Sama' al-Mauta

Prioritas: b, Kualitas: b
tanpa navbox
tanpa alih
Dari wikishia

Sama' al-Mauta (bahasa Arab: سَماع مَوتی) adalah kekuatan orang-orang mati dalam mendengar suara orang yang masih hidup dan berkomunikasi dengan mereka di alam Barzakh. Ini adalah salah satu masalah kontroversial antara muslimin dan kelompok Wahabi yang mana penerimaan beberapa pembahasan ideologis seperti bertawassul kepada orang mati bergantung kepada masalah tersebut. Dalam hadis, diisyaratkan tentang kehidupan barzakhi orang-orang yang sudah mati dan juga kekuatan mereka untuk berkomunikasi dengan orang yang masih hidup, termasuk mendengar suara mereka. Hadis-hadis ini telah dinukilkan dalam literatur-litaratur Ahlusunah dan beberapa tokoh Salafi kenamaan seperti Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim menerima Sama' al-Mauta dengan bersandar pada riwayat-riwayat tersebut.

Makna

Secara harfiah, "Sima al-Mauta" berarti mendengarnya orang-orang yang mati atau menyampaikan pesan kepada orang-orang mati. Dan maksudnya adalah orang mati memiliki kekuatan untuk mendengar suara orang yang masih hidup dan berkomunikasi dengan mereka di alam Barzakh. Salah satu dasar dari keyakinan terhadap Sima al-Mauta adalah penerimaan kehidupan barzakhi. Jika kehidupan di alam Barzakh ditolak, kemungkinan berkomunikasi dengan orang mati juga akan ternafikan.

Dalil Sama al-Mauta

Dalil-dalil Alquran

Percakapan Nabi Shalih as dan Nabi Syu'aib as dengan umat yang sudah binasa[1] dan perintah Alquran kepada Nabi saw untuk berbicara dengan nabi-nabi sebelumnya[2] adalah salah satu bukti akan hal ini. Ibnu Hajar dan Qadhi Taqiyuddin al-Subki termasuk dari ulama Ahlusunah yang berargumentasi dengan ayat 169 surah Ali Imran untuk membuktikan kehidupan orang mati di alam Barzakh dan Sama' al-Mauta: "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki." [3] [4]

Riwayat

Dalam beberapa hadis, telah diisyaratkan komunikasi orang-orang yang sudah mati dengan orang-orang yang masih hidup, terutama kekuatan mereka untuk mendengar suara orang yang hidup; termasuk beberapa hadis yang disebutkan dalam sumber Ahlusunah adalah sebagai berikut:

  • Orang yang mati mendengar suara langkah-langkah para pelayatnya di pemakaman[5] dan menjawab orang-orang yang masih hidup. [6]
  • Setelah Nabi saw wafat, beliau menjawab salam umatnya. [7]
  • Setelah perang Badar, Nabi saw berbicara dengan orang-orang kafir yang terbunuh dan dibuang ke dalam sumur. Umar berkeberatan kepada Nabi saw seraya berkata bahwa "Mereka sudah mati dan tidak mendengar ucapanmu!. Nabi saw menjawab, engkau tidak lebih baik mendengar ucapan saya dari pada mereka, hanya saja mereka tidak mampu menjawab." [8]
  • Anjuran Nabi saw untuk ziarah kubur yang dimuat dalam hadis-hadis ini, dimana beliau mengatakan bahwa orang mati mendengar suara Anda dan menjawab salam Anda. [9] Beliau sendiri juga memasuki Baqi dan berbicara kepada orang mati di situ dan berkata, "Keselamatan untuk kalian wahai penghuni kubur dari kalangan kaum mukminin dan Anda menerima apa yang dijanjikan kepada Anda besok dan insya Allah kami akan menyusul kalian.” [10]

Selain hadis-hadis yang disebutkan di atas, ada bukti lain untuk Sima al-Mauta dalam sumber-sumber Syiah seperti percakapan Imam Ali as dengan mereka yang terbunuh dalam perang Jamal. [11]

Disyariatkannya pembacaan Talqin saat pemakaman menunjukkan bahwa mereka mendengar, jika tidak maka ini akan sia-sia.

Pendapat Kelompok Wahabi

Beberapa kelompok Wahabi dengan bersandar pada ayat-ayat Alquran seperti: “Kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar”[12] dan surah An-Naml ayat 80 dan surah Ar-Rum ayat 52, "Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar", menolak Sima al-Mauta [13] dan percaya bahwa dengan kematian, komunikasi antara orang mati dan orang hidup akan terputus dan tidak mungkin orang yang sudah mati akan mendengar suara yang masih hidup. [14] Namun, beberapa Salafi seperti Ibnu Taimiyyah[15] dan Ibnu Qayyim[16] telah menerima Sama' al-Mauta.

