Tobat
Tobat (bahasa Arab: التوبة) yang bermakna kembalinya hamba kepada Tuhan adalah salah satu istilah Al-Qur'an dan riwayat yang terulang-ulang. Ada 69 ayat Al-Qur'an yang menyinggung tema tobat yang dengan menjelaskan kecintaan Tuhan kepada para pentobat menyeru umat kepada tobat yang sejati (Nashuh). Dalam riwayat-riwayat juga diperhatikan kedudukan dan pentingnya tobat, dan penundaannya dilarang. Dalam sebagian hadis yang lain dijelaskan cara-cara bertobat dari macam-macam dosa melalui pembagian hak Allah dan hak manusia.
Tobat bertingkat-tingkat, dimana tingkat paling rendahnya adalah tobat dari dosa-dosa. Tingkat-tingkat di atasnya adalah tobat dari kelalaian, tobat dari pemerhatian selain Allah, dan tobat dari penyaksian selain Allah swt.
Terminologi
Tobat bermakna kembali.[1] Kata ini dalam Al-Qur'an kadang digunakan untuk manusia dan kadang pula digunakan untuk Allah swt. Kata tobat yang digunakan untuk Allah swt diimbuhi dengan huruf-huruf tambahan yang beragam. Ketika kata ini digunakan untuk manusia seperti «تَابَ إِلَى اللهِ» maka bermakna kembalinya hamba dari dosa kepada Allah.[2]
Dan ketika digunakan untuk Allah seperti «تَابَ اللهُ عَلَیهِ» maka bermakna pengampunan Allah swt terhadap hamba dan pemberian taufik tobat kepadanya.[catatan 1][3]
Tobat dalam Al-Qur'an
Taubah dan kata-kata derivasinya digunakan sebanyak 87 dalam Al-Qur'an. Kesembilah surah Al-Qur'an juga dinamai "Al-Taubah". Al-Qur'an mengkhususkan penerimaan tobat kepada mereka yang melakukan kesalahan dan dosa karena tidak tahu, lalu setelah sadar/mengerti segera bertobat. [catatan 2]
Adapun tobatnya orang-orang yang hingga detik kematian masih berlanjut melakukan perbuatan-perbuatan buruk dan pada saat itu mencari tobat, maka tobatnya tidak diterima. [catatan 3]
Tobat tidak selamanya karena perbuatan dosa. Tetapi Al-Qur'an pada suatu tempat menegaskan bahwa Allah swt menerima tobatnya Nabi saw, Muhajirin dan Anshar yang mengikuti beliau,[4] tanpa membicarakan dosa mereka. Oleh karenanya, terkadang tobat karena dosa dan terkadang pula bermakna perhatian dan rahmat khusus Allah kepada sesuatu.
التَّوْبَةُ حَبْلُ اللَّهِ وَ مَدَدُ عِنَایتِهِ وَ لابُدَّ لِلْعَبْدِ مِنْ مُدَاوَمَةِ التَّوْبَةِ عَلَی كُلِّ حَالٍ وَ كُلُّ فِرْقَةٍ مِنَ الْعِبَادِ لَهُمْ تَوْبَةٌ فَتَوْبَةُ الْأَنْبِیاءِ مِنِ اضْطِرَابِ السِّرِّ وَ تَوْبَةُ الْأَوْلِیاءِ مِنْ تَلْوِینِ الْخَطَرَاتِ وَ تَوْبَةُ الْأَصْفِیاءِ مِنَ التَّنْفِیسِ وَ تَوْبَةُ الْخَاصِّ مِنَ الِاشْتِغَالِ بِغَیرِ اللَّهِ تَعَالَی وَ تَوْبَةُ الْعَامِّ مِنَ الذُّنُوب.
