Sayidah Khadijah sa

Prioritas: aa, Kualitas: a
Dari wikishia
(Dialihkan dari Khadijah al-Kubra Sa)
Sayidah Khadijah sa
Istri Nabi Muhammad saw
Pemakaman al-Ma'la setelah dihancurkan oleh kaum Wahabi
Nama lengkapKhadijah binti Khuwailid
JulukanUmmu Hind
LakabUmmul Mukminin • Al-Kubra
Garis keturunanQuraisy
Kerabat termasyhurNabi Muhammad saw (suami) • Sayidah Fatimah sa (anak)
Lahirsekitar 13 atau 14 tahun sebelum Bi'tsah
Tempat tinggalMakkah
Wafat10 tahun setelah Bi'tsah
Tempat dimakamkanPemakaman al-Ma'la di lereng gunung Hajun, Makkah
EraPermulaan Islam
Istri-istri Nabi saw

Nama

Khadijah al-Kubra sa

Saudah

Aisyah

Hafsah

Zainab (binti Khuzaimah)

Ummu Salamah

Zainab (binti Jahsy)

Juwairiyah

Ummu Habibah

Mariyah

Shafiyah

Maimunah

Tanggal Nikah

(27 sebelum Hijrah/595)

(sebelum Hijrah/sebelum 622)

(1, 2, atau 4 H/622, 623, atau 625)

(3 H/624)

(3 H/624)

(4 H/625)

(5 H/626)

(5 H atau 6 H/626 atau 627)

(6 atau 7 H/627 atau 628)

(7 H/628)

(7 H/628)

(7 H/628)

Khadijah binti Khuwailid (bahasa Arab: خدیجة بنت خويلد) yang dikenal dengan al-Kubra dan Ummul Mukminin adalah istri pertama Nabi Muhammad saw dan ibu Sayidah Zahra sa. Ia menikah dengan Nabi saw sebelum Bi'tsah dan wanita pertama yang beriman kepadanya.

Khadijah mengeluarkan semua kekayaannya untuk penyebaran Islam. Nabi saw demi menghormati Khadijah tidak menikah dengan wanita lain selama Khadijah masih hidup. Dan setelah ia wafat, Nabi saw senantiasa mengenangnya dengan kebaikan.

Nabi saw dari pernikahannya dengan Khadijah sa memiliki dua anak laki-laki bernama Qasim dan Abdullah dan empat anak perempuan bernama Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah sa. Oleh karenanya, semua anak Nabi saw selain Ibrahim, lahir dari rahim Khadijah sa.

Khadijah sa meninggal di Makkah tiga tahun sebelum Hijrah pada usia 65 tahun. Nabi saw menguburkan tubuh Khadijah di pemakaman al-Ma'la.

Biografi

Khadijah sa lahir dari seorang ayah bernama Khuwailid bin Asad bin Abdul 'Uzza bin Qushai, dari keluarga Quraisy[1] dan dari seorang ibu bernama Fatimah binti Zaidah.[2] Ia lahir di Makkah lima belas tahun sebelum tahun Gajah. Dan, di kota yang sama ia tumbuh besar di rumah ayahnya.[3]

Sumber-sumber sejarah tidak banyak mencatat tentang kepribadian Khadijah sa pada periode sebelum Islam. Ia wanita kaya, melakukan perdagangan dan mengembangkan kekayaannya dengan menggunakan sistem mudharabah dan merekrut beberapa orang untuk berdagang.[4]

Dalam catatan-catatan sejarah diisyaratkan tentang status sosial yang tinggi dan ketenaran Khadijah sa dari sisi kemulyaan dan garis keturunannya. Ibnu Sayidu al-Nas dalam hal ini menulis, "Khadijah sa adalah seorang wanita mulia dan pintar, dimana Allah swt menganugerahkan kebaikan dan kemuliaan kepadanya. Secara nasab, ia menempati peringkat menengah dari struktur keturunan Arab, namun memiliki kehormatan yang agung dan kekayaan yang besar."[5]Baladzuri juga mengatakan tentangnya bahwa Waqidi dalam catatannya berkata: "Khadijah binti Khuwailid adalah wanita asli dan memiliki garis keturunan serta pedagang yang kaya raya."[6]

Pernikahan Khadijah sa

Mengenai pernikahan Khadijah sa terdapat perbedaan antara Syiah dan Sunni. Sunni percaya bahwa sebelum menikah dengan Nabi saw, Khadijah sa sudah pernah menikah dua kali dan ia mempunyai anak dari masing-masing pernikahannya. Sebagian besar dari sumber sejarah Sunni menerima perihal pernikahan Khadijah ini dan mengutip nama suami serta anak-anak mereka. Sebagai contoh dapat disebutkan sebagai berikut:

