Namimah (Mengadu domba)

Prioritas: b, Kualitas: b
tanpa navbox
tanpa referensi
Dari wikishia

Namimah (mengadu domba) atau Nammami (bahasa Arab: النمیمه) adalah salah satu dari dosa besar yang artinya adalah menyebutkan perkataan seseorang pada orang lain dengan maksud untuk merusak hubungan persahabatan keduanya. Namimah adalah termasuk diantara dosa lisan yang sangat dicela dalam Alquran dan hadis. Perbuatan ini kebanyakan bersamaan dengan akhlak buruk lainnya seperti ghibah, fitnah dan hasud. Dijelaskan, terjadinya pembunuhan, keterhinaan dan terbongkarnya aib disebutkan diantara konsekuensinya di dunia dan dijauhkan dari surga diantara konsekuensinya di akhirat.

Definisi

Namimah artinya adalah menyebutkan perkataan seseorang kepada orang lain dengan maksud untuk merusak hubungan persahabatan keduanya. Namun namimah tidak terbatas hanya dengan ucapan saja, melainkan juga mencakup penyampaian berupa tulisan dan isyarat. Mengungkapkan beberapa masalah yang orang tidak ingin orang lain ketahui juga disebut namimah. [1] Orang yang bermaksud menghancurkan persahabatan seseorang, dengan menyebutkan perkataan seseorang pada orang lain dengan cara menghasut, disebut nammam. Dalam banyak kasus, namimah sering disertai dengan mengungkapkan rahasia, fitnah, kemunafikan, hasud, kebohongan dan ghibah. [2] Namimah dalam bahasa Indonesia biasa disebut adu domba, bergosip, ujaran kebencian dan menyebar fitnah.

Perbedaan dengan Si'ayah

Si'ayah adalah salah satu bentuk dari namimah. Menyebutkan kata-kata seseorang kepada orang lain yang ia takuti (seperti raja) disebut si'ayah. [3] Al-Naraqi menganggap si'ayah sebagai namima terburuk dan menganggap kesalahannya lebih besar dari jenis namima lainnya. Ia percaya bahwa si'ayah berasal dari keserakahan dan iri hati. [4]

Dalam Alquran dan Riwayat

Kata "namim" yang artinya pelaku namimah disebutkan satu kali dalam Alquran. Dalam Surah Al-Qalam disampaikan larangan untuk mengikuti namim (penghasut). [5] Disebutkan bahwa kata "humazah" dalam ayat pertama Surah Al-Humazah adalah juga namim. [6] Demikian pula sebagian dari mufassir ketika menafsirkan "hammalat al-khatab" tentang istri Abu Lahab mengacu pada tindakan namimah. [7]

Sebagian dari ulama akhlak menyebut namim adalah diantara mereka yang dicela dalam surah Al-Baqarah ayat 27 [catatan 1], dan Al-Syura ayat 42. [catatan 2][8]

Namimah dalam hadis disebut sebagai salah satu bentuk keburukan moral dan termasuk dosa besar. Al-Kulaini dalam al-Kafi menukil tiga hadis dalam bab al-namimah. Dalam riwayat tersebut namim disebut sebagai orang yang paling buruk dan diharamkan surga untuknya. [9] Sebagian riwayat lainnya menyebutkan namimah adalah salah satu penyebab seseorang akan mendapat azab kubur. [10] Disebutkan pula pada sejumlah hadis, kecenderungan untuk melakukan namimah adalah salah satu bentuk dari kemunafikan. [11]

Dalam Fikih dan Akhlak

Dalam kitab-kitab akhlak, namimah dijelaskan sebagai salah satu bentuk kerusakan akhlak dan termasuk dosa lisan. [12] Demikian pula dalam kitab-kitab fikih, namimah dibahas dalam pembahasan hudud dan ta'zirat (batasan dan sanksi) [13] dan makasib al-muharramah (bisnis terlarang). [14]

Aturan dalam Fikih

Namimah adalah salah satu dosa besar dan diharamkan. [15] Dailami dalam kitab Irsyad al-Qulub menyebutkan namimah sebagai dosa yang lebih besar dari ghibah. [16] Allamah Hilli mengatakan bahwa seorang komandan perang tidak boleh mengikutsertakan seorang namim dalam perang dan jika seorang namim ikut dalam pasukan perang, ia tidak diperbolehkan mendapatkan bagian dari rampasan perang. [17]

