Bada'

Dari wikishia

Bada' munculnya suatu perkara dari sisi Allah Swt. yang berlawanan dengan apa yang diharapkan oleh hamba-hamba-Nya. Bada' dianggap sebagai salah satu keyakinan khusus dalam mazhab Syiah. Menurut para ulama Imamiyah, bada' dalam hal-hal tasyri'i setara dengan nasakh dalam hal-hal tasyri'i. Bada' memiliki tempat yang istimewa dalam keyakinan Syiah; sehingga dalam riwayat-riwayat Syiah, kepercayaan kepada bada' dianggap sebagai salah satu keyakinan paling berharga dalam Syiah.

Beberapa ulama Ahlussunnah menganggap keyakinan Syiah terhadap bada' sebagai suatu hal yang menyiratkan kebodohan dan kekecewaan kepada Allah Swt. Bagi mereka, bada' berarti bahwa Allah mengetahui sesuatu dan kemudian muncul sesuatu yang bertentangan dengan pengetahuan-Nya. Sebaliknya, para ulama Imamiyah menolak makna ini dari bada' dan dengan merujuk kepada riwayat-riwayat para imam Syiah, menganggap mengaitkan hal tersebut kepada Allah sebagai bentuk kekufuran. Mereka mengatakan bahwa mengaitkan bada' kepada Allah adalah bermakna bahwa Dia, dengan kekuasaan dan kehendak-Nya, menghapus apa yang diharapkan dan menetapkan sesuatu yang baru, dan Dia mengetahui kedua peristiwa tersebut.

Dalam riwayat, untuk keyakinan terhadap bada' terdapat efek seperti menciptakan harapan kepada Allah dalam hati orang-orang beriman, perhatian terhadap amalan seperti doa dan tawassul, serta penguatan keyakinan akan penerimaan taubat dan pengampunan dosa.

Defenisi dan Kedudukan

Bada’ adalah istilah dalam ilmu kalam, yang berarti terungkapnya sesuatu dari sisi Allah, bertentangan dengan apa yang tampak. Sebenarnya, dalam bada', Allah menghapus ketetapan pertama dan mewujudkan yang kedua, dan tentu saja Dia mengetahui kedua peristiwa tersebut.[1] Menurut Syaikh Mufid, bada’ adalah terungkapnya sesuatu dari Allah Swt, bertentangan dengan apa yang biasanya kita harapkan.[2] Bada’ dianggap sebagai salah satu keyakinan yang menjadi ciri khas Syiah.[3]

Relasi Bada' dengan Nasakh

Mirdamad dalam kitab Nibras al-Dhiya' menyatakan bahwa bada' dalam perkara-perkara takwini adalah setara dengan nasakh dalam hukum syari’.[4] Menurut Muhammad Husain Kasyif al-Ghita dalam kitab Ashl al-Syi'a wa Ushuliha, sebagaimana Allah membatalkan suatu hukum syari' berdasarkan beberapa rahasia dan maslahat, dan menetapkan hukum baru sebagai penggantinya, dalam dunia takwini juga kadang-kadang suatu kenyataan takwini diinginkan dan diungkapkan, dan mungkin beberapa malaikat muqarrabin atau seorang nabi dari para nabi ilahi diberi tahu tentang terjadinya peristiwa tersebut di masa depan, dan nabi tersebut juga memberitahukan umatnya tentang terjadinya peristiwa itu; namun kemudian, dengan mempertimbangkan maslahat dan faktor-faktor yang tidak diketahui oleh siapapun, peristiwa itu tidak terjadi atau peristiwa lain yang terungkap, dan inilah yang disebut bada’.[5]

Oleh karena itu, dikatakan bahwa cakupan bada’ dalam riwayat mencakup hal-hal takwini, seperti penundaan kematian seseorang karena silaturahmi atau percepatan kematian seseorang karena dosa yang dilakukannya, dan juga mencakup hal-hal tasyr'i seperti pembatalan agama-agama sebelumnya atau beberapa hukum seperti perubahan kiblat.[6]

