Taqiyyah

Prioritas: aa, Kualitas: b
Dari wikishia
Akidah Syiah
‌Ma'rifatullah
TauhidTauhid DzatiTauhid SifatTauhid Af'alTauhid Ibadah
FurukTawasulSyafa'atTabarruk
Keadilan Ilahi
Kebaikan dan keburukanBada'Amrun bainal Amrain
Kenabian
KeterjagaanPenutup KenabianNabi Muhammad SawIlmu GaibMukjizatTiada penyimpangan Alquran
Imamah
Keyakinan-keyakinanKemestian Pelantikan ImamIsmah Para ImamWilayah TakwiniIlmu Gaib Para ImamKegaiban Imam Zaman asGhaibah SughraGhaibah KubraPenantian Imam MahdiKemunculan Imam Mahdi asRaj'ah
Para Imam
  1. Imam Ali
  2. Imam Hasan
  3. Imam Husain
  4. Imam Sajjad
  5. Imam Baqir
  6. Imam al-Shadiq
  7. Imam al-Kazhim
  8. Imam al-Ridha
  9. Imam al-Jawad
  10. Imam al-Hadi
  11. Imam al-Askari
  12. Imam al-Mahdi
Ma'ad
Alam BarzahMa'ad JasmaniKebangkitanShirathTathayur al-KutubMizanAkhirat
Permasalahan Terkemuka
AhlulbaitEmpat Belas Manusia SuciTaqiyyahMarja' Taklid


Taqiyyah (bahasa Arab: التقية) adalah menyembunyikan keyakinan dengan melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan keyakinan sebelumnya di hadapan para penentangnya dengan tujuan untuk terhindar dari bahaya agama ataupun materi.

Syiah lebih terkenal dari pada pengikut mazhab Islam lainnya dalam menerapkan taqiyyah. Sebabnya adalah adanya berbagai tekanan baik secara sosial, budaya, ekonomi dan lainnya yang dilakukan para musuh kepada Syiah sebagaimana yang tercatat dalam berbagai sumber sejarah.

Taqiyyah memiliki beberapa macam, fukaha Syiah dengan bersandar kepada ayat-ayat Al-Qur'an dan sunah para imam as, menjelaskan hukum taklifi dan wadh'i taqiyyah. Menurut mereka, jika mengungkapkan keyakinan kepada lawan dapat membahayakan nyawa, harta, dan nama baik seseorang atau orang lain, maka taqiyyah wajib dilakukan sejauh bahaya itu dapat dihindari. Taqiyyah juga bisa bersifat mustahab, makruh, mubah dan haram dalam beberapa kondisi tertentu.

Dikatakan juga bahwa sebagian besar fukaha Ahlusunah juga memperbolehkan taqiyyah pada kondisi adanya ketakutan akan membahayakan nyawa ataupun harta sejauh bahaya tersebut dapat dihindari. Namun, di kalangan mazhab Islam lainnya, seperti Zaidiyah dan Wahabiyah menentang konsep taqiyyah.

Taqiyyah secara Leksikal

Kata taqiyyah berasal dari klausul wa-qa-ya, masdar atau ism masdar[1] artinya menjauhi, menjaga, dan menyembunyikan.[2] Para mufasir, mutakallim dan fukaha memberikan definisi taqiyyah yang hampir sama.[3] Dalam semua definisi tersebut, terdapat unsur menyembunyikan kebenaran atau menampakkan sesuatu yang berlawanan dengannya dan menepis bahaya agama atau dunia.

Taqiyyah secara Teknikal

Ulama Syiah memiliki pendapat yang sama tentang taqiyyah, namun dalam memberikan definisi taqiyyah, mereka berbeda pendapat, seperti:

Syaikh Mufid: Taqiyyah adalah menyembunyikan kebenaran dan menutupi keyakinan di hadapan musuh-musuh demi menghindari bahaya yang mengancamnya, baik bahaya agama maupun duniawi. [4]

Amin Islam Thabrisi: Taqiyyah adalah karena takut akan keterancaman jiwa, seseorang menyampaikan sesuatu dengan lisannya namun hatinya menyembunyikan hal itu.[5]

Syaikh Anshari: Taqiyah adalah menjaga diri dari bahaya orang lain dengan jalan menyepakati perkataan dan tindakan orang lain meskipun bertentangan dengan kebenaran. [6]

Persamaan dan Perbedaan antara Taqiyyah dan Nifaq

Persamaan keduanya adalah bahwa seseorang yang sedang menjalankan taqiyyah dan seorang munafik, keduanya menyembunyikan segala yang ia yakini. Namun yang terjadi pada orang munafik adalah ia berpura-pura beriman dan menyembunyikan kesyirikan dan kebatilan, sedangkan taqiyyah adalah tindakan yang ditempuh oleh seorang Mukmin untuk menyembunyikan keimanan dengan dalil adanya bahaya finansial atau jiwanya, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. [7]

Dalil Kebolehan Taqiyyah

Ada banyak dalil-dalil Alquran, riwayat, akal dan ijma' tentang dibolehkannya bertaqiyyah.