Dalam pandangan fukaha Syiah, mendapatkan harta melalui namimah atau dengan cara mengadu domba haram hukumnya. [18] Demikian pula, seseorang yang mengaitkan namimah kepada orang lain akan mendapatkan sanksi dan hukuman. [19]

Pengecualian

Dalam beberapa kasus, namimah diperbolehkan; seperti mempraktikkan namimah di antara pasukan musuh untuk membuat perpecahan di antara mereka. [20]

Sumber dan Faktor Penyebab

Al-Naraqi menyebut sumber dari namimah adalah amarah dan nafsu. [21] Dalam sebagian kitab-kitab akhlak, disebutkan alasan atau motif seseorang cenderung melakukan namimah adalah sebagai berikut:

  • Ingin merugikan seseorang yang kata-katanya dilaporkan
  • Senang jika ada orang menyampaikan perkataan orang lain padanya
  • Sebagai hiburan dan kesenangan
  • Gemar pada yang omong kosong [22]
  • Bermaksud memecah belah
  • Kedengkian

Pengaruh dan Akibat

Dalam riwayat disebutkan sejumlah akibat buruk dari namimah, diantaranya sebagai berikut:

  • Azab kubur: Ibnu Abbas meriwayatkan 1/3 dari azab kubur berkaitan dengan namimah. [23]
  • Dijauhkan dari surga: diriwayatkan dari Imam Baqir as, namim adalah diantara orang yang diharamkan memasuki surga. [24]
  • Tidak terkabulnya doa: Disebutkan oleh Ka'ab al-Ahbar, suatu ketika Bani Israel dilanda kelaparan. Nabi Musa as berkali-kali memohon kepada Allah swt agar diturunkan hujan, namun permintaan tersebut tidak dikabulkan Allah swt. Allah swt mewahyukan kepada Nabi Musa as, "Dikalangan kalian ada seorang yang gemar mengadu domba, selama orang tersebut masih ada, Aku tidak akan mengabulkan permintaanmu." Nabi Musa as kemudian meminta agar Allah memberitahu siapa orangnya. Allah swt berfirman, "Aku melarangmu untuk namimah, bagaimana mungkin Aku sendiri akan melakukannya?" [25]
  • Kehinaan dan terbongkarnya aib: Disebutkan namimah akan selalu dibarengi dengan kebohongan, hasud dan nifak dan ini adalah pemanggang yang dengan api mengobarkan kehinaan dan aib. [26]
  • Melahirkan kebencian dan perpecahan: Diriwayatkan dari Imam Ali as, "Jauhilah namimah, karena menabur benih permusuhan dan dapat menjauhkan antara Tuhan dengan manusia." [27]

Terapi

Terapi penyembuhan namimah adalah dengan cara meninggalkan pemicunya, seperti hasad (dengki) dan dendam. Begitu juga dengan mengingat akibat buruk dari namimah di dunia dan akhirat yang telah dijelaskan dalam riwayat-riwayat yang ada, dapat dijadikan solusi untuk sembuh dari kebiasaan melakukan namimah. Faidh Kasyani memberikan nasehat hal-hal yang harus dilakukan ketika berhadapan dengan pelaku namimah:

  • Tidak membenarkan atau tidak menyetujui penyampaian dari pelaku namimah
  • Mencegah dan melarangnya dari perbuatan namimah
  • Tidak memiliki asumsi buruk mengenai orang lain setelah mendengarkan penyampaian namim
  • Tidak menyelidiki mengenai benar tidaknya penyampaian namim
  • Tidak menyampaikan atau menyebarkan ucapan namim
  • Menjadikan namim sebagai musuh [28]

