Membangun Kuburan
Ma'rifatullah | |
---|---|
Tauhid | Tauhid Dzati • Tauhid Sifat • Tauhid Af'al • Tauhid Ibadah |
Furuk | Tawasul • Syafa'at • Tabarruk • |
Keadilan Ilahi | |
Kebaikan dan keburukan • Bada' • Amrun bainal Amrain • | |
Kenabian | |
Keterjagaan • Penutup Kenabian • Nabi Muhammad Saw • Ilmu Gaib • Mukjizat • Tiada penyimpangan Alquran | |
Imamah | |
Keyakinan-keyakinan | Kemestian Pelantikan Imam • Ismah Para Imam • Wilayah Takwini • Ilmu Gaib Para Imam • Kegaiban Imam Zaman as • Ghaibah Sughra • Ghaibah Kubra • Penantian Imam Mahdi • Kemunculan Imam Mahdi as • Raj'ah |
Para Imam | |
Ma'ad | |
Alam Barzah • Ma'ad Jasmani • Kebangkitan • Shirath • Tathayur al-Kutub • Mizan • Akhirat | |
Permasalahan Terkemuka | |
Ahlulbait • Empat Belas Manusia Suci • Taqiyyah • Marja' Taklid |
Membangun kuburan (bahasa Arab:البناء على القبور), sebuah terma dalam pengertian membuat segala bentuk bangunan dan pembangunan di atas kuburan orang-orang yang sudah meninggal. Secara hukum syariat membuat bangunan di atas kubur termasuk salah satu perselisihan antara Syiah dan Ahlusunah dari satu sisi dan kelompok wahabi dari sisi lain. Pelbagai mazhab Islam khususnya Syiah dalam sepanjang abad membuat bangunan di atas kubur para tokoh, pemimpin, dan sebagian ulama agama. Hal ini - dengan uraian makna yang dimiliki kelompok wahabi – memiliki latar belakang sejarah yang kembali pada era permulaan Islam dan berdasarkan bukti-bukti sejarah juga tidak mendapat penentangan dari para sahabat dan Tabi'in.
Kelompok wahabi meyakini bahwa membuat bangunan di atas kuburan orang-orang yang sudah meninggal adalah semacam bentuk lahan penyembahan mereka dan kesyirikan dalam ibadah.
Semantik
Membangun bangunan di atas kubur berubah menjadi sebuah terma dikarenakan proposisi pembahasan-pembahasan fikih, teologi, dan sejarah tentangnya. Terma ini mencakup segala bentuk pembangunan di atas kubur, seperti kubah, "dharih", haram, masjid, dan bahkan menurut sebagian orang, meletakkan batu di sekitar kuburan. [1]
Terma bangunan di atas kuburan juga mencakup bangunan yang ada sebelum penguburan. [2] Karena hal itu, menyalahi makna-makna yang terlintas di benak, juga mencakup meninggalkan bangunan-bangunan yang dibuat sebelum penguburan.
Poros Pembahasan
Berdasarkan perselisihan yang terjadi antara kelompok wahabi dan umat muslim lainnya, pembahasan bangunan di atas kuburan adalah sebuah pembahasan hukum syariat berkenaan dengan membuat bangunan baru di atas kuburan dan juga taklif umat muslim atas peninggalan bangunan-bangunan yang dibuat di atas kuburan dan hukum syariatnya.