Dalil-dalil Alquran

Kata taqiyyah secara langsung tidak disebutkan dalam Alquran, namun secara derivatif ada dalam beberapa ayat-ayat Alquran dan di dalam sumber-sumber referensi Islam banyak ayat-ayat Alquran yang dijadikan dalil atas kebolehan atau bahkan kewajiban bertaqiyyah pada kondisi-kondisi darurat. [8]

لَّا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّـهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَن تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّـهُ نَفْسَهُ ۗ وَإِلَى اللَّـهِ الْمَصِيرُ

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya (supaya kamu tidak menentang-Nya). Dan hanya kepada Allah-lah kembali(mu).” (Qs Ali Imran [3]: 28)

Ayat di atas ditujukan kepada semua kaum Muslimin. Berdasarkan ayat tersebut, pada masa permulaan Islam, sekiranya adanya gangguan yang dilancarkan oleh kaum musyrikin, kaum Muslimin tidak boleh mentaati kaum Musyrikin, namun apabila adanya keadaan darurat dan dihinggapi rasa takut yang berlebihan, maka kaum Muslimin diperbolehkan untuk bertaqiyyah. [9] Para mufasir dan ulama Syiah[10]dan Ahlusunnah[11] menginferensi hukum (istinbath) kebolehan taqiyyah dengan menggunakan ayat ini.

مَن كَفَرَ بِاللَّـهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَـٰكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّـهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (Qs Al-Nahl [16]: 106)

Ayat ini turun tentang Ammar Yasir dan tindakan taqiyyah yang ia lakukan berpura-pura kafir di hadapan kaum Musyrikin untuk menghindari dari siksaan mereka. Nabi Muhammad saw dengan menegaskan tindakan Ammar, kepadanya bersabda bahwa apabila kamu pada kesempatan lain menghadapi keadaan seperti ini, maka lakukanlah tindakan itu juga. [12]

وَقَالَ رَجُلٌ مُّؤْمِنٌ مِّنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَهُ أَتَقْتُلُونَ رَجُلًا أَن يَقُولَ رَبِّيَ اللَّـهُ وَقَدْ جَاءَكُم بِالْبَيِّنَاتِ مِن رَّبِّكُمْ ۖ وَإِن يَكُ كَاذِبًا فَعَلَيْهِ كَذِبُهُ ۖ وَإِن يَكُ صَادِقًا يُصِبْكُم بَعْضُ الَّذِي يَعِدُكُمْ ۖ إِنَّ اللَّـهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ
“Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fira'un yang menyembunyikan imannya berkata, “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan, 'Tuhanku ialah Allah', padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhan-mu. Dan jika ia seorang pendusta, maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar, niscaya sebagian (azab) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.” (Qs al-Ghafir [40]: 28)

Ayat 28 surah Ghafir tentang orang-orang yang beriman dikalangan keluarga Fir'aun. Ketika sebagian orang-orang yang ada disekitar Firaun menyarankan Firaun untuk membunuh Nabi Musa as, seorang laki-laki dari keluarga Firaun yang merupakan seorang mukmin dan menyembunyikan keimanannya, menahan Firaun untuk melakukan hal ini. [13]

Kebolehan atau kewajiban bertaqiyyah pada kondisi-kondisi tertentu bisa disimpulkan dari ayat-ayat yang berkaitan dengan keadaan-keadaan darurat dan kesulitan, seperti ayat 173, 185 dan 195 surah Al-Baqarah, ayat 145 surah Al-An'am, ayat 115 surah Al-Nahl dan ayat 78 surah Al-Hajj. [14] Dalam berbagai hadis juga disebutkan ayat-ayat di atas atau ayat-ayat lain sebagai bukti akan kebolehan atau keharusan melakukan taqiyyah. [15]

