Takwa
Takwa (bahasa Arab: التقوى) adalah sebuah keadaan atau kekuatan dalam jiwa yang memberikan proteksi spiritual dan akhlak pada seseorang; Sehingga jika ia ditempatkan pada lingkungan dosa, maka keadaan dan malakah spiritual itu akan menjaganya. Dalam Al-Qur'an, riwayat-riwayat Nabi saw, para imam maksum as dan perkataan para ulama dijelaskan akan penekanan pentingnya takwa dan pengaruhnya dalam kehidupan dunia dan akhirat. Pengampunan dosa, diterimanya amal disisi Allah, diperolehnya keselamatan, mampu membedakan mana yang benar dan salah, rezeki yang halal dan keselamatan dari kesusahan adalah termasuk di antara pengaruh takwa.
Selain itu banyak hadis yang membahas masalah ini, khotbah Nahjul Balaghah ke-193, yang dikenal dengan khotbah Hammam, dikhususkan untuk menggambarkan sifat-sifat orang yang bertakwa. Takwa memiliki derajat yang berbeda-beda. Dalam sebuah riwayat yang dinukil dari Imam Shadiq as, Takwa memiliki tiga tahapan, yaitu: Takwa umum, yaitu meninggalkan hal-hal yang diharamkan karena takut akan siksa neraka, Takwa khusus, yaitu seseorang tidak hanya meninggalkan hal-hal yang diharamkan, tetapi juga meninggalkan hal-hal yang masih syubhat (sebuah perbuatan yang masih dimungkinkan adanya keharaman di dalamnya), dan Takwa istimewa adalah sebuah tahapan seseorang tidak hanya meninggalkan hal-hal yang masih syubhat, tetapi juga meninggalkan (beberapa) hal-hal yang halal.
Selain itu, menurut para ulama dengan memperhatikan riwayat yang ada bahwa setiap bagian tubuh yang terkena dosa, seperti telinga, mata, lidah dan hati, telah dijelaskan ketakwaan yang sesuai dengan anggota badan tersebut.
Definisi Takwa
Takwa adalah sebuah keadaan dalam diri seseorang yang memberinya penjagaan sepiritual dan moral serta menjadikannya tidak berbuat dosa ketika berada dalam lingkungan yang berdosa.[1] Kata تقوا berasal dari kata وَقْی yang berarti “penjagaan dan perlindungan” dan secara harafiah berarti pemeliharaan dan penjagaan diri.[2]
Makna Takwa dalam Al-Qur’an
Menurut para penelaah dengan memperhatikan ayat-ayat Al-Qur'an, takwa memiliki empat makna.[3]
Takwa bermakna seseorang membuat pembatas antara dirinya dengan sesuatu yang ditakutinya agar terjaga darinya.[4] Takwa dalam ayat, "dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas",[5] digunakan dalam makna yang disebutkan.[6] Menurut Izutsu, makna ini juga digunakan di kalangan orang Arab sebelum datangnya Islam.[7]
Takwa bermakna takut akan murka atau azab Allah di akhirat.[8] Takwa dalam ayat, "Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya",[9] digunakan dalam makna yang telah disebutkan.[10]
Takwa bermakna beramal atas dasar ketaatan dan meninggalkan dosa.[11] Takwa dalam ayat, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan ap yang telah diperbutnya untuk hari esok (akhirat)"[12]digunakan dalam makna yang telah disebutkan.[13]
Takwa bermakna semacam keadaan hati dan malakah jiwa yang menjadi sumber bashirah bagi manusia mengenai ketaatan dan kemaksiatan, dan tercapainya makna tersebut bergantung pada ketaatan terhadap perintah dan larangan Allah serta kegigihan dalam melaksanakannya.[14]
