercaya oleh para pendahulu (qudama), dengan selainnya dan pendeknya tertutupnya jalur identifikasi hadis-hadis yang telah di-tautsiq oleh para pendahulu, telah menyebabkan ulama yang datang kemudian perlu untuk meletakkan makna-makna baru atas terma-terma seperti shahih, hasan, muattsaq dan mengajukan kriteria baru dalam menyeleksi riwayat-riwayat.
Syekh Bahai juga menyinggung akar klasifikasi qudama dan definisi yang mereka kemukakan terkait dengan shahih, hasan dan muattsaq.[46] Terlepas dari ilmu-ilmu Islam, bidang lain yang dikuasai oleh Syekh Bahai adalah Matematika, Teknik Arsitektur dan Mekanik. Demikian juga ia mahir dan pakar dalam bidang Geografi dan Astronomi.
Karya-karya Ilmiah
Syekh Bahai merupakan salah seorang yang banyak menghasilkan karya ilmiah dan buku dalam dunia Islam dari sisi penyusunan dan keragamannya. Jumlah risalah, catatan pinggir dan annotasi yang dibuat oleh Syekh Bahai berjumlah 123 judul. Sebagian dari karya Syekh Bahai adalah sebagai berikut:
Fikih
- Itsna 'Asyariyah.
- Pasukh Soal Syah Abbas Shafawi
- Pasukh Soalat Syekh Saleh Jabiri.
- Ajwibah Masail Jazairiyah.
- Ahkam Sujud wa Tilawat
- Jami' Abbasi
- Jawab Masail Syekh Jar
- Hasyiyyah bar Irsyad al-Adzhab karya Allamah Hilli
- Hāsyiyyah bar Qawaid Allamah Hilli
- Hāsyiyyah bar Qawaid Syahid Awwal
- Hāsyiyyah bar Ahkam al-Syar'iyyah Allamah Hilli
- Al-Habl al-Matin
- Al-Haririyah
- Al-Dzabihiyyah
- Syarh Farāidh Nashiriyyah karya Khaja Nashirruddin Thusi
- Syarh Farāidh Bahaiyyah (Bakhsy Irts)
- Qashr Namāz dar Cahar Makan
- Risālah Fi Fiqh al-Shalat
- Risālah fi Ma'rifah al-Qiblah
Ulumul Qur'an
- Hāsyiyyah Anwār al-Tanzil Qādhi Baidhāwi
- Hal al-Huruf al-Qur'āniyah
- Hāsyiyyah Kassyāf Zamakhsyari
- Tafsir 'Ain al-Hayāt
- Tafsir Ayāt Syarifah (Faghsilū Wujuhakum wa Aidiyakum ila al-Ka'bain)
- Ta'wil al-Āyāt
- Iksir al-Sa'adātain (Ayat al-Ahkam)
Hadis
- Hāsyiah Kitāb Man Lā Yahdhuruhu al-Faqih
- Arba'in
Ad'iyah wa Munajat (Doa-doa dan Munajat)
- Hāsyiyyah bar Shahifah Sajjādiyah
- Al-Hadiqah al-Hilāliyah
- Syarh Doa Shabāh
- Mishbāh al-'Ābidin
- Miftāh al-Fallāh
Ushul I'tiqadāt (Akidah)
- Itsbāt Wujud al-Qā'im
- Ajwibah Sayid Zainuddin
- Al-I'tiqādiyah
Ushul Fiqh
- Zubdah al-Ushul
- Syarh 'Udhdi
- Al-Wajiz
Rijal dan Ijazah-ijazah