Dalil-dalil Riwayat

Hadis-hadis yang menunjukkan tentang dibolehkannya bertaqiyyah sangat banyak. [16] Berdasarkan hadis, taqiyyah adalah tindakan paling baik kaum Mukminin dan merupakan salah satu bentuk tindakan koreksi umat. Juga, agama tidak sempurna tanpa taqiyyah. [17] Di samping adanya hadis-hadis yang menerangkan tentang dibolehkannya taqiyyah, bahkan terdapat pula hadis yang mewajibkan taqiyyah dalam kondisi tertentu. [18] Hadis-hadis yang menegaskan kebolehan taqiyyah saat terjadi keadaan darurat[19] dan hadis-hadis yang menunjukkan bahwa hukum-hukum syar'i awwaliyah (kebalikan hukum tsanawi yaitu hukum-hukum awal tanpa memperhatikan hal-hal lain seperti: situasi dan kondisi dan lainnya) diangkat dalam kondisi darurat, seperti hadis raf' dan hadis dharar (La dharar wa la dhira ra/tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh ada yang membahayakan) [20] merupakan dalil-dalil terpenting atas dibolehkannya taqiyyah.[21] Dalil-dalil dibolehkannya berdusta dan tauriyah (ucapan yang berbeda dengan makna) dalam keadaan tertentu, hadis-hadis yang berkenaan dengan kitman (menyembunyikan) juga merupakan hadis-hadis yang mempertegas dibolehkannya taqiyyah. [22] Dalil-dalil yang berkenaan dengan penolakan dalam sumber-sumber rujukan fikih, dinilai sebagai bukti atas sebagian contoh hadis yang membolehkan manusia untuk taqiyah.[23]

Sirah Nabi Muhammad saw

Dinukilkan bahwa setelah hijrahnya Nabi Muhammad saw ke Madinah, sebagian kaum Muhajirin disamping memperoleh ijin dari Nabi saw untuk pergi ke Makkah dan membawa harta mereka sendiri, demi menarik keridhaan kaum musyrikin mengungkapkan kalimat-kalimat yang berlawanan dengan kemauan hatinya kepada kaum Musyrikin dan Nabi pun menyetujuinya.[24] Di antara para sahabat-sahabat Nabi saw dan juga para tabiin yang menerima kebolehan taqiyyah baik dalam perkataan dan perbuatan misalnya: Ibnu Abbas,[25] Ibnu Mas'ud,[26]Jabir bin Abdullah al-Anshari, [27] Khudzaifah bin Yaman, [28] Abu Darda[29] dan Sa'id bin Musayyib.[30]

Contoh Taqiyyah yang dilakukan oleh para Sahabat

Ibnu Mas'ud dan Khudzaifah bin Yaman mendatangi Utsman. Utsman berkata kepada Khudzaifah:'Berita apa ini yang sampai kepadaku tentangmu? Khudzaifah menjawab: “Aku tidak mengatakan hal itu.” Utsman berkata: “Anda adalah manusia yang paling baik dan paling jujur.” Ketika Utsman keluar, aku berkata kepadanya: “Apakah Anda tidak mengatakan perkataan itu?” Ia menjawab: Iya, aku katakan itu. Namun karena menjaga sebagian agamaku (menyampaikan sesuatu karena takut) aku menjaga sebagian agamaku yang lain.” [31]

Ijma

Dalam sumber-sumber rujukan Syiah, ijma' (konsensus) adalah salah satu dalil bagi dibolehkannya taqiyyah. [32]Ahlusunah pun dalam sebagian hal, mengklaim atas kesepakatan tentang dibolehkannya taqiyyah. [33]

Dalil Akal

Dalil akal atas dibolehkannya taqiyyah adalah sirah uqala (metode yang ditempuh orang-orang yang berakal) dimana pada dasarnya menghilangkan bahaya dalam semua keadaan diperbolehkan bahkan wajib pada situasi darurat.[34] Berdasarkan dalil ini, taqiyyah tidak hanya diperuntukkan bagi kaum Syiah saja dan bahkan kaum Muslimin. Dalam teks-teks agama Islam, banyak contoh-contoh taqiyyah yang terjadi dalam kehidupan orang-orang saleh dan nabi-nabi terdahulu, seperti: tindakan Nabi Ibrahim as dengan orang-orang kafir, dialog Nabi Yusuf dengan saudara-saudaranya di Mesir, ibadah Asiyah binti Muzahim, istri Fir'aun yang dilakukan secara sembunyi, tindakan Nabi Musa dan Nabi Harun dalam menghadapi Fir'aun dan taqiyyah yang dilakukan oleh pemuda Ashab Kahfi[35] adalah penegasan atas adanya taqiyyah yang sudah dilakukan semenjak dahulu. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa taqiyyah dalam kondisi darurat sesuai dengan fitrah dan akal.