Pentingnya bada' di kalangan Syiah

Bada’ memiliki posisi khusus dalam keyakinan Syiah. [7] Menurut Ja'far Subhani, jarang ditemukan buku dan karya kalam serta filosofis di kalangan Syiah yang tidak membahas masalah ini, dan oleh karena itu, banyak buku dan disertasi yang ditulis oleh para ulama Syiah mengenai topik ini. [8] Agha Buzurgh Tehrani dalam al-Dzari’ah menyebutkan sekitar 25 kitab atau karya ilmiah yang ditulis tentang bada’.[9]

Dalam sumber-sumber riwayat Syiah, riwayat yang berkaitan dengan bada’ dikelompokkan dalam bab-bab terpisah. Misalnya, al-Kulaini dalam kitab al-Kafi mengkhususkan satu bab dengan judul "Bab al-Bada" untuk riwayat tersebut dan mengumpulkan 16 riwayat dalam bab ini. [16] Syaikh Shaduq juga mengkhususkan satu bab dalam kitab al-Tauhid untuk masalah bada’' dan mengumpulkan 11 riwayat di dalam bab ini.[11] Allamah Majlisi dalam kitab Bihar al-Anwar menyebutkan 70 riwayat dalam bab ini dan selain riwayat yang berkaitan dengan bada’ yang dinyatakan secara eksplisit, ia juga mengumpulkan riwayat tentang penerimaan doa dan nilai sedekah di bawah bab ini yang digunakan untuk membuktikan bada’.[12]

Bada’ adalah salah satu perkara yang diyakini penting dalam beberapa riwayat dan dianjurkan meyakininya. Dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Zurarah dari salah satu dari dua imam, yaitu Imam Baqir a.s. atau Imam Shadiq a.s., disebutkan: "مَا عُبِدَاللَّهُ بِشَيْ‌ءٍ مِثْلِ الْبَدَاءِ؛ tidak ada yang menyembah Allah dengan sesuatu seperti keyakinan terhadap bada’”. [13] Dalam riwayat lain yang disampaikan oleh Hisyam bin Salim dari Imam Shadiq a.s. disebutkan: "مَا عُظِّمَ اللَّهُ بِمِثْلِ الْبدَاءِ؛ tidak ada yang mengagungkan Allah seperti keyakinan terhadap bada’. [14]

Kritik terhadap keyakinan bada’

Beberapa orang seperti Abdullah bin Ahmad Kabir al-Balkhi [15] (w. 319 H) seorang mutakallim dan mufassir dari mazhab Mu'tazilah, serta Fakhr Razi,[16] menganggap pandangan Syiah tentang bada’ sebagai suatu hal yang mengharuskan untuk mengaitkan kejahilan kepada Allah dan perubahan dalam ilmu dan kehendak-Nya. Hal ini menyebabkan beberapa ulama Wahabi mencemooh Imamiyah. [17] Menurut mereka, bada’ dalam pandangan Imamiyah berarti seseorang memiliki pendapat dan ingin melakukan sesuatu berdasarkan pendapat itu, kemudian pendapatnya berubah dan akibatnya, niat dan kehendaknya untuk melakukan hal tersebut juga berubah, dan ini disebabkan oleh kebodohan terhadap maslahat perkara atau penyesalan atas tindakan sebelumnya dan pengunduran diri dari melakukannya.[18]

Imamiyah dalam menjawab mengatakan bahwa penggambaran tentang bada’ seperti ini dapat diterima untuk manusia namun jika mengaitkannya dengan Tuhan akan menyebabkan kekufuran.[19] Dalam riwayat-riwayat yang dinisbatkan dari para imam Syiah, pengaitan anggapan ini kepada Allah Swt. telah ditolak. Sebagai contoh, dalam beberapa riwayat, dari Imam Shadiq a.s. disebutkan:

  • "Siapa yang mengira bahwa sesuatu telah ditampakkan Allah karena penyesalan, di sisi kami dia telah kafir kepada Tuhan yang Maha Besar."
  • "Tidak ada sesuatu pun yang tampak bagi Allah, kecuali bahwa sebelumnya, ilmunya sudah ada di sisi Allah.”[21]
  • "Bagi Allah, tidak ada sesuatu pun yang tampak karena kebodohan terhadapnya.”[22]

Perbedaan mazhab-mazhab Islam mengenai bada’ secara etimologi

Syaikh Mufid berpendapat bahwa perbedaan mazhab-mazhab Islam lainnya dengan Imamiyah dalam masalah bada' adalah perbedaan dalam memahami defenisinya; karena tidak ada aliran dalam Islam yang mengingkari makna ini bahwa Allah menetapkan agama dan hukum, kemudian membatalkannya, atau menghidupkan seseorang dan kemudian mematikannya, atau membuat seseorang yang telah diberi kekayaan menjadi miskin. [23] Dia percaya bahwa hal-hal ini adalah bada' yang disebutkan dalam ayat-ayat dan riwayat, dan tidak ada seorang Muslim pun yang mengingkarinya. [24] Sayid Muhammad Hussein Tabatabai juga menganggap perbedaan ini sebagai verbal dan berpendapat bahwa jika di dalam masalah ini direnungkan dan dipikirkan, maka tidak akan ada perselisihan yang tersisa dan perselisihan itu sendiri akan lenyap.[25]

Dalam sumber-sumber hadis Ahlussunnah juga terdapat hadis yang menyebutkan tentang masalah bada’ [26] dan juga hadis tentang silaturahmi dan pengabulan doa yang menunjukkan masalah bada’.[27]

Apakah bada' mengharuskan perubahan dalam ilmu Allah?

Dari sudut pandang Imamiyah, mengaitkan bada’ dengan Allah tidak mengharuskan perubahan dalam ilmu dan kehendak Allah. [28] Beberapa ulama Imamiyah seperti Allamah Majlisi dan Sayyid Muhammad Husain Thabathabai merujuk kepada ayat 39 Surah Ar-Ra'd dan juga hadis-hadis yang diriwayatkan dari para Imam Maksum a.s. terkait ayat ini.[29]

Mereka percaya bahwa Allah telah menciptakan dua lembaran lauh dan mencatat segala sesuatu yang terjadi di alam semesta di dalamnya: satu adalah lauh yang terpelihara yang tidak bisa berubah; yang lainnya adalah lauh penghapusan dan penetapan di mana Allah mencatat sesuatu dan kemudian, berdasarkan maslahat, menghapusnya dan mencatat hal lain, dan Dia mengetahui semuanya. Misalnya, mungkin Allah, berdasarkan hikmah yang Dia ketahui, mencatat umur seseorang selama lima puluh tahun, dan ketika orang itu melakukan silaturahmi atau memberi sedekah, Dia menghapus umur lima puluh tahunnya dan mencatat umur yang lebih panjang sebagai ganti, atau sebaliknya. Dalam pandangan Imamiyah, perubahan yang terjadi di lauh ini, yang mana Tuhan mengetahui baik perintah sebelumnya maupun apa yang telah ditunjukkan, disebut sebagai bada'.[30]

Jawadi Amuli, seorang mufasir Al-Qur'an dan filsuf Syiah, mengatakan bahwa bada' tidak terjadi dalam ilmu esensial Tuhan; melainkan terjadi dalam lingkup ilmu aktual Tuhan.[31] Menurutnya, ilmu dzati atau ilmu esensial adalah abadi, kekal, dan tidak bisa berubah, sedangkan ilmu aktual adalah tindakan, kejadian, dan bisa berubah.[32]

Bada’ tidak menisbatkan kejahilan kepada Tuhan

Mullah Saleh Mazandarani dari kalangan ulama Imamiyah mengatakan bahwa ilmu Tuhan adalah abadi dan sejak awal Dia sudah mengetahui bahwa sesuatu akan dihapus pada waktu tertentu karena selesainya maslahatnya, atau ketika maslahat tersebut kembali, Dia akan menciptakannya pada waktunya. Dan siapa yang berkeyakinan sebaliknya, misalnya mengatakan bahwa Tuhan mengetahui sesuatu hari ini yang sebelumnya tidak Dia ketahui, maka dia telah menjadi kafir terhadap Tuhan.[33]