Tobat Allah Dan Tobat Hamba
Dalamayat 118 surah Al-Taubah
«... وَ ظَنُّوا أَنْ لامَلْجَأَ مِنَ اللهِ الاّ اِلَیهِ ثُمَّ تابَ عَلَیهِمْ لِیتُوبُوا اِنَّ اللهَ هُوَ التَّوّابُ الرَّحیم»
"Dan mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang", diterangkan bahwa tobat hamba berada di antara dua tobat Allah. Artinya, pertama Allah swt kembali kepada hamba dan memberikan taufik tobat kepadanya, lalu hamba melakukan tobat, kemudian Allah menerima tobat hamba dan dia diampuni.[5]
Tobat Sejati
Dalam sebuah ayat Al-Qur'an, manusia diseru kepada Allah untuk melakukan tobat sejati (Nashuh): یا أَیهَا الَّذینَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَی اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحا Wahai orang-orang yang beriman! bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. (Q.S. Al-Tahrim: 8)
Mengingat semitis akar kata "Nashuh" dan konteks ayat, maka ia bisa dari kata dasar "Nashhun" yang berarti suci dan murni [6] atau berarti awet dan statis[7] [8]. Atas dasar ini, maka tobat Nashuh adalah tobat yang disertai dengan kesucian dan keikhlasan niat atau tobat yang berkesinambungan dan tidak putus-putus, dan makna kedua lebih masyhur. Oleh karenanya, Tobat Nashuh adalah tobat yang pelakunya meniatkan tobat itu berkesinambungan dan terus-menerus.[9]
Di dalam hadis-hadis disebutkan, syarat pokok tobat Nashuh adalah si pelaku tidak kembali lagi kepada dosa itu[10] dan salah satu hasilnya adalah ditutupinya dosa-dosa si pelaku tobat, dimana tidak ada bekas apapun dari dosa-dosa itu di mata orang yang menyaksikan. Bukan saja para Malaikat yang memantau semua perbuatan manusia yang tidak melihat, anggota dan organ tubuh dan tempat yang di situ dilakukan dosa pun tidak menyaksikan bekas itu.[11]
Tobat dalam Hadis-hadis
Banyak hadis dinukil melalui para perawi Syiah dan Ahlusunah yang menjelaskan esensi tobat, urgensitas tobat, dicintainya tobat dan pelaku tobat.[12] Sebagai contoh, dalam sebuah hadis ditegaskan bahwa Allah swt memberikan tiga ciri khas kepada para pelaku tobat yang mana jika salah satunya diberikan kepada semua penghuni langit dan bumi, maka semua mereka akan selamat.[13]
Masalah penting berikutnya yang disinggung dalam hadis-hadis adalah larangan penundaan tobat,[14] berterus-terusan dalam dosa merupakan penghinaan terhadap tobat itu sendiri,[15] dan penekanan istikamah dalam tobat. Juga ada banyak riwayat dalam bab hukum-hukum dan syarat-syarat tobat dari pelbagai dosa.[16]
Berdasarkan sebagian riwayat, penerimaan tobat dari pihak Allah disyarati dengan penerimaan wilayah imam-imam maksum as.[17]
Tobat dalam Fikih Islam
Dalam referensi-referensi fikih mazhab-mazhab Islam selalu ditekankan kewajiban tobat dari dosa-dosa, dan wajibnya diyakini bersifat lansung (fauri).[18][19]
Sebagian fukaha menyebutkan juga adab-adab khusus tobat. Misalnya sebagian dari mereka menyebut mandi tobat sebagai bagian dari mandi-mandi mustahab[20] dan salat tobat dari bagian salat-salat mustahab.[21]
Tobat dari Berbagai macam Dosa
Dalam referensi-referensi fikih dikaji tentang macam-macam dosa dan cara tobat dari masing-masingnya serta efek tobat dalam balasan-balasan dunia. Atas dasar ini, pertama mesti ditentukan apakah dosa sekedar dalam batasan hak Allah atau selain itu berkaitan dengan hak manusia juga?.
