Istidraj
Istidrāj atau Imlā' atau Imhāl (bahasa Arab: إِسْتِدْرَاج أو إِمْلاَء أو إمْهَال) termasuk dari sunah-sunah Ilahi, bermakna mendekat secara berangsur ke arah azab Ilahi. Istidrāj dikhususkan kepada orang kafir dan para pelaku dosa yang tidak mensyukuri anugerah-anugerah Tuhan, dan semakin banyak mereka berbuat dosa maka semakin banyak pula nikmat-nikmat yang diberikan kepada mereka sehingga dengan cara ini kesombongan dan kelalaian mereka semakin meningkat dan pada akhirnya mereka akan terkena azab yang lebih pedih.
Mendapatkan nikmat-nikmat dengan sendirinya bukanlah indikasi istidrāj, akan tetapi reaksi manusia dalam menghadapi itu semua menjadi penentu terkena istidrāj atau tidak. Apabila ia menggantikan rasa syukur kepada Tuhan dengan kefasikan dan kekafiran, namun nikmatnya masih tetap bertambah maka ia sedang terkena istidrāj.
Istidrāj, Mendekat Secara Berangsur kepada Azab Tuhan
Istidrāj adalah sebuah istilah yang diserap dari Al-Qur'an.[1] Kata ini secara bahasa bermakna mendekat secara bertahap kepada sesuatu.[2] Dalam kamus Islam, istidrāj termasuk dari sunnah-sunnah Ilahi. Artinya, Allah swt mengazab secara berangsur para pelaku dosa yang tanpa rasa takut. Dengan kata lain, semakin banyak mereka berbuat dosa maka semakin banyak pula Ia memberikan nikmat kepada mereka, dan dengan cara ini mereka akan semakin terjangkit rasa sombong dan lalai, dan pada akhirnya mereka akan mendapatkan siksa yang lebih pedih. [3]
Konsep istidrāj digunakan dua kali dalam Al-Qur'an dalam bentuk kata kerja (fi'l) «سَنَسْتَدْرِجُهُم»; pertama pada surah Al-A'raf ayat 182 dan kedua pada surah Al-Qalam ayat 44. Dua ayat tersebut berkenaan juga dengan orang-orang kafir. [4] Dalam ayat 182 surah Al-A'raf dimuat: "Mereka yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka (ke arah kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui."
Konsep-Konsep Qurani Penjelas Istidrāj
Dalam ayat-ayat lain dari Al-Qur'an, masalah ini disampaikan tanpa menyebut kata istidrāj. [5] Di dalam Al-Qur'an konsep Imlā' (memberi waktu) dan Imhāl (penangguhan) juga menunjukkan sunnah istidrāj. [6]
Diantara ayat-ayat yang menurut Allamah Thabathabai dalam Tafsir al-Mizan menjelaskan sunnah istidrāj ialah ayat 178 surah Ali Imran. [7] "Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan." [8]
Istidrāj Sosial
Menurut pernyataan sebagian peneliti, selain Al-Qur'an berbicara soal istidrāj individual, ia juga berbicara soal istidrāj sosial. Salah satu bukti yang mereka bawakan untuk jenis istidrāj ini adalah ayat 48 surah Al-Haj. [9] "Dan berapalah banyaknya kota yang Aku tangguhkan (azab-Ku) kepadanya, yang penduduknya berbuat zalim, kemudian Aku azab mereka, dan hanya kepada-Kulah kembalinya (segala sesuatu)."[10]
Tanda-Tanda Istidrāj
Berdasarkan riwayat-riwayat, terkadang nikmat-nikmat menjadi tanda istidrāj. Kulaini menukil riwayat dari Imam Shadiq as bahwa orang yang berbuat dosa, tapi Tuhan menangguhkan (pemberian azab) kepadanya dan Ia terus melimpahkan anugerah-Nya atasnya, sedemikian rupa sehingga lalai beristigfar, ketahuilah bahwa ia terserang istidraj. [11]