Menurut Abdullah Jawadi Amuli, Allah Swt. memiliki ilmu intuitif tentang segala sesuatu dari awal hingga akhir dan mengetahui seluruh perubahan peristiwa serta apa yang terjadi pada setiap titik waktu, serta apa yang akan lenyap. Oleh karena itu, tidak ada istilah kebaruan di sisi-Nya; melainkan ada istilah pengungkapan; yaitu apa yang tidak jelas bagi manusia, Dia ungkapkan dan nyatakan.[34]

Contoh-contoh dalam sejarah terjadinya bada'

Beberapa contoh kebaruan yang berdasarkan beberapa ayat Al-Qur'an dan riwayat, terjadi dalam sejarah adalah sebagai berikut:

  • Berdasarkan ayat 98 Surah Yunus, penolakan kaum Yunus menyebabkan hukuman ilahi datang kepada mereka, dan Nabi Yunus yang tidak menganggap mereka layak untuk mendapatkan petunjuk dan melihat mereka pantas untuk dihukum meninggalkan mereka; namun salah seorang terpelajar dari kaum tersebut yang melihat tanda-tanda hukuman mengumpulkan mereka dan mengajak mereka untuk bertobat. Mereka pun bertobat dan hukuman yang tanda-tandanya telah tampak pun diangkat.[35]
  • Berdasarkan ayat 102 hingga 107 Surah ash-Shaffaat, ketika Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih putranya Ismail, untuk melaksanakan perintah ini, ia membawa Ismail ke tempat penyembelihan; tetapi ketika Ismail menunjukkan kesiapan, terjadi bada' dan terungkap bahwa ini adalah ujian untuk mengukur tingkat ketaatan dan penyerahan dirinya serta putranya Ismail.[36]
  • Berdasarkan ayat 142 Surah Al-A'raf, Nabi Musa awalnya diperintahkan untuk meninggalkan kaumnya selama 30 hari dan pergi ke tempat janji ilahi untuk menerima kitab suci; tetapi kemudian, diperpanjang 10 hari lagi dan untuk menguji Bani Israil, ia tinggal lebih dari 30 hari di tempat pertemuan tersebut. [37]
  • Di antara peristiwa yang terjadi dalam sejarah Imamiyah terkait dengan tema bada, salah satunya adalah kematian Ismail, putra tertua Imam Shadiq a.s. [38], dan yang lainnya adalah kematian Muhammad, putra tertua Imam Hadi a.s. [39], yang menurut keyakinan sebagian kelompok Syiah, Ismail adalah Imam setelah Imam Shadiq dan Muhammad adalah Imam setelah Imam Hadi; tetapi karena kematian mereka pada masa hidup ayah-ayah mereka, bada' terjadi dan jelas bahwa Imam berikutnya adalah anak-anak dari kedua Imam tersebut.[40]

Dampak Keyakinan terhadap Bada’

Ada beberapa pengaruh yang disebutkan terkait keyakinan terhadap bada’, di antaranya adalah sebagai berikut:

  • Keyakinan terhadap bada’ menyebabkan pengakuan akan kekuasaan mutlak Allah dan memperkuat keyakinan tersebut; dengan penjelasan bahwa meskipun takdir Ilahi terkait dengan suatu peristiwa tertentu pada waktu tertentu, Allah tetap dapat mengubahnya, sehingga peristiwa tersebut tidak terjadi pada waktu yang ditentukan atau peristiwa lain dapat terjadi.[41]
  • Keyakinan terhadap bada’ menanamkan harapan dalam hati-hati orang beriman dan menyebabkan hamba-hamba Allah hanya berharap kepada-Nya untuk mengabulkan doa dan permohonan mereka, serta memutuskan harapan dari selain-Nya.[42]
  • Penolakan terhadap bada’ mengharuskan keyakinan pada takdir dan percaya bahwa apa yang telah ditentukan pasti terjadi tanpa pengecualian, sehingga muncul anggapan keliru bahwa ketika sesuatu yang telah ditentukan pasti terjadi, maka doa, tawassul, permohonan, dan istighfar hamba-hamba Allah tidak ada manfaatnya; [43] sementara itu, tidak ada seorang Muslim pun yang menganggap hal-hal ini tidak berguna.[44]
  • Keyakinan terhadap bada’ memperkuat keyakinan akan penerimaan tobat dan syafaat dari Allah yang berkuasa menutupi dosa-dosa kecil dengan menghindari dosa-dosa besar.