Dikatakan bahwa keempat makna ini saling berkaitan dan bersama-sama membentuk sistem ketakwaan; Dalam artian rasa takut akan azab Allah (makna kedua) menyebabkan menjaga perintah dan larangan-Nya (makna ketiga) dan dengan demikian, seseorang membuat pembatas antara dirinya dengan murka dan azab Allah (makna pertama) serta mentaati perintah-Nya dan larangan Allah lambat laun menyebabkan ketakwaan menjadi malakah di hati orang yang beriman (makna keempat).[15]
Perbandingan Takwa dan Wara’
Dalam beberapa hadis, takwa dan wara' disebutkan secara bersandingan.[16] Muhammad Mahdi Naraqi menganggap keduanya sebagai kata sinonim[17] dan menyebutkan dua makna wara' yang juga dapat diterapkan untuk takwa: Pertama, wara' bermakna menjaga diri dari harta-harta haram, dimana menurut Naraqi, dalam beberapa hadis, takwa bermakna demikian. Kedua, menjaga diri dari melakukan semua dosa, di karenakan takut akan murka Allah dan mengharap keridhaan-Nya.[18]
Sebagian memaknai takwa seperti Abdul Qadir Mulla Huwaisy Al-Ghazi, salah satu ulama mazhab Hanafi asal Suriah pada abad ke-14 Hijriah, menganggap wara' berbeda dengan takwa dan lebih utama darinya.[19] Menurut mereka, takwa adalah menjauhi yang haram dan menunaikan kewajiban Ilahi. Dan wara' adalah derajat yang lebih tinggi, yaitu menjauhi hal-hal yang syubhat dan perbuatan-perbutan halal yang menjadi pedahuluan melakukan dosa.[20]
Kedudukan Takwa
Kata takwa adalah salah satu kata keagamaan yang umum digunakan dalam Al-Qur'an baik dalam bentuk kata benda maupun kata kerja.[21] Menurut Murtadha Muthahhari, Penyebutan kata takwa hampir sama dengan penyebutan Al-Qur'an tentang keimanan dan amal shaleh, salat dan zakat, bahkan lebih banyak dari Jumlah yang disebutkan, misalnya kata puasa.[22] Menurut sebagian penelaah, kata takwa sendiri disebutkan sebanyak 17 kali dan turunan serta kata-kata masih berkaitan disebutkan lebih dari 200 kali dalam Al-Qur'an.[23] Kata takwa disebutkan dan digunakan dalam riwayat para Imam Maksum as.[24] Syekh Kulaini dalam buku Al-Kafi telah mendedikasikan satu bab dengan judul "Bab al -Tha'ah wa al-Taqwa" yang memuat hadis-hadis tentang takwa.[25]
Dalam Nahjul Balaghah, salah satu kata yang banyak digunakan adalah kata takwa.[26] Menurut sebagian penelaah, kata takwa dan turunannya digunakan sekitar 100 kali dalam Nahjul Balaghah dan merupakan salah satu kata kuncinya dalam perkataan Imam Ali as.[27] Dalam karya-karya yang ditulis dalam tema akhlak Islami, banyak membicarakan tentang ketakwaan dan dampaknya.[28] Selain itu, takwa dalam kata-kata para Sufi dan Urafa' dianggap sebagai salah satu derajat Irfani dan dalam kaitannya dengan dua konsep wara' dan hati.[29]
Dalam penuturan para fukaha, telah dijelaskan kedudukan ketakwaan dalam beberapa hukum.[30] Seperti, menurut fatwa para fukaha, wajib bagi imam Jum'at untuk mewashiatkan pada ketakwaan dalam khotbah salat Jum'at.[31] Menurut fatwa sebagian fukaha, jika ada yang dua mujtahid yang sama-sama, dari sudut pandang keilmuan, wajib bagi seorang mukalid untuk bertaklid kepada mujtahid yang lebih bertakwa.[32]
Penjelasan Al-Qur'an, Hadis dan Ulama tentang Takwa