Latar Belakang Bangunan di atas Kubur
Pra Islam
Kuburan Nabi Daud as di Quds dan kuburan Nabi Ibrahim, Nabi Ishak, Nabi Ya'qub, dan Nabi Yusuf as di kota al-Khalil (Palestina) memiliki bangunan-bangunan yang menjulang. Umat muslim pada masa pertempuran yang dipimpin oleh Umar bin Khattab, tidak menghancurkan pemakaman dan bangunan-bangunan ini. [3][4] Hal ini menunjukkan bahwa bangunan di atas kubur, tidak hanya sebelum Islam dan juga dalam pandangan umat muslim era permulaan Islam, bukanlah hal yang dicela. [5]
Pada Masa Nabi
Rasulullah saw menguburkan Fatimah binti Asad di bagian masjid, yang dalam sejarah Islam tersohor dengan kuburan Fatimah. [6] Di era Nabawi, bersamaan dengan perjanjian Hudaibiyyah, bangunan pertama atau masjid yang dibangun oleh Abu Jundul di atas kuburan Abu Bashir Sahabi dan Rasulullah dengan mengetahui hal tersebut, juga tidak melarang perbuatan tersebut. [7]
Pada Masa Sahabat
Rasulullah saw setelah wafat dimakamkan di rumahnya dan pemeliharaan serta renovasi bangunan rumah ini telah menjadi atensi dan urgensi umat muslim dan para khalifah sejak dari tahun-tahun pertama wafat beliau. Pertama kalinya, Umar bin Khattab membangun sebuah tembok di samping kuburan Nabi dan memisahkannya dari tempat tinggal Aisyah. [8][9] Walid bin Abdul Malik (pemerintahan: 86-96 H/705-715) menghancurkan kediaman Rasulullah saw dengan tujuan memperluas tempat makam beliau, dan dalam merenovasi bangunan, kemudian menambahkan lingkup sekitar rumah dan di ujung kamar beliau dihiasi dengan batu pualam. Pada masa Mutawakkil (pemerintahan: 228-242 H/842-856) dan Mu'tashim (pemerintahan 640-656 H/1242-1258) bangunan kamar ini juga direnovasi. Pada tahun 656 H/1258 dengan kemaslahatan dari raja Mesir; raja Qalawun Salihi merenovasi pusara Rasulullah saw dan kemudian menghiasnya dan kubah pertama yang dibangun di atas kamar beliau bernama Kubah al-Zarqa (kubah Biru). Pada tahun 756 H/1355, 852 H/1448, 881 H/1476, 886 H/1481, dan 891 H/1486 juga dilakukan renovasi bangunan oleh para khalifah Abbasiyah dan Utsmaniyah dan dibangun kubah di atasnya. [10] [11]
Tidak adanya protes dari umat muslim akan renovasi bangunan ini dan perluasan bangunan dari kuburan tersebut menunjukkan legalitas perbuatan ini dan bersambungnya kinerja dan sirah umat muslim ke masa Rasulullah dan diperbolehkannya bangunan di atas kuburan. [12]
Bangunan di atas kuburan di kalangan para sahabat juga sudah marak. Kuburan Shafiyah binti Abdul Mutthalib, ibu Zubair bin Awwam; bibi Rasulullah, dalam merenovasi bangunan rumah Mughirah bin Syu'bah, ada di dalam bangunan rumahnya dan dibuat bangunan baru di atasnya. [13] Di dalam rumah Aqil, yang lambat laun berubah menjadi pemakaman khusus Bani Hasyim di pemakaman Baqi'[14], pusara para imam Ahlulbait dan sebagian para sahabat memiliki kubah dan bangunan. [15] Ibnu Atsir mengabarkan pengiriman para arsitek oleh Majid al-Mulk Qummi untuk merenovasi dan memperbaharui kembali kubah 44 para imam dan Abbas bin Abdul Mutthalib, [16] Ibnu Jubair [17], Ibnu Najjar[18] , Khalid bin Isa[19], Ibnu Battuta[20], dan Evliya Çelebi [21] di pelbagai tahun juga memberitahukan adanya haram di pusara-pusara para imam.