Hak Allah
Apabila tobat itu dari maksiat, berarti semata-semata berkaitan dengan hak Allah dan dari kewajiban ibadah. Kalau itu kewajiban maka dapat diganti, seperti mengganti salat atau puasa. Dalam hal ini, disamping harus menyesal dan bertekad meninggalkan dosa juga harus mengganti kewajiban itu. Apabila di waktu tobat tidak dapat menggantinya, kapan saja ada kesempatan dan dapat menggantinya maka harus menggantinya, dan jika ada tanda-tanda kematian maka ia harus mewasiatkan.[22] Apabila kadar dan kewajiban-kewajiban yang ditinggalkan tidak diketahui, maka ia wajib mengganti kadar yang diyakini ditinggalkan.[23]
Pada tobat dari dosa-dosa yang memiliki hukuman (had) dan sanki (ta'zir) (seperti zina atau minum khamar), maka jika dia bertobat sebelum ditetapkan maksiatnya di sisi hakim syar'i maka tobatnya antara dia dan Tuhan diterima dan had dan ta'zir akan gugur darinya.[24] Dalam kasus-kasus seperti ini tidak wajib mengakui dosa, bahkan disunnahkan untuk tidak berikrar/mengaku[25] Namun apabila kesalahannya ditetapkan di sisi hakim syar'i melalui pengakuan dirinya dan setelah itu bertobat, maka hakim memiliki otoritas dalam menjalankan hukuman atau memaafkan dia. Dan jika kesalahannya ditetapkan di sisi hakim melalui kesaksiaan para saksi dan setelah itu ia bertobat, maka had dan ta'zir tidak gugur darinya.[26]
Jika sesorang melakukan perbuatan haram yang tidak memiliki had atau ta'zir (seperti bohong yang tidak membahayakan orang lain), maka penyesalan dan niat meninggalkan dosa sudah cukup.[27]
Hak Manusia
اَلْعَدْلُ حَسَنٌ وَلكِنْ فِی الاُمَراءِ اَحْسَنُ، وَ السَّخاءُ حَسَنٌ وَلكِنْ فِی الاَغْنیاءِ اَحْسَنُ، اَلْوَرَعُ حَسَنٌ وَلكِنْ فِی الْعُلَماءِ اَحْسَنُ، اَلصَّبْرُ حَسَنٌ وَلكِنْ فِی الْفُقَراءِ اَحْسَنُ، اَلتَّوبَةُ حَسَنٌ وَلكِنْ فِی الشَّبابِ اَحْسَنُ، اَلْحَیاءُ حَسَنٌ وَلكِنْ فِی النِّساءِ اَحْسَنُ
Setiap dosa yang disamping memiliki sisi hak Allah juga memiliki sisi Hak manusia, maka semua yang berkaitan dengan hak Allah harus dilaksanakan dengan penuh penyesalan dan bertekad untuk tidak mengulangi dosa itu lagi. Adapun yang berkaitan dengan hak manusia memiliki beberapa keadaan:
- Jika kesalahan/dosa itu bersifat lisani seperti menuduh zina, memfitnah dan menggunjing maka harus meminta kehalalan dari orang yang dituduh, difitnah dan digunjing. Sebagian ulama meyakini bahwa jika orang yang dituduh, difitnah dan digunjing tidak mengetahuinya maka pelaku tidak perlu minta maaf kepadanya, dan lebih baik memohonkan ampunan untuknya dan berdoa kepada Allah supaya tobatnya diterima dan aman dari efek dosa itu di hari kiamat.[28]
- Pada dosa-dosa yang melukai badan orang lain seperti memukul atau membunuh, maka hukum kisas dan diyah harus djatuhkan kecuali jika korban memaafkan.[29]
- Pada dosa-dosa yang merugikan orang lain secara finansial seperti mencuri, mengurangi timbangan, riba dll, maka kerugian itu wajib diganti seperti yang diperinci (hukumnya) dalam referensi-referensi fikih.[30]