  1. Baladzuri dalam kitabnya Ansāb al-Asyrāf mengenalkan Safwan bin Mahraz yang dijuluki Abu Halah. Ia menulis, "Ia adalah Hind bin an-Nubasy bin Zurarah bin Waqid, ia adalah suami Khadijah binti Khuwailid sebelum Nabi saw." [7]
  2. Ibnu Habib dalam Al-Muhabbar menyebutkan nama orang-orang yang telah menikah sebanyak tiga kali, dan nama Khadijah sa termasuk di dalamnya. Dalam hal ini ia mengisyaratkan tentang pernikahan Khadijah dengan Abu Halah al- Nubasy al-Asadi dan Atiq bin Abid bin Abdullah bin Umar bin Makhzum sebelum kemudian menikah dengan Nabi Muhammad saw. [8]

Sebaliknya, ulama Syiah meragukan pernikahan-pernikahan yang pernah dilakukan oleh Khadijah sa. Setelah meneliti dan membahasnya lebih cermat, mereka percaya bahwa Sayidah Khadijah sa belum pernah menikah, dan pernikahan pertamanya adalah pernikahan yang dilakukan dengan Nabi saw. Bukti dan alasan yang mungkin bisa diungkapkan bahwa Khadijah tidak pernah menikah sebelum menikah dengan Nabi Muhammad saw, adalah sebagai berikut:

  1. Ibnu Syahrasyub mengutip perkataan Sayid Murtadha dalam kitab al-Syāfi dan Syekh Thusi dalam al-Talkhish yang menegaskan tentang keperawanan Khadijah sa ketika menikah dengan Nabi saw (dalam istilah Arab dikenal dengan 'Adzra). Syekh Thusi meyakini bahwa Ruqayyah dan Zainab adalah anak-anaknya Halah, saudara perempuan Khadijah sa. [9] Sepertinya hal tersebut benar, karena sumber-sumber sejarah tidak menyebutkan bahwa Ruqayyah dan Zainab adalah nama anak-anak Khadijah sa dari pernikahan sebelumnya, akan tetapi keduanya adalah nama anak-anak yang lahir dari pernikahan Khadijah sa dengan Nabi Muhammad saw. [10]
  2. Posisi yang sangat baik dan kedudukan unggul Sayidah Khadijah sa dan penolakan atas para pelamar yang datang untuk meminangnya dari keluarga bangsawan dan para pembesar Quraisy, juga merupakan bukti lain bahwa Khadijah sa tidak pernah menikah sebelum menikah dengan Nabi. Bagaimana bisa diterima, dalam situasi dan fanatisme kabilah pada lingkup intelektual dan budaya yang berlaku di Hijaz begitu besar dan berkuasa -dimana Khadijah sa adalah salah satu pembesar suku Quraisy yang terkenal- kemudian menikah dengan dua orang Arab dari suku Tamim dan Makhzum? [11]
  3. Bukti lain yang bisa membuktikan bahwa Khadijah sa belum pernah menikah sebelum menikah dengan Nabi saw adalah dua orang anak yang dinisbahkan kepada Khadijah sa dari Nabi saw. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua orang anak tersebut bukan anak keturunan Khadijah sa, akan tetapi anak keturunan saudara perempuannya, yaitu Halah. Halah pertama kali menikah dengan seseorang dari suku Makhzum dan melahirkan anak. Kemudian ia menikah lagi dengan pria lain dari suku Tamim dan melahirkan seorang putri bernama Hind. Sepeninggal suami Halah, Khadijah sa menjadi pelindung bagi Halah dan kedua anaknya sampai Halah meninggal dunia. Khadijah sa pun mengasuh kedua keponakannya. Karena sudah menjadi tradisi bagi bangsa Arab, bahwa Rabibah (anak-anak bawaan dari pasangan) dianggap sebagai anak sendiri, akhirnya mereka juga dianggap sebagai anak-anak Nabi saw. [12]

Penikahan Khadijah sa dengan Nabi saw

Seluruh sumber menyatakan bahwa Khadijah sa adalah istri pertama Nabi Muhammad saw, dan sebagian besarnya menyebutkan bahwa Nabi saw berusia 25 tahun ketika menikah dengan Khadijah sa. Ibnu Abdulbar meyakini bahwa Khadijah sa adalah istri pertama Nabi Muhammad saw, yang mana selama Nabi saw hidup dengannya tidak mengambil istri lain. [13]