Pada Masa Tabi'in
Kuburan Ummu Salamah dan Ummu Habibah, istri Rasulullah juga di dalam rumah Aqil memiliki makam dan bangunan. Aqil, Abdullah bin Ja'far at-Thayyar dan Ibrahim sereta beberapa orang keturunan Nabi di Baqi' memiliki kubah dan bangunan. Menurut Ibnu Jubair, makam Abbas bin Abdul Mutthalib dan Imam Hasan as dan Ibrahim putra Rasulullah juga lebih tinggi dari permukaan tanah. [22][23] bukti-bukti yang ada menunjukkan sebelum tahun 94 H/712, terdapat bangunan di atas kuburan Ibnu Abbas. [24]
Abad Kedua
Tradisi makam dan pembuatan kubah sangat marak pada abad ke-2 H di negeri-negeri Islam. [25] Di antaranya adalah kubah Ja'far putra Manshur Abbasiyah (pemerintahan 136 – 158 H/753-775) yang menunjukkan adanya bangunan dan kubah di atas sebagian kuburan di pertengahan abad ke-2 H, sebuah bangunan yang dibangun oleh Harun ar-Rasyid (pemerintahan 170-193 H/786-808) setelah tahun 170 H/786 di atas pusara Imam Ali as dan bangunan kuburan Sayidah Nafisah, cicit Imam Hasan as di Kairo.
Ibnu Battuta juga mengabarkan adanya bangunan dan masjid di atas kepala kuburan Talhah. Sebuah masjid juga ada di tempat kuburan Zubair. Kubah dan haram di makam Salman al-Farisi di Madain dan Uwais al-Qarani di Syam dan sebuah masjid di makam Sa'ad bin Ubadah, ketua suku Khazraj, dan juga kubah dan bangunan di atas kuburan Mu'adz bin Jabal dan Uqbah bin Amir, Muhammad bin Abi Bakar dan saudara perempuannya Asma', Ibnu Zubair, dan Abi al-Hasan Dinawari, salah seorang fakih tersohor Mesir, Anas bin Malik, pembantu Rasulullah saw dan Sahal bin Abdullah al-Tustari termasuk contoh-contoh bangunan lain yang ada di atas kuburan-kuburan mereka.
Abad Ketiga dan Abad-abad berikutnya
Di abad pertama kemunculan ajaran Islam, banyak sekali ditemukan bangunan-bangunan yang berada di atas kubur dan juga pembangunannya. Hal ini terus berlanjut di era-era berikutnya, sementara tidak ada satupun dari kalangan para ulama dan tokoh, baik Syiah maupun Sunni yang menentang dan memprotesnya dan tidak ada yang berkeyakinan hal ini adalah musyrik atau menyeret umat muslim untuk melakukan kesyirikan, penyembahan berhala dan menyembah selain Allah.
Kuburan para pemimpin mazhab-mazhab fikih Ahlusunah juga memiliki kubah dan bangunan. Kuburan Abu Hanifah pemimpin mazhab Hanafi di Baghdad juga memiliki kubah yang dibangun pada abad ke-4 dan ke-5 H. [26][27] Malik bin Anas (197 H) pemimpin mazhab Maliki di Baqi' juga memiliki kubah kecil. [28][29] Kuburan Muhammad bin Idris (150 H), pemimpin mazhab Syafi'i di Mesir[30] dan juga kuburan Ahmad bin Hanbal, pemimpin mazhab Hanbali di Baghdad juga memiliki kubah dan beberapa kali dilakukan renovasi. [31]
Abad ketiga adalah periode maraknya perenovasian sejumlah pusara yang berkubah[32] dan dari abad keempat dan seterusnya, ziarah Kubur sudah menjadi tradisi. [33][34] Pusara Muhammad bin Isa Tirmidzi (296 H) di Tirmidz yang kemungkinan terkait abad ketiga terakhir dan awal abad keempat termasuk contoh lain dari ini. [35]
Di kawasan Aswan di Nubia, yang termasuk salah satu kawasan konflik umat muslim dengan para musuh, terdapat makam-makam dari abad keempat dan kelima di atas kuburan para syuhada pertempuran tersebut. [36] Dari abad keenam ke atas, di seantero dunia Islam, banyak makam-makam ditemukan. [37] Di abad ini, dengan penyebaran pengaruh tasawuf di tengah-tengah umat muslim, pembangunan kuburan para sufi semakin meningkat. [38] Makam Syaikh Ahmad Jam di Torbat-e Jam, yang kemungkinan dibangun pada abad keenam dan makam Bayazid Bastami sekitar abad kedelapan termasuk dalam hal ini.
