Baiat Ridhwan

Prioritas: b, Kualitas: a
Dari wikishia

Baiat Ridhwan (bahasa Arab: بيعة الرضوان ) atau Baiat Syajarah (بیعة الشجرة) adalah perjanjian setia sekelompok sahabat kepada Nabi Muhammad saw yang terjadi pada tahun ke-6 H/628 di dekat Mekah dan sebelum Perdamaian Hudaibiyah. Ayat 18 surah Al-Fath menegaskan peristiwa ini dan pemberian nama Baiat Ridhwan dan Baiat Syajarah juga diambil dari ayat ini.

Ahlusunah memandang bahwa kerelaan Allah swt dalam ayat ini kepada orang-orang yang berbaiat bersifat mutlak, tanpa syarat dan abadi. Oleh karenanya, mereka memberikan penghormatan khusus pada semua sahabat yang hadir dalam baiat tersebut. Akan tetapi, Syi'ah memandang bahwa keridaan Allah swt yang disinggung dalam ayat tersebut muncul dari pengorbanan dan baiat pada hari itu yang kekekalannya bergantung kepada komitmen dan istiqomah mereka dalam mengikuti Nabi saw.

Baiat Ridhwan Dalam Alquran

Dalam Alquran, kejadian ini disinyalir dalam ayat 18 surah Al-Fath. Dan nama "Baiat Ridhwan" dan "Baiat Syajarah" diambil juga dari ayat ini:

لَقَدْ رَضِیَ اللّهُ عَنِ المؤمِنِینَ اِذْ یُبَایِعُونَکَ تَحتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِی قُلوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّکِیْنَةَ عَلَیْهِمْ وَ اَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِیْبًا

"Sungguh Allah telah meridai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat". (Q.S. al-Fath: 18)

Peristiwa Perdamaian Hudaibiyyah

Pada tahun ke-6 H/628, Nabi saw bersama sekelompok sahabat yang hanya membawa pedang dan jumlah mereka 1400 atau 1600 orang keluar dari Madinah untuk melakukan ziarah ke Baitullah dan menunaikan ritual-ritual umrah.[1]

Ketika mereka sampai di Hudaibiyah, sebuah desa yang berjarak satu rumah ke Mekah dan sembilan rumah ke Madinah,[2] orang-orang musyrik menutup jalan mereka dan menghalangi mereka pergi ke Mekah.

Pertama Rasulullah saw menaikkan seseorang bernama Kharasy ke atas untanya dan mengirimnya ke Mekah supaya menyampaikan kepada para pembesar kota Mekah bahwa kaum muslimin datang tidak untuk perang tapi mereka berniat berziarah ke Baitullah dan selepas itu akan pulang kembali. Akan tetapi, penduduk Mekah membunuh unta Nabi saw dan hendak membunuh Kharasy, namun sebagian orang mencegahnya sehingga dia bisa pulang lagi.

Nabi saw mengirim Utsman bin Affan kepada mereka. Tapi karena dia lama tidak pulang akhirnya menyebar berita bahwa penduduk Mekah telah membunuhnya.

Setelah menyebar berita terbunuhnya Utsman, Rasulullah saw mengumpulkan sahabat-sahabatnya dan mengambil baiat setia dari mereka. Baiat ini tejadi di bawah sebuah pohon (pohon Samurah). Di kemudian hari diketahui bahwa Utsman tidak terbunuh[3] dan para delegasi Mekah menjalin suatu perdamaian dengan Rasulullah saw di Hudaibiyah dan disepakati bahwa di tahun itu beliau harus pulang ke Madinah dan pada tahun berikutnya beliau bisa melakukan ziarah ke Mekah.[4].

Pelaksanaan Baiat

Keterlambatan 3 hari Utsman menimbulkan isu keterbunuhannya.[5] Karena Nabi saw mendengar isu tersebut saat ia sedang duduk di bawah sebuah pohon[6] sehingga beliau menyeru masyarakat untuk berbaiat,[7] maka perjanjian tersebut dinamai juga dengan "Baiat Syajarah".