Ibnu Abdulbar meyakini bahwa Nabi saw berusia 25 tahun ketika menikah dengan Khadijah sa, dan pernikahannya terjadi pada tahun ke-26 setelah Tahun Gajah. [14] Ia juga mengutip dari Zuhri bahwa Nabi Muhammad saw berusia 21 tahun ketika melangsungkan pernikahan. [15] Mas'udi juga meyakini Khadijah sa adalah istri pertama Nabi saw. [16] Menurut beberapa sumber "Beswi" dan beberapa orang lainnya juga menegaskan hal ini. [17] Ibnu Atsir selain menekankan bahwa Khadijah sa istri pertama Nabi, dia juga meyakini pernikahan terjadi sebelum Nabi Muhammad saw diutus. [18] Ibnu Atsir juga membawakan beberapa perspektif yang berbeda tentang usia Nabi saat menikah, di antaranya 21, 22, 25, 28, 30 dan 37 tahun. [19]

Usia Khadijah Saat Menikah Dengan Nabi saw

Mengenai usia Khadijah sa saat menikah dengan Nabi saw tidak ada kesamaan pendapat. Terdapat banyak perbedaan pendapat yang dilontarkan oleh para sejarawan, dari 25 sampai 46 tahun. Banyak sumber yang meyakini bahwa Khadijah sa berusia 40 tahun ketika menikah dengan Nabi saw. [20] Dengan menukil dari yang lainnya, Mas'udi juga memberikan kemungkinan selain usia yang telah disebutkan. [21] Beberapa sumber mengatakan bahwa Khadijah menikah dengan Nabi saw pada usia 25 tahun, [22] dan sebagiannya meyakini berusia 28 tahun [23] , 30 [24], 35 [25] , 44 [26], 45 [27], dan 46 tahun [28].

Penelitian yang dilakukan untuk menentukan usia Khadijah sa yang tepat ketika melangsungkan pernikahan dengan Nabi saw ini sedikit sulit. Namun mengingat bahwa kehidupan berkeluarga Khadijah sa dengan Nabi hanya 25 tahun lamanya -15 tahun sebelum Nabi saw diutus [29] dan 10 tahun setelah Nabi diutus -dan menurut beberapa sumber sejarah juga dikatakan bahwa saat wafat Khadijah sa berusia 65 tahun atau menurut Baihaqi berusia 50 tahun, dengan demikian maka kemungkinan besar usia Khadijah sa saat menikah dengan Nabi Muhammad saw sesuai dengan salah satu dari dua pendapat yaitu 40 atau 25 tahun. Jika Khadijah sa ketika wafat berusia 50 tahun, maka saat menikah berusia 25 tahun. Pendapat ini yang lebih diterima oleh sebagian peneliti. [30]

Namun karena pendapat ini sumbernya tidak banyak, untuk membuktikannya agak sulit diterima. Tapi, mengingat bahwa Qasim putra Nabi Muhammad saw dari Khadijah sa meninggal dunia setelah Nabi diutus, [31] hal ini berarti bahwa Qasim setidaknya dilahirkan pada saat Khadijah minimal berusia 55 tahun atau beberapa waktu setelah itu, dan kemungkinan seperti ini tidak dapat diterima. Hal ini bisa dikuatkan dengan menambahkan pendapat beberapa ulama Syiah yang meyakini bahwa Khadijah sa masih perawan saat melangsungkan pernikahan dengan nabi. [32] Karena tidak mungkin seorang wanita seperti Khadijah sa yang terhormat dengan status dan kekayaan yang dimilikinya, juga termasuk pembesar kaum Quraisy, belum menikah sampai umur 40 tahun. Oleh karena itu, usia Khadijah sa ketika menikah seharusnya tidak lebih dari 25 atau 28 tahun. [33]

Kedudukan Khadijah sa di Sisi Nabi saw

Khadijah sa memainkan peran penting dalam kehidupan Nabi saw. Terdapat sejumlah laporan yang membuktikan tentang keistimewaan posisinya di sisi Nabi saw. Sampai beberapa tahun setelah kematian Khadijah sa, Nabi saw selalu mengingat dan mengenangnya kembali dan menyampaikan kekhususan yang dimiliki Khadijah sa. Ketika dikatakan kepada Nabi bahwa Khadijah sa tidak lebih dari seorang istri yang sudah tua, Nabi saw pun terlihat sedih dan sangat tidak nyaman. Dengan menolak perkataan tersebut Nabi menyatakan, "Allah tidak pernah menggantikan untukku seorang istri yang lebih baik darinya, karena ia telah membenarkanku di saat orang-orang mengingkariku. Ia telah membantu dan menolongku ketika tidak ada seorangpun yang membantu dan menolongku. Ia memberikan hartanya kepadaku, pada saat semua orang enggan untuk memberikan hartanya kepadaku." [34]

