Ayat Istirja
Informasi Ayat | |
---|---|
Nama | Istirja' |
Surah | Surah Al-Baqarah |
Ayat | 156 |
Juz | 2 |
Informasi Konten | |
Sebab Turun | Pengcapan kalimat Istirja' oleh Imam Ali as setelah kabar syahidnya Hamzah atau Ja'far bin Abi Thalib |
Tempat Turun | Madinah |
Tentang | Akidah & Akhlak |
Deskripsi | Kembalinya semua manusia kepada Allah swt |
Ayat-ayat terkait | Ayat 155 dan 157 Surah Al-Baqarah |
Ayat Istirjâ’ (bahasa Arab:آية الاسترجاع (Al-Baqarah: 156) adalah ayat yang mengisyaratkan mengenai kembalinya manusia kepada Allah swt. Mengucapkan ayat ini merupakan hal yang mustahab pada saat seseorang tertimpa musibah dan kesusahan. Dalam kitab – kitab tafsir Syiah, seperti Tafsir al-Tibyân dan Majma' al-Bayan, ayat ini dianggap sebagai tanda penghambaan diri kepada Allah swt dan keyakinan terhadap hari kiamat. Menurut riwayat Imam Shadiq as, orang yang membaca ayat istirjâ' ketika tertimpa musibah termasuk dari salah satu dari mereka yang akan masuk surga.
Menurut Riwayat yang dinukil Allamah Hilli dan Ibn Syahr Âsyûb dalam kitab-kitab mereka, ayat Istirjâ’' diturunkan setelah Imam Ali as mendengar berita kesyahidan pamannya Hamzah atau saudaranya Ja'far bin Abi Thalib, mengucapkan: "Inna lillahi wa inna ilaihi raajiûn".
Ayat dan Terjemahannya
Bagian dari ayat ke-156 Surah Al-Baqarah, yang merujuk pada keyakinan bahwa manusia berasal dari Allah swt dan akan kembali kepada-Nya, dikenal sebagai ayat Istirjâ’.[1]
اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ
"(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan "Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (sesungguhnya kami adalah dari Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali)."[2]
Makna dan Tafsir Ayat
Faidh Kâsyâni, seorang mufasir Syiah abad ke-11 Hijriah, dalam Tafsir Shâfi, telah mendefinisikan makna musibah dalam ayat Istirjâ’ dengan menyandarkan kepada keterangan sebuah riwayat sebagai segala sesuatu yang memberi kesusahan kepada orang-orang beriman.[3] Syekh Thusi, salah satu mufasir Syiah di abad ke-6 Hijriah, dalam kitab tafsirnya al-Tibyân, dan juga Fadhl bin Hasan al-Thabarsi, mufasir Syiah di abad ke-6 Hijriah, di dalam kitab tafsirnya Majma’ al-Bayân, menganggap ayat Istirjâ’ mengandung konsep pengakuan terhadap penghambaan diri kepada Allah Swt dan penerimaan terhadap keyakinan hari penghakiman dan kebangkitan (kiamat). Dengan mengucapkan ayat ini di saat mendapatkan musibah dan kesulitan berarti menerima kehendak Allah swt dan meridai dengan segala rencana dan kehendak-Nya.[4]
Fadl bin Hasan Thabarsi, dalam penafsirannya terhadap ayat Istirjâ’, dengan menyandarkan pada keterangan sebuah hadis, bahwa menurutnya Allah Swt akan mengganti musibah yang menimpa orang-orang yang mengucapkan ayat istirjâ’', yakni dengan mengucapkan ayat tersebut berarti mereka telah ingat bahwa mereka semua berasal dari Allah Swt dan akan kembali kepada-Nya, dan Allah Swt akan mengganti kehidupan mereka di akhirat menjadi lebih baik.[5] Thabarsi juga meriwayatkan sebuah riwayat dari Imam Shâdiq as yang menyatakan bahwa orang-orang yang mengucapkan ayat istirjâ’ pada saat tertimpa musibah adalah salah satu dari empat kelompok orang yang akan masuk surga.[6]
Imam Ali as, dalam sebuah riwayat, menjabarkan ayat istirjâ’ sedemikian rupa sehingga ketika kita mengatakan Inna lillâhi (kita semua berasal dari Tuhan), berarti kita telah mengakui bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan dan bahwa Dia adalah pemilik kita, dan ketika kita mengatakan Inna ilaihi râji’ûn (kita akan kembali kepada-Nya) berarti kita telah mengakui bahwa diri kita akan fana.[7] Penamaan ayat di bagian kedua "Inna lillâhi" ini menjadi istirjâ’, karena pengakuan kembali dirinya kepada Tuhannya.