- Hāsyiyyah Khulasah al-Aqwāl Allāmah Hilli
- Hāsyiyyah Rijāl Najjāsyi
- Hāsyiyyah Ma'ālim al-'Ulama Ibnu Syahr Asyub Mazandarani
- Thabaqāt al-Rijāl
- Al-Fawāid al-Rijāliyah
- Al-Ijāzāh
Sastra Arab dan Ilmu-ilmu Bahasa Arab
- Asrār al-Balāghah
- Takhmis Ghazal Khiyāli Bukharāi
- Tahdzib al-Bayān
- Hāsyiyyah bar Muthawwal Taftazani
- Diwān Asy'ar Fārsi wa Arabi
- Syir wa Syukr
- Thuthi Nāme (terdiri dari 2500 bait)
- Fawāid Shamadiyah
- Qashidah dar Madh Payāmbar Khudā Saw
- Kāfiyah
- Kasykul (5 jilid)
- Lagz al-Fawāid al-Shamadiyah
- Mahasin Syi'r Saif al-Daulah
- Nān wa Panir
- Pand Ahli Dānesy be Zabān Gurbe wa Musy
- Waqāi al-Ayyām
Matematika (Riyadhiyah)
- Usthurlāb
- Anwār al-Kawākib
- Bahr al-Hisāb
- Al-Tuhfah (Awzān Syar'i)
- Tuhfah Hatami
- Hāsyiyyah Syarh al-Tadzkirah Khajah Nashiruddin Thusi dar Haiat
- Hāsyiyyah Syarh Zadeh Ruhi
- Al-Hisāb
- Khulashah al-Hisāb wa al-Hindasah
- Isti'lām
- Al-Qiblah, Māhiyyah wa Alamāt Ān
- Jabr wa Muqābiluhu
Hikmah dan Filsafat
- Inkar Jauhar al-Fard
- Al-Wujud al-Dzihni
- Wahdat Wujud
'Ulum Gharibah
- Ahkam al-Nazhar ila Katfi al-Syah
- Risālah Jafr
- Jafr
- Fāl Nāme
Karya Artistektur
Karya arsitektur dan mekanik yang disandarkan kepada Syekh Bahai dapat dibagi menjadi tiga bagian:
- Karya yang kemungkinan besar adalah karya Syekh Bahai seperti:
- Karya mekanik (irigasi) distribusi air sungai menjadi tujuh bagian dari Isfahan yang rinciannya disebutkan dalam sebuah sanad yang dikenal dengan nama Thumar Syekh Bahai.
- Karya yang berdasarkan laporan beberapa literatur disandarkan kepada Syekh Bahai seperti:
- Mendesain kanal Najaf Abad yang lebih dikenal sebagai Qanat Zarrin Kamar
- Penentuan arah kiblat secara akurat Masjid Imam Isfahan;
- Mendesain peta batas kota Najaf
- Mendesain dan membangun indikator waktu Dhuhur syar'i pada waktu bagian barat Masjid Isfahan dan juga di pelataran Haram Imam Ridha as
- Mendesain dinding di pelataran Haram Imam Ali as di Najaf yang dapat mengidentfikasi waktu tergelincirnya matahari sepanjang tahun.
- Mendesain pelataran dan kediaman di Masyhad dalam bentuk hexagonal (enam persegi)
- Menciptakan bahan pemutih di Isfahan yang terkenal dengan bahan pemutih Syekh Bahai
- Membangun Menara Junban
- Mendesain kubah Masjid Imam Isfahan yang dapat memantulkan tujuh kali suara.