Tobat dari Akidah Batil
Berkaitan dengan tobat dari keyakinan-keyakinan batil, bila orang lain tidak mengetahui keyakinan batilnya itu, maka ia cukup bertobat kepada Allah. Namun, apabila orang lain mengetahui akidah batilnya dan dia mengajak mereka untuk menerima akidah batilnya, maka kepada mereka yang mengetahui akidah batilnya ia harus memberitahukan akan kebatilan akidahnya dan penarikan dirinya dari akidah itu. Dan apabila mereka telah mengambil dan memperaktikkan akidah itu melalui dakwahnya, maka selain ia harus memberitahukan mereka akan kebatilan akidahnya juga harus menghimbau mereka meninggalkan akidah tersebut.[31]
Berkaitan dengan tobat dari bid'ah, berdasar pada sebagian riwayat, selama pembuat bid'ah tidak memberitahukan akan kerusakan akidahnya kepada mereka yang tersesat karena bid'ahnya, dan tidak pula mengajak mereka kepada jalan yang benar, maka tobatnya tidak akan diterima.[32]
Tobat dari Murtad
Dalam fikih imamiyah, tobat orang "murtad fitri" di dunia tidak diterima, walaupun itu diterima di sisi Tuhan bila tobatnya benar.[33] Orang yang "murtad milli" pertama disuruh bertobat, bila ia menolak maka hukum (had) murtad akan berlaku atasnya.[34]
Tingkatan Tobat
Tobat memiliki banyak tingkat: tobat dari kekafiran, tobat dari dosa-dosa besar, tobat dari dosa-dosa kecil, tobat dari berfikir untuk berbuat dosa, tobat dari meninggalkan perkara yang lebih utama (tarkul Awla), tobat dari kelalaian, tobat dari mengingat selain Allah, dan tobat para nabi yang merupakan tobat dari guncangan batin. [catatan 4][35]
Catatan
- ↑ فَتَلَقَّی آدَمُ مِنْ رَبِّهِ کلِماتٍ فَتابَ عَلَیهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحیمُ
- ↑ إنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَی اللَّهِ لِلَّذینَ یعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهالَةٍ ثُمَّ یتُوبُونَ مِنْ قَریبٍ فَأُولئِک یتُوبُ اللَّهُ عَلَیهِمْ وَ کانَ اللَّهُ عَلیماً حَکیماً
- ↑ لَیسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذینَ یعْمَلُونَ السَّیئاتِ حَتَّی إِذا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قالَ إِنِّی تُبْتُ الْآنَ وَ لاالَّذینَ یمُوتُونَ وَ هُمْ کفَّارٌ أُولئِک أَعْتَدْنا لَهُمْ عَذاباً أَلیماً
- ↑ Imam Shadiq as berkata: "Tobat adalah tali, pertolongan dan inayah Allah. Seorang hamba senantiasa harus bertobat dalam semua keadaan, dan setiap golongan dari hamba memiliki tobat khusus. Tobat para nabi adalah dari guncangan batin, tobat para wali adalah dari perkara buruk yang terlintas dalam pikiran, tobat para hamba pilihan adalah dari kesantaian, tobat orang khusus adalah dari kesibukan dari selain Allah, dan tobat orang awam adalah dari dosa-dosa" (Mishbah al-Syariah, hlm.97)
Catatan Kaki
- ↑ silakan rujuk! Al-Shihah, Jauhari; Ibnu Manzhur, Lisānul Arab, item, توب
- ↑ Sebagai contoh, rujuklah Majma'ul Bayān Thabrisi; Muhammad bin Husain Thabathabai, al-Mizān, surah Al-Maidah: 74; Al-A'raf: 143; Hud: 3