Taqiyyah kaum Muslimin dari kaum Muslimin yang lainnya

Meskipun dalam sebagian ayat dan hadis yang ada adalah jenis taqiyyah dari kaum Muslimin dari orang kafir, namun dari penjelasan para fukaha dan mufasir, taqiyyah tidak hanya dikhususkan pada taqiyyah kaum Muslimin terhadap orang kafir, tapi juga meliputi taqiyyah kaum Muslimin dari kaum Muslimin yang lainnya. [36]Sangat banyak ulama Ahlusunah seperti Syafi'i yang membolehkan sikap taqiyyah kaum Muslimin dari kaum Muslimin lainnya untuk memelihara keselamatan jiwanya.[37]

Faktor-faktor yang menyebabkan Muslim Syiah melakukan Taqiyyah

Terkait tentang bagaimana munculnya ajaran taqiyyah dikalangan orang Syiah dapat dipaparkan melalui penjelasan berikut ini:

  1. Sebagian orang menilai bahwa yang melatarbelakangi sikap taqiyyah Syiah adalah adanya unsur-unsur batin. Dalam ajaran-ajaran batin, di setiap unsur-unsur zhahir terkandung unsur-unsur batin dimana hakekat dan batin agama hanya dapat dijelaskan kepada orang-orang tertentu saja.
  2. sebagian yang lain, menilai bahwa yang melatarbelakangi taqiyyah adalah keadaan sukar yang mendera kaum Syiah. Menurut bukti sejarah, madzhab Syiah selama perkembangannya dalam berbagai aspek kemasyarakatan, budaya, dan politik berada dalam kondisi yang terjepit. Setelah peristiwa perjanjian damai Imam Hasan as, Muawiyah meminta para gubernurnya supaya berlaku keras terhadap golongan Syiah dan dalam mimbar-mimbar menghina Imam Ali as. Tindakan ini kira-kira berlangsung semenjak jaman Umawi hingga Umar bin Abdul Aziz. [38] Pada masa khalifah Abasi penghinaan terhadap Imam Ali as masih berlanjut dengan cara yang berbeda, misalnya Mutawakkil, disamping memenjarakan dan membunuh kaum Syiah, juga melarang pengikut Syiah untuk berziarah ke makam Imam Husain as dan merusak haram Imam Husain as. Ibnu Sikit atas tuduhan kecintaannya kepada Imam Hasan as dan Imam Husain as dibunuh secara mengenaskan. [39] Oleh itu, para Imam Syiah demi untuk menjaga dan menyelamatkan serta mencegah kehancuran masyarakat Syiah, memandang bahwa taqiyyah harus dijalankan. Taqiyyah yang dilakukan oleh Ali bin Yaqthain, menteri Syiah Harun Rasyid yang diperintah oleh Imam Kazhim as, merupakan bentuk taqiyyah jenis ini. [40]

Pembagian Taqiyyah menurut Hukum Syar'i

Hukum Taklifi

Dari berbagai sudut, taqiyyah terbagi menjadi beberapa bagian. [41] Syaikh Mufid membagi taqiyyah menjadi beberapa kelompok berdasarkan hukumnya (wajib, haram dan mustahab). Taqiyyah karena takut jiwanya akan terancam termasuk taqiyyah wajib dan taqiyyah karena alasan unsur ekonomi dinilai sebagai taqiyyah mubah.[42]

Taqiyyah Wajib

Berdasarkan hadis-hadis dan fatwa para fukaha yang termasuk golongan taqiyyah wajib adalah taqiyyah-taqiyyah yang didalamnya mengandung sesuatu yang bahaya dan memiliki kepentingan yang urgensi. [43] Syarat penting wajibnya taqiyyah dari pandangan fukaha[44] menurut aturan hadis[45] adalah takut akan keselamatan jiwa atau harga dirinya atau keluarga dan kerabat dekat.

Taqiyyah Mustahab

Syaikh Anshari memberikan contoh taqiyyah mustahab yaitu bertoleransi dengan madzhab-madzhab lain dan bersosialisasi dengan penganut madzhab lain dalam hal-hal seperti menengok orang sakit, menguburkan jenazah, datang dan salat di masjid. [46] Dalam referensi-referensi terkini, jenis-jenis taqiyyah ini dengan berdasarkan bahasa hadis[47] bernama taqiyyah mudārati, artinya berperilaku baik dengan kaum Muslimin lainnya bahkan dengan kaum musyrik dan harus mengedepankan prinsip toleransi sehingga kasih sayang mereka akan bertambah dan akan mengurangi potensi kerugian di masa mendatang.