Khadijah sa setelah menikah dengan Nabi saw merupakan sebaik-baiknya istri bagi Nabi saw. Ia melakukan tugasnya sebagai seorang istri Nabi saw dengan penuh ketulusan dan kecintaan. Ia membawa ketenangan dalam keluarga seperti yang dicari oleh setiap pasangan dalam hidup mereka. Semua itu dipersembahkannya untuk Nabi saw, dan hal itu dilakukannya dengan tanpa tujuan apapun kecuali mendapatkan ridha Allah swt semata. Oleh sebab itu, selama hidup Khadijah, Nabi saw tidak menikah lagi dan tidak mengambil istri selainnya. [35] Dan uraian-uraian yang menyatakan bahwa Khadijah sa memiliki kedudukan khusus di sisi Nabi saw, mungkin gambaran yang paling diterima tentang Khadijah sa adalah seperti beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa Khadijah sa adalah sebaik-baiknya teman, sejujur-jujurnya pendamping, tempat keluh kesah dan pembawa ketentraman bagi Nabi saw. [36]

Foto kubah makam Khadijah dan putranya Qasim

Anak-Anak Khadijah

Dari kehidupan Khadijah al-Kubra sa bersama Nabi saw dikaruniai buah hati 7 atau 8 anak. Menurut sebagian sumber lain, mereka memiliki 6 anak. Ibnu Katsir mengutip dari Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam tentang nama 7 anak dari Nabi dan Khadijah sa. Disebutkan bahwa semua anak Nabi saw adalah dari Khadijah sa, kecuali Ibrahim. [37]

Ia juga mengutip dari Yunus bin Bukair dan menjelaskan bahwa nama 6 anak Nabi adalah dari Khadijah sa. [38] Ibnu Atsir mengutip Zubair bin Bakkar, diyakini bahwa sebutan anak-anak Nabi dengan panggilan Thayib dan Thahir adalah karena kelahiran mereka setelah nubuwah atau kenabian. [39]

Sumber-sumber lain juga menyatakan bahwa keturunan Nabi semuanya dari Khadijah sa, kecuali Ibrahim. [40] Ibnu Atsir Jazari yang mengutip Zubair bin Bakkar menyebutkan bahwa nama 8 anak Nabi saw adalah dari Khadijah sa. [41] Tampaknya perbedaan jumlah anak Nabi dari Khadijah sa disebabkan oleh kekeliruan dalam nama dan gelar anak-anak mereka. Dengan demikian, anak-anak Nabi Muhammad saw dari Khadijah sa adalah 6 orang dan termasuk 2 orang anak laki-laki bernama Qasim dan Abdullah --gelar Thayib dan Thahir adalah dua gelar untuk Abdullah dan bukan nama-nama lain untuk anak-anak Nabi Muhammad saw--dan 4 anak perempuan bernama Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah. [42]

Keutamaan-Keutamaan dan Keistimewaan-Keistimewaan Khadijah sa

Khadijah sa, Wanita Berilmu dan Beriman

Khadijah sa benar-benar seorang wanita bijaksana dan terhormat. Ibnu Jauzi menulis tentangnya, "Khadijah sa adalah wanita yang berilmu dan memiliki kepribadian yang bersih dan ia adalah seorang insan spiritual yang terpesona dengan hak asasi manusia, mencari keutamaan, menyukai inovasi, senang dengan keunggulan, kesempurnaan dan kemajuan adalah termasuk dari sifat-sifatnya. Sejak masa mudanya ia merupakan salah seorang perempuan yang berbudi luhur, ternama dan memiliki keutamaan yang terkenal di Hijaz dan Arab." [43]

Yang lebih penting dari kedudukan materinya adalah harta kekayaan spiritualnya yang tidak ada habisnya. Dengan menolak permintaan para pejabat dan pembesar Quraisy yang datang untuk menikah dengannya dan memilih Nabi Muhammad saw sebagai suaminya, ia telah menyempurnakan kenikmatan atas kekayaan materi dengan jaminan kebahagiaan di akhirat dan kenikmatan kekal di surga. Ia telah menampakkan kecerdasannya kepada semua orang. Untuk mencapai kenikmatan yang berkah ini, ia telah menjadi seorang Muslim pertama. Ia adalah orang pertama yang membenarkan ajaran Nabi dan mendirikan salat pertama bersama Nabi Muhammad saw.