- Membuat jam tanpa perlu disetel.[47]
- Karya yang penyandarannya kepada Syekh Bahai tidak begitu kuat dan lebih disebabkan oleh karena kejeniusan Syekh Bahai sehingga karya ini disandarkan kepadanya seperti:
- Hammam (kamar mandi) Syekh Bahai di Isfahan. Orang-orang berkata bahwa dengan cahaya lilin airnya akan menjadi hangat.[48]
Wafat
Bahauddin Amili beberapa hari sebelum wafatnya pergi berziarah ke kuburan Baba Rukunuddin Syirazi bersama beberapa orang dan murid-muridnya. Ia mengalami mukasyafah yang disimpulkan bahwa usianya tidak akan lama lagi berakhir. Muhammad Taqi Majlisi,[49] yang merupakan salah seorang yang menyertai Syekh Bahai melaporkan mukasyafah ini.[50]
Setelah mukasyafah itu, Bahai lebih memilih berkhalwat dan bersendirian. Setelah tujuh hari menderita sakit,, Syekh Bahai mengembuskan nafasnya yang terakhir dan sesuai dengan wasiatnya, jenazahnya dibawa ke Masyhad dan dikebumikan di madrasahnya yang berada di pelataran Haram Imam Ridha.[51]
Iskandar Manesyi, [52] ahli sejarah tentang Syah Abbas dan juga Muzhaffar bin Muhammad Qasim Gunabadi, astronom terkenal pada masa itu, dalam Tanbihat al-Munajjimin[53] yang ditulis beberapa bulan setelah wafatnya Syekh Bahai, menyebutkan tahun 1030 H/1620 sebagai tahun wafatnya Syekh Bahai. [54]
Namun setelah itu Nizhamuddin Sawuji, orang yang menyempurnakan penulisan kitab Jami' Abbasi dan merupakan salah seorang murid Syekh Bahai, menyebutkan bahwa tahun 1031 H/1621 adalah tahun wafatnya Syekh Bahai.[55] Banyak penulis Tadzkirah yang mengikuti pendapat Nizhamuddin ini yang menyatakan bahwa tahun 1031 H/1621 itu adalah tahun wafatnya Syekh Bahai. [56]
Catatan Kaki
- ↑ Majlisi, Muhammad Baqir, jld. 104, hlm. 1, 14, 20, 24, 27, 34, 47, 208, 211; Muhajir, hlm. 145; Madani, al-Hadaiq, hlm. 3; Bahrani, hlm. 16; Burhan Azad, hlm. 143-144.
- ↑ Muhajir, hlm. 95, 146; Afandi Isfahani, Riyadh al-'Ulama, jld. 2, hlm. 119; Amili, hlm. 30; Amin, jld. 8, hlm. 369; Iskandar Manesyi, jld. 1, hlm. 155; Mir Ahmadi, hlm. 54.
- ↑ I'timad al-Sulthanah, hlm. 447; Bahrani, 26.
- ↑ Bahai, Al-Arba'un, hlm. 63.
- ↑ Bahai, Kuliyyat, Muqaddamah Nafisi, hlm. 26.
- ↑ Madani, Salafah, hlm. 259, 296; Bahai, Kasykul, jld. 1, hlm. 28-29, 46.
- ↑ Afandi Isfahani, Riyadh al-'Ulama, jld. 2, hlm. 120; Bahrani, hlm. 26-27; Bahai, Kulliyat, Muqaddamah Nafisi, hlm. 29.
- ↑ Bahrani, hlm. 26-27; Bahai, Kulliyat, Muqaddamah Nafisi, hlm. 29.
- ↑ Muhajir, hlm. 156; Kulliyat, Muqaddamah Nafisi, hlm. 34; Khunsari, jld. 7, hlm. 58.
- ↑ Iskandar Manesyi, jld. 1, hlm. 156; Afandi Isfahani, Riyadh al-'Ulama, jld. 5, hlm. 95; Habib Abadi, jld. 3, hlm. 822; Amin, jld. 8, hlm. 369; Agha Buzurgh Tehrani, Thabaqat, hlm. 163.
- ↑ Muhibbi, Khulasah al-Atsar, jld. 3, hlm. 440; Iskandar Manesyi, jld. 1, hlm. 156-157; Mudarris Tabrizi, jld. 3, hlm. 303.
- ↑ Bahai, Kulliyat, Muqaddamah Nafisi, hlm. 30.
- ↑ Hurr Amili, Amal, jld. 1, hlm. 58.
- ↑ Bahai, Masyriq, hlm. 480; Bahai, al-Arba'un, hlm. 508; Bahai, Kasykul, jld. 1, hlm. 29, 70, 236 dan jld. 2, hlm. 33; Bahai, al-Hadiqah, hlm. 156; Bahai, Miftah, hlm. 800.
- ↑ Iskandar Manesyi, jld. 1, hlm. 568 dan jld. 2, hlm. 610-612; Falsafi, jld. 3, hlm. 859-860, 863-864; Mudarris Tabrizi, jld. 3, hlm. 304; Bahai, Kulliyat, Muqaddamah Nafisi, hlm. 32; Syamlu, jld. 1, hlm. 183-184; Khurasani, hlmm. 570; I'timad al-Sulthanah, hlm. 611-613.