Menurut referensi sejarah, penjagaan bangunan ini dan ziarahnya di sepanjang sejarah menjadi atensi umat muslim. [39] Karenanya, penghancuran sebagian bangunan oleh para khalifah seperti penghancuran pusara Imam Husain as pada tahun 236 H oleh Mutawakkil menyebabkan keprihatinan umat muslim dan pernyataan berlepas diri dari perbuatan ini. [40]
Bangunan di atas Kubur Para Imam dan Ahlulbait
Tradisi pembangunan kubur dan kubah di atas kubur para Imam Syiah termasuk dokumenter sejarah yang mendapat perhatian umat muslim. Pusara Imam Ali as memiliki kubah dan bangunan megah dan menurut sejarah, kubah dan menara di atas pusara ini dibangun oleh khalifah Harun ar-Rasyid pada abad ke-2 H[41][42] dan termasuk bangunan kuno di atas kubur. Muhammad bin Ziyad, salah seorang penguasa Syiah Thabaristan merenovasi kubah ini pada tahun 287 H. [43]
Ibnu Hajjaj al-Baghdadi salah seorang penyair abad ketiga dan keempat hijriah, dalam sebuah qasidah mengisyaratkan kuburan dan kubah imam Ali as. Bangunan pertama di atas pusara Imam Husain as dibangun oleh Mukhtar al-Tsaqafi dan kemudian dibuat dharih dari kayu jati oleh ʿAḍud al-Dawla di atas kuburan beliau. [44] Khatib al-Baghdadi juga menuturkan pusara Imam Kazhim as di pemakaman Quraisy, yang menjadi tempat ziarah dan tawasul orang-orang Syiah dan para pemuka Ahlusunah. [45]
Makam Imam Ridha as di Masyhad adalah contohnya. [46] Muhammad bin Mumal salah seorang ulama Hanafi mengabarkan adanya makam beliau di kota Thus dan juga ziarah dan tawadhu'nya para pemuka Ahlusunah di hadapan pusara tersebut. [47] Ibnu Hibban juga memperkenalkan tempat tersebut sebagai tempat aman orang-orang yang sakit. [48]
Kubah Emas Makam Imam Ridha as: Pada tahun 333 H juga, Nashir al-Daulah Hamdani membangun sebuah kubah di atas pusara Imam Hadi dan Imam Hasan Askari as. [49]
Sampai pertengahan abad kedua masih terdapat atap di atas kuburan Sayidah Ma'shumah sa [50], pada pertengahan abad ketiga dibangun di atasnya sebuah kubah oleh Muhammad bin Zaid. [51]
Haram Sayidah Maksumah pada tahun 1313 H: Pintu masuk bata gerbang utama haram Syaikh Abdul Azim dibangun oleh Majduddin Barawistani, menteri Saljuqi pada abad kelima Hijriah. [52]
Kuburan para imam Baqi' di Baqi': Makam Bani Hasyim dan pembuatan kubah di atas pusara mereka dan Abbas bin Abdul Mutthalib atas perintah Majid al-Mulk Barawistani, menteri Barqiyaruq pada abad kelima dan berkali-kali direnovasi oleh para khalifah. [53]Menurut penulisan yang ada di haram ini, renovasi pertama dilakukan pada tahun 519 H oleh al-Mustarsyid Billah, khalifah Abbasiyah dan setelah itu dilakukan renovasi-renovasi lainnya di haram pada awal-awal abad ketujuh oleh al-Muntasir Billah.