Taqiyyah Mubah

Syaikh Mufid menggolongkan taqiyyah yang didasari oleh rasa takut akan kehilangan harta sebagai taqiyyah yang mubah hukumnya. [48]Fahr al-Razi juga memandang mubah, taqiyyah yang dilakukan karena takut akan kehilangan harta. [49]

Taqiyyah Haram

Atas dasar hadis-hadis yang ada, para fukaha mengharamkan taqiyyah dalam hal-hal misalnya hukum-hukum wajib dan haram di mana pengamalannya dari sisi hukum syar'i sangat penting dan jika ibadah itu dilakukan dengan taqiyyah akan menyebabkan hilangnya agama seperti penghapusan Alquran, penghancuran Kakbah, mengingkari hukum-hukum dasar dan penting atau akidah agama atau dasar-dasar madzhab hal-hal yang dengan menjalankan taqiyyah akan menyebabkan pertumpahan darah dan pembunuhan, [50]meminum minuman keras, mengusap kaki ketika wudhu dan membenci para Imam[51] adalah termasuk contoh-contoh dari bentuk dharurat yang tidak boleh bertaqiyyah dalam hal itu. [52]

Hukum Wadh'i

Para fukaha terkait dengan hukum-hukum wadh'i dari tindakan yang berasal dari taqiyyah berkeyakinan bahwa apabila sebuah amalan merupakan bentuk dari taqiyyah dalam beribadah, maka setelah hilangnya syarat taqiyyah, seseorang tidak perlu mengulang kembali ibadahnya (dengan cara mengulang ibadahnya didalam waktunya atau mengqadhanya yakni mengulang ibadahnya diluar waktunya). Dengan kata lain, para fukaha menilai amalan ibadah yang dilakukan berdasarkan taqiyyah adalah mujzi (benar dan diterima). [53]