- ↑ Nuri, Khatimah, jld. 2,, hlm. 231-232; Qummi, Fawaid al-Radhawiyyah, jld. 2, hlm. 510.
- ↑ Amin, jld. 9, hlm. 242.
- ↑ Mir Jahani Thabathabai, hlm. 100.
- ↑ Iskandar Manesyi, jld. 1, hlm. 156 dan 167; Afandi Isfahani, Riyadh, jld. 5, hlm. 95; Bahrani, hlm. 234-235; Muhibbi, Khulasah al-Atsar, jld. 3, hlm. 440; Amini, jld. 11, hlm, 250-251; Amin, jld. 9, hlm. 243; Agha Buzurgh Tehrani, al-Raudhah, hlm. 75; Agha Buzurgh Tehrani, al-Dzariyyah, jld. 15, hlm. 378, jld. 1, hlm. 519; Nuri, Khatimah, jld. 2, hlm. 252.
- ↑ Amini, jld. 11, hlm. 252-260.
- ↑ Amin, jld. 11, hlm. 262.
- ↑ Majlisi, Muhammad Baqir, jld. 107, hlm. 23-24.
- ↑ Majlisi, Muhammad Baqir, jld. 106, hlm. 146-151; Agha Buzurgh Tehrani, al-Dzari'ah, jld. 1, hlm. 237-239.
- ↑ Mudarrisi Tabrizi, jld. 3, hlm. 303; Madani, Salafah, hlm. 290-291; Muhibbi, Nafahat al-Raihanah, jld. 2, hl. 292; Amin, jld. 9, hlm. 237.
- ↑ Jld. 1, hlm. 157.
- ↑ Thuqan, hlm. 474.
- ↑ Falsafi, jld. 2, hlm. 563, 574; Munajjim Yazdi, hlm. 109, 268, 301, dan 347.
- ↑ Iskandar Manesyi, jld. 1, hlm. 156.
- ↑ Khunsari, jld. 7, hlm. 70-71; Hurr Amili, Amal, jld. 1, hl. 159; Amini, jld. 11, hlm. 273-279.
- ↑ Jazairi, jld. 1, hlm. 124-125; Khunsari, jld. 7, hlm. 72.
- ↑ Muhibbi, Khulasah al-Atsar, jld. 3, hlm 440-441.
- ↑ Hlm. 104.
- ↑ Bustani, jld. 11, hl. 463; Amini, jld. 11, hlm. 252.
- ↑ Amin, jld. 9, hlm. 242-243.
- ↑ Amin, jld. 9, hlm. 242-243; Khunsari, jld. 7, hlm. 59.
- ↑ Jld. 1, hlm. 183 dan jld. 2, hlm. 322 dan jld. 3, hlm. 215.
- ↑ Kasykul, jld. 1, hlm. 47; jl. 2, hlm. 335, 349; jld. 3, hlm. 56, 321; Bahai, Al-Arba'un Haditsan, hlm. 114, 116 dan 434.
- ↑ Tankabani, hlm. 240-242.
- ↑ Ja'fariyan, Din, hlm. 266; Ja'fariyan, Ruyarui, hlm 125; Ma'shum 'Alisyah, jld. 1, hlm. 284.
- ↑ Kasymiri, hlm. 33; Kermansyahi, jld. 2, hlm. 397.
- ↑ Mainawi, Musy, hlm. 49-55; Minzawi, jld. 2, hlm. 1726.
- ↑ Hurr Amili, Al-Itsna Asyriyah, hlm. 16, 34, 53; Kasymiri, hlmm. 32-33; Amin, jld. 9, hlm. 242; Qumi, Safinah ala-Bihar, jld. 2, hlm. 58; Bahauddin Amili, Kuliyat, Muqaddimah Nafisi, hlm. 46-47; Amini, jld. 11, hlm. 283-284.
- ↑ Ma'shum Alisyah, jld. 1, hlm. 203, 228.