Demikian juga sesuai dengan sebuah hadis dalam kitab al-Kafi, seseorang berkata kepada Imam Shadiq as: Aku meminta harta dari Tuhan, Ia pun memberikan itu padaku, aku meminta anak keturunan, Ia pun mengaruniakanku anak, dan aku meminta rumah kepada-Nya, Ia pun mengabulkan permintaanku. Kini aku khawatir jangan-jangan pengabulan doa-doa ini karena istidraj. Imam Shadiq as menjawab, jika engkau mensyukuri nikmat-nikmat ini, maka itu bukan istidrāj. [12]
Fakhruddin Razi dari mufasir dan teolog Ahlusunah abad ke-6 H berkeyakinan bahwa kemampuan para pelaku dosa untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang luar biasa termasuk dari contoh-contoh istidrāj. [13]
Menurut keyakinan Murtadha Muthahhari, mendapatkan nikmat-nikmat dengan sendirinya bukanlah tanda istidrāj, akan tetapi dari reaksi perbuatan kita dalam menyikapi nikmat-nikmat itu akan diketahui apakah kita tertimpa istidrāj atau tidak. Apabila kita menunaikan syukur nikmat-nikmat tersebut dan menggunakannya pada jalan yang diridhai Tuhan niscaya itu bukan istidraj, namun apabila kita merasa sombong dengan nikmat-nikmat itu, dan atau kita menggunakannya pada jalan ilegal niscaya kita tertimpa istidrāj. [14]
Monografi
Buku Istidrāj, Suquthe Gām be Gām (Istidrāj, Runtuh Perlahan-lahan) merupakan satu penelitian teperinci dan tersendiri mengenai Istidrāj yang dilakukan oleh Pusat Kebudayaan dan Maarif Quran, dan dicetak pada tahun 1386 HS. Dalam buku ini dibahas tentang arti istidrāj, beratnya siksa istidrāj, faktor-faktor dan tanda-tanda istidrāj.
Catatan Kaki
- ↑ Makmuri, Barresi-e Sunnate Istidrāj dar Quran wa Miratse Tafsiri, hlm. 104
- ↑ Thabathabai, al-Mizan, jld. 8, hlm. 346
- ↑ Lihat: Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 7, hlm. 33 dan 34
- ↑ Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 7, hlm. 32
- ↑ Makmuri, Barresi-e Sunnate Istidrāj dar Quran wa Miratse Tafsiri, hlm. 105
- ↑ Makmuri, Barresi-e Sunnate Istidrāj dar Quran wa Miratse Tafsiri, hlm. 105
- ↑ Thabathabai, al-Mizan, jld. 4, hlm. 79
- ↑ QS. Ali Imran: 178
- ↑ Makmuri, Barresi-e Sunnate Istidrāj dar Quran wa Miratse Tafsiri, hlm. 115
- ↑ QS. Al-Haj: 48
- ↑ Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 452
- ↑ Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 97
- ↑ Fakhruddin Razi, Mafatih al-Ghaib, jld. 21, hlm. 431
- ↑ Muthahari, Majmui-e Atsār, jld. 27, hlm. 626
Daftar Pustaka
- Fakhruddin Razi, Abu Abdillah Muhammad bin Umar. Mafātih al-Ghaib. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, cet. III, 1420 H.
- Kulaini, Muhammad bin Yaqub. Al-Kafi. Diteliti dan diedit oleh Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiah, cet. IV, 1407 H.
- Makarim Syirazi, Nasir. Tafsir Nemuneh. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiah, cet. I, 1374 HS.
- Makmuri, Ali. Barresi-e Sunnate Istidrāj dar Quran wa Miratse Tafsiri. Kajian Al-Qur'an dan Hadis, vol. 1, 1386 HS.
- Muthahhari, Murtadha. Majmu'i-e Atsār. Teheran: Shadra, cet. XIV, 1390 HS.
- Thabathabai, Sayid Muhammad Husain. Al-Mizan fi Tafsir al-Quran. Beirut: Muassasah al-A'lami li al-Mathbuat, 1390 H.