Catatan Kaki

  1. Fayumi, al-Misbāh al-Munir, jld. 2, hlm. 669; Himyari, Syams al-Ulum, jld. 2, hlm. 758; Athfisy, Taisir al-Tafsir, jld. 2, hlm. 43.
  2. Ibnu Mandzur, Lisān al-Arab, jld. 15, hlm. 402 dan 401.
  3. Silahkan lihat: Thabari, Jāmi al-Bayān, jld. 3, hlm. 152-152; Sarakhsi, al-Mabsuth, jld. 24, hlm. 45; al-Khui, al-Tanqih, jld. 4, hlm. 253; Rasyid Ridha, al-Manar, jld. 3, hlm. 280; Makarim, al-Qawā'id al-Fiqhiyah, jld. 1, hlm. 393.
  4. Mufid, Tashhih I'tiqād al-Imamiyah, hlm. 137.
  5. Thabarsi, Majma' al-Bayan fi Tafsir al-Quran, jld.2, hlm.729
  6. Anshari, al-Taqiyyah, hlm.37
  7. Silakan lihat:Fadhil Miqdad, al-Lawami' al-Ilahiyah fi al-Mabahits al-Kalamiyah, hlm. 277 dan Amin, Naqdh al-Wasyi'ah, hlm.185.
  8. Fadhil Miqdad, al-Lawāmi' al-Ilahiyah fi al-Mabāhits al-Kalāmiyah, hlm. 377-378
  9. Thusi Fahr al-Razi, Nasafa; Suyuthi; Thabathabai, ayat terkait
  10. Sebagai contoh silakan lihat:Thusial-Tibyan, Thabathabai, ayat terkait.
  11. Sebagai contoh silahkan lihat: Zamakhsyari, Alusi, Muraghi, Qasemi ayat terkait
  12. Wakhidi Nisyaburi, Asbab al-Nuzul al-Ayat hlm. 190, Zamakhsyari, Thabarsi, Qurthubi, ayat terkait.
  13. Silahkan lihat: Thusi, Thabrisi, Qurthubi, Suyuthi, ayat terkait.
  14. Silahkan lihat: Thusi, Thabrisi, Suyuthi terkait ayat yang sedang dibahas.
  15. Silahkan lihat: Hurr Amili, al-Sirah al-Halabiyah, hlm. 203-204, 206, 212-214; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 72, hlm. 393-394, 396, 408, 418, 421, 430, 432.
  16. Silahkan lihat: Musawi Bujnurdi, al-Qawāid al-Fiqhiyah, jld. 5, hlm. 53; untuk mengetahui lebih banyak riwayat-riwayat ini, silakan lihat: Wasail al-Syiah, jld.1, bab 25 dan jld.16, bab 29
  17. Silahkan lihat: Kulaini, al-Kāfi, jld. 2, hlm. 221-217; Majlisi, Bihār al-Anwar, jld. 72, hlm. 394, 397-398, 423
  18. Misalnya silahkan lihat: Ibnu Hanbali, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, jld. 5, hlm. 168; Kulaini, al-Kāfi, jld. 2, hlm. 218, hadis 7; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 72, hlm. 421, 428.
  19. Silahkan lihat: Hurr Amili, Wasāil al-Syiah, jld. 16, hlm. 214-218.
  20. Silahkan lihat: Ibnu Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, jld. 1, hlm. 313, jld. 5, hlm. 327; Kulaini, al-Kāfi, jld. 5, hlm. 280, 292-294; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 5, hlm. 303.
  21. Qurthubi, al-Jami' li Ahkam al-Quran, Al-Nahl: 106; Anshari, al-Taqiyyah, hlm. 40, Amin, Naqdh al-Wasyi'ah, hlm. 189; Musawi Bujnurdi, al-Qawāid al-Fiqhiyah, jld. 5, hlm. 54-55.
  22. Silahkan lihat: Kulaini, al-Kāfi, jld. 2, hlm. 221-226; Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jld. 3, hlm. 137; Amin, Naqdh al-Wasyi'ah, hlm. 188-189.
  23. Misalnya silahkan lihat: Khomeini, al-Mākasib al-Muharramah, jld. 2, hlm. 226-227.
  24. Silahkan lihat: Halabi, al-Sirah al-Halabiyah, jld. 3, hlm. 51-52.
  25. Ibnu Hajar 'Asqalani, Fath al-Bāri, jld. 12, hlm. 279
  26. Ibnu Hazm, al-Mahalla, jld. 8, hlm. 336.