Diantara mereka yang hadir, hanya Jadd bin Qais lah yang sembunyi di belakang untanya dan tidak memberikan janji setianya.[8] Terkait siapa orang pertama yang memberikan baiat setianya kepada Nabi saw dinukil dari Jabir al-Anshari bahwa Ali as lah orang pertama yang maju untuk baiat, lalu Abu Sinan Abdullah bin Wahab Asadi, kemudian Salman al-Farisi.[9] Sebagian ahli sejarah juga menyebut nama Abdullah bin Umar[10] atau Abu Sinan[11] atau Sinan bin Wahab Asadi.[12] Dikatakan bahwa dalam kejadian ini Umar bin Khattab orang terakhir yang memberikan baiatnya.[13]

Isi dan Hasil-hasil Baiat

Sahabat-sahabat Nabi saw berjanji untuk tidak meninggalkan beliau sendirian dalam menghadapi aksi-aski Quraisy yang dimungkinkan terjadi dan akan berjuang melawan mereka.[14] Sebagian orang meyakini bahwa isi perjanjian ini adalah "perlawanan sampai titik darah penghabisan",[15] sebagian yang lain membatasi perlawanan ini pada batas kemampuan mereka yang berbaiat.[16] Alasan Nabi saw dalam pengambilan baiat ini mungkin supaya pengalaman sebagian Muhajirin yang pernah lari dari perang Uhud tidak terulang kembali. Dinukil dari Bukair bin Asyajj bahwa mereka berbaiat untuk mati, tetapi Nabi saw berkata: "Berjanjilah kalian sesuai kemampuan".[17]

Pengaturan tepat waktu Nabi saw dalam mengatur sahabat-sahabatnya menghadapai bahaya Quraisy yang dimungkinkan terjadi dan juga dalam mencegah terjadinya kembali pengalaman pahit pelarian sebagian orang-orang Muhajir dalam perang Uhud membawa keberhasilan besar dimana dengan menyebarnya berita pembaiatan, orang-orang musyrik ketakutan, dan dengan kembalinya Utsman dan sejumlah kaum muslimin[18] dan pengutusan para delegasi, mereka bersedia mengadakan perdamaian sehingga berakhir dengan Perjanjian Hudaibiyah.[19]

Beragam Pandangan tentang Para Pemberi Baiat

Sebagian Ahlusunah dengan bersandar pada riwayat-riwayat lemah bersikeras mengatakan bahwa kerelaan Allah swt dalam ayat di atas bersifat abadi dan kekal. Dalam satu penukilan, Nabi saw memandang mereka sebaik-sebaik penduduk bumi.[20] Menurut riwayat yang lemah, orang-orang yang berbaiat dalam bait ini tidak akan masuk Neraka Jahanam.[21]

Syi'ah dengan bersandar pada ayat di atas dan sebagian literatur Ahlusunah meyakini bahwa kerelaan Allah swt dalam ayat (لَقَدْ رَضِیَ اللّهُ عَنِ المؤمِنِینَ); "Sungguh Allah telah meridai orang-orang mukmin" muncul dari pengorbanan dan baiat pada hari itu. Oleh sebab itu, setelahnya langsung dijelaskan sebab kerelaan Allah pada mereka (اِذْ یُبَایِعُونَکَ تَحتَ الشَّجَرَةِ);"ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon" dan kekekalannya itu disyarati dengan istiqamah dan konsistensi mereka dalam mengikuti Nabi saw. Sementara sejarah memberikan hukum lain terhadap sebagian mereka.

Syekh Thusi menulis: "Allah swt meridhai orang-orang yang berjanji setia pada Nabi saw di bawah pohon yang disaat berbait dalam keadaan beriman,[22] akan tetapi mereka yang di belakangan hari ingkar janji dan memilih jalan lain jelas tidak akan tercakupi kerelaan Allah".[23] Ayat 10 surah Al-Fath menerangkan bahwa berbaiat kepada Nabi saw adalah berbaiat kepada Allah swt. Namun, dengan tegas ia memberitakan akan kerugian orang-orang yang merusak janjinya pada Nabi saw, dan memandang bahwa pahala yang besar hanya diperuntukkan kepada orang-orang yang tetap setia pada janji mereka kepada Nabi saw. Allah swt berfirman:

اِنَّ الَّذینَ یبایعُونَکَ اِنَّما یبایعونَ اللّهَ یدُ اللّهِ فَوقَ اَیدیهِم فَمَن نَکَثَ فَاِنَّما ینکُثُ عَلی نَفسِهِ ومَن اَوفی بِما عهَدَ عَلَیهُ اللّهَ فَسَیؤتیهِ اَجرًا عَظیماً

"Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar".(Q.S. al-Fath: 10)

Ibnu Hajar (dari pembesar Ahlusunah) menukil dari Ala' bin Musayyid, dari ayahnya bahwa Aku bertemu dengan Bara' bin 'Azib dan aku berkata padanya: "Bahagialah kamu, kamu bersama Nabi saw dan berjanji setia kepadanya di bawah pohon", ia menjawab: "Hai putra saudaraku, kamu tidak tahu apa yang kami lakukan setelah itu".[24]