Dalam Surah Al-Hujrat ayat 13, tolak ukur dalam menilai manusia adalah dengan memperhatikan ketakwaan kepada Allah swt.[33] Menurut Surah Al-Baqarah ayat 197, bekal terbaik untuk akhirat adalah takwa.[34] Dalam ayat 26 dari Surah Al-A'raf, setelah menyebutkan pakaian badan, memperkenalkan pakaian takwa sebagai pakaian jiwa serta pakaian yang lebih baik dan lebih bermanfaat.[35]
Dalam khotbah ke-112 Nahjul Balaghah, dinukil dari Imam Ali as bahwa ketakwaan kepada Allah telah menempatkan sahabat-sahabat Allah dalam perlindungan-Nya dan menjaga mereka dari pelanggaran terhadap hal-hal yang diharamkan Allah dan telah menempatkan rasa takut kepada Allah swt dalam hati mereka.[36] Dalam khotbah ke-16, beliau menganggap takwa ibarat tunggangan yang tunduk, dimana kendalinya ada di tangan orang yang menungganginya dan menjadikannya masuk surga.[37] Dalam khotbah ke-189 beliau mengatakan bahwa takwa ibarat pagar dan tameng bagi manusia di dunia seperti saat ini dan di hari esok ibarat jalan menuju surga.[38] Dalam khotbah ke-228, takwa adalah kunci kebenaran pada hari kiamat, kebebasan dari perbudakan dan keselamatan dari segala musibah.[39] Imam Sajjad as menganggap takwa sebagai penyebab untuk mencapai martabat kemanusiaan[40] dan dalam beberapa kandungan doa dalam buku Shahifah Sajjadiah, Imam as meminta kepada Allah untuk memiliki ketakwaan Ilahi.[41] Dalam sebuah riwayat dari Nabi saw, takwa dikenalkan sebagai kumpulan dari seluruh perbuatan baik.[42] Dinukil dari Imam Baqir as, bahwa hamba yang paling dicintai disisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara mereka.[43] Selain itu, dalam riwayat lain yang juga dinukil darinya, Syiah sejati diperkenalkan sebagai orang yang paling bertakwa kepada Allah swt.[44] Berdasarkan riwayat dari Imam Shadiq as, amalan kecil yang disertai takwa lebih baik dari pada amal banyak tanpa takwa.[45]
Raghib Isfahani (W. 396 H),seorang bijak dan leksikografer, dalam buku Al-Dzari'ah ila Makarim al-Syari'ah, memperkenalkan takwa dan kesucian jiwa sebagai syarat utama kekhalifahan Allah bagi manusia.[46] Ibnu Fahd Hilli dalam bukunya Uddah al-Da'i dalam menjelaskan pentingnya takwa mengatakan, bahwa jika bagi seseorang di dunia, ada kualitas yang lebih baik, lebih bermanfaat dan lebih mulia daripada takwa, tentu saja Allah swt telah memberi tahu hamba-hamba-Nya melalui wahyu.[47] Muhammad Mahdi Naraqi dalam bukunya Jami' al-Sa'adah menyebutkan takwa sebagai penyelamat terbesar manusia dan salah satu cara terpenting untuk mencapai kebahagiaan dan kedudukan yang agung.[48] Imam Khomeini juga dalam buku Syarh e Chel Hadis menganggap mustahil seseorang mencapai kedudukan dan mencapai kesempurnaan manusia yang tinggi tanpa takwa.[49]
Tingkatan Takwa
Sebagian mufasir, dengan bersandar pada ayat-ayat, seperti ayat اِنَّ اَکرَمَکُم عِندَ اللّهِ اَتقـکُم Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah orang paling takwa di antara kamu,[50] berpendapat bahwa takwa memiliki tingkatan yang berbeda-beda.[51] Dalam sebuah riwayat yang dinukil dari Imam Shadiq as, disebutkan tiga tingkatan untuk takwa, sebagai berikut:
1. Takwa Umum: Yaitu meninggalkan hal-hal yang diharamkan, di sebabkan takut akan siksa neraka.
2. Takwa Khusus: Yaitu seseorang tidak hanya meninggalkan hal-hal yang diharamkan, tetapi juga meninggalkan hal-hal yang syubhat (hal-hal yang mempunyai kemungkinan haram).
3. Takwa Khususnya Khusus: Yaitu selain meninggalkan hal-hal yang syubhat, juga meninggalkan (sebagian) perkara yang halal.[52]
Baidhawi, seorang mufasir Al-Qur'an dan fakih mazhab Syafi'i abad ke-7 dan ke-8 Hijriah, menyebutkan tiga tingkatan takwa, tingkatan yang paling rendah adalah menjauhkan diri dari syirik, tingkatan berikutnya adalah menjauhkan diri dari dosa, dan tingkatan yang paling tinggi adalah ketaatan kepada Allah swt dan menghindari segala sesuatu yang menjauhkan seseorang dari kebenaran.[53] Allamah Majlisi juga menjelaskan dalam bukunya Bihar al-Anwar tiga tingkatan takwa, tingkatan pertama adalah menjaga jiwa dari siksa abadi dengan mempelajari akidah yang benar, tingkatan kedua adalah menghindari segala dosa termasuk meninggalkan yang wajib dan melakukan dosa, dan tingkat tertinggi dan ketiga adalah pengekangan diri dari segala sesuatu yang menyibukkan hati seseorang dan mengalihkan perhatian dari Allah swt.[54]
Imam Khomeini dalam buku Adab al-Shalat menyebutkan empat tingkatan takwa, yaitu:
1. Takwa Lahiriah: Yaitu menjaga jiwa dari dosa lahiriah. Ini adalah takwa orang-orang pada umumnya.
2. Takwa Batin: Yaitu menghindari hal-hal ifrath dan tafrith serta hal-hal melampaui batas-batas dari sikap moderat dalam akhlak dan naluri spiritual. Ini adalah takwa orang-orang tertentu.
3. Takwa Akal: Yaitu menjaga dan mensucikan akal dari hal-hal yang menyibukkan diri dari ilmu-ilmu non Ilahi. Ini adalah takwa khusus orang-orang terkemuka.
4. Takwa Hati: Yaitu menjaga hati dari menyaksikan kebatilan dan menginggat kebatilan. Ini adalah takwa para wali.[55]
Ketakwaan Anggota Tubuh dan Hati
Para ulama akhlak, dengan bersandar pada riwayat tentang akhlak, telah menjelaskan ketakwaan bagi setiap anggota badan yang rawan berbuat dosa, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut: Ketakwaan Lidah: Hal-hal seperti kebenaran ucapan,[56] menjadikan dzikir kepada Allah selalu menghiasi lidahnya,[57] berbicara dengan lembut,[58] ucapan yang baik, mengendalikan lidah dari makian dan meninggalkan kata-kata yang tidak berguna yang tidak ada kebaikan di dalamnya.[59]
Ketakwaan Mata: Menutup mata dari segala sesuatu yang diharamkan Allah swt.[60]
Ketakwaan Telinga: Hal-hal seperti mengendalikan telinga dari mendengarkan apa yang diharamkan Allah swt[61] dan mendengarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat,[62] hikmah agama yang bermanfaat dan nasihat-nasihat yang bermanfaat dan menyelamatkan.[63]
Ketakwaan Hati: Dalam ayat 32 dari Surah Al-Hajj dan ayat 3 dari Surah Al-Hujrat serta hadis para Imam maksum as, memperkenalkan hati manusia sebagai bertakhtanya takwa.[64] Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa takwa adalah perkara maknawi dan batin yang berkaitan dengan ruh dan jiwa manusia.[65]Sementara itu, ada pula yang berpendapat bahwa ketakwaan hati bermakna hati manusia terbebas dari keraguan, kemusyrikan, kekafiran dan kemunafikan.[66] Ada yang menyebutkan ketakwaan hati sebagai tingkatan takwa yang paling tinggi.[67]
Karya-karya tentang Takwa
- Tasykhish Haq az Batil,[68]
- Qabuli e A'mal Nazd e Khudawand,[69]
- Bahremandi e az Ta'alim e Ilahi,[70]
- Nejat az Sakhtiha,[71]
- Bahreman Syudan az Hidayat e Qur'an,[72]
- Amurzesy e Ghunahan,[73]
- Residan be Rasteghari,[74]
- Residan be Jayeghah e Rafi',[75]
- Ishlah e Qalb,[76]
- Jelughiri az Uftadan dar Syubahat,[77]
- Paksyudan az Aludeghi e Ghunah,[78]
- Rizq wa Ruzi e Halal,[79]
- Jawedaneghi dar Behesyt.[80]
Khutbah Muttaqin
Khotbah Muttaqin adalah salah satu khotbah masyhur Nahjul Balaghah yang menjelaskan sifat-sifat orang yang bertakwa.[81] Imam Ali as menyampaikan khotbah ini atas permintaan dari salah satu Syiahnya bernama Hammam, dimana Imam Ali as menyebutkan lebih dari 100 cirikhas baik spiritual, intelektual, akhlak dan sikap praktis yang dimiliki orang-orang yang bertakwa.[82] Sifat-sifat seperti berbicara yang baik, tidak berlebihan, mendengarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat, sabar dalam menghadapi kesulitan, menguasai lidah, mengingat Allah dalam segala keadaan, serta tahajjud dan menghidupkan malam termasuk di antara sifat-sifat orang yang bertakwa yang disebutkan dalam khutbah ini.[83]
Bibliografi
- Risale e Taqwa: Karya Murtadha Muthahhari. Risalah ini mencakup dua sesi ceramah yang membahas tentang hakikat, urgensi dan pengaruh takwa dalam Al-Qur'an dan riwayat yang diterbitkan pada tahun 1339 S hingga 1341 S dan bersama beberapa ceramah lainnya, kemudian disusun serta ditulis dalam sebuah buku berjudul Dah Ghuftari (sepuluh pidato).[84]
- Takwa, Saku e Parwaz: Ditulis oleh Jalil Jalili. Buku ini terdiri dari satu pendahuluan dan lima bab. Pada bagian pendahuluan, penulis telah membahas tentang pengertian takwa dan penerapannya dalam Al-Qur'an. Bab pertama membahas tentang asal muasal takwa dan bab kedua, ketiga dan keempat membahas secara berurutan tentang ketakwaan individu, ketakwaan sosial, dan ketakwaan politik. Bab kelima mencakup pembahasan tentang dampak ketakwaan di dunia dan akhirat. Edisi pertama buku ini diterbitkan pada tahun 1400 S oleh penerbit Ma'arif Islami University.[85]
Catatan Kaki
- ↑ Muthahari, Dah Guftar, hlm. 20-21
- ↑ Raghib Isfahani, al-Mufradat fi Dharib al-Quran, kata وَقْی
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Izutsu, Khuda va Insan dar Quran, penerjemah: Orom, hlm. 304-305; Jalili, Taqwa, Sakkavi Parvaz, hlm. 17
- ↑ Izutsu, Khuda va Insan dar Quran, penerjemah: Orom, hlm. 305
- ↑ QS. An-Nahl [16] : 18
- ↑ Jalili, Taqwa, Saku-e Parvaz, hlm. 17
- ↑ Izutsu, Khuda va Insan dar Quran, penerjemah: Orom, hlm. 304-305
- ↑ Izutsu, Khuda va Insan dar Quran, penerjemah: Orom, hlm. 304-305
- ↑ QS. Al-Maidah [5] : 2
- ↑ Thabari, Tafsir Thabari, jld. 9, hlm. 491; Thabrisi, Majma' al-Bayan, jld. 3, hlm. 267
- ↑ Jalili, Taqwa, Saku-e Parvaz, hlm. 17
- ↑ QS. Al-Hasyr [59] : 18
- ↑ Thabathabai, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, jld. 19, hlm. 217-218
- ↑ Abbasi, Taqwa, hlm. 798
- ↑ Abbasi, Taqwa, hlm. 798
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 76 & 78
- ↑ Naraqi, Jami' al-Sa'adat, jld. 2, hlm. 180
- ↑ Naraqi, Jami' al-Sa'adat, jld. 2, hlm. 180
- ↑ Mulla Huwaisy Al Ghazi, Bayan al-Ma'ani, jld. 3, hlm. 55
- ↑ Mulla Huwaisy Al Ghazi, Bayan al-Ma'ani, jld. 3, hlm. 55
- ↑ Muthahari, Dah Guftar, hlm. 16
- ↑ Muthahari, Dah Guftar, hlm. 16
- ↑ Abbasi, Taqwa, hlm. 797
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 73; Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 70, hlm. 295; Nuri, Mustadrak al-Wasail, jld. 11, hlm. 266
- ↑ Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 73
- ↑ Muthahari, Dah Guftar, hlm. 23
- ↑ Ahmadiyan, Sa'idavi, Tahlil-e Ma'na-e Darajar-e Taqwa dar Nahjul Balagheh, hlm. 69
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Naraqi, Jami' al-Sa'adat, jld. 2, hlm. 180; Imam Khomeini, Syarh-e Cehel Hadis, hlm. 206 & 325
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Futuhat Makiyah, Yayasan Alulbait, jld. 2, hlm. 157; Abbasi, Taqva dar Tasavuf va Irfan, hlm. 803
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld.11, hlm. 211; Thabathabai Yazdi, al-'Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hlm. 19
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld.11, hlm. 211
- ↑ Thabathabai Yazdi, al-'Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hlm. 19
- ↑ QS. Al-Hujurat [49] : 13; Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 22, hlm. 210
- ↑ QS. Al-Baqarah [2] : 197; Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 15, hlm. 299
- ↑ QS. Al-A'raf [7] : 26; Muthahari, Dah Guftar, hlm. 27
- ↑ Nahj al-Balaghah, khotbah ke 112, hlm. 169; Muthahari, Dah Guftar, hlm. 23
- ↑ Nahj al-Balaghah, khotbah ke 16, hlm. 57; Muthahari, Dah Guftar, hlm. 24
- ↑ Nahj al-Balaghah, khotbah ke 191, hlm. 284
- ↑ Nahj al-Balaghah, khotbah ke 230, hlm. 351; Muthahari, Dah Guftar, hlm. 25
- ↑ Shahifah Sajjadiyah, doa ke 32, ayat nomor 19 & 20
- ↑ Shahifah Sajjadiyah, doa ke 17, ayat nomor 5, doa ke 22, ayat nomor 12
- ↑ Nuri, Mustadrak al-Wasail, jld. 11, hlm. 266
- ↑ Kulaini, al-Kafi, , jld. 2, hlm. 73
- ↑ Kulaini, al-Kafi, , jld. 2, hlm. 73
- ↑ Kulaini, al-Kafi, , jld. 2, hlm. 76
- ↑ Syarh-e Dua-e Nudbeh Faraz Siuduvum, site bonyadedoa.com
- ↑ Raghib Isfahani, al-Dzari'ah ila Makarim al-Syari'ah, hlm. 59
- ↑ Ibnu Fahd Hilli, 'Uddah al-Da'i, hlm. 304
- ↑ Naraqi, Jami' al-Sa'adat, jld. 2, hlm. 181
- ↑ Imam Khomeini, Syarh-e Cehel Hadis, hlm. 206
- ↑ QS. Al-Hujurat [49] :13
- ↑ Fakr Razi, al-Tafsir al-Kabir, jld. 28, hlm. 115
- ↑ Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 70, hlm. 296
- ↑ Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta'wil, jld. 70, hlm. 296
- ↑ Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 70, hlm. 136
- ↑ Imam Khomeini, Adab al-Shalat, hlm. 369
- ↑ Nahj al-Balaghah, khotbah ke 193, hlm. 303
- ↑ Nahj al-Balaghah, khotbah ke 83, hlm. 111; Muntadziri, Darsha-e az nahj al-Balagheh, jld. 3, hlm. 315
- ↑ Nahj al-Balaghah, khotbah ke 193, hlm. 305; Makarim Syirazi, Akhlaq-e Islami dar nahjul Balagheh, jld. 3, hlm. 473
- ↑ Risalah al-Huquq Imam Sajjad (as), penerjemah Muhammad Husain Afsyari, hlm. 38
- ↑ Nahj al-Balaghah, khotbah ke 193, hlm. 303; Makarim Syirazi, Akhlaq-e Islami dar nahjul Balagheh, jld. 2, hlm. 158-159
- ↑ Risalah al-Huquq Imam Sajjad (as), penerjemah Muhammad Husain Afsyari, hlm. 39
- ↑ Nahj al-Balaghah, khotbah ke 193, hlm. 303; Makarim Syirazi, Akhlaq-e Islami dar nahjul Balagheh, jld. 2, hlm. 157
- ↑ Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, j;d. 96, hlm. 7
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: QS. Al-Hajj [22] : 32; QS. Al-Hujurat [49] : 3; Fatal Neisyaburi, Raudhah al-Wa'dzhin wa Bashirah al-Muta'azhin, jld. 1, hlm. 4
- ↑ Thabathabai, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, jld. 14, hlm. 374
- ↑ Abbasi, Taqwa, hlm. 804
- ↑ Imam Khomeini, Adab al-Shalat, hlm. 369
- ↑ QS. Al-Anfal [8] : 29; Muthahari, Dah Guftar, hlm. 34
- ↑ QS. Al-Maidah [5] : 27; Thabrisi, Majma' al-Bayan, jld. 3, hlm. 315
- ↑ QS. Al-Baqarah [2] : 282; Muthahari, Dah Guftar, hlm. 38
- ↑ QS. At-Thalaq [56] : 3; Salimi, Thabaqat al-Shufiyah, hlm. 232
- ↑ QS. Al-Baqarah [2] : 2; Thabrisi, Majma' al-Bayan, jld. 1, hlm. 82
- ↑ QS. Al-Anfal [8] : 29; Thabathabai, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, jld. 19, hlm. 316
- ↑ QS. Ali Imran [3] : 3; Thabathabai, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, jld. 2, hlm. 57
- ↑ QS. Al-Qamar [54] : 54-55
- ↑ Nahj al-Balaghah, khotbah ke 198, hlm. 312; Muthahari, Dah Guftar, hlm. 31
- ↑ Nahj al-Balaghah, khotbah ke 16, hlm. 57
- ↑ Nahj al-Balaghah, khotbah ke 198, hlm. 312; Muthahari, Dah Guftar, hlm. 31
- ↑ QS. At-Thalaq [56] : 3; Ibnu Fahd Hilli, 'Uddah al-Da'i, hlm. 305
- ↑ QS. Ali Imran [3] : 133; Ibnu Fahd Hilli, 'Uddah al-Da'i, hlm. 305
- ↑ Nahj al-Balaghah, khotbah ke 193, hlm. 303; Muthahari, Dah Guftar, hlm. 16
- ↑ Muthahari, Dah Guftar, hlm. 16
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Nahj al-Balaghah, khotbah ke 193, hlm. 303-307
- ↑ Jalili, Taqwa, Saku-e Parvaz, hlm. 7-14
Daftar Pustaka
- Syarh-e Dua-e Nudbeh Faraz Siuduvum. Site bonyadedoa.com
- Abbasi, Babak. Taqva dar Tasavuf dar Irfan. Dalam Ensiklopedia Jahan-e Eslam, jld. 7. Teheran: Bunyad Dairah al-Ma'arif Islami, 1382 S.
- Abbasi, Babak. Taqva. Dalam Ensiklopedia Jahan-e Eslam, jld. 7. Teheran: Bunyad Dairah al-Ma'arif Islami, 1382 S.
- Ahmadiyan, Hamid dan Ali Sa'idivi. Tahlil-e Ma'na-e Darajar-e Taqwa dar Nahjul Balagheh. Kavasyi nu dalam Ma'arif Qurani, vol. 1, musim semi dan musim panas 1391 S.
- Allamah Majlisi, Muhammad Baqir. Bihar al-Anwar. Beirut: Yayasan al-Wafa, 1403 HS.
- Al-Quran al-Karim.
- Baidhawi, Abdullah bin Umar. Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta'wil. Beirut: Dar al-Turats al-Arabi, 1418 HS.
- Fakhr Razi, Muhammad bin Umar. al-Tafsir al-Kabir. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1420 HS.
- Fatal Neisyaburi, Muhammad bin Ahmad. Raudhah al-Wa'idzhin wa Bashirah al-Muta'adzin. Qom: al-Syarif al-Radzhi, 1375 S
- Ibnu Arabi, Muhyiddin. Futuhat Makkiyah. Qom: Yayasan Alulbat, tanpa tahun.
- Ibnu Fahd Hilli, Ahmad bin Muhammad. 'Uddah al-'Da'i. Qom: Dar al-Kitab al-Islami, 1407 HS.
- Imam Khomeini, Sayid Ruhullah. Syarh-e Cehel Hadis. Qom: Yayasan Tanzim va Nashr Asar-e Emam Khomeini, 1380 S.
- Izutsu, Toshihiko. Khuda va Insan dar Quran. Penerjemah: Hasan Orom: Teheran: Kantor Kenerbit Kebudayaan Islam, 1373 S.
- Jalili, Jalil. Taqva, Suku-e Parvaz. Qom: Penerbit Universitas Ma'arif Islami, 1400 S.
- Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. al-Kafi. Riset: Ali Akbar Ghafari dan Muhammad Akhundi. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiah, cet. 4, 1407 HS.
- Makarim Syirazi, Nashir Khusru. Akhlaq-e Islam dar nahjul Balagheh. Qom: Penerbit Nasl-e Javan, cet. 2, 1385 S.
- Makarim Syirazi, Nashir. Tafsir Nemuneh. Teheran: dar al-Kutub al-Islamiah, 1374 S.
- Mulla Huwasy Ali Ghazi, Abdul Qadir. Bayan al-Ma'ani. Damaskus: Cetakan al-Taraqi, 1382 HS.
- Muntadzhiri, Husain Ali. Dasha-e az Nahjul Balagheh. Teheran: Penerbit Sarai, 1382 S.
- Muthahari, Murtadha. Dah Guftar. Qom: Penerbit Shadra, cet. 49, 1397 S.
- Nahj al-Balaghah. Editor: Subhi Shalih. Qom: Markaz al-Bukhuts al-Islamiah, 1374 S
- Najafi, Muhammad Hasan. Jawahir al-Kalam. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, cet. 7, 1362 S
- Naraqi, Muhammad Mahdi. Jami' al-Sa'adat. Beirut: Yayasan al-A'lami li al-Mathbu'at, cet. 4, tanpa tahun
- Nuri, Husain. Mustadrak al-Wasail. Beirut: Yayasan Alulbait, 1408 HS
- Raghib Isfahai, Husain bin Muhammad. al-Dzari'ah ila Makarim al-Syari'ah. Qom: al-Syarif al-Radhi, 1414 HS.
- Raghib Isfahani, Abu al-Qasim Husain bin Muhammad. al-Mufradat fi Gharib al-Quran. Beirut: Dar al-Qalam, 1412 HS.
- Risalah Huquq Imam Sajjad (as). Penerjemah: Muhammad Husain Afsyari. Qom: Penerbit Masyhur, 1394 S.
- Salimi, Muhammad bin Husain. Thabaqat al-Shufiyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1424 HS.
- Shahifah Sajjadiyah.
- Thabari, Muhammad bin Jarir. Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Quran. (Tafsir Thabari). Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1412 HS.
- Thabatabai Yazdi, Sayid Muhammad Kazhim. al-'Urwah al-Wutsqa. Qom: Yayasan al-Nashr al-Islami, cet. 1, 1417 HS.
- Thabathabai, Sayid Muhammad Husain. al-Mizan fi Tafsir al-Quran. Beirut: Yayasan al-A'lami li al-Mathbu'at, 1393 HS.
- Thabrisi, Fadhl bin Hasan. Majma' al-Bayan. Beirut: Yayasan al-A'lami li al-Mathbu'at, 1415 HS.
- Zara'i, Taqwa az Didgah-e Emam Sajjad (as),ba Ta'kid bar Shahifeh Sajjadieh. 1395 S.