Pandangan berbeda beberapa ulama Syiah tentang Bada’

Khwaja Nashir al-Thusi dalam menjawab Fakhr al-Razi yang menganggap ajaran bada’ sebagai inovasi Syiah, [46] mengatakan bahwa bada’ bukanlah keyakinan Syiah dan hanya ada satu riwayat tentangnya yang bersifat khabar wahid, dan riwayat semacam ini tidak memiliki otoritas dan keabsahan di kalangan Syiah.[47] Mulla Shadra dalam syarahnya tentang al-Ushul al-Kafi dan Allamah Majlisi dalam Mir'at al-'Uqul menganggap pandangan Khwaja Nashir ini sebagai akibat dari kurangnya informasi mengenai riwayat-riwayat yang sampai padanya.[48]

Meskipun demikian, Sayid Muhammad Shadiq Ruhani berpendapat bahwa pandangan Khwaja Nashir merujuk pada tafsiran Fakhr al-Razi tentang Bad' yang menganggapnya sebagai sesuatu yang menyiratkan kebodohan dan penyesalan kepada Allah, dan Khwaja Nashir membantah makna ini dari bada’ yang ditujukan kepada Syiah.[49] Tentu saja, Fadhil Muqaddam, seorang faqih dan mutakallim Syiah (w. 826 H), juga menganggap sumber bada’ adalah khabar wahid yang, jika dianggap benar, diterapkan pada nasakh. [50] Dia mengaitkan keyakinan kepada Bada' dengan Zaidiyah.[51]

Bibliografi

Dalam artikel "Ajaran Bada’ dan Bibliografinya", lebih dari 60 karya tentang bada’ diperkenalkan oleh para ulama dan peneliti.[52] Beberapa karya tersebut adalah:

  • Risalah "Ijabatu al-Du'a fi Mas'alati al-Bada’”, ditulis oleh Sayid Muhammad Kazhim ‘Ashar: Risalah ini mencakup pembahasan filosofis mengenai pengabulan doa dan tema terkaitnya, yaitu bada’, bersama dengan dua risalah lainnya dalam satu kumpulan berjudul “Tsalatsu Rasail fi al-Hikmah al-Ilahiyah", disusun dan dicetak. [53]
  • Kitab “Al-Bada' 'Indi al-Syi'ah", ditulis oleh Sayid Ali Allamah Fani Isfahani (1333-1409 H), seorang faqih Syiah dan murid Sayid Abul Hasan Isfahani: Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia dengan judul "Badā dari Perspektif Syiah".
  • Kitab "Risalatani fi al-Bada’”: Kitab ini terdiri dari dua risalah singkat mengenai masalah Bada’ dari dua faqih dan peneliti Al-Qur'an Syiah, Muhammad Jawad Balaghi dan Sayid Abul Qasim al-Khui.
  • Kitab “Al-Bada' 'Inda al-Syi’ati al-Imamiyyah", ditulis oleh Sayid Muhammad Kalantar: Kitab ini diterbitkan pada tahun 1975 oleh penerbit Jam'iat al-Najaf al-Diniyah di Najaf.
  • Kitab "Al-Bada' ‘ala Dhaui al-Kitab wa al-Sunnah", ditulis oleh Ja'far Subhani.

Catatan Kaki

Daftar Pustaka