Khadijah sa Terkemuka Dalam Islam dan Salat

Menurut sumber-sumber, Khadijah sa sebagai orang pertama yang masuk Islam diyakini sebagai hal yang sudah diterima dan diketahui. Bukti-bukti menyatakan bahwa Khadijah sa diyakini sebagai orang pertama yang mengenal Islam. [44] Bahkan beberapa pendapat menyatakan bahwa ini memiliki komitmen tinggi. [45] Ibnu Abdul Bar meyakini bahwa Ali as adalah orang pertama yang menyatakan keimanannya kepada Nabi saw setelah Khadijah sa. 62 [46]

Memperhatikan sumber-sumber lain yang menyebutkan orang-orang pertama yang memeluk Islam, diketahui Khadijah sa dan Ali as adalah terhitung sebagai orang pertama yang menyatakan beriman kepada Allah swt. [47] Begitu pula telah diisyaratkan tentang keterdahuluan Khadijah sa dan Ali as dalam mendirikan salat bersama Nabi Muhammad saw. Mereka dikenal sebagai orang muslim pertama di dunia yang mendirikan salat. [48]

Peran Khadijah sa Dalam Memajukan Islam

Khadijah sa menerima Islam dan iman atas kenabian Muhammad saw yang dipadukan dengan amalnya dan menjadi sebuah manifestasi hadis mulia menyebutkan bahwa iman adalah keyakinan hati yang diucapkan dengan lisan dan beramal dengan rukun-rukunnya. [49] Dengan demikian, Khadijah sa yang mengamalkan perintah-perintah Alquran dan menghibahkan hartanya dalam penyebaran Islam dan membantu kaum Muslimin, telah menutup matanya dari seluruh harta dan kekayaannya untuk tujuan suci Nabi Muhammad saw. Ia memiliki peran yang sangat menentukan dalam kemajuan Islam. Sulaiman Kitani berkeyakinan bahwa Khadijah sa telah memberikan kekayaannya kepada Muhammad saw, tapi tidak pernah memiliki perasaan telah memberikan hartanya. Bahkan ia merasa bahwa itu semua dari Muhammad saw. Ia mendapatkan petunjuk dan hidayah yang memiliki keunggulan dan bernilai melebihi seluruh kekayaan alam. Ia merasa telah memberikan hadiah kecintaan dan pertemanan kepada Muhammad saw, dimana sebagai gantinya ia mendapatkan seluruh dimensi kebahagiaan darinya.

Bantuan harta kekayaan Khadijah sa menyebabkan Nabi saw relatif kaya dan berkecukupan. Allah swt dalam menjelaskan nikmat-nikmat-Nya kepada Nabi Muhammad saw berfirman, "Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan." [50]

Rasulullah saw juga sering berkata, "Tidak ada harta yang memberikan keuntungan kepadaku, sebagaimana kekayaan Khadijah yang memberikan keuntungan kepadaku." [51]

gambar Perkuburan Abu Thalib sekarang (lereng bukit Hajun)

Rasulullah saw menggunakan harta kekayaan Khadijah untuk menolong dan membantu orang-orang yang terbelit hutang serta menangani anak-anak yatim dan fakir miskin. Dalam peristiwa pengepungan di lembah Abu Thalib, kekayaan Khadijah sa digunakan untuk melindungi bani Hasyim, yang dalam riwayat dikatakan, "Abu Thalib dan Khadijah sa telah menginfakkan seluruh harta kekayaan mereka untuk melindungi Islam dan orang-orang yang diboikot." [52] Dalam peristiwa pemboikotan di lembah Abu Thalib, Hakim bin Hazam keponakan Khadijah sa, membawa unta-untanya serta membawa gandum dan kurma dengan unta-unta tersebut. Dengan penuh susah payah dan mara bahaya semua itu ia antarkan kepada bani Hasyim. [53]

Keistimewaan yang mencolok dari wanita Hijaz ini, kedermawanan dan kebesaran jiwanya. Ia telah menghibahkan seluruh harta kekayaannya yang tak terkira kepada Muhammad saw supaya dipergunakan di jalan yang benar, menyelamatkan orang-orang tidak mampu, memberi makan orang-orang lapar, melindungi anak-anak yatim, dan demi memperjuangkan keadilan dan kebebasan. Begitu besar pemberian ini, hingga Allah swt memuliakannya. Perbuatan agung Khadijah sa ini disetarakan dan dinilai sama dengan kenikmatan-kenikmatan dan pemberian-pemberian besar-Nya kepada hamba-Nya yang terpilih, Muhammad saw. [54] Nabi Muhammad saw selalu mengenang dan mengingat kedermawanan dan pengorbanan wanita mulia ini dengan penuh keagungan dan kebesaran. [55]

Pemakaman al-Ma'la sebelum dihancurkan (makam Sayidah Khadijah sa)

Khadijah sa seorang penolong dan teman bagi Nabi saw. Ia memiliki peran yang tidak ada bandingnya dalam penyebaran Islam dan memajukan misi Nabi saw dengan menjadi orang pemula dalam memeluk Islam dan melindungi Nabi Muhammad saw dalam segala aspek dan menghibahkan seluruh kekayaannya di jalan Islam dan perlindungan terhadap orang-orang tertindas. Ia teladan yang tepat dalam kejujuran, keuletan, konsisten dalam target dan melindungi orang-orang tertindas. Ia sebuah bukti obyektif dalam infak dan pemberian di jalan kebenaran. Inilah keistimewaan-keistimewaan yang tampak dari sebuah kepribadian. Oleh karena itu, sangat pantas dan layak jika ia menyandang gelar "Thahirah" (suci), "Shiddiqah" (jujur), "Sayidah Nisa Quraisy" (penghulu wanita Quraisy), "Khairu al-Nisa" (sebaik-baik wanita) dan "Ummul Mukminin" (ibu kaum mukminin).