- ↑ Khunsari, jld. 7, hlm. 60; Bahai, Al-Arbau'na Haditsan, hlm. 63-65.
- ↑ Bahai, al-Urwah al-Wutsqa, hlm. 42-43.
- ↑ Bahai, Masyriq al-Syamsyain, hlm. 24, 35; Nuri, Khatimah, jld. 3, hlm. 481-482.
- ↑ Mudarris Tabrizi, jld. 3, hlm. 305; Amin, jld. 9, hlm. 240; Ni'mah, hlm. 55-56; Bahai, Kulliyat, Muqaddimah Nafisi, hlm. 51; Henfer, hlm. 455; Rafi'i Mehr Abadi, hlm. 467, 471; Humai, jld. 1, hlm. 17.
- ↑ Ni'mah, hlm. 55; Bahai, Muqaddimah Nafisi, hlm. 52; Rafi'i Mihr Abadi, hlm. 397, 407.
- ↑ Majlisi, Muhammad Taqi, Raudhah, jld. 14, hlm. 434-435.
- ↑ Madani, Salafah, hlm. 291; Iskandar Manesyi, jld. 2, hlm. 967; Muhibbi, Khulasah al-Atsar, jld. 3, hlm. 454-455.
- ↑ Iskandar Manesyi, jld. 2, hlm. 967-968; I'timad al-Sultanah, hlm. 445-447; Afandi Isfahani, Riyadh, jld.5, hlm. 97.
- ↑ Jld. 2, hl. 967.
- ↑ Hlm. 223-224.
- ↑ Majlisi, Muhammad Taqi, Raudhah, jld. 14, hlm. 435; Husaini Astarabadi, hlm. 217; Agha Buzurgh Tehrani, al-Raudhah, hlm. 85-86.
- ↑ Bahai, Jami' Abbasi, hlm 96.
- ↑ Takabani, hlm. 245; Khurasani, hlm. 640; I'timad al-Sulthanah, hlm. 447, 676.
Daftar Pustaka
- Afandi Isfahani, Abdullah, Ta'liq Amal al-Amal, Ahmad Husaini. Qom: 1410 H.
- Afandi, Riyadh al-'Ulama wa Hiyādh al-Fudhala, cet. Ahmad Husaini, Qum, 1401 H.
- Agha Buzurg Teherani, al-Dzari'ah ila Tashānif al-Syi'ah, Beirut, 1403 H/1982.
- Agha Buzurg Teherani, al-Raudhah al-Nudhrah fi Ulamā al-Qarn Al-Hādi 'Asyarah, Beirut, 1411 H/1990.
- Agha Buzurg Teherani, Thabaqāt A'lām al-Syiah, cet. Ali Naqi Minzawi, Teheran, 1411 H/1990
- Amin Abdul Husain, al-Ghadir fi al-Kitab wa al-Sunnah wa al-Adab, Beirut, 1387 H.
- Amin, Muhsin, A'yān al-Syiah, cet. Hasan Amin, Beirut, 1403 H.
- Astarabadi, Hasan, Tārikh Sulthāni, cet. Ihsan Isyraqi, Teheran, 1406 H/1985.
- Bahrani, Yusuf, Lu'lu al-Bahrain, cet. Muhammad Shadiq Bahr al-'Ulum, Qum.
- I'timad al-Salthanah, Tārikh Nashiri, cet. Muhammad Ismail Ridhwani, Teheran, 1409 H/1988.
- Ibnu Shabun, Kitab Takmilah Ikmāl al-Akmal fi al-Ansāb wa al-Asmā wa al-Alqāb, Beirut, 1406 H/1986.
- Isfandiyar, Kaikhusruw, Dabistān Madzhāhib, cet. Rahim Ridha Zadeh Malik, Teheran, 1404 H/1983.
- Iskandar Manesyi, Tārikh 'Alam Ara 'Abbāsi, Teheran, 1391 H/1971.
- Tankabani, Muhammad, Kitab Qashash al-‘Ulama, Teheran.
- Tsabitiyan, Dzabihullah, Asnad wa Nameh-ha Tarikhi Daurah Shafawiyah, Teheran, 1343 H.