Hukum Syar'i Bangunan di atas Kubur
Di dua abad akhir kelompok Wahabi mengeluarkan hukum pengharaman bangunan di atas kubur dan menghancurkan bangunan-bangunan yang dibangun di atasnya. Sejarah hukum ini kembali pada abad ketujuh dan pendapat Ibnu Taimiyyah (728 H) [54] dan muridnya Ibnu Qayyim (751) [55], yang berdasarkan fatwa-fatwa mereka, penghancuran sejumlah makam dan bangunan yang dibangun di atasnya adalah wajib.
Aksi pertama mereka adalah menghancurkan pusara Imam Husain as [56] pada tahun 1216 dan setelah itu penghancuran kubah haram para Imam Baqi pada tahun 1221 H. [57][58] Setelah renovasi kubah-kubah yang dihancurkan, dengan penguasaan kembali kelompok wahabi atas Hijaz pada tahun 1344 H, mereka dengan mengumpulkan fatwa-fatwa para ulama Madinah kembali melakukan penghancuran makam sahabat dan para imam suci as di Baqi'. [59] Dengan demikian, masalah bangunan di atas kuburan berubah menjadi salah satu tema konflik di dunia Islam.
Bertolak dari ideologi kelompok ini, umat muslim lainnya memperbolehkan bangunan di atas kubur, baik bangunan, kubah, masjid, dan sekolah. [60] Syiah dan sebagian Ahlusunah[61]menganggapnya sesuai dengan siroh umat muslim. [62] Sebagian fakih Ahlusunah juga dalam sebagian hal memberikan hukum makruh atas tindakan ini dan sebagian yang lain memberikan hukum mustahab bangunan di atas kubur para nabi, syuhada dan orang-orang salih. [63]
Sebagian para peneliti Ahlusunah berkeyakinan bahwa perselisihan pendapat terkait bangunan di sekitar kuburan muncul dari ketidakjelian kelompok wahabi dalam riwayat-riwayat yang melarang dan tidak memberikan perhatian pada argumentasi penentangnya. Larangan dalam riwayat ini tidaklah umum, namun khusus pada masa tertentu dan berlandaskan pada sebab-sebeb tertentu seperti tersentuhnya bangunan-bangunan ini dengan api dan atau dapat memberatkan pada mayit atau teridentifikasikannya mereka dari kuburan-kuburan muslim lainnya dan atau mencegah penguburan muslim lain di sampingnya.
Menurut kaidah-kaidah ushul, sebuah hukum yang bersamaan dengannya, juga dijelaskan alasannya, berlaku khusus pada hal itu saja dan tidak dapat diberlakukan pada hal-hal lainnya. [64] Selain terdapat dalil-dalil yang memperbolehkan membuat bangunan, lebih dari itu banyak sekali dari aspek sanad dan makna yang lebih kuat dari riwayat-riwayat yang melarang. [65]
Riwayat-riwayat yang melarang tindakan ini juga dimaknai makruh. Namun pastinya kuburan para tokoh agama, para wali, washi, orang-orang salih dan syuhada keluar dari hukum makruh ini; karena mereka adalah syiar-syiar agama. Sementara membangun masjid dan kubah di atas kubur mereka karena dapat menyebabkan teridentifikasikannya kuburan dan penziarahan mereka, maka itu termasuk dari mengagungkan mereka. Pengagungan syiar juga berdasarkan Alquran [66] dan termasuk tanda keselamatan jiwa dan kebenaran niat. [67]
Pandangan Alquran
Alquran berkenaan dengan perselisihan yang terjadi antara umat Kristen dan kaum musyrik terkait jasad-jasad Ashabul Kahfi telah menejelaskan pendapat kedua kelompok di atas. Sebagian mengatakan, makam atau tembok dibangun di depan pintu gua mereka, sehingga tidak terlihat dari penglihatan masyarakat, “Orang-orang itu berkata: “Dirikan sebuah bangunan di atas (gua) mereka”[68], Sebagian yang lain merekomendasikan agar dibangun masjid dan tempat ibadah di atas kuburan mereka, “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya”. [69]
Akhirnya diputuskan untuk membangun sebuah masjid di atas kuburan mereka sehingga di situ dijadikan tempat ibadah dan peninggalan Ashabul kahfi juga terpelihara serta mengambil keberkahan dari kuburan tersebut. Dalam ayat-ayat ini tidak diisyaratkan tentang musyriknya amalan tersebut, sementara jika pembangunan bangunan atau masjid adalah amal yang mengandung kemusyrikan, sudah pasti akan diisyaratkan. [70]
Catatan Kaki
- ↑ Dimyathi, jld. 2, hlm. 137.