Wafatnya Khadijah sa

Sejumlah sumber menyebutkan bahwa Khadijah sa wafat pada tahun kesepuluh kenabian, yaitu 3 tahun sebelum hijrah Nabi saw dari Makkah ke Madinah. [56] Sebagian besar sumber menyebutkan bahwa Khadijah wafat berusia 65 tahun. [57] Ibnu Abdulbar menyebutkan bahwa Khadijah sa ketika wafat berusia 64 tahun 6 bulan. [58]

Sumber lainnya mengatakan, tahun kematian Khadijah sama dengan tahun kematian Abu Thalib atau lebih sedikit dari itu. [59] Ibnu Sa'ad berkata, "Khadijah wafat 35 hari setelah Abu Thalib Wafat." [60] Ia dan sebagian sejarawan meyakini kematian wanita Hijaz ini tepatnya adalah pada bulan suci Ramadhan tahun kesepuluh Kenabian. [61] Sebelumnya, Nabi saw mengkafani Khadijah sa dengan kain sorbannya, namun kemudian diganti kain surga. Ia dikebumikan di Pemakaman al-Ma'lat, di lereng gunung Hajun di bagian atas kota Makkah. [62]

Catatan Kaki

  1. Ibnu Atsir Jazari, Usd al-Ghābah fi Ma'rifah al-Shahābah, jld. 6, hlm.78.
  2. Ibnu Abdulbar, al-Isti'ab, jld. 4, hlm. 17-18
  3. Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 8, hlm. 11
  4. Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 2, hlm. 129; Ibnu Sayidunnas, 'Uyun al-Atsar, jld. 1, hlm. 63
  5. Ibnu Sayidu al-Nas, 'Uyun al-Atsar, jld. 1, hlm. 63
  6. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm. 98
  7. Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm.406; Ibnu Habib, al-Munammaq, hlm. 247
  8. Ibnu Habib, Al-Muhabbar, hlm. 452.
  9. Ibnu Syahrasyub, Manāqib Āli Abi Thālib, jld. 1, hlm. 159.
  10. Ibnu Atsir Jazari, Usdu al-Ghābah fi Ma'rifah al-Shahābah, jld. 4, hlm.641.
  11. Ja'far Murtadha al-Amili, Al-Shahih min Sirah al-Nabi al-'Azdam saw, jld. 2, hlm. 123. (dinukil dari: Al-Istighātsah, jld. 1, hlm. 70.
  12. Ja'far Murtadha al-Amili, Al-Shahih Min Siratu al-Nabi al-'Azdam saw, jld. 2, hlm. 125.
  13. Ibnu Abdul Bar, Al-Isti'āb, jld. 1, hlm. 25.
  14. Ibnu Abdul Bar, Al-Isti'āb, jld. 1, hlm. 35.
  15. Ibnu Abdul Bar, Al-Isti'āb, jld. 1, hlm. 35 .
  16. Mas'udi, Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 282.
  17. Beswi, Al-Ma'rifah wa al-Tārikh, jld. 3, hlm. 267; Ibnu Atsir, Al-Kāmil, jld. 2, hlm. 307.
  18. Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 5, hlm. 293.
  19. Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 5, hlm. 293.
  20. Ibnu Atsir, Al-Kāmil, jld. 2, hlm. 39; Ibnu Sa'ad, Al-Thābaqāt al-Kubrā, jld. 8, hlm. 174; Ibnu Atsir Jazeri, Usdu al-Ghābah fi Ma'rifah al-Shahābah, jld. 1, hlm.23; Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 98 dan jld. 9, hlm. 459; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm. 280.
  21. Masudi, Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 287.
  22. Baihaqi, Dalāil al-Nubuwah, jld. 2, hlm. 71; al-Sirah al-Halabiyah, jld. 1, hlm.140; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 2, hlm. 294; Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 98 .
  23. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 98 .
  24. Ja'far Murtadha al-Amili, Al-Shahih min Sirah al-Nabi al-'Azdam saw, jld. 2, hlm. 115. Dinukil dari Al-Sirah al-Halabiyah, jld. 1, hlm.140; Tahdzib Tārikh Dimasyq, jld. 1, hlm. 303; Tārikh al-Khamis, jld. 1, hlm. 264.