  27. Syams al-Aimah Sarakhsi, Kitāb al-Mabsuth, jld. 24, hlm. 47
  28. San'ani, al-Mushannaf, jld. 6, hlm. 474, hadis 33050.
  29. Bukhari Ju'fi, Sahih al-Bukhāri, jld. 7, hlm. 102.
  30. Silahkan lihat: al-Ghadir fi al-Kitāb wa al-Sunah wa al-Adab, jld. 1, hlm. 380.
  31. Shan'ani, al-Mushannaf, jld. 6, hlm. 474, hadis 33050.
  32. Silahkan lihat: Muhaqqiq Karaki, Rasāil al-Muhaqqiq al-Karaki, jld. 2, hlm. 51; Musawi Bujnurdi, al-Qawāid Fiqhiyah, jld. 5, hlm. 50.
  33. Qurthubi, al-Jāmi li Ahkām al-Qurān, terkait surah Ali Imran: 28
  34. Fadhil Miqdad, al-Lawāmi' Ilahiyyah fi Mabāhits al-Kalāmiyyah, hlm. 377, Amin, Naqdh al-Wasyi'ah, hlm. 182.
  35. Silahkan lihat: Tsa'labi, Qasash al-Anbiyā, hlm. 69, 166; Hurr Amili, Wasāil Syiah, jld. 16, hlm. 215, 219, 230-231; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 72, hlm. 396, 407, 425, 429.
  36. Silahkan lihat: Fahr al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, terkait surat Ali Imran: 28, Musawi Bujnurdi, al-Qawāid al-Fiqhiyah, jld. 5, hal 75.
  37. Subhani, al-Inshaf fi Masail Dama Fiha al-Khilaf, jld.2, hlm.330-331
  38. Silahkan lihat: Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahj al-Balāghah, jld. 11, hlm. 43-46.
  39. Thabari, Tarikh Thabari, jld.9, hlm. 185; Ibnu Jauzi, al-Muntazhim fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam, jld.11, hlm. 237
  40. Silahkan lihat: Ali Kasyif al-Ghitha, Ashl al-Syiah wa Ushuluhā, hlm. 315-316, Amin, Naqdh al-Wasyi'ah, hlm. 198-200.
  41. Tentang pembagian taqiyyah silahkan lihat: Syahid Awwal, al-Qawā'id wa al-Fawāid, bag. 2, hlm. 157-158; Khomeini, al-Rasāil, jld. 2, hlm. 174-175, Ibid, al-Makāsib al-Muharamah, jld. 2, hlm. 236.
  42. Mufid, Awāil al-Maqālat fi al-Madzāhib wa al-Mukhtarāt, hlm. 135-136.
  43. Silahkan lihat: Mufid, ibid dan Hurr Amili, Wasāil Syiah, jld. 16, hlm. 214, Syubbar, al-Ushul Ashliyah wa al-Qawāid al-Syar'iyyah, hlm. 322-321, Khomeini, al-Rasāil, jld. 2, hlm. 176.
  44. Silahkan lihat: Mufid, Awāil al-Maqālat fi al-Madzāhib wa al-Mukhtarat, hlm. 96, Khomeini, al-Makāsib al-Muharramah, jld. 2, hlm. 244-244.
  45. Silahkan lihat: Hurr Amili, Wasāil al-Syiah, hlm. 203.
  46. Anshari, al-Taqiyyah, hlm. 39-40.
  47. Silahkan lihat: Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 72, hlm. 396, 401, 417, 418, 438, 441.
  48. Mufid, Awāil al-Maqālāt fi al-Madzāhib wa al-Mukhtarat, hlm. 135-136.
  49. Fahr al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, surah Ali Imran ayat 28.
  50. Atas dasar Faidza balagha lidam fala taqiyyah
  51. Silahkan lihat: Wasāil Syiah, jld. 16, hlm. 215-217, 234, Khomeini, al-Makāsib al-Muharamah, jld. 2, hlm. 225-227; ibid, al-Rasail, jld. 2, hlm. 177-184.
  52. Hurr Amili, Wasāil Syiah, jld. 16, hlm. 214; Syubbar, Ushul Asliyah wa al-Qawāid al-Syar'iyah, hlm. 321.
  53. Silahkan lihat: Anshari, al-Taqiyyah, hlm. 43, Musawi Bujnurdi, al-Qawāid al-Fiqhiyyah, jld. 5, hlm. 55-57, al-Rasāil, jld. 2, hlm. 188-191.