Mereka yang menolak Sama' al-Mauta, bersandar pada ucapan dari Aisyah tentang peristiwa Nabi saw berbicara dengan orang-orang mati di perang Badar, dimana beliau alih-alih mengatakan, "Sesungguhnya mereka sekarang akan mendengar apa yang saya katakan" beliau justru mengatakan, "Sesungguhnya mereka tahu apa yang saya katakan." [17] Namun, sebagian besar pemikir Ahlusunah tidak menerima ucapan Aisyah tersebut. [18]

Jawaban

Para pendukung Sama' al-Mauta percaya bahwa yang dimaksudkan orang mati dalam ayat-ayat Alquran seperti dalam surah An-Naml: 80, surah Ar-Rum:52, dan surah Fathir:22 mengacu pada orang-orang kafir (yang mati secara fisik). Mereka bersandar pada ayat 81 dari surah An-Naml, "Dan kamu sekali-kali tidak dapat memimpin (memalingkan) orang-orang buta dari kesesatan mereka. Kamu tidak dapat menjadikan (seorangpun) mendengar, kecuali orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, lalu mereka berserah diri" dan penyerupaan orang-orang kafir dengan orang-orang yang buta dalam ayat ini adalah indikasi bahwa maksud dari orang yang mati dalam surah An-Naml adalah orang-orang kafir. Dan demikian juga menurut mereka, "mendengar" di sini adalah "menerima" dan mereka berargumentasi bahwa orang-orang kafir memiliki kemampuan untuk mendengar suara Rasulullah dan beliau dapat menyampaikan suaranya kepada mereka; namun mereka tidak menerima ucapan beliau. [19]

Demikian juga, dengan bersandar pada ayat 81 surah An-Naml “Illa Ma Yu’minu bi Ayatina” yang mengecualikan kaum mukminin, mereka mengartikan "mendengar" dengan "menerima" dan "mauta" dengan "orang-orang kafir".

Catatan Kaki

  1. QS. Al-A’raf: 78-79, 91-93.
  2. QS. Az-Zuhruf: 45.
  3. Fathu al-Bari, jld. 6, hlm. 487.
  4. Subki, Taqiyuddin, Syifa al-Saqam fi Ziyarati Khairil Anam, bab. 6, Hayat al-Anbiyā wa Syuhada wa Sāir al-Mautā, hlm. 318-365.
  5. Bukhari, Shahih, 1401 H,. jld. 2, hlm. 92.
  6. As-Syanqithi, Adhwā al-Bayān, 1415 H, jld. 6, hlm. 136; Ibnu Katsir, Tafsir, 1412 H, jld. 3, hlm. 447.
  7. Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, 1406 H, jld. 10, hlm. 219.
  8. Shahih Bukhari, jld. 5, hlm. 97.
  9. Al-Namri al-Qurthubi, Ibnu Ashim, al-Istidzkār, jld. 1, hlm. 185.
  10. Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, jld. 2, hlm. 64, bab Ma Yuqalu inda Dukhuli al-Qubr.
  11. Syaikh Mufid, al-Jumal, 1413 H. hlm. 392.
  12. Q.S. Fathir ayat 22
  13. Alusi, Ruh al-Ma’āni, 1415 H, hlm. 55.
  14. Al-Dawish, Fatāwā al-Lajnah al-Dāimah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’, jld. 9, hlm. 82.
  15. Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah al-Fatāwā, Syaikh Abdurrahman Qasim, jld. 24, hlm. 364.
  16. Ibnu Qayyim, al-Ruh fi al-Kalam ala Arwāh al-Amwāt wa al-Ahyā bi al-Dalālil min al-Kitab wa al-Sunnah, hlm. 5-17.
  17. Bukhari, Shahih, 1401 H, jld. 5, hlm. 9.
  18. As-Syanqithi, Adhwā al-Bayān, 1415 H, jld. 6, hlm. 136.
  19. Ibnu Taimiyyah, Ma’jumah al-Fatāwā, Syaikh Abdurrahman bin Qasim, jld. 24, hlm. 364.

Daftar Pustaka

  • Alusi, Sayyid Mahmud. Ruh al-Ma’āni fi Tafsir Alquran al-Adzim. Riset: Ali Abdul Bari Athiyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H.
  • As-Syanqithi, Muhammad Amin. Adhwa’ al-Bayān. Riset: Maktab al-Buhuts wa al-Dirasat. Beirut: Dar al-Fikr li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, 1415 H/1995.
  • Al-Dawish, Ahmad bin Abdul Razak. Fatāwā al-Lajnah al-Dāimah li al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta. Riyadh: Dar al-‘Ashmah.
  • Bukhari, Muhammad. Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr li al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi', 1401 H/1981.
  • Ibnu Taimiyyah, Ahmad bin Abdul Halim. Majmu’ah al-Fatāwā. Cet. Syaikh Abdurrahman bin Qasim, Naskah software Kitabkhaneh Ahlulbait as.
  • Ibnu Qayyim Jauzi, Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub. Al-Ruh fi al-Kalam ala Arwāh al-Amwāt wa al-Ahyā' bi al-Dalālil min al-Kitab wa al-Sunnah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
  • Ibnu Katsir. Tafsir Alquran al-Adzim. Riset: Yusuf Abdurrahman al-Mar‘asyali. Beirut: Dar al-Ma’rifah li al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi',1412 H/1992.
  • Syaikh Mufid. Al-Jumal wa al-Nushrah li Sayyid al-Itrah fi Harb al-Bashrah. Qom: Kongres Syaikh Mufid, 1413 H.
  • Thabrani. Al-Mu’jam al-Kabir. Riset: Hamdi Abdul Majid al-Salafi. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1406 H/1986.
  • Waqidi, Muhammad bin Umar. Kitab al-Maghāzi. Riset: Marsden Jones. Beirut: Muassasah al-A’lami, 1409 H/1989.