  25. Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 2, hlm. 295; Ibnu Katsir, Al-Sirah al-Nabawiyah, jld. 1, hlm. 265.
  26. Waqidi, Mukhtashar Tārikh Dimasyq, jld. 1, hlm. 303.
  27. Waqidi, Mukhtashar Tārikh Dimasyq, jld. 2, hlm. 275; Tahdzib al-Asma', jld. 2, hlm. 342.
  28. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 98 .
  29. Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 2, hlm. 295; Baihaqi, Dalāil al-Nubuwah, jld. 2, hlm. 72.
  30. Baihaqi, Dalāil al-Nubuwah, jld. 2, hlm. 72; Ja'far Murtadha al-Amili, Al-Shahih min Sirah al-Nabi al-'Azdam saw, jld. 2, hlm. 114.
  31. Ibnu Katsir, Al-Bidāyah Wa al-Nihāyah, jld. 2, hlm. 294.
  32. Ibnu Syahrasyub, Manāqib Āli Abi Thālib, jld. 1, hlm. 159.
  33. Ja'far Murtadha al-Amili, Al-Shahih min Sirah al-Nabi al-'Azdam saw, jld. 2, hlm. 114.
  34. Ibnu Abdul Bar, Al-Isti'āb, jld. 1, hlm. 23.
  35. Ibnu al-Umrani, al-Anba' fi Tarikh al-Khulafā, hlm. 46.
  36. Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 2, hlm. 61; Ibnu Atsir Jazari, Usdu al-Ghābah fi Ma'rifah al-Shahābah, jld. 1, hlm.26.
  37. Ibnu Sa'ad, Al-Thābaqāt al-Kubrā, jld. 8, hlm. 174; Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 2, hlm. 294.
  38. Ibnu Sa'ad, Al-Thābaqāt al-Kubrā, jld. 8, hlm. 174.
  39. Ibnu Atsir, Al-Kāmil, jld. 2, hlm. 307.
  40. Ibnu Atsir, Al-Kāmil, jld. 2, hlm. 307; Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 5, hlm. 306.
  41. Ibnu Atsir Jazari, Usdu al-Ghābah fi Ma'rifah al-Shahābah, jld. 6, hlm.81.
  42. Zirikli, al-A'lām, jld. 2, hlm. 302.
  43. Ibnu Jauzi, Tadzkirah al-Khawwās, jld. 2, hlm. 300.
  44. Ibnu Khaldun, Tārikh Ibnu Khaldun, jld. 2, hlm. 41; Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 3, hlm. 23; Ibnu Abdul Bar, Al-Isti'āb, jld. 4, hlm. 1817
  45. Ibnu Atsir Jazari, Usdu al-Ghābah fi Ma'rifah al-Shahābah, jld. 6, hlm.78.
  46. Ibnu Abdul Bar, Al-Isti'āb, jld. 4, hlm. 1817
  47. Maqrizi, Imtā'u al-Asm'ā, jild. 9, hlm. 88.
  48. Ibnu Atsir Jazari, Usdu al-Ghābah fi Ma'rifah al-Shahābah, jld. 6, hlm.78; Ibnu Abdul Bar, Al-Isti'āb, jld. 3, hlm. 1089
  49. Al-Kulaini, Ushul al-Kāfi, jld. 2, hlm. 27
  50. QS. Ad-Dhuha: 8.
  51. Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 19, hlm. 63.
  52. Majlisi, Bihār al-Anwār, hlm. 16.
  53. Ibnu Hisyam, Sirah al-Nabi, terjemahan: Rasul Mahallāti, jld.1, hlm. 221.
  54. Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 35, hlm. 425; Ibnu Syahrasyub, Manāqib Āli Abi Thālib, jld. 3, hlm. 320..
  55. Ibnu Abdul Bar, Al-Isti'āb, jld. 4, hlm. 1817
  56. Mas'udi, Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 282; Ibnu Sayid al-Nās, 'Uyun al-Atsar, jld. 1, hlm.151;Ibnu Abdul Bar, Al-Isti'āb, jld. 4, hlm. 1817; Thabari, Tārikh al-Umamu wa al-Muluk, jld. 11, hlm. 493; Ibnu Sa'ad, Al-Thābaqāt al-Kubrā, jld. 8, hlm. 14.
  57. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 11, hlm. 493.
  58. Ibnu Abdul Bar, Al-Isti'āb, jld. 4, hlm. 1818
  59. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 11, hlm. 493; Ibnu Sayidu al-Nās, 'Uyun al-Atsar, jld. 1, hlm.151.
  60. Ibnu Sa'ad, Al-Thābaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 96.
  61. Ibnu Sa'ad, Al-Thābaqāt al-Kubrā, jld. 8, hlm. 14.
  62. Abul Hasan Bakri, Al-Anwār al-Sāthi'ah min al-Gharrā al-Thāhirah, hlm. 735.