- ↑ Asāsul Balāghah Zamakhsyari, jld.1, hlm.84; Ibnu Manzhur, Lisanul Arab, item; توبة ; Murtadha Zubaidi, Tājul 'Arus, 1414 H, item توب
- ↑ Q.S. Al-Taubah: 117
- ↑ Thusi, al-Tibyān; Thabrisi, 1418-1420; Muhammad Husain Thabathabai, terkait ayat tersebut
- ↑ Kiyaskan: 'Abari dan Ārāmi: Gaznews, hlm.663
- ↑ 'Abari, Gaznews, hlm.663
- ↑ Zamiyat, hlm.402
- ↑ contohnya bisa dilihat: Thabati, jld.28, hlm.168; Kulaini, jld.2, hlm.432; Raghib, item نصح; Thabrisi, jld.10, hlm.62-63; Qurtubi, jld.8, hlm.227, jld.18, hlm. 197
- ↑ silakan lihat! Kulaini, jld.2, hlm.432; Biharul Anwar, jld.6, hlm.39
- ↑ Biharul Anwar, jld.6, hlm.28
- ↑ Rujuklah! Kulaini, jld.2, hlm435; Hur Amili, jld.16, hlm.73; Majlisi, jld.6, hlm.19, 21, 29, 42
- ↑ silakan rujuk! Kulaini, jld.2, hlm.432-433; Hur Amili, jld.16, hlm.73
- ↑ Biharul Anwar, jld.6, hlm.30
- ↑ Wasāil al-Syiah, Hur Amili, jld.16, hlm.74
- ↑ Biharul Anwar, jld.72, hlm.329; jld.2, hlm.297; jld.6, hlm.23
- ↑ Biharul Anwār, jld.27,.hlm.200, jld.75, hlm.225
- ↑ Nawawi, Raudhah, jld.11, hlm.249
- ↑ Syahid Tsani, Masālik, jld.10, hlm.8; Najafi, jld.33, hlm. 168
- ↑ Abusshalah, hlm.135; Muhaqqiq, Syarāyi', jld.1, hlm.37
- ↑ Muhaqqiq, al-Mu'tabar; Ibnu Quddamah, al-Mughni, jld.1, hlm.438; Syarwani, jld.2, hlm.238, Ibnu Abidin, jld.2, hlm28.
- ↑ Abusshalah Halabi, al-Kafi fi al-Fiqh, hlm. 243; Musawi Bujnurdi, jld.7, hlm. 319
- ↑ Rujuklah! Imam Khumaini, Tahrir al-Wasilah, jld.1, hlm.411, masalah 10
- ↑ silakan rujuk! Syaikh Bahai, Jāmi' Abbasi, hlm. 422
- ↑ Al-Mausu'ah al-Fiqhiyah, jld.14, hlm.121-122
- ↑ silakan rujuk! Syaikh Bahai, Jāmi' Abbasi, hlm. 421-422
- ↑ Musawi Bujnurdi, al-Qawāid al-Fiqhiyah, jld.7, hlm.319
- ↑ Musawi Bujnurdi, al-Qawāid al-Fiqhiyah, jld.7, hlm.321-322
- ↑ silakan rujuk! Musawi Bujnurdi, al-Qawāid al-Fiqhiyah, jld.7, hlm.320
- ↑ silakan Rujuk! Abusshalah Halabi, al-Kafi fi al-Fiqh, hlm.243; Musawi Bujnurdi, al-Qawāid al-Fiqhiyah, jld.7, hlm.319-320; Imam Khumaini, Tahrir al-Wasilah, jld.2, hlm.172
- ↑ silakan rujuk! Imam Khumaini, Tahrir al-Wasilah, jld.1, hlm.131
- ↑ Majlisi, Bihārul Anwār, jld.2, hlm.297
- ↑ Gulpaigani, Taudhihul Masāil, jld.1, hlm.41-42
- ↑ Imam Khumaini, Tahrir al-Wasilah, jld.2, hlm.494-495; Al-Mausu'ah al-Fiqhiyah, jld.14, hlm.127-128
- ↑ Makarim Syirazi, Akhlaq dar Quran, tingkatan Tobat, jld.1
Daftar Pustaka
- Al-Quran
- Ibnu Babawaih, al-Amali, Qom, 1417
- Abusshalah Halabi, al-Kafi fi al-Fiqh, penerbit, penerbit, Isfahan, 1404 H
- Muhammad Ridha Gulpaigani, Taudhihul Masāil, Qom, 1413 H
- Al-Mausu'ah al-Fiqhiyah, jld.14, Kuwait, Wizarah al-Auqāf wa al-Syuun al-Islamiyah, 1408 H
- Hasan Musawi Bujnurdi, al-Qawāid al-Fiiqhiyah, Najaf, 1969-1982, penerbit Offset, Qom, 1402 H
- Ali Namazi Syahrudi, Mustadrak Safinatul Bihar, riset Hasan Namazi, Qom, 1418-1419 H
- Husain Muhammad Taqi Nuri, Mustadrak al-Wasāil wa Mustambath al-Masaāil, Qom, 1407-1408 H
- Muhammad Husain Syaikh Bahai, Jāmi' Abbasi, Teheran, penerbit Farahani, tanpa tanggal.