- ↑ Al-Ghumari, jld. 1, hlm. 43.
- ↑ Ibnu Taimiyah, Iqtidha al-Shirat al-Mustaqim, hlm. 331.
- ↑ Ibnu Taimiyah,Majmu'ah al-Fatawa, jld. 27, hlm. 27.
- ↑ Syaikh Thabasi, Shenakhte Wahabiyyat, hlm. 801.
- ↑ As-Samhudi, jld. 3, hlm. 3.
- ↑ Al-Maghazi, dinukil dari Al-Ghumari, jld. 1, hlm. 17.
- ↑ Amin, hlm. 313.
- ↑ Samhudi, jld. 2, hlm. 109.
- ↑ Amin, hlm. 316-317.
- ↑ Untuk informasi lebih tentang rute sejarah bangunan yang dibangun di atas kubur, rujuklah, http://www.hajij.com/fa/vahy-land-learning/1070.
- ↑ Ayatullah Subhani, Shiyanat al-Atsar, hlm. 79-80.
- ↑ Ayatullah Subhani, Shiyanat al-Atsar, hlm. 126-127.
- ↑ Ibn Sa'ad, jld. 4, hlm. 31.
- ↑ Dauri wa Mathlabi, hlm. 31.
- ↑ Ibnu Atsir, al-Kamil, jld. 9, hlm. 60.
- ↑ hlm. 173-174.
- ↑ Jld. 1, hlm. 163.
- ↑ Jld. 1, hlm. 288.
- ↑ Jld. 1, hlm. 65.
- ↑ Çelebi, hlm. 149 – 150.
- ↑ Ibnu Jubair, hlm. 174.
- ↑ Ibnu Battuta, jld. 1, hlm. 65.
- ↑ Al-Syablanji, hlm. 286.
- ↑ Hillenbrand, hlm. 27.
- ↑ Ibnu Jauzi, jld. 16, hlm. 100.
- ↑ Ibnu Battuta, jld. 1, hlm. 172.
- ↑ Ibnu Jubair, hlm. 173.
- ↑ Ibnu Battuta, jld. 1, hlm. 65.
- ↑ Ibnu Battuta, hlm. 25.
- ↑ Ibnu Battuta, hlm. 173.
- ↑ Grabar, hlm. 22.
- ↑ Ibnu Battuta, hlm. 21.
- ↑ Mazahiri, hlm. 37.
- ↑ Grabar, hllm. 24-27.
- ↑ Muqrizi, jld. 1, hlm. 197-199.
- ↑ Grabar, hlm. 21.
- ↑ Burckhardt, hlm. 105.
- ↑ Suyuthi, hlm. 392.
- ↑ Thabari, Muhammad bin Jarir, jld. 2, hlm. 365.
- ↑ Syaikh Mufid, al-Irsyād, hlm. 19.
- ↑ Khalili, jld. 6, hlm. 97.
- ↑ Grabar, hlm. 24-27.
- ↑ Khalili, jld. 8, hlm. 182.