Catatan Kaki

  1. Faidh Kasyani, al-Mahajjah al-Baidha, jld. 5, hlm. 277; Naraqi, Jami' al-Sa'adat, jld. 2, hlm. 274
  2. Faidh Kasyani, al-Mahajjah al-Baidha, jld. 5, hlm. 278
  3. Faidh Kasyani, al-Mahajjah al-Baidha, jld. 5, hlm. 279
  4. Naraqi, Jami' al-Sa'adat, jld. 2, hlm. 279
  5. Qs. Al-Qalam: 11
  6. Faidh Kasyani, al-Mahajjah al-Baidha, jld. 5, hlm. 275
  7. Syaikh Thusi, al-Tibyan fi Tafsir Al-Qur'an, jld. 10, hlm. 428
  8. Faidh Kasyani, al-Mahajjah al-Baidha, jld. 5, hlm. 279
  9. Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 369
  10. Ibnu Syu'bah Harani, Tahf al-'Uqul, hlm. 14
  11. Imam Shadiq (dinisbatkan), Mishbah al-Syari'ah, hlm. 145
  12. Lih. Faidh Kasyani, al-Mahajjah al-Baidha, jld. 5, hlm. 275-280
  13. Allamah Hilli, Qawa'id al-Ahkam, jld. 3, hlm. 549
  14. Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 22, hlm. 73
  15. Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 13, hlm. 310
  16. Dailami, jld. 1, Irsyad al-Qulub, hlm. 118
  17. Allamah Hilli, Tadzkirah al-Fuqaha, jld. 9, hlm. 51
  18. Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 22, hlm.73
  19. Allamah Hilli, Qawa'id al-Ahkam, jld. 3, hlm. 549
  20. Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 22, hlm. 73
  21. Naraqi, Jami' al-Sa'adat, jld. 2, hlm. 274-280
  22. Faidh Kasyani, al-Mahajjah al-Baidha, jld. 5, hlm. 277; Naraqi, Jami' al-Sa'adat, jld. 2, hlm. 274-275
  23. Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 6, hlm. 245
  24. Al-Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 369
  25. Faidh Kasyani, al-Mahajjah al-Baidha, jld. 5, hlm. 276
  26. Faidh Kasyani, al-Mahajjah al-Baidha, jld. 5, hlm. 279
  27. Tamimi Amadi, Ghurur al-Hukm, hlm. 167
  28. Faidh Kasyani, al-Mahajjah al-Baidha, jld. 5, hlm. 277-278

Daftar Pustaka

  • Al-Kulainī, Muhammad bin Ya'qūb. Al-Kāfī. Diedit oleh Ali Akbar Ghaffāri dan Muhammad Ākhundī. Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1407 H.
  • Al-Majlisī, Muhammad Bāqir. Bihār al-Anwār al-Jāmi'a li Dhurar Akhbār al-Aimmah al-Athhār. Beirut: Dār Ihyāʾ al-Turāts al-'Arabī, 1403 H.
  • Al-Najafī, Muhammad Hasan. Jawāhir al-Kalām fī Syarh Syarāyi' al-Islām. Beirut: Dār Ihyāʾ al-Turāts al-'Arabī, 1404 H.
  • Al-Thūsī, Muhammad bin al-Hasan. Al-Tibyān fi Tafsir Al-Quran. Diedit oleh: Ahmad Qushair 'Āmilī. Beirut: Dar Ihyāʾ al-Turāts al-'Arabī, 1403 H.
  • Dehkhuda, Ali Akbar. Lughat Nameh Dehkhuda. Tehran: Intisyarāt Danesygoh Tehran, 1377 S.
  • Faidh al-Kasyānī, Muhammad bin Murtadhā. Al-Mahajjah al-Baidhā fi Tahdzib al-Ihyā. Diedit oleh Ali Akbar Ghaffārī. Qom: Muasasah al-Nasy al-Islamī, tanpa tahun.
  • Ibnu Syu'bah al-Harānī. Tuhaf al-'Uqul. Diedit oleh Ali Akbar Ghaffarī. QOm: Jāmiah Mudarrisīn, 1404 H/1363 S.
  • Imam Shadiq. Misbah al-Syarī'ah wa Miftah al-Haqiqah (mansub ila Imam al-Shadiq as). Beirut: A'lamī, 1400 H.
  • Narāqī, Muhammad Mahdi. Jāmi'u al-Sa'ādāt. Qom: Muasasah Mathbu'āti Irāniyān, 1383 H/1963.
  • Tamimī Āmadī, Abdul wahid bin Muhammad. Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim. Diedit oleh Sayid Mahdi Rajāī. Qom: Dar al-Kitab al- Islamī, 1410 H.


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "catatan", tapi tidak ditemukan tag <references group="catatan"/> yang berkaitan