Daftar Pustaka

  • Ibnu Atsir Jazari,'Izzuddin Abul Hasan Ali bin Muhammad. Usd al-Ghābah fi Ma'rifat ash-Shahābah. Beirut: Dar al-Fikr 1409 H.
  • Ibnu Jauzi. Al-Muntazham fi Tārikh al-Umam wa al-Muluk. Peneliti: Muhammad Abdul Qadir 'Atha dan Musthafa Abdul Qadir 'Atha. Beirut: Darul Kutub al-'Ilmiah,cet. I. 1412 H.
  • Ibnu al-Umrani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Al-Inba' fi Tarikh al-Khulafā. Peneliti: Qasim al-Samarai. Kairo: Darul Afaq al-Arabiah,cet. I, 1421 H.
  • Ibnu Habib bin Umayyah al-Hasyimi al-Baghdadi, Abu Ja'far Muhammad. Al-Muhabbar. Peneliti: Elza Likhten Shtiter. Beirut: Darul Afaq al-Jadid.
  • Ibnu Habib bin Umayyah al-Hasyimi al-Baghdadi, Abu Ja'far Muhammad. Al-Munammaq fi Akhbar Quraisy. Peneliti: Khursyid Ahmad Faruq, cet.I. Beirut: Alamul Kutub, 1405 H.
  • Ibnu Sa'ad, Muhammad bin Sa'ad bin Muni' al-Hasyimi al-Bashri. Ath-Thābaqāt al-Kubrā. Peneliti: Muhammad Abdul Qadir'Atha. Beirut: Darul Kutub al-'Ilmiah, cet.I, 1410 H.
  • Ibnu Sayidu al-Nās, Abul Futuh Muhammad. 'Uyun al-Atsar fi Funun al-Maghāzi Wa al-Syamāil Wa al-Siyar. Komentator:Ibrahim Muhammad Ramadhan. Beirut: Darul Qalam,cet.I, 1414 H.
  • Ibnu Abdul Bar, Abu Umar Yusuf bin Abdullah. Al-Isti'āb fi Ma'rifat Ashāb. Peneliti: Ali Muhammad al-Bajawi. Beirut: Darul Jabal, cet. I, 1412H.
  • Ibnu Katsir, Abu al-Fida' Ismail bin Umar al-Dimasyqi. Al-Bidāyah wa an-Nihāyah. Beirut: Darul Fikr, 1407 H.
  • Basawi, Abu Yusuf Yakub bin Sufyan. Al-Ma'rifah wa at-Tārikh. Peneliti: Akram Dhiya al-Umari. Beirut: Muassisah al-Risalah, cet. II, 1407 H.
  • Baladzuri, Ahmad bin Yahya. Ansāb al-Asyrāf. Peneliti: Suhail Zakkar dan Riyadh Zirikli. Beirut: Darul Fikr, cet.I. 1417 H.
  • Zirikli, Khairuddin. Al-'Alām. Beirut: Darul Ilm lil Malāyin, cet. II, 1989.
  • Thabari, Abu Ja'far Muhammad bin Jarir. Tārikh al-Umamu wa al-Muluk. Peneliti: Muhammad Abulfadhl Ibrahim, Beirut: Dar al-Turats, cet.II. 1387 H.
  • Ali Akbar Dehkhuda. lughat Nāmeh Dehkhuda. Yayasan Penerbitan dan Percetakan Universitas Tehran, Cet. II, 1999.
  • Majlisi, Muhammad Bagir. Bihār al-Anwār. Beirut: Muassisah al-Wafa', 1403 H.
  • Ibnu Hisyam. Sirat an-Nubala' . Terjemahan: Rasul Mahallāti.
  • Karami Fereiduni, Ali. Jelwehāyi az Furugh Āsemān Hijaz Hadhrat Khadijah sa. Qom: Dalile Ma, 1383 HS.
  • Al-Mufid. Al-Ifshah. Peneliti: Muassisah al-Bi'sah, Dar al-Mufid li al-Thaba'ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi', 1414 H.
  • Maqrizi, Taqiuddin Ahmad bin Ali. Imtā' al-Asm'ā bi ma li an-Nabi min al-Ahwāl wa al-Amwāl wa al-Hafadatu wa al-Matā' . Peneliti: Muhammad Abdul Hamid al-Namisi. Beirut: Darul Kutub al-'Ilmiah, cet. I, 1420 H.