- ↑ Khatib, jld. 1, hlm. 120.
- ↑ Mudarrisi Tabatabai, jld. 1, hlm. 18.
- ↑ Ibnu Hajar, jld. 7, hlm. 339.
- ↑ Ibnu Hibban, jld. 8, hlm. 457.
- ↑ Zanjani, hlm. 125.
- ↑ Mudarrisi, jld. 1, hlm. 18.
- ↑ Dāirat al-Ma'ārif Buzurge Islami, jld. 1, makalah 202 (makam Abdul Adzim).
- ↑ Mostafavi, jld. 1, hlm. 146.
- ↑ Ibnu Atsir, jld. 8, hlm. 214.
- ↑ Ibnu Taimiyyah, Iqtidha al-Shirath al-Mustaqim, hlm. 184-187.
- ↑ Ibnu Qayim, hlm. 504.
- ↑ Amin, Kasyf al-Irtiyab, hlm. 287.
- ↑ Ibn Musa, hlm. 5-6.
- ↑ Amin, hlm. 16-17.
- ↑ Amin, Kasyf al-Irtiyab, hlm. 287-288.
- ↑ Jaziri, jld. 1, hlm. 487.
- ↑ Ibnu Hajar, jld. 2, hlm. 16.
- ↑ Ayatullah Subhani, Shiyanat al-Atsar, hlm. 79-80.
- ↑ Ibnu Hajar, jld. 2, hlm. 16.
- ↑ Al-Ghumari, jld. 1, hlm. 18.
- ↑ Al-Ghumari, hlm. 15.
- ↑ Surah al-Hajj: 32.
- ↑ Al-Ghumari, jld. 1, hlm. 10, 24, 59, dan 60.
- ↑ Al-Kahfi: 21
- ↑ Allamah Thabathabai, jld. 13, hlm. 265; Thabari, Jami' al-Bayan, jld. 15, hlm. 149; Syaikh Thabrisi, Majma' al-Bayan, jld. 6, hlm. 710.
- ↑ Al-Ghumari, jld. 1, hlm. 31.
Daftar Pustaka
- Burckhardt, Titus. Honare Islami: Zaban wa Bayan. Penerjemah: Masud Rajab Niya. Teheran: 1356 HS.
- Çelebi, Evliya Ar-Rihlah al-Hijaziyyah.Penerjemah:. Ahmad Mursi. Kairo: 1420 H.
- Dimyathi, Muhammad Syatha. Hāsyiyah I'ānah ath-Thālibin ala Halli al-Afādz Fathi al-Mu'in li Syarh Quratul ‘Ain bi Muhimmat ad-Din. Beirut: Dar Fikr.
- Duri, Abdul Aziz dan Addul Jabbar Matalibi. Akhbār ad-Daulah al-Abbasiyah. Beirut: 1971.
- Ghumari, Ahmad bin Shadiq. Ihyā al-Maqbur min Adillah Jawaz Bina al-Masājid wa al-Qubab ala al-Qubur. Kairo: Maktabah Kairo, cet. IV, 1429 H.
- Grabar, Oleg. Awwalin Banāhāye Yodbude Islami. Penerjemah: Klud Karbasi, karya no 26-27, 1357 HS.
- Hillendbrand, Robert. Maqābir Dar Me'mariye Iran: Daurye Islami. terjemahan Karamatullah afsar. Teheran: Nasyr Muhammad Yusuf Kiyani. 1366 HS.
- Ibn Atsir, Ali bin Abi al-Karam. Al-Kāmil fi at-Tārikh. Riset: Abdullah Qadhi. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. II, 1415 H.
- Ibn Battuta, Muhammad bin Abdullah. Tuhfah an-Nadzar fi Gharāib al-Amshār wa ‘Ajāib al-Asfār: Rihlah Ibn Battuta. Dar al-Sharq al-‘Arabi, tanpa tahun.