Puing-puing Masjid Baiat Ridhwan di sebelah masjid Syumaisi

Pembangunan Masjid

Khalifah kedua pada masa khilafahnya memerintahkan supaya pohon ini ditebang. Sebagian orang memandang bahwa penebangan pohon itu dimaksudkan supaya masyarakat tidak jatuh ke jurang kesesatan dengan menghormati dan mengenang pohon tersebut.[25] di belakangan hari dibangunlah sebuah masjid di tempat baiat Ridhwan[26] yang mana bangunan dan jejaknya masih ada sampai saat ini.

Lihat Juga

Catatan Kaki

  1. Ibu Sa'ad, jld.2, hlm. 95; Thabari, hlm. 620-621; Abu Futuh Razi, jld. 17, hlm. 337
  2. Yaqut Hamawi, jld.2, hlm. 222
  3. Ibnu Sa'ad, jld.2, hlm. 95-97; Ibnu Hisyam, jld.2, hlm. 781-782; Thabari, jld.2, hlm.631-632; Hasan Ibrahim Hasan, jld.1, hlm. 127; Abu Futuh Razi, jld.17, hlm.336-337
  4. Ibnu Sa'ad, jld.2, hlm. 95-97; Ibnu Hisyam, jld.2, hlm. 781-782; Thabari, jld.2, hlm.631-632; Hasan Ibrahim Hasan, jld.1, hlm. 127; Abu Futuh Razi, jld.17, hlm.336-337
  5. Jami' al-Bayan, jld.26, hlm. 111
  6. al-Sirah al-Nabawiyah, jld.3, hlm. 315
  7. Jami' al-Bayan, jld.26, hlm. 111
  8. Jami' al-Bayan, jld.26, hlm. 112; al-Takmil wa al-Itmam, hlm. 389
  9. Bihar al-Anwar, jld. 38, hlm. 218; Manaqib, jld. 1, hlm. 303
  10. al-Ma'arif, hlm. 162
  11. Jami' al-Bayan, jld.26, hlm. 112; al-Dur al-Mantsur, jld.7, hlm. 523
  12. al-Thabaqat, jld.2, hlm. 77; al-Maghazi, jld. 2, hlm. 603
  13. Fathu al-Bari, jld. 7, hlm. 579
  14. Jami' al-Bayan, jld.26, hlm. 110
  15. Majma' al-Bayan, jld.9, hlm.176; al-Dur al-Mantsur, jld.7, hlm. 522; Ansab al-Asyraf, jld 1, hlm. 441
  16. al-Sirah al-Nabawiyah, jld.3, hlm. 315; Jami' al-Bayan, jld.26, hlm. 112
  17. Jami' al-Bayan, jld.26, hlm.112
  18. Ruh al-Ma'ani, jld.26, hlm. 162
  19. al-Maghazi, jld.2, hlm. 604
  20. Shahih al-Bukhari, jld. 5, hlm. 75
  21. Fathu al-Bari, jld.7, hlm. 562; al-Dur al-Mantsur, jld. 7, hlm. 523
  22. al-Tibyan, jld.9, hlm. 328
  23. Bihar al-Anwar, jld. 38, hlm. 218-220
  24. Fathu al-Bari, jld.7, hlm. 571
  25. Salihi Dimasyqi, Subul al-Huda wa al-Rasyad, jld.5, hlm. 76
  26. Ibnu Sa'ad, jld.2, hlm.99-101

Daftar Pustaka

  • Alquran.
  • Ibnu Sa'ad. Al-Thabaqāt al-Kubra. Beirut: 1405 H.
  • Ibnu Hisyam. Al-Sirah al-Nabawiyah. Diedit oleh Suhail Zakkar. Beirut: 1412 H.
  • Abu Futuh al-Razi, Husain bin Ali. Raudhu al-Jinan wa Ruhu al-Jinan fi Tafsir al-Quran. Percetakan Muhammad Ja'far Yahiqi dan Muhammad Mahdi Nasih. Masyhad: 1416 H
  • Hasan Ibrahim Hasan. Tarikh al-Islam: al-Siyayasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi wa al-Ijtima'i", jld.1. Kairo: 1964, Beirut: tanpa tahun.
  • Thabari, Muhammad bin Jarir. Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Tarikh al-Thabari). Beirut: 1962-1967 M.
  • Yaqut al-Hamawi. Mu'jam al-Buldan. Fardinand 1866-1873, Tehran 1965 M.