- Ibnu Babawaih, Muhammad, al-Muqni', Qom, 1415 H
- Agha Buzurg, al-Dzari'ah.
- Juwainu, Abdul Malik, al-Irsyad, riset As'ad Tamim, Beirut, 1405 H
- Khajah Abdullah Anshari, Manāzil al-Sāirin, riset Abdul Ghafur Rawan Farhad, Tehran, 1383s
- Khajah Abdullah Anshari, Shad Midan, riset Abdulhay Habibi, Kabul, 1431 H
- Raghib Isfahani, Husain, Mufradāt al-Fādz Al-Qur'an, riset Shafwan Adnan Daudi, Damaskus/Beirut 1412 H
- Suhrawardi, Umar, Awārif al-Ma'ārif, Beirut, 1403 H
- Sayid Murtadha, Ali, al-Rasāil, riset Ahmad Husaini dan Mahdi Rajai, Beirut, yayasan al-Nur
- Sayuri, Miqdad, Irsyād al-Thālibin, riset Mahdi Rajai dan Mhamud Mar'asyi, Qom, 1405 H
- Syahid Tsani, Masālikul Ifhām, Qom, 1413 H
- Najafi, Muhammad Hasan, Jawāhirul Kalam, riset Mahmud Quchani, tehran,1437 H
- Thabrisi, Fadhl Majma'ul Bayān, Beirut, 1415 H
- Thusi, Muhammad, al-Tibyān, riset Qashir Amili, Najaf, 1383 H
- Allamah Hilli, Hasan, Kasyful Murād, riset Ibrahim Musawi Zanjani, Beirut, 1399 H
- Allamah Hilli, Hasan, Anwārul Malakut, riset Muhammad Najmi Zanjani, Teheran, 1379 H
- Qānune Mujāzāte Islami (Iran), disahkan 21, Jumadil Awal, 1412 H
- Kulaini, Muhammad, al-Kafi, riset Ali Akbar Ghaffari, Teheran, 1391 H
- Muhaqqiq Hilli, al-Mu'tabar, riset Nashir Makarim Syirazi dkk, Qom, 1405 H
- Muhaqqiq Hilli, Jakfar, Syarāyi' al-Islam, riset Shadiq Syirazi, Teheran, 1409 H
- Masykur, Muhammad Jawad, Farhangge Tathbiqi Arabi ba Zabanhaye Sāmi wa Irani, Tehran, 1398 H
- Musthafawi, Hasan, Mishbāh al-Syari'ah, Tehran, Organisasi Hikmah dan Filsafat Iran, 1402 H
- Mufid, Muhammad, al-Muqni'ah, Qom, 1410 h
- Mufid, Muhammad, Awāil al-Maqālaāt, riset Ibrahim Anshari, Qom, 1413 H
- Murtadha Zubaidi, Muhammad bin Muhammad, Tājul 'Arus min Jawāhir al-Qāmus, Darul Fkr, Beirut, 1414 H
- Mubidi, Ahmad, Kasyful Asrār, riset Ali Ashgar Hikmat, Tehran, 1402 H
- Tuhaful 'Uqul 'an Al al-Rasul saw, Hasan bin Syu'bah al-Harrani(wafat abad 4 H), riset Ghaffari, cetakan 2, penerbit Islami, Qom, 1404 H
- Nahjul Fashāhah, Abul Qasim, penerbit Dunyai Dānesy, Teheran.