Daftar Pustaka

  • Alquran al-Karim.
  • Ali Kasyif al-Ghitha, Muhammad Husain. Asl al-Syi'ah wa Ushuluhā. Qom: cet. Ala Ali Ja'far, 1415.
  • Alusi, Muhammad bin Abdullah. Ruh al-Ma'āni. Beirut: Dar Ihya al-Tsurats al-Arabi, tanpa tahun.
  • Ibnu Abil Hadid. Syarah Nahj al-Balāghah. Qom: cet. Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, 1404.
  • Ibnu Jauzi. Al-Muntadzam fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam. Beirut: cet. Muhammad Abdul Qadir Atha wa Musthafa, Abdul Qadir Atha, 1412/1992.
  • 'Asqalani, Ibnu Hajar. Fath al-Bari, Syarah Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Ma'rifah, tanpa tahun.
  • Ibnu Hazm. al-Mahalla. Beirut: cet. Ahmad Muhammad Syajir, Dar al-Jalil, tanpa tahun.
  • Ibnu Hanbal. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal. Kairo: 1313, cet. ofset, Beirut, tanpa tahun.
  • Ibnu Khallakan, Ibnu Manzhur, Muhammad Abu Zuhrah. Al-Imām al-Shādiq, Hayatuhu wa 'Asruhu, Ārāuhu wa Fiqhuh. Qahirah, 1993.
  • Ibnu Mandzur, Muhammad bin Mukarram.Lisān al-Arab, jld. 15. Beirut: Dar al-Fikr, Dar Shadir, tanpa tahun.
  • Amin, Muhsin. Naqdh al-Wasyi'ah atau Syiah baina al-Haqāiq wa al-Auhām. Beirut: 1403/1983.
  • Amini, Abdul Husain. Al-Ghadir fi Kitāb wa al-Sunah wa al-Adab, jld. 1. Beirut: 1387/1967.
  • Anshari, Murtadha bin Muhammad Amin. Al-Taqiyyah. Qom: cet. Fars Hasun, 1412.
  • Bahrani, Yusuf bin Ahmad. Al-Hadāiq al-Nāshirah fi Ahkām Itrah al-Thāhirah. Qom: 1363-1367.
  • Bukhari Ju'fi, Muhammad bin Ismail. Sahih Bukhari. Istanbul: 1981/1401.
  • Tsa'labi, Ahmad bin Muhammad. Qashash al-Anbiyā al-Musamma 'Arāisy al-Majālis. Beirut: al-Maktabah al-Tsaqafah, tanpa tahun.
  • Jashshash, Ahmad bin Ali. Kitāb Ahkām al-Qurān. Istanbul: 1335-1338. Cet. Ofset, Beirut: 1406/1986.
  • Jauhari, Ismail bin Hamad. Al-Sehah: Taj al-Lughah wa Sehah al-Arabiyyah. Beirut: Riset: Athar, Ahmad Abdul Ghafur, Dar al-Ilm lil Malayin, tanpa tahun.
  • Hurr Amili. Tafshil Wasāil al-Syiah ila Tahshil al-Syari'ah. Qom:1409-1412.
  • Halabi, Ali bin Ibrahim. Al-Sirah al-Halabiyyah. Beirut: 1320, cet. ofset, tanpa tahun.
  • Khomeini, Ruhullah."Al-Rasāil. Qom: 1385.
  • Khomeini, Ruhullah. Al-Makasib al-Muharramah. Qom: 1374 SH.
  • Subhani, Ja'far. Al-Inshāf fi Masāil dāma fihā al-Khilaf. Qom: 1381 SH.
  • Syubbar, Abdullah. Ushul Ashliyah wa al-Qawāid al-Syar'iyyah. Qom: 1404.
  • Syarafuddin, Abdul Husain.Ajwibah Masāil Jarullah. Qom:cet. Abdul Zahra Yasari, 1416/1995.
  • Syamsul Aimmah Sarakhsi, Muhammad bin Ahmad. Kitāb al-Mabsuth. Beirut: 1406/1986.
  • Syahrestani, Muhammad bin Abdul Karim. al-Milāl wa al-Nihal. Beirut: cet. Muhammad Sayid Kilani, 1406/1986.
  • Al-Shan'ani, Abu Bakar 'Abd al-Razzaq bin Hamam (211). al-Mushnnaf, Riset: Habib Rahman al-A'dhami. Beirut: al-Maktab al-Islami, cet. 2, 1403 H.
  • Muhammad bin Makki, Syahid Awwal.Al-Bayān. Qom: cet. Muhamad Hasun, 1412.
  • Muhammad bin Makki, Syahid Awwal.Al-Qawāid wa al-Fawāid: Fi al-Fiqh wa al-Ushul wa al-Arabiyyah.Najaf: cet. Abdul Hadi Hamin, 1399/1979. Qom: cet. ofset, tanpa tahun.
  • Thabathabai, Muhammad Husain. Al-Mizan fi Tafsir al-Quran. Beirut: 1390-1394/1971-1974.
  • Thabarsi, Fadhl bin Hasan. Majma' al-Bayan fi Tafsir al-Quran. Diteliti dan komentari oleh Hasyim Rasuli dan Fadhlullah Yazdi Thabathabai. Tehran: Nasir Khosru, 1372 SH.
  • Thabari, Muhammad bin Jarir.Tārikh al-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Beirut: cet. Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, 1382-1387/1962-1967.
  • Thusi, Muhammad bin Hasan.al-Tibyān fi Tafsir al-Qurān. Beirut: cet. Ahmad Habib Qashir, Amili, tanpa tahun.
  • Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Fehrest. Qom; cet. Jawad Qayumi, 1417.
  • Ghazali, Muhammad bin Muhammad.Ihyā' Ulumuddin. Beirut: Dar Nadwah al-Jadid, tanpa tahun.
  • Fadhil Miqdad, Miqdad bin Abdullah. Al-Lawāmi' al-Ilahiyyah fi Mabāhits al-Kalāmiyah. Qom: cet. Muhammad Ali Qadhi Thabathabai, 1380.
  • Fakhr al-Razi, Muhammad bin Umar. Al-Tafsir al-Kabir atau Mafatih al-Ghaib. Beirut: 1421/200.
  • Firuz Abadi, Muhammad bin Ya'qub. Al-Qāmus al-Muhith. Beirut:1407/1987.
  • Qashimi, Muhammad Jamaluddin. Tafsir al-Qasimi, al-Musama Mahasin al-Ta'wil. Beirut: cet. Muhammad Fuad Abdul Baqi, 1398/1978.
  • Qurthubi, Muhammad bin Ahmad. Al-Jāmi' li Ahkām al-Qurān. Beirut: 1405/1985.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Al-Kāfi. Beirut: cet. Ali Akbar Ghaffari, 1401.
  • Majlisi, Muhammad Baqir. Bihār al-Anwār. Beirut: 1983/1403.
  • Muhaqqiq Karaki, Ali bin Husain.Rasāil al-Muhaqqiq al-Karaki. Qom: cet. Muhammad Hasun, jld. 2, Risalah fi al-Taqiyyah, 1409.
  • Muraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir al-Maraghi. Beirut: 1365.
  • Muzhaffar, Muhammad Ridha. Aqāid al-Imamiyyah. Qom: tanpa tahun.
  • Mufid, Muhammad bin Muhammad. Awāil al-Maqālat fi al-Madzahib wa al-Mukhtarat. Qom: cet. Abasqali, Tabriz: 1371, cet. ofset, Qom, tanpa tahun.
  • Mufid, Muhammad bin Ya'qub. Tashih I'tiqād al-Imāmiyah. Beirut: cet. Husain Dargahi, 1414/1993.
  • Musawi, Bujunurdi, Hasan. Al-Qawāid al-Fiqhiyah. Qom: cet. Mahdi Mehrizi dan *Muhammad Husain Daraiti, 1377.
  • Najasyi, Ahmad bin Ali. Fehrest Asmā Mushannafai al-Syiah al-Musytahrab bi Rijāl al-Najāsyi. Qom: cet. Musa Syabiri Zanjani, 1407.
  • Nasfa, Abdullah bin Ahmad. Tafsir al-Qurān al-Jalil, al-Musama bi Madarik al-Tanzil wa Haqāiq al-Ta'wil. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, tanpa tahun.
  • Naisyaburi, Ali bin Ahmad Wakhidi. Asbāb al-Nuzul al-Ayāt. Kairo: 1388/1968.