Allamah Thabathabai dalam Tafsir al-Mizan mengatakan tentang makna ayat istirjâ’ bahwa jika seseorang mengetahui kepemilikan hakiki adalah dari Allah Swt dan bahwa kepemilikan manusia itu hanya sekedar titipan dan bukan pemilik sebenarnya, maka jikalau seseorang berhasil memperoleh sesuatu maka ia tidak akan merasa bangga dan angkuh atau jikalau ia kehilangan sesuatu darinya, maka ia tidak akan merasa sedih dan menyesal, karena semua hal itu tidak akan bisa mempengaruhinya.[8]
Thabathabai meriwayatkan dari gurunya Sayyid Ali Qâdhi bahwa ia merekomendasikan metode pembakaran jiwa untuk menghilangkan tujuan, niat dan cinta duniawi. Metode ini diilhami oleh Al-Qur'an, seperti ayat istirjâ’. Dengan cara ini, para pesuluk harus meyakini bahwa segala sesuatu yang ada adalah milik mutlak Allah Swt dan bahwa dirinya adalah faqr dzati (secara dzatnya adalah miskin). Pandangan dan keyakinan ini akan menyebabkan semua niat dan sifat-sifat keduniawiannya hangus terbakar, karena itulah metode ini disebut sebagai pembakaran jiwa. [9]
Kemustahaban Menurut Syariat
Menurut pendapat Syahid Awwal, seorang fakih Syiah pada abad ke-8 Hijriah, pengucapan ayat istirjâ’ (Inna lillâhi wa Inna Ilaihi Râjiûn) ketika tertimpa musibah adalah mustahab [10] dan banyak riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi saw dan para Maksumin as menganjurkan membaca ayat istirjâ’ ketika mendapatkan musibah (Inna Lillah wa Inna Ilaihi Râjiûn) ketika tertimpa musibah adalah mustahab [11] Shâhib al-Jawâhir, seorang fakih Syi'ah pada abad ke-13 Hijriah, juga menganggap pengucapan zikir istirjâ’ ketika hendak menguburkan jenazah adalah mustahab.[12]
Sebab Turunnya Ayat
Menurut hadis yang dinukil oleh Allamah Hilli di dalam kitab Nahj al-Haq wa Kasyf al-Shidq tentang sebab turunnya ayat istirjâ’, disebutkan bahwa setelah mendengar kabar syahidnya paman Nabi saw yakni Hamzah, Imam Ali as mengucapkan “Inna lillâhi wa inna Ilaihi râji’ûn" dan setelah itu, turunlah ayat tersebut.[13] Menurut hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Syahr al-Âsyûb, seorang ahli hadis dan ahli tafsir Syiah abad ke-6 H dalam kitab Manaqib Âli Abi Thâlib, menyebutkan bahwa setelah Nabi saw menerima berita tentang syahidnya Ja'far bin Abi Thâlib dalam perang Mutah, kemudian kabar itu disampaikan kepada Imam Ali as, kemudian Imam as berkata “Inna lillâhi wa inna Ilaihi râji’ûn ", lalu ayat tersebut turun.[14]
Catatan Kaki
- ↑ Silakan lihat ke Allamah Hilli, Nahj al-Haq wa Kasyf al-Sidq, 1982 M, hlm. 209
- ↑ Terjemah: Mulla Mahdi Fuladawand
- ↑ Faidh Kasyani, Tafsir al-Shafi, 1415 H, jld. 1, hlm. 204
- ↑ Thabrisi, Majma al-Bayan, 1408 H, jld. 1, hlm. 437: Syekh Thusi, Al-Tibyan, Beirut, jld. 2, hlm. 38-40
- ↑ Thabrisi, Majma al-Bayan, 1408 H, jld. 1, hlm. 437
- ↑ Thabrisi, Majma al-Bayan, 1408 H, jld. 1, hlm. 437
- ↑ Nahjul Balagha, Kalimat Qushar, no 99
- ↑ Thabathabai, Al-Mizan, 1390, jld. 1, hlm. 353-454
- ↑ Risaleh Seir va Suluk, Syarh Husaini, hlm. 147-148: Husaini Tehrani, Risaleh Lab al-Lubab, hlm. 124-125
- ↑ Syahid Awal, Dzikra al-Syiah, 1418 H, jld. 2, hlm. 49
- ↑ Syahid Awal, Dzikra al-Syiah, 1418 H, jld. 2, hlm. 49
- ↑ Shahib Jawahir, Jawahir al-Kalam, Beirut, jld. 4, hlm. 310
- ↑ Allamah Hilli, Nahju al-Haq, 1982 M, hlm. 209
- ↑ Ibnu Syahr Asyub, Manaqib Ali Abi Thalib, Intisharat Allamah, jld. 2, hlm. 120
Daftar Pustaka
- Allamah Hilli, Hasan bin Yusuf. Nahju al-Haq wa Kasyf al-Shidq. Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani wa al-Maktabah al-Madrasah, 1982 M
- Allamah Thabathabai, sayid Muhammad Husain. Al-Mizan fi Tafsir al-Quran. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, 1390 H
- Al-Quran al-Karim
- Faidh Kasyani, Muhammad bin Syah Murtadha. Tafsir al-Shafi' Editor dan prolog serta komentar: Husain A'lami. Teheran: Perpustakaan al-Shadr, 1415 H/1373 S
- Ibnu Syahr Asyub, Muhammad bin Ali. Manaqib Ali Abi Thalib. Riset dan komentar: Sayid Hasyim Rasuli Mahalati. Qom: Yayasan Intisyarat Allamah
- Shahaib Jawahir, Muhammad Hasan bin Baqir. Jawahir al-Kalam fi Syarhi Syarayi al-Ahkam. Riset dan komentar: Syekh Abbas Qucani. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi
- Syekh Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Tibyan fi Tafsir al-Quran. Prolog oleh Agha Buzurg Tehrani. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, tanpa tahun
- Thabrisi, Fadhl bin Hasan. Majma al-Bayan fi Tafsir al-Quran. Riset dan diedit serta dikomentar: Sayid Hasyim Rasuli Mahalati dan Sayid Yazdi Thabathabai. Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1408 H/1988 M