- Ibn Jauzi, Abdurrahman bin Ali. Al-Muntadzam fi Tārikh al-Umam wa al-Muluk. Riset: Muhammad Abdul Qadir ‘Atha. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1412 H.
- Ibn Jubair, Muhammad bin Ahmad. Ar-Rihlah. Beirut: Dar Beirut lil Thaba'ah wa al-Nasyr.
- Ibn Najjar, Muhammad bin Mahmud. Ad-Durrah al-Tsamaniyyah. Riset. Husain Muhammad Ali Syukri. Syarikat Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam.
- Ibnu Hajar al-Asqalani, Ahmad bin Ali. Tahdzib at-Tahdzib. Beirut: Dar al- Fikr, 1404 H.
- Ibnu Hajar Haitami. Kasyf al-Irtiyāb an Atbā' Muhammad bin Abdul Wahab. Dar al-Kutub al-Islam.
- Ibnu Hibban, Muhammad. Ats-Tsiqat. Riset: Sayyid Syarafuddin Ahmad. Beirut: Dar al-Fikr, 1395 H.
- Ibnu Isa, Khalid. Tāj al-Mufriq fi Tahlilihi Ulama al-Masyriq. Maroko: Mathba'ah Faddhalah.
- Ibnu Mandzur. Lisan al-‘Arab.
- Ibnu Musa, Ali. Washf al-Madinah al-Munawwaroh: Rasāil fi Tārikh al-Madinah al-Munawwaroh. Riset: Hamd Jasir. Riyadh: Dar al-Yamamah.
- Ibnu Sa'ad, Muhammad. At-Thabaqat al-Kubra. Beirut: Dar Shadir.
- Jaziri, Abdurrahman bin Muhammad ‘Awad. Al-Fiqh ala Madzāhib al-Arba'ah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet.II, 1424 H/2003.
- Khalili, Ja'far. Mausu'ah al-Atabāt al-Muqaddasah. Beirut: Mausu'ah al-A'lami lil Matbu'at, cet. II, 1307 H.
- Mazahiri, Ali. Zendegiye Musalmānān dar Qurune Wustha. Penerjemah: Murtadz Rawandi. Teheran: 1348 HS.
- Mostafavi, Mohammad Taqi. Ātsār Tarikhi Tehran. Teheran: Anjumen Atsar Melli, 1361 HS.
- Mudarrisi Thabathabai, Hussain. Turbate Pākān. Qom: 1355 HS.
- Muqrizi, Ahmad bin Ali. Al-Mawāidz wa al-I'tibar bi Zikri al-Khothath wa al-Ātsār.
- Samhudi, Ali bin Abdullah. Wafa al-Wafa. Al-Sa'adah bi Mishr, 1374 H.
- Subhani, Ja'far. Shiyanat al-Atsar al-Islamiyyah.
- Suyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakar. Tarikh al-Khulafa. Riset. Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid. Mesir: al-Sa'adah, 1371 H.
- Syablanji, Mukmin. Nur al-Abshār fi Manāqib Al bait an-Nabi al-Mukhtar. Beirut: 1409 H.
- Thabari, Muhammad bin Jarir. Jāmi' al-Bayān fi Tafsir al-Quran. Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1412 H.
- Thabari, Muhammad bin Jarir. Tārikh al-Umam wa al-Muluk. Terjemahan Abul Qasim Payandeh. Teheran: 1354 H.
- Thabathabai, Muhammad Hussain. Al-Mizān fi Tafsir al-Quran. Qom: Nasyr al-Salami, cet. V, 1417 H.
- Thabrisi, Fadhl bin Hassan. Majma' al-Bayān fi Tafsir al-Quran. Teheran: Nasir Khosro, cet. III, 1373 HS.
- Zanjani. Jaulah fi Amākin al-Muqaddasah. Beirut: Muassasah al-